MAKALAH HUKUM PAJAK
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Dosen Pengampu: Dr.Utary Maharany Barus, SH., M.Hum.
DISUSUN OLEH:
KARINA APRILIA RUMAPEA
210200623
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai dengan tepat waktu. Adapun tujuan pembuatan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pajak.
Pada pembuatan makalah ini, penulis juga memiliki tujuan yaitu mengajak pembaca mempelajari lebih lanjut perihal “Pajak Bumi dan Bangunan”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Utary Maharany Barus,SH.,M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Pajak dan tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan bantuan moral maupun material.
Sejalan dengan pengerjaan makalah ini, wawasan penulis bertambah. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian kalimat dan kesalahan penulisan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah. Akhir kata, atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, 10 November 2022
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI...1
BAB I...2
PENDAHULUAN...2
A. Latar Belakang... 2
B. Rumusan Masalah...4
C. Tujuan Penulisan...5
BAB II...7
PEMBAHASAN...7
A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan...7
B. Objek Pajak dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan...8
C. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Pajak...9
D. Cara Pendaftaran Objek Pajak...12
E. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan...14
F. Cara Mengurangi Pajak Bumi dan Bangunan...15
BAB III...18
PENUTUP... 18
A. Kesimpulan...18
B. Saran... 18
DAFTAR PUSTAKA... 20
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu instrumen yang paling penting dalam menentukan pendapatan suatu negara. Mengingat peranan pajak yang sangat penting bagi suatu negara maka pemerintah mewajibkan bahwa setiap orang dikenai pajak, sehingga terdapat peraturan yang telah ditetapkan pemerintah tentang pajak.
Aturan perpajakan selalu mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara. Ketersediaan dana pembangunan yang diperoleh baik dari sumber-sumber pajak maupun non pajak merupakan aspek penunjang dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Manfaat pajak tersebut untuk pembiayaan pembangunan, hal ini tidak lain karena warga negara sebagai manusia biasa yang mempunyai kebutuhan sehari-hari selain sandang dan pangan, juga membutuhkan sarana dan prasarana, seperti jalan untuk transportasi, taman untuk hiburan atau rekreasi.
Sektor pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat potensial, karena sifatnya yang tidak akan habis. Dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara
dari sektor pajak dilakukan upaya dalam perpajakan nasional, serta usaha-usaha peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat sebagai Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sebagai wujud partisipasi masyarakat terhadap pembangunan.
Jenis pajak yang menjadi potensi sumber pendapatan negara kita yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang masuk dalam kategori pajak negara. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994. Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun.
Namun dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010. Dengan diberlakukanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tersebut, yang berarti seluruh kewenangan atas pemungutan pajak daerah yang sepenuhnya beralih menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Dengan adanya peralihan wewenag
tersebut maka diharapkan Pajak Bumi dan Bangunan dari sektor Pedesaan dan Perkotaan dapat menjadikan peningkatan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang potensial di setiap Daerah. Sehingga kewenangan atas proses pendapatan, penilaian, penetapan, administrasi, pemungutan/pengalihan dan pelayanan yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Subjek pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan memperoleh manfaat atas bumi, memiliki atau menguasai manfaat atas bangunan. Dengan demikian , subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak bumi dan bangunan.. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah nilai jual objek pajak (NJOP). Ditentukan berdasarkan harga pasar perwilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan. Berdasarkan pengertian pajak bumi dan bangunan diatas, maka dari itu penulis akan membahas lebih dalam mengenai pajak bumi dan bangunan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut, maka adapun yang menjadi perumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apa pengertian pajak bumi dan bangunan?
2. Apa saja objek pajak dan subjek pajak bumi dan bangunan?
3. Bagaimana dasar pengenaan pajak dan cara menghitung pajak bumi bangunan ?
4. Bagaimana cara pendaftaran objek pajak bumi dan bangunan?
5. Bagaimana tata cara pembayaran dan penagihan pajak bumi dan bangunan?
6. Bagaimana cara pengajuan pengurangan pajak bumi dan bangunan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian atau definisi pajak bumi dan bangunan.
2. Untuk mengetahui objek pajak dan subjek pajak bumi dan bangunan.
3. Untuk mengetahui dasar pengenaan pajak dan cara menghitung pajak bumi bangunan.
4. Untuk mengetahui cara pendaftaran objek pajak bumi dan bangunan.
5. Untuk mengetahui tata cara pembayaran dan penagihan pajak bumi dan bangunan.
6. Untuk mengetahui cara pengajuan pengurangan pajak bumi dan bangunan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 1 terdapat beberapa penjelasan yaitu:
- Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya (Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut yang ada diwilayah Republik Indonesia).
- Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan (Termasuk didalamnya jalan lingkungan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraha, galangan kapal, taman mewah, serta fasilitas lain yang memberi manfaat);
- Nilai Jual Obyek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
- Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
- Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak;
B. Objek Pajak dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 2, Objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta mempermudah dalam menghitung pajak terutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor sebagai berikut:
Letak
Peruntukan
Pemanfaatan
Kondisi lingkungan, dan lain lain
Dalam menentukan klasifikasi bangunan, faktor yang mempengaruhi adalah:
Bahan yang digunakan
Rekayasa
Letak
Kondisi lingkungan, dan lain-lain
Objek Pajak yang dikecualikan atau tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang:
Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak mencari keuntungan, antara lain:
Tempat ibadah
Tempat pelayanan kesehatan
Tempat pendidikan
Untuk sosial
Untuk kebudayaan Nasional
Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala,dsb
Merupakan hutan lindung, suaka alam, taman nasional, hutan wisata, tanah penggelembaan yang dikuasai desa, tanah Negara yang belum dibebani suatu hak
Digunakan untuk perwakilan diplomatik berdasarkan asas timbal balik
Digunakan oleh badan atau organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan berdasarkan keputusaan Menteri keuangan No,201/KMK.04/2000 tanggal 6 Juni 2000 sebesar Rp 12.000.000 (Dua Belas Juta Rupiah) untuk setiap Wajib pajak dan ditetapkan secara regional. Apabila Wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, maka NJOPTKP hanya diberikan satu kali terhadap Objek Pajak yang paling besar Pajak terhutangnya.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 4, Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan PBB merupakan bukti kepemilikan.
C. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Pajak
Yang menjadi dasar dari pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yang besarnya ditentukan setiap 3 tahun dengan keputusan menteri Keuangan, atau bias juga ditetapkan setiap tahun dengan melihat perkembangan daerahnya. NJOP adalah harga rata- rata yang diperoleh dari transaksi jual beli, ditentukan melalui perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau nilai jual objek pajak pengganti. Berdasarkan pengertian NJOP tersebut terdapat 3 pendekatan penilaian yang dapat dilakukan oleh Ditjen Pajak (c.q
Direktorat PBB) untuk menentukan besarnya NJOP, yaitu:
a. Pendekatan data pasar (Market data approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (property) dengan jalan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain yang sejenis, yang telah diketahui nilai jualnya. Pendekatan ini disebut juga dengan metode Perbandingan Harga.
b. Pendekatan biaya (Cost approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (property) dengan jalan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya bangunan baru kemudian dikurangi dengan penyusutan yang ada.
c. Pendekatan Pendapatan (Income approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (property) dengan jalan mengkapitalisasikan pendapatan bersih dari objek tersebut dengan suatu tingkat kapitalisasi tertentu.
Pendekatan ini dapat juga disebut dengan pendekatan kapitalisasi. NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali daerah tertentu setiap tahun sesuai dengan perkembangan social dan ekonomi setempat. NJOP dikelompokkan ke daiam klas-klas yang disebut dengan klasifikasi NJOP baik untuk bumi maupun bangunan.
Klasifikasi NJOP Bumi terdiri dari 2 (Dua) kelompok yaitu:
a. Kelompok A (50 klas) dengan klas tertinggi Rp. 3.100.000 per m² dan klas terendah Rp. 140,- per m²
b. Kelompok B (50 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 68.545.000,- per m2 dan klas terendah Rp. 3.375.000,- per m².
Klasifikasi NJOP Bangunan terdiri dari 2 (Dua) kelompok yaitu
a. Kelompok A (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp 1.200.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp 50.000,- per m2
b. Kelompok B (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 15.250.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 1.516.000,- per m2
Dasar Perhitungan PBB
Yang menjadi dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu persentase tertentu dari NJOP. Berdasarkan UU PBB, NJKP ditentukan serendah rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak. Besarnya pajak terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan nilai jual kena pajak.
Untuk saat ini diberlakukan 2 NJKP yaitu:
a. 40% untuk:
Objek pajak perumahan yang wajib pajaknya adalah orang pribadi dengan NJOP atas bumi dan bangunannya sama dengan atau lebih besar Rp. 1 Milyar.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap Objek Pajak yang dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan oleh pegawai negri sipil, anggota TNI/ Polri dan para pensiunan termasuk juga duda/janda yang semata-mata penghasilannya hanya berasal dari gaji atau uang pensiunnya saja.
Objek pajak Perkebunan yang luas lahannya lebih besar atau sama dengan 25 Ha, yang dimiliki dikuasai dan dikelola oleh BUMN, Badan Usaha Swasta maupun berdasarkan kerja sama operasional pemerintah dengan swasta.
Objek Pajak Kehutanan, tetapi tidak termasuk area blok tebangan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemegang Hak Pengusaha Hutan (HPH).
b. 20% untuk: Objek Pajak lainnya yang tidak termasuk ketentuan di atas Cara Penghitungan pajak:
Untuk menghitung PBB terhutang ada 4 unsur yang terlebih dahulu diketahui yaitu:
NJOP : Nilai Jual Objek Pajak
NJOPTKP : Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
NJKP : Nilai Jual Kena Pajak
Tarif Pajak : 0,5% x NJKP
PBB= Tarif Pajak x NJKP x (NJOP - NJOPTKP)
= 0.5% x 20% x (NJOP - NJOPTKP) atau
= 0.5% x 40% x (NJOP - NJOPTKP)
D. Cara Pendaftaran Objek Pajak
Dalam rangka pelaksanaan Undang- Undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960 setiap harta tak bergerak, baik tanah maupun bangunan harus mempunyai sertifikat yang
menerangkan siapa yang mempunyai hak, hak apa yang dimiliki, letak tanah/ bangunan serta luasnya. Dalam rangka pendaftaran objek, maka subjek yang memiliki, atau mempunyai hak atas objek, menguasai atau memperoleh manfaat dari objek Pajak Bumi dan Bangunan, wajib mendaftarkan pajak, dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan
mengirimkan ke kantor Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan tempat letak objek kena pajak.
Data yang harus didaftarkan dapat dilihat pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap, ditandatangani oleh wajib pajak dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal
Pajak/Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan, yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal diterimanya SPOP.
Tidak ada ketentuan dalam UU PBB bahwa blanko SPOP harus diambil dari Kantor Inspeksi Pajak setempat, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Blanko SPOP akan dikirimkan kepada wajib pajak.
Wajib pajak yang data-datanya sudah di Kantor Inspeksi IPEDA tidak diwajibkan untuk mengisi SPOP.
Penjelasan pasal 9 ayat 1 UU PBB, menyatakan bahwa wajib pajak yang pernah dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya, kecuali jika ia dikirimi SPOP oleh Direktur Jenderal Pajak maka dia wajib mengisinya dan mengembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Dengan adanya data-data dari wajib pajak, baik yang diberitahukan oleh wajib pajak melalui pengisian SPOP, maupun wajib pajak yang sudah ada datanya pada IPEDA, Direktur
Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) merupakan Surat Ketetapan yang konstitutif, yang menimbulkan hak dan kewajiban, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan data yang didapat/diperoleh dari wajib pajak melalui pengisian SPOP.
Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT. Sedangkan pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus selambatlambatnya 1 bulan sejak
Wajib Pajak yang dikenakan SKP dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah wajib pajak yang dikirimi SPOP tetapi mereka (wajib pajak) tidak mengembalikan SPOP tersebut ke kantor Inspeksi Pajak meskipun mereka sudah diadakan teguran.
E. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
1. Pajak terutang harus sudah dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT, sedangkan pajak terutang yang disebabkan karena penerbitan SKP, pelunasannya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP.
Terhadap Pajak terutang yang tidak dilunasi atau masih kurang bayar sampai dengan saat tanggal jatuh tempo, maka akan dikenakan denda administrasi sebesar 2% per bulan atas keterlambatan tersebut dihitung mulai tanggal jatuh tempo. Dengan pengenaan denda maksimal 24 (duapuluh empat) bulan. Denda administrasi ditambah dengan pokok pajak terutang yang belum atau kurang bayar ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan pajak (STP), yang jangka waktu pelunasannya adalah paling lambat 1 (satu) bulan sejak tanggal STP diterima. Pembayaran dapat dilakukan di Bank Pemerintah atau Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Surat pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dapat menjadi dasar dari penagihan pajak berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan pajak dengan Surat Pajak.
2. Penagihan pajak Bumi dan bangunan
Surat pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dapat menjadi dasar dari Penagihan Pajak berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan pajak dengan Surat Paksa.
F. Cara Mengurangi Pajak Bumi dan Bangunan
1. Pengurangan PBB dapat diajukan atas:
a. Kondisi tertentu wajib pajak:
OP dapat berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi
OP yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak pribadi yang berpenghasilan rendah namun nilai jual OP nya meningkat akibat adanya pembangunan.
OP yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak pribadi yang penghasilannya semata-mata dari pensiun.
OP yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak pribadi yang penghasilannya rendah.
OP yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran pejuang dan pembela kemerdekaan.
OP yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan, yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditasnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya.
b. Dalam hal Objek pajak Dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam dan sebab lain yang luar biasa contoh: banjir, gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan lain-lainnya.
Terhadap kondisi tertentu Objek Pajak, pengurangan dapat diberikan maksimal 75% dari pajak terutang, sedangkan apabila terkena bencana alam dan sebab luar biasa lainnya,
pengurangan dapat diberikan maksimal 100% dengan mempertimbangkan kondisi secara wajar dan objektif.
2. Cara pengajuan pengurangan:
a. Pengajuan dilakukan secara tertulis dalam bahasa indonesia kepada kepala kantor pelayanan PBB.
b. Permohonan pengurangan diajukan paling lambat 60 hari sejak tanggal diterimanya SPPT dan atau SKP oleh wajib pajak dalam hal yang berkaitan dengna kondisi tertentu objek pajak. Sedangkan pengurangan sebagai akibat dari bencana alam dapat diajukan paling lambat 60 hari sejak terjadinya bencana alam.
c. Pengajuan pengurangan harus diajukan oleh wajib pajak yang
bersangkutan dengan melampirkan fotocopy SPPT tahun berjalan dan Fotocopy SPPT beserta pelunasannya 3 Tahun terakhir. Untuk wajib pajak badan harus juga melampirkan SPT PPH Tahun Pajak terakhir beserta lampirannya.
d. Untuk wajib pajak yang terkena bencana alam yang bersifat masal, pengajuannya dilakukan secara tertulis oleh kepala desa/lurah dan diketahui oleh camat dengan mencantumkan nama wajib pajak yang dohonkan pengurangannya.
e. Pengajuan pengurangan dapat dilakukan secara langsung atau dikirim melalui pos.
f. Tanggal tanda terima surat permohonan adalah sebagai berikut: Pengajuan secara langsung, maka tanggal tanda terima adalah tanggal pada saat surat permohonan diajukan secara lengkap diterima oleh kantor pelayanan PBB.
Apabila dikirim melalui pos, maka tanggal tanda terimanya adalah tanggal
pada saat surat permohonan diterima secara lengkap oleh KP PBB dari kantor Pos.
3. Keputusan pengurangan
Kepala kantor pelayanan PBB setempat dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal
diterimanya permohonan pengurangan harus sudah memberikan keputusan atas permohonan tersebut. Bila jangka waktu 60 hari beoom memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima dan diterbitkan sesuai dengan permohonan pengurangannya
Hasil keputusan dapat berupa:
a. Diterima seluruhnya. Permohonan dikabulkan seluruhreya apabila hasil penelitian secara administrasi dan/atau verifikasi lapangan menunjukkan hal-hal yang sesuai dengan alasan permohonan pengurangan.
b. Diterima sebagian. Permohonan dikabulkan sebagian apabila dari hasil pemeriksaan dan administrasi dan atau verifikasi lapangan menunjukkan sebagian data yang sesuai dengan alasan permohonan.
c. Ditolak. Permohonan ditolak seluruhnya apabila dari hasil pemeriksam dan
administrasi dan atau verifikasi lapangan menunjukkan data yang tidak sesuai dengan alasan pengajuan permohonan pengurangan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994. Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. Dalam UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dijelaskan bahwa objek pajak adalah bumi dan/atau
bangunan dan Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Sedangkan yang menjadi dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan yang menjadi dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Dalam pendaftaran objek pajak harus mengisi Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang kemudian dikembalikan ke Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi kemudian diputuskan oleh Kepala kantor pelayanan PBB.
B. Saran
Pajak Bumi dan Bangunan ini memiliki manfaat yang berguna bagi pembangunan negara kita dari berbagai banyak segi salah satunya sarana dan prasarana umum. Oleh karena itu diharapkan masyarakat yang menjadi wajib pajak untuk lebih meningkatkan kesadarannya untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan terutama membayar secara tepat waktu. Karena manfaat dari Pajak Bumi dan Bangunan ini akan kita yang rasakan sendiri. Jika masyarakat
lebih sadar membayar Pajak Bumi dan Pembangunan ini maka akan meningkatkan dan memperlancar pembangunan sehingga terciptanya perekonomian negara yang baik dan kondusif.
Serta bagi pemerintahan hendaklah lebih memperluas informasi bisa melalui sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya membayar Pajak Bumi dan Bangunan sehingga masyarakat memiliki motivasi dan pengetahuan lebih mengenai Pajak Bumi dan Bangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Rahayu, Siti Kurnia dan Ely Suhayati.2009. Perpajakan: Teori dan Teknis Perhitungan.
Bandung: Graha Ilmu.
Bohari, H. 2001. Pengantar Hukum Pajak. Makassar, Rajawali Pers.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.