• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Makalah Akuntansi Pajak Bumi dan Bangunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contoh Makalah Akuntansi Pajak Bumi dan Bangunan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

KEADILAN PENETAPAN NJOP PBB BAGI WAJIB PAJAK

DAN KESADARAN WAJIB PAJAK DALAM

MELAPORKAN PERUBAHAN TANAH DAN ATAU

BANGUNAN

TUGAS AKHIR

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Nilai Akhir Mata Kuliah

Akuntansi Sektor Publik

Program Studi Akuntansi Jurusan Akuntansi

Politeknik Negeri Pontianak

OLEH:

NOVI DWI AZHAR

NIM. 3201005004

JURUSAN AKUNTANSI

▸ Baca selengkapnya: contoh soal cpob bangunan dan fasilitas

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas karunia Allah SWT dengan kemurahan-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Keadilan Penetapan NJOP PBB bagi Wajib Pajak dan Kesadaran Wajib Pajak dalam melaporkan Perubahan Tanah dan atau Bangunan”.

Tugas akhir ini disusun dan diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh nilai akhir semester mata kuliah akuntansi sektor publik pada Program Studi Akuntansi Politeknik Negeri Pontianak. Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu diharapkan agar memberikan saran, masukan, dan kritik bagi penulis untuk penulisan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Proses penyelesaian tugas akhir ini tidak terlepas dari bimbingan, saran, petunjuk, dan arahan dari Bapak Oscar Rynandi Andjioe, S.E, M.Si, Ak sebagai dosen pengampu mata kuliah akuntansi sektor publik, semoga Allah SWT akan mencatat hal ini semua sebagai amalan yang terus mengalir bagi beliau dan juga bagi dosen-dosen saya yang lain.

Akhirnya kepada semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, saya mengucapkan banyak terima kasih atas semua bantuan yang diberikan. Semoga Allah melimpahkan berkah dan rahmat-Nya bagi bapak, ibu, dan saudara yang telah berbuat baik untuk saya.

Pontianak, Februari 2012

(3)

ABSTRAK

Salah satu sumber penerimaan Daerah yang bersumber dari Dana Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Proses pelaksanaan PBB meliputi pendataan, penilaian, dan penetapan. Pengenaan PBB didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sedangkan proses penetapan NJOP diawali dari kegiatan pendataan dan penilaian. Hasil pendataan dan penilaian digunakan sebagai dasar penetapan. Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan, menjangkau semua lapisan masyarakat dengan berbagai unsur sosial oleh karenanya ketentuan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menampung kepentingan semua lapisan masyarakat. Salah satu peraturan yang berkaitan dengan Pajak Bumi dan Bangunan adalah peraturan tentang penetapan NJOP sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah besaran nilai jual objek pajak sudah sesuai dan menganut azas keadilan bagi masyarakat dan mengetahui sebab mengapa masyarakat kurang proaktif dalam melaporkan perubahan atas tanah dan bangunannya.

Solusi atas masalah yang berkenaan dengan keadilan dan meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk melaporkan adalah dengan menetapkan nilai jual objek pajak sesuai dengan tingkat manfaat yang dirasakan oleh pemilik tanah dan bangunan dan pemerintah seharusnya melakukan tinjauan ke lapangan untuk mengecek para wajib pajak yang belum melaporkan pajak yang terutang dengan melakukan sensus pajak.

(4)

ABSTRACK

One of regional acceptance resource that is taken from balance fund between central government and regional from acceptance of land and building (PBB). The application process of PBB contains income assessment, decision, pressing a clime and of transfer the title of ownership of land and building. The payment of PBB is based on the value of object sale (NJOP), while the decision process of NJOP is begun from income activity and tax object assessment. The result of income and assessment is used as basic of decision. The land and building tax that puts on land and building have reached all the member of citizen in different social level. Because of that the determination in the land and building tax collection is created with a consideration of fulfilling the needs and different condition of the citizen as tax payers. One of the important rules that connected to the land and building tax is the rule of the determination of the tax object sales value as payment base.

This research aims to know is the value of object sale (NJOP) already suits and taken the fair basic for every citizenship and to reveal the reason why the citizens are less participated in reporting the changes of theirs land and building.

The solutions given for this case is by determining the value of object sale as suit as the level of profits and advantages that feels by the owner of the land and building itself and the government should doing some surveys on the fields to checking if there’s any tax payers which haven’t reported their ownership of lands and buildings.

(5)

DAFTAR ISI

2.8 Dasar Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan... 5

2.9 Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan... 5

2.10 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan... 6

2.11 Objek Pajak Bumi dan Bangunan... 6

2.12 Surat Pemberitahuan Objek Pajak... 7

2.13 Surat Ketetapan Pajak... 7

2.14 Pengecualian Objek Pajak Bumi dan Bangunan... 7

2.15 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak... 7

2.16 Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan... 8

2.17 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan... 8

(6)

BAB IV. PEMBAHASAN MASALAH... 16

BAB V. REKOMENDASI DAN SOLUSI... 20

BAB VI. KESIMPULAN... 21

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN

Angka pertumbuhan ekonomi negara merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan tingkat ekonomi suatu negara. Peran pemerintah sebagai stabilisator perekonomian dapat dijalankan dengan cara mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi anggaran dalam perekonomian. Salah satu kebijakan yang sangat penting dilakukan oleh pemerintah dalam pengendalian perekonomian adalah dengan melakukan kebijakan fiskal, yaitu tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian, yang tiap tahunnya dilaksanakan oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara.

Salah satu sumber pendapatan daerah yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam membiayai Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah adalah Pajak, yang mana pajak daerah ini banyak jenisnya dan berbeda pemungutnya di antaranya adalah jenis-jenis pajak daerah tingkat I terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Sedangkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), termasuk Pajak Pusat.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu jenis pajak pusat yang dikenakan kepada setiap orang atau badan yang mempunyai hak/manfaat atas Bumi dan Bangunan dan diwajibkan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan.

Pemungutan pajak bumi dan bangunan ini menggunakan sistem pemungutan Official Assessment. Official Assessment merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Dalam sistem ini, wajib pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak oleh fiskus, kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan besarnya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus.

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam pemungutan pajak bumi dan bangunan adalah penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dalam mematuhi asas keadilan yang berdampak pada kesadaran dan ketaatan wajib pajak untuk melaporkan pajak yang terutang atas tanah dan bangunan. Perhatian masyarakat terhadap Pajak Bumi dan Bangunan semakin besar, terutama berkaitan dengan masalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Fungsi NJOP sudah mengarah pada Multi fungsi, artinya NJOP tidak hanya digunakan untuk kepentingan Pajak Bumi dan Bangunan saja, tetapi sudah digunakan untuk keperluan/instansi lain. Tidak sedikit para wajib pajak yang menyatakan tidak puas dengan penentuan NJOP atas properti yang dimilikinya, karena dianggap kurang sesuai dengan nilai pasar dan manfaat yang dirasakan sehubungan dengan kepemilikan tanah dan bangunan, hal inilah yang menyebabkan rendahnya kesadaran wajib pajak dalam melaporkan perubahan atau tanah yang dikuasai oleh wajib pajak.

(8)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah metode penilaian dan penentuan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan b. Upaya-upaya pemerintah dalam mengatur kebijakan agar meningkatkan rasa sadar wajib

pajak untuk melaporkan perubahan tanah dan bangunan c. Bagaimana sistem penetapan NJOP yang berlaku saat ini

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir mengenai keadilan penetapan NJOP PBB bagi wajib pajak dan kesadaran wajib pajak dalam melaporkan perubahan tanah dan atau bangunan adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui bagaimanakah metode penilaian dan penentuan nilai jual objek pajak bumi dan bangunan.

b. Mengetahui upaya-upaya pemerintah dalam mengatur kebijakan agar meningkatkan rasa sadar wajib pajak untuk melaporkan perubahan tanah dan bangunan

c. Mengetahui sistem penetapan NJOP yang berlaku saat ini.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian dalam tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan berupa:

1.4.1 Kegunaan teoritis

Penulis berharap hasil penelitian ini mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan hukum dalam kepatuhan undang-undang khususnya dalam bidang perpajakan.

1.4.2 Kegunaan praktis

Selain kegunaan teoritis, hasil penelitian yang dilakukan penulis diharapkan juga mampu menghasilkan sumbangan praktis yaitu:

a. Memberikan wacana akademis kepada semua pihak yang terkait dengan masalah perpajakan khususnya bagi wajib pajak, Notaris / PPAT dan petugas pajak khususnya mengenai PBB.

(9)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN ATURAN

2.1 Pengertian Pajak

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya adalah :

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani:

“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Kemudian menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH:

”Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.

2.2 Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan dan/atau dapat dikatakan PBB adalah pajak atas harta tak bergerak yang terdiri dari tanah dan bangunan (property tax). Jadi sudah jelas bagi kita bahwa Objek Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB adalah tanah dan atau bangunan sedangkan yang dimaksud dengan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan / PBB adalah orang pribadi atau badan yang menikmati, memanfaatkan atau memiliki obyek pajak berupa tanah dan atau bangunan tersebut (Pemilik atau Penyewa).

2.3 Bumi

Bumi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994 tanggal 9 November 1994 adalah permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, tambang, dan lain-lain.

2.4 Bangunan

(10)

1994 tanggal 9 November 1994 adalah konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia. Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dan lain-lain.

Bangunan menurut PSAP no.7 mengenai akuntansi aset tetap gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dalam kondisi siapa dipakai.

2.5 Tanah

Tanah sebagaimana yang dimaksud dalam PSAK no.47 mengenai akuntansi tanah, terdiri atas tanah dalam negeri dan tanah luar negeri. Tanah dalam negeri adalah tanah yang berada di wilayah geografis Indonesia, terbagi menjadi tiga wilayah: yaitu wilayah kawasan berikat, wilayah yurisdiksi negara perwakilan, dan wilayah pabean. Hukum pertanahan mengatur secara umum hak-hak atas tanah kedua wilayah tersebut, dan mengatur secara khusus wilayah berikat. Wilayah yurisdiksi negara perwakilan terkait dengan kantor perwakilan negara asing atau wilayah kedutaan, sedangkan tanah luar negeri adalah tanah yang berada di luar wilayah Indonesia, berada pada wilayah hukum pertanahan lain di luar hukum pertanahan Indonesia. Substansi aktiva tetap tanah dalam kaidah hukum tersebut adakalanya menyebabkan pencatatan manfaat ekonomik dari kepemilikan absolut dan penggunaannya ke dalam kelompok aktiva tetap.

2.6 Asas Pemungutan Pajak

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.

a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

b. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya di saat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau di saat wajib pajak menerima hadiah.

d. Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

2.7 Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

(11)

2.8 Dasar Perhitungan PBB

Dasar Perhitungan yang digunakan untuk menghitung pajak terutang adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak (Peraturan Pemerintah. Besarnya persentase NJKP yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Berdasar PP No. 74 tahun 1998 ketentuan mengenai NJKP untuk perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan sebesar 20% atau 40% dari Nilai Jual Objek Pajak.

Ketentuan mengenai NJKP berdasarkan PP 74 tahun 1998 :

NJKP pada umumnya ditetapkan 20% dari Nilai jual obyek pajak, kecuali untuk obyek-obyek di bawah ini ditetapkan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak :

a. Perumahan dengan NJOP sama atau lebih besar dari Rp. 1 Miliar, kecuali yang dimiliki atau dikuasai oleh PNS, ABRI, dan para pensiunan termasuk janda dan duda.

b. Perkebunan dengan luas sama atau lebih besar dari 25 hektar yang dimiliki, dikuasai, atau dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Swasta

c. Perhutanan termasuk areal blok tebangan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemegang Hak Penguasaan hutan, pemegang Hak pemungutan Hasil Hutan dan pemegang izin pemanfaatan kayu.

PP No. 46 Tahun 2000 Memperbarui PP 74 Tahun 1998

Besarnya NJKP sebagai dasar perhitungan kena pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 ditetapkan untuk:

a. Obyek Pajak Perkebunan sebesar 40% dari Nilai Jual Ojek pajak. b. Objek Pajak kehutanan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek pajak

c. Objek Pajak pertambangan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek pajak. d. Objek pajak lainnya :

Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual Objek pajaknya Rp. 1.000.000.000,- (satu Milyar) atau lebih.

Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual Objek pajaknya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-.

PP 25 Tahun 2002 Memperbarui PP 46 tahun 2000 . berisi ketentuan sebagai berikut:

a. Obyek Pajak Perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% dari Nilai Jual Ojek pajak.

b. Obyek Pajak lainnya :

Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOPnya Rp. 1.000.000.000,- (satu Miliar) atau lebih.

Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOPnya kurang dari Rp.

1.000.000.000,-2.9 Sejarah Pajak Bumi Dan Bangunan

(12)

dikenal dengan Tanam Paksa. Kemudian oleh Gubernur Jenderal Raffles, pajak atas tanah disebut “Landrent” yang artinya adalah “sewa tanah”. Tapi diganti oleh Pemerintah Belanda dengan nama

Landrente.

Pada waktu Indonesia merdeka Landrente ini tetap diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia tetapi diganti nama dengan Pajak Bumi. Kemudian diubah dengan nama Pajak Hasil Bumi. Yang dikenal pajak tidak lagi nilai tanah melainkan hasil yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustrasi, karena hasil yang keluar dari tanah merupakan obyek dari Pajak Penghasilan (Pajak Peralihan atau Overgangsbelasting). Akibat dari frustrasi maka Pajak Hasil Bumi ini dihapuskan mulai tahun 1952 karena hasil yang keluar dari tanah dan bangunan telah dikenakan Pajak Peralihan, Ketetapan Kecil (Kleine Aanslag). Hal ini berlangsung sampai tahun 1959. Rupanya Pemerintah menginsafi kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959 dipungut lagi Pajak Hasil Bumi atas Nilai Tanah (bukan lagi atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan).

Dengan pemberian Otonomi dan Desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi yang namanya kemudian diubah menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), hasilnya diserahkan pada Pemerintah Daerah walaupun pajak tersebut masih merupakan pajak pusat. Hasil Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) tersebut digunakan untuk membiayai Pembangunan Daerah.

Tetapi yang disayangkan bahwa dasar hukum Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) sangat lemah atau dapat di katakan tidak ada dasar hukumnya. Memang maksud Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) adalah untuk menggantikan Verponding. Inlands Verponding dan Pajak Hasil Bumi pada waktu itu merupakan pajak atas harta tak gerak, tetapi belum pernah ada undang-undang yang menghapuskan Verponding dan Pajak Hasil Bumi. Selanjutnya masing-masing daerah dapat mengubah peraturan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Maka Pajak Bumi dan Bangunan yang baru merupakan suatu jalan keluar yang sangat berharga yang memberikan dasar hukum yang kuat, dan memberikan keseragaman sehingga pungutan itu tidak dilakukan secara simpang siur di masing-masing daerah.

2.10 Subjek Pajak Bumi Dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian subyek pajak tersebut di atas menjadi wajib pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

2.11 Objek Pajak Bumi Dan Bangunan

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan atas Bumi dan atau Bangunan, maka obyek pajaknya adalah bumi dan atau bangunan. Pengertian bumi adalah permukaan bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan.

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

(13)

e. Tempat olahraga; f. Galangan kapal; g. Taman mewah;

h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat

2.12 Surat Pemberitahuan Objek Pajak

Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data obyek pajak. Sehubungan dengan pendataan, subyek pajak tersebut wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP). Sebagai syaratnya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak. Batas waktu penyampaiannya selambat-lambatnya tiga puluh (30) hari.

2.13 Surat Ketetapan Pajak

Atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dimaksud adalah untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dapat diterbitkan berdasarkan data obyek pajak yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak. Surat Ketetapan Pajak dapat dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dalam hal:

1. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran;

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) yang disampaikan oleh wajib pajak.

2.14 Pengecualian Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Sebenarnya Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengenal adanya pengecualian terhadap subjek pajak, karena pajak ini bersifat objektif. Yang ada hanya pengecualian objek pajak.

Wakil-wakil diplomatik (konsulat) dan wakil-wakil organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan untuk tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan, bukan berarti pengecualian subjektif, melainkan karena pembebasan /pengecualian objektif, yaitu yang digunakan oleh wakil-wakil tersebut, pengecualian /pembebasan pajak tersebut dengan syarat timbal balik atau pembebasan itu baru diberlakukan, jika negara yang bersangkutan juga memberikan pembebasan yang sama dari pajak yang dikenakan kepada wakil-wakil diplomatik Indonesia. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka dengan sendirinya pembebasan pajak itu tidak berlaku.

2.15 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

(14)

a. Hak Wajib Pajak.

b. Hak untuk memperoleh SPOP, SPPT, STTS beserta informasinya dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.

c. Hak untuk memperbaiki atau mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan.

d. Hak untuk menunjuk pihak lain selain pegawai pajak dengan surat kuasa untuk mengisi dan menandatangani SPOP.

e. Hak untuk mengajukan permohonan mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.

f. Hak untuk mengajukan keberatan dan pengurangan atas penetapan PBB.

Kewajiban Wajib Pajak yaitu mendaftarkan Objek Pajak, mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap, menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi ke Kantor Pelayanan PBB, melaporkan perubahan data objek pajak atau wajib pajak ke Kantor Pelayanan PBB setempat apabila ada perubahan dengan cara mengisi SPOP baru sebagai perbaikan.

2.16 Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan sekurang-kurangnya 90% untuk Pemerintah Daerah Tingkat I dan Tingkat II sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sisanya untuk Pemerintah Pusat.

Kebijakan seperti ini dimaksudkan untuk merangsang masyarakat dalam memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak sekaligus mencerminkan sifat gotong-royong rakyat dalam membiayai pembangunan.

Pembagian hasil penerimaan PBB antara pemerintah pusat dan daerah adalah sebagai berikut:

1. 10% dari jumlah hasil penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Pusat dan harus disetorkan ke Rekening Kas Negara untuk dibagikan kepada seluruh Daerah Kabupaten /kota.

2. 90% dari jumlah penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Daerah. Dengan pembagian setelah dikurangi biaya pemungutan sebesar 10%.

 Pemda Provinsi 20%

 Pemda Kabupaten/Kota 80%

Jadi masing-masing penerimaan PBB adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah pusat = 10%

2. Biaya pemungutan (10% x 90%) = 9%

3. Pemerintah Daerah Provinsi 20% x (90% - 9%) = 16,2% 4. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 80% x (90% - 9%) = 64,8%

2.17 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar hukum pemungutan pajak bumi dan bangunan adalah:

(15)

2. Peraturan pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual Kena Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan.

3. Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/1985 tentang Tata Cara Pendaftaran Objek Pajak Bumi dan Bangunan.

4. Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/1985 tentang Tata Cara Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan dan penunjukan Pejabat yang berwenang mengeluarkan surat paksa. 5. Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK/1985 tentang pelimpaham wewenang

penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan / Bupati/ Walikota Madya Kepala Daerah Tingkat II.

6. Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK. 04/1998 tentang penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

7. Keputusan Menteri Keuangan No. 201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.

8. Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK. 04/2002 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan No. 552/KMK. 03/2002 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

9. Peraturan Menteri Keuangan No. 150/PMK.03/2010 tentang klasifikasi dan penetapan objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan.

10. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-60/PJ/2010 tentang tata cara penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan.

2.18 Ciri Utama Pajak

Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut :

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan :

"pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."

2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung.

3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.

4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

(16)

Menurut Waluyo (2004:52), sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 4 (empat) sistem yaitu:

1. Official Assesment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

2. Semi Official Assesment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang wewenangnya ada pada 2 (dua) pihak, yaitu fiskus dan pembayaran pajak. Pada awal tahun pajak, wajib pajak menaksir dulu berapa pajak

terutangnya di mana pada akhir tahun, pajak yang sesungguhnya terutang ditentukan oleh fiskus. 3. Full Official Assesment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

4. With Holding Sistem

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2.20 Syarat Pemungutan Pajak 1. Adil

Sama halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya, misalnya:

a. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak

b. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak c. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya

pelanggaran

2. Pengaturan Pajak Harus Berdasarkan Undang-Undang

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi:

"Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang".

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:

a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya

b. Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak.

3. Pemungutan Pajak tidak Mengganggu Perekonomian

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

4. Pemungutan Pajak harus Efisien

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut.

(17)

Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

2.21 Hambatan-hambatan Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2002:93), hambatan – hambatan pemungutan pajak terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Perlawanan Pasif

2. Perlawanan Aktif

Penjelasan dari hambatan-hambatan pemungutan pajak di atas yaitu:

1. Perlawanan Pasif

Yaitu berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan memiliki hubungan erat dengan struktur ekonomi.

2. Perlawanan Aktif

Yaitu secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak.

2.22 Azas Pengenaan Pajak

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:

1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income concept).

(18)

bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu.

3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipiil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.

Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.

Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi

2.23 Teori Pemungutan Pajak

Menurut R. Santoso Brotodiharjo (2008:102), ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:

1. Teori Asuransi

(19)

2. Teori Kepentingan

Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.

2.24 Ekstensifikasi

Ekstensifikasi dalam kegiatan perpajakan di Indonesia adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik dan pegawai, maupun Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan.

Kegiatan ekstensifikasi ini dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama melalui Seksi Ekstensifikasi Perpajakan.

Dasar Peraturannya:

1. Per-16/PJ/2007 tentang Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/pemilik dan pegawai melalui pemberi kerja/bendaharawan pemerintah.

2. Per-116/PJ/2007 tentang Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi melalui Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah digubah melalui Per-32/PJ/2008.

3. Per-35/PJ/2008 tentang Kewajiban Pemilikan Nomor Pojok Wajib Pajak dalam rangka pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-157/PJ.6/2000 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengusulan Rencana Penggunaan BP PBB yaitu :

Pasal 2

1. Pendaftaran objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dilakukan oleh subjek Pajak dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). 2. Wajib Pajak yang memiliki NPWP mencantumkan NPWP dalam kolom yang tersedia dalam

SPOP.

3. SPOP diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan ke Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau kuasanya.

4. Formulir SPOP disediakan dan dapat diperoleh dengan cuma-cuma di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau di tempat-tempat lain yang ditunjuk.

(20)

1. Pendataan objek dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan menuangkan hasilnya dalam formulir SPOP.

2. Pendataan objek dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan alternatif :

a. Penyampaian dan pemantauan pengembalian SPOP, b. Identifikasi objek pajak,

c. Verifikasi data objek pajak, d. Pengukuran bidang objek pajak.

Pasal 4

1. Penilaian objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan baik secara massal maupun secara individual dengan menggunakan pendekatan penilaian yang telah ditentukan.

(21)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3.3 Bahan Data

A. Bahan primer, yang terdiri dari :  Norma atau kaidah dasar.

 Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perpajakan khususnya mengenai Nilai Jual Objek Pajak dan Pajak Bumi dan Bangunan.

B. Bahan sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

C. Bahan hukum atau bahan penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

3.4 Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini. Analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya evaluasi data secara kualitatif.

(22)

BAB IV

PEMBAHASAN MASALAH

Pajak merupakan salah satu unsur penting dalam keuangan pemerintah. Pajak juga merupakan salah satu sumber pendanaan pemerintah yang akan digunakan untuk membiayai infrastruktur negara maupun daerah serta untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan lainnya untuk pembangunan bangsa.

Salah satu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah sebagai pendapatan asli daerah adalah pajak bumi dan bangunan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak yang terdiri dari tanah dan bangunan yang dimiliki oleh wajib pajak. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan / PBB adalah orang pribadi atau badan yang menikmati, memanfaatkan atau memiliki obyek pajak berupa tanah dan atau bangunan tersebut (Pemilik atau Penyewa).

Permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam hal pemungutan atas pajak bumi dan bangunan adalah asas keadilan terhadap penetapan nilai jual objek pajak, wajib pajak menilai bahwa metode yang digunakan untuk menilai nilai jual objek pajak tidak mencerminkan nilai wajar sehingga nilai jual objek pajak menghasilkan nilai wajar yang besar dan hal ini juga mengakibatkan semakin besar pula pajak yang akan ditanggung oleh wajib pajak atas bumi dan bangunan. Besarnya pajak yang akan ditanggung oleh wajib pajak inilah yang menyebabkan rendahnya kesadaran wajib pajak untuk melaporkan perubahan atas tanah dan bangunan.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, oleh karena itu dalam penetapannya harus mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, agar besaran pajak yang dikenakan sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya, sama dengan kondisi yang ada di lapangan. Permasalahannya adalah bagaimana agar keadilan dalam penetapan Nilai Jual Objek Pajak dapat terlaksana sehingga masyarakat rela membayar sesuai dengan nilai pajak yang ditetapkan.

Komponen dalam penetapan Pajak Bumi dan Bangunan adalah penilaian terhadap Objek Pajak Bumi (Tanah) dan atau Bangunan. Penilaian Objek Pajak Bumi/Tanah pada dasarnya adalah proses penetapan nilai bumi/tanah yang diperoleh dari harga transaksi/jual beli yang terjadi secara wajar dalam artian bahwa harga transaksi tersebut mencerminkan harga normal yang terjadi.

Dalam proses penetapan nilai bumi/tanah, penentuan nilai ditentukan berdasarkan posisi relatif objek pajak dengan pengertian bahwa posisi objek pajak adalah benar di lokasi jalan yang bersangkutan sehingga akan diketahui nilai relatif pada satu zona atau kawasan tertentu.

Metode yang umumnya digunakan adalah dengan melakukan pendekatan penilaian terhadap nilai jual objek pajak. Pendekatan dalam menentukan nilai jual objek pajak umumnya terdiri atas tiga metode yaitu:

a. Pendekatan data pasar (Market data approach), yaitu suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkan dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. Umumnya digunakan untuk menentukan nilai jual objek pajak bumi atau tanah. b. Pendekatan biaya/nilai perolehan baru (cost approach), yaitu suatu pendekatan/metode

penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut. Umumnya digunakan untuk menentukan nilai jual objek pajak bangunan.

(23)

Metode penilaian nilai jual objek pajak umumnya menggunakan dua cara yaitu: a. Penilaian Massal (Mass Appraissal):

- NJOP bumi dihitung berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) yang terdapat pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT).

- NJOP bangunan dihitung berdasarkan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB) dikurangi dengan biaya penyusutan fisik.

- Perhitungan penilaian massal dilakukan berbasis komputer. b. Penilaian Individu (Individual Appraissal):

- Metode penilaian suatu objek pajak untuk masing-masing objek pajak yang bersifat unik/khusus.

- Diterapkan untuk objek khusus yang bernilai tinggi atau keberadaannya mempunyai sifat khusus seperti: jalan tol, pelabuhan laut/sungai/ udara, lapangan golf, industri semen/pupuk, PLTA, PLTU, PLTG, pertambangan, tempat rekreasi, rumah mewah, pompa bensin, PBB sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan lain-lain.

Bangunan menurut Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan, adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Proses penentuan nilai bangunan pada umumnya menggunakan nilai perolehan baru.

Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.

Pendekatan ini didasarkan pada prinsip bahwa seseorang yang mempunyai pengetahuan di dalam membangun suatu properti, tidak akan sudi membeli suatu properti yang lebih tinggi daripada biaya untuk membangun properti tersebut.

Jenis penggunaan bangunan yang berbeda seperti rumah sakit, hotel, kantor, rumah, pabrik dan lain sebagainya memerlukan cara penilaian yang berbeda pula karena komponen untuk membangun antara bangunan yang satu dengan bangunan lainnya berbeda, sehingga petugas penghitung pajak dituntut untuk memahami secara utuh proses penentuan nilai bangunan tersebut.

Di samping itu bangunan yang baru tentu berbeda dengan bangunan yang lama disebabkan adanya faktor penyusutan yang akan mempengaruhi nilai bangunan. Dengan memaknai filosofi di atas serta penetapan yang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku diharapkan akan menciptakan rasa persamaan dan kesamaan sehingga akan meningkatkan kemampuan dan kemauan bayar Wajib Pajak.

Persiapan sumber daya manusia, regulasi daerah serta sarana dan prasarana sistem pada pemerintah daerah yang dilakukan dengan efektif dan efisien akan memperlancar peralihan dan penerapan Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan demikian pendapatan daerah akan lebih meningkat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Persiapan sumber daya manusia adalah persiapan para petugas pajak yang lebih proaktif dan melakukan survei ke lapangan yang akan menilai besarnya objek pajak yang terutang oleh wajib pajak, dalam hal ini pihak pemerintah (fiskus) sebagaimana yang diketahui pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang sistem pemungutannya menganut Official Assessment System di mana pajak dipungut langsung oleh pemerintah. Pajak yang dipungut membutuhkan kontribusi dari masyarakat yaitu kesadaran rakyat untuk melaporkan perubahan tanah dan bangunan yang dimiliki.

(24)

Pemeriksaan dilakukan pada KPP Pratama oleh tim Pemeriksa. Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud terdiri dari 1 (satu) orang ketua tim dan 1(satu) orang atau lebih anggota tim. kegiatan Pemeriksaan didokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan, sebagai dasar pembuatan LHP PBB. LHP PBB digunakan untuk membuat Nota Penghitungan sebagai dasar penerbitan:

a. Surat Ketetapan Pajak, apabila ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak;

b. Keputusan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB yang berupa: - Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran, apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata

lebih besar dari yang seharusnya terutang;

- Surat Pemberitahuan, apabila jumlah PBB yang dibayar sama dengan jumlah PBB yang seharusnya terutang;

- Surat Ketetapan Pajak, apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.

Kembali kepada permasalahan penetapan nilai jual objek pajak, nilai jual objek pajak harus menganut asas keadilan di mana pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak, tetapi dalam beberapa kasus yang dipandang dari perspektif masyarakat terhadap penentuan nilai jual objek pajak masyarakat menginginkan NJOP yang rendah, tetapi manakala ditujukan untuk tujuan ganti rugi, maka masyarakat tidak mau menggunakan NJOP karena dianggap terlalu rendah nilainya. Selain itu masyarakat juga menuntut keadilan terhadap pemerintah, misalnya lahan tanah yang tidak produktif, tidak ada irigasi, atau gagal panen dikenai pajak. Rakyat di bawah garis kemiskinan pun dikenai pajak

Penetapan NJOP diatur agar wajib pajak dapat mengurangi besarnya biaya pajak atas tanah dan bangunan. Akan tetapi ada kalanya masalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) ini memberatkan, misalnya ketika melakukan transaksi jual beli rumah yang harganya sudah sah dengan pembeli dalam transaksi tersebut ternyata NJOP lebih besar dari harga jual rumah itu sendiri. Ini mengakibatkan kewajiban yang harus dibayar melebih dari kewajiban seharusnya, ini sama dengan negara melakukan perampokan pada warga negaranya atas nama undang-undang.

Pajak itu tidak bisa di target hasilnya, karena pajak itu bukan produksi negara, akan tetapi kewajiban warga negara pada negara, yang didasarkan pada persentase atau ketetapan pada hasil produktivitas setiap warganya Jadi, seharusnya berapa pun hasil pajak yang diterima, itulah hasil pendapatan pajak negara. Jika hasil tersebut di target, maka ketika target tersebut tercapai, sisanya akan dimanipulasi karena telah melebihi target.

Penetapan nilai jual objek pajak yang baik adalah harus mencerminkan nilai keadilan dan tidak memberatkan berbagai pihak terutama adanya tidak diskriminatif bagi masyarakat terutama masyarakat tidak mampu. Penetapan nilai jual objek pajak harus disesuaikan dengan kondisi tanah serta bangunan yang dikuasai oleh wajib pajak. Aspek penting yang dinilai adalah manfaat yang diperoleh oleh wajib pajak atas kepemilikan tanah dan bangunan, semakin produktif maka semakin besarlah nilai jual objek pajak yang dikenakan atas objek pajak sebab atas dasar manfaat, wajib pajak memperoleh manfaat yang besar dari kepemilikan tanah dan bangunan sedangkan bagi wajib pajak yang kurang mendapat atau tidak memperoleh sama sekali manfaat atas kepemilikan tanah dan bangunan, nilai jual objek pajak harusnya ditetapkan lebih kecil atau tidak sama sekali dipungut pajak.

(25)

Melihat bertapa pentingnya Pajak Bumi dan Bangunan dalam membangun daerah yang sangat potensial, maka diperlukan strategis dalam pemungutannya lapangan, karena sering sekali para wajib pajak tidak taat membayar pajak. Hal tersebut di akibatkan para wajib pajak sering melihat hantu koruptor di lembaga tersebut dan penerapan NJOP yang tidak adil sehingga menguntungkan beberapa pihak saja.

(26)

BAB V

REKOMENDASI DAN SOLUSI

Berdasarkan pembahasan masalah mengenai keadilan penetapan nilai jual objek pajak bagi wajib pajak dan kesadaran wajib pajak dalam melaporkan perubahan tanah dan bangunan, maka penulis memberikan saran:

1. Penentuan nilai jual objek pajak harus mencerminkan azas keadilan bagi wajib pajak. Azas keadilan tersebut ialah dengan menetapkan nilai jual objek pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh oleh wajib pajak sehubungan dengan kepemilikan atas tanah dan bangunan. Semakin besar manfaat yang diperoleh maka semakin besar nilai objek pajak yang ditetapkan, penetapan nilai jual harus tetap menggunakan metode yang berlaku sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak No. PER-60/PJ/2010 tentang tata cara penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan, dan apabila semakin kecil atau tidak diperolehnya manfaat atas kepemilikan tanah dan bangunan maka semakin rendah nilai jual objek pajaknya sehingga pajak yang ditanggung lebih kecil atau pembebasan pajak terhadap wajib pajak yang kurang memperoleh manfaat dan termasuk golongan masyarakat tidak mampu.

2. Pemerintah melakukan survei dan sensus data kelapangan untuk menilai langsung tanah dan bangunan yang seharusnya wajib dilaporkan oleh wajib pajak.

3. Pajak ialah iuran wajib yang diatur dalam undang-undang dari masyarakat kepada pemerintah, oleh karena itu seharusnya wajib pajak wajib untuk melakukan pembayaran pajak untuk kelancaran pembangunan daerah.

4. Perbaikan tarif pajak terhadap nilai jual objek pajak yang memiliki nilai sangat besar.

5. Penyesuaian terhadap batas Nilai jual objek tidak kena pajak bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

6. Pemberian sanksi atas pelanggaran pajak yang diberikan diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelaksanaan.

7. Pemerintah harus lebih gencar lagi melakukan promosi dan ekstensifikasi terhadap urgensi pembayaran pajak bumi dan bangunan, walaupun sudah banyak promosi yang dilakukan oleh pemerintah melalui media dengan slogannya “hari gini belum bayar pajak, apa kata dunia”.

(27)

BAB VI KESIMPULAN

Kesimpulan dari hasil pembahasan di atas adalah:

1. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara yang diatur dalam undang-undang sehingga pemungutannya dapat dipaksakan.

2. Pajak bumi dan bangunan merupakan golongan pajak daerah yang digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran dan belanja daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.

3. Pajak bumi dan bangunan menganut azas pemungutan Official Assessment System di mana pihak pemerintah yang melakukan perhitungan terhadap pajak yang terutang oleh wajib pajak.

4. Dasar perhitungan pajak bumi dan bangunan adalah nilai jual objek pajak.

5. Nilai jual objek pajak ditentukan dengan tiga metode yaitu pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan pendapatan sedangkan penilaian nilai jual objek pajak menggunakan penilaian massal dan penilaian individual.

6. Pemungutan pajak harus menganut azas keadilan yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

7. Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data obyek pajak.

8. Hambatan dalam pemungutan pajak terdiri atas perlawanan pasif dan perlawanan aktif oleh wajib pajak, perlawanan aktif yaitu berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan memiliki hubungan erat dengan struktur ekonomi sedangkan hambatan aktif yaitu pelawanan secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. 9. Penetapan nilai jual objek pajak merupakan suatu masalah dalam pemungutan pajak sebab

berdampak terhadap kesadaran wajib pajak untuk melaporkan perubahan tanah dan bangunannya. Nilai jual objek pajak tetap dikenakan walaupun objek pajak tidak produktif dan tetap dikenakan terhadap masyarakat golongan berpenghasilan rendah sehingga tidak mencerminkan azas keadilan di mana tidak adanya perbedaan antara golongan wajib pajak yang mampu dan tidak mampu.

10. Pajak Bumi dan Bangunan untuk membangun daerah dalam suatu Negara harus didasarkan pada perekonomian yang riil dan berkesinambungan agar pembangunan yang di cita-citakan bangsa ini cepat tercapai, peran pajak bumi dan bangunan daerah sangat vital dan dapat mengembalikan uang tersebut ke daerah untuk pembangunan dan pemberdayaan daerah itu sendiri.

11. Pajak itu tidak bisa di target hasilnya, karena pajak itu bukan produksi negara, akan tetapi kewajiban warga negara pada negara, yang didasarkan pada persentase atau ketetapan pada hasil produktivitas setiap warganya Jadi, seharusnya berapa pun hasil pajak yang diterima, itulah hasil pendapatan pajak negara. Jika hasil tersebut di target, maka ketika target tersebut tercapai, sisanya akan dimanipulasi karena telah melebihi target.

(28)
(29)

DAFTAR PUSTAKA

http://afrizalwszaini.wordpress.com/2011/05/28/pajak-bumi-dan-bangunan-sebagai-penunjang-pembangunan-di-daerah diakses tanggal 10 Februari 2012

http://tax-center.pajak.go.id/tkb/PBB/29/PBB-176 diakses tanggal 10 Februari 2012

http://www.tarif.depkeu.go.id/Bidang/?bid=pajak&cat=pbb diakses tanggal 11 Februari 2012

http://pusatperpajakan.blogspot.com/2011/01/penentuan-njop.html diakses tanggal 10 Februari 2012

Muljono, Djoko. (2006). Akuntansi Pajak, CV ANDI OFFSET, Yogyakarta

Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. (2004). Standar Akuntansi Pemerintahan Pernyataan No.7. Jakarta; Ikatan Akuntan Indonesia

Hadyanto, Indra. (2007). “Penyelesaian Sengketa Pajak Bumi Dan Bangunan Di Kantor Pelayanan Pajak Bumi Dan Bangunan Semarang”. Tesis. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Referensi

Dokumen terkait

“Tentunya peran masyarakat tidak dapat dikesampingan dalam proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan karena masyarakat sebagai objek maupun subjek dari proses pemungutan Pajak

Contoh: Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai Rp 4.000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk Objek pajak wilayah tersebut adalah Rp 6.000.000,00.Karena

Sistem informasi ini digunakan untuk proses Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan mengenai pengolahan data objek pajak dan wajib pajak yang akan membayar pajak dan sudah

Contoh: Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dengan nilai Rp 4.000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk Objek pajak wilayah tersebut adalah Rp 6.000.000,00.Karena

Untuk menganalisis pengaruh keadilan retributif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) di Kelurahan Keyongan dengan

Variabel NJOP, yaitu nilai jual objek pajak, yang diperoleh dari data di Kantor Pelayanan. Pajak Bumi dan Bangunan Malang atas objek pajak tanah (bumi) di

Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) merupakan surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data obyek menurut ketentuan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan,

Browse » Home » Pajak Bumi dan Bangunan » Contoh Latihan Soal Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan Contoh Latihan Soal.. Perhitungan Pajak Bumi