• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Keperawatan Anak Kelompok 2. Pertusis (1) (2)

ANDRI RIZKI AL BASYA

Academic year: 2023

Membagikan "Makalah Keperawatan Anak Kelompok 2. Pertusis (1) (2)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

“KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN PERTUSIS DAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN”

Dosen Pengampu: Ns. Yenni Lukita, M.pd

Disusun Oleh kelompok 2:

Andra Al Basya S21130022

Lia Elmiza Sari Romadianti

S21130001

Neli Kalsum S21130009

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN

MUHAMMADIYAH PONTIANAK TAHUN AJARAN 2021/2022

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT kami ucapkan karena berkat rahmat dan hidayah- Nya kami dapat menyusun makalah dengan judul “Konsep Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Pertusis dan Penyakit Jantung Bawaan” untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.

Terimakasih penulis ucapkan kepada anggota kelompok yang telah berkontribusi secara finansial maupun non-finansial dalam pembuatan makalah ini. Serta tidak lupa terima kasih kami ucapkan kepada ibu Ns. Yenni Lukita, M.Pd selaku dosen mata kuliah Keperawatan anak karena berkat bimbingan beliaulah makalah ini dapat terselesaikan secara tepat waktu.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis serta pembaca dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Kami menyadari bahwasanya dalam penyusunan makalah ini tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan yang kami lakukan. Sehingga kami memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.

Pontianak, 16 Februari 2023

Kelompok 2

(3)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertusis adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang terutama menyerang anak-anak, atau pertusis adalah batuk yang parah, sehingga penyakit ini sering disebut Batuk Rejan, Tusin, Quinta, Batuk Keras, Batuk 100 hari karena batuknya yang Panjang dan khas. Penyakit ini telah dikenal sejak tahun 1578, meskipun bakteri penyebabnya baru ditemukan pada tahun 1908 oleh Bordet dan Gengou.

Pada awal sampai pertengahan tahun 1900-an, Pertusis adalah salah satu penyebab kematian anak di Amerika Serikat. Setelah ditemukan vaksinasi pada tahun 1940-an angka kesakitan dan ke- matian menurun drastis. Angka rata rata pada morbilitas pada tahun. 1922-1940 adalah 150 per 100.000 penduduk yang kemudian berkurang jauh menjadi 1,2 per 100.000 penduduk pada tahun 1980-1991. Dengan cakupan imunisasi yang tinggi di Amerika la- tin, jumlah kasus pertusis menurun dari 1200.000 pada tahun 1980 menjadi 400.000 kasus pada tahun 1990 Akan tetapi, mulai tahun 1980-an insidensi pertusis meningkat terutama pada remaja dan orang dewasa. Alasan yang logis masih belum terlalu jelas, mungkin karena kemajuan di bidang diagnosis dari laporan kasus pada remaja dan orang dewasa.

Penyakit endemis yang sering menyerang anak-anak (khususnya usia dini) tersebar di seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi geografis. KLB terjadi secara periodik. Terjadi penurunan yang nyata dari angka kesakitan pertusis selama empat dekade terakhir, terutama pada masyarakat dimana program imunisasi berjalan dengan baik serta tersedia pelayanan kesehatan yang cukup dan gizi yang baik. Sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1989 rata-rata kasus yang dilaporkan pertahun di Amerika Serikat adalah 2.800, namun jumlah kasus ini meningkat pada tahun 1995-1998 menjadi rata-rata 6.500. Dengan peningkatan cakupan imunisasi di Amerika Latin, kasus pertusis yang dilaporkan menurun dari 120.000 pada tahun 1980 menjadi 40.000 pada tahun 1990. Angka insidensi meningkat di negara-negara dimana cakupan imunisasi pertusis yang menurun (antara lain di Inggris, Jepang pada awal tahun 1980-an dan di Swedia).

Angka kematian di Amerika Serikat pada saat ini terus menurun. Hampir 80%

kematian pada bayi dan 70% nya terjadi pada bayi berusia kurang dari 6 bulan. Case Fatality Rate (CFR) saat ini kurang dari 1% pada bayi berusia kurang 6 bulan morbiditas sedikit lebih pada wanita dari pada pria. Pada populasi yang tidak di imunisasi, dan infeksi saluran pernapasan dan pencernaan, Pertusis merupakan

(4)

penyebab utama kematian pada bayi dan anak pneumonia merupakan penyebab utama kematian karena Pertusis.

Di Indonesia sejak tahun 1991 kasus Pertusis muncul sebagai kasus yang sering dilporkan antara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD31) pada. Balita pada tahun 1996 tercatat 7.796 kasus Pertusis, dan itu merupakan kasus terbesar sejak tahun 1976 sekitar 40 %. Kasus pertusis menyerang balita. Akhir akhir ini dilaporkan bahwa kasus pertusis pada orang dewasa dan KLB pada anak dan remaja semakin meningkat.

Estimasi WHO menyebutkan bahwa sekitar 600.000 kematian terjadi karena pertusis provinsi Jawa Barat melaporkan 4970 kasus pada tahun 1990 dengan kematian 0,2 %.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada anak dengan pertusis?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep dari penyakit pertusis

2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada anak dengan pertusis

(5)

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Pertusis

1. Definisi Pertusis

Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping cough, batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2000)

Definisi Pertusis lainnya adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi. (Rampengan, 1993).

Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis. Serangan batuk terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara di dalam paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara shingga bernapas dengan cepat, suara pernapasan berbunyi separti pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-muntah dan penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk.

2. Etiologi Pertusis

Pertusis di sebabkan oleh bakteri Bordetella Potussis (Haemopilus Pertusis).

Pertusis termasuk kelompok Kokolisus Gram Negative, tidak bergerak, dan tidak berspora, Bakteri ini memerlukan media untuk tumbuh seperti media darah-gliserin kentang (Bordet Gengou) yang di tambah penisilin untuk menghambat pertumbuhan organisme lainnya. Bakteri ini berukuran panjang 0,5 - 1 μm diameter 0,2-0,3 µm 3. Patofisiologi

Bordotella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silis epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordotella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordotella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordotella pertusis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran nafas. Proses ini tidak invasive oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordotella pertusis maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.

4. Manifestasi Klinis

(6)

Pertusis adalah penyakit yang dimediasi toksin di mana toksin menempel dan melumpuhkan rambut getar (silia) saluran udara. Ini mengganggu aliran sekresi.

Selain itu, terjadi batuk terus-menerus yang berpuncak pada pernafasan (penghirupan yang lama dan keras) yang berlangsung selama 1-10 minggu. Perjalanan penyakit ini dibagi menjadi tiga tahap berikut:

a. Tahap katalik (1-2 minggu), batuk mulanya pada malam hari pilek, anoreksia.

b. Tahap Spamodik (24 minggu), batuk makin kuat dan terus menerus, gelisah muka merah, di akhiri dengan bunyi Whoop (karena glottis menyempit, anak dapat berak-berak, kencing- kencing, bahkan mata sampai merah, atau mimisan. Aktivitas seperti tertawa atau menangis bisa memicu batuk).

c. Tahap penyembuhan/Conlalecens (1-2 minggu), di tandai dengan berhentinya bunyi Whoop, muntah, dan batuk biasanya masih menetap kemudian

menghilang dalam waktu 2 - 3 minggu.

5. Diagnosa Penunjang :

 Pemeriksaan lendir hidung dan mulut.

 Pemeriksaan apus tenggorokan.

 Pemeriksaan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah seldarah putih yang di tandai sejumlah besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara 20.000 - 50.000 sel / m² darah).

 Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertusis.

 Tes ELISA (Enzyme - Linked Serum Assay) untuk mengukur kadar secret ig A.

 Foto rontgen dada memperlihatkan adanya infiltrate perihilus, atelaktasis atau emphysema

6. Pengobatan

Pengobatan untuk penghentian adalah:

a. Antibiotik; Eritrimisin atau Penislin.

b. Suportif pengencer dahak, oksigen, bila perlu.

c. Simtomatik lainnya.

7. Pencegahan

a. Upaya pencegahan :

 Penyebarluasan informasi melalui Penyuluhan kepada masyarakat, khususnya kepada orang tua bayi, tentang bahaya pertusis dan manfaat memberikan imunisasi mulai usia 2 bulan dan mengikuti jadwal pemberian imunisasi yang di anjurkan.

 Imunisasi dasar untuk mencegah infeksi B. pertussis yang di rekomendasikan adalah 3 dosis vaksin yang mengandung suspensi bakteri yang telah di matikan, biasanya di kombinasi dengan diphtheria dan tetanus toxoid yang di- serap dalam garam aluminium (Vaksin absorbsi Diphtheria, Tetanus Toxoid, Pertusis, USP, dan DPT).

(7)

 Pada kejadian luar biasa, di pertimbangkan untuk memberikan perlindungan kepada petugas kesehatan yang terpajan dengan kasus pertusis yaitu dengan memberikan erythromycin selama 14 hari.

b. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :

 Laporan kepada instansi kesehatan setempat : Laporan dini memungkinkan dilakukan penanggulangan KLB yang lebih baik.

 Isolasi : Untuk kasus yang di ketahui dengan pasti di lakukan isolasi saluran pernafasan. Untuk tersangka kasus segera di pindahkan dari lingkungan anak-anak kecil dan bayi, khususnya dari bayi yang belum di imunisasi, sampai dengan penderita tersebut diberi paling sedikit 5 hari dari 14 hari dosis antibiotika yang harus diberikan. Kasus

tersangka yang tidak mendapatkan antibiotika harus di isolasi paling sedikit selama 3 minggu.

 Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap discharge dari hidung dan tenggorokan, serta barang-barang yang dipakai penderita.

 Karantina: Lakukan karantina terhadap kontak yang tidak pernah di imunisasi atau yang tidak di imunisasi lengkap. Mereka tidak di ijinkan masuk sekolah, atau 395 berkunjung ke tempat penitipan anak atau tidak di ijinkan berkunjung ke tempat dimana banyak orang

berkumpul. Larangan tersebut berlaku sampai dengan 21 hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak sudah menerima antibiotika minimal 5 hari dari 14 hari yang diharuskan.

 Perlindungan terhadap kontak: Imunisasi pasif tidak efektif dan pemberian imunisasi aktif kepada kontak untuk melindungi terhadap infeksi setelah terpajan dengan penderita juga tidak efektif.

8. Komplikasi pertusis

a. Sistem pernafasan: Dapat terjadi otitis media, bronkhitis, bronchopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema, bronkietaksis, dan tuberculosis yang sudah ada menjadi bertambah berat.

b. Sistem pencernaan: Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasis (anak menjadi kurus sekali), prolapsus rectum atau hemia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, juga stomatitis.

c. Susunan saraf: Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah, kadang-kadang terdapat kongesti dan edema pada otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak.

d. Lain-lain: Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.

(8)

Konsep Asuhan Keperawatan Pertusis 1. Pengkajian :

 DO: Lesu, pucat, lingkar mata ke hitam-hitaman. Gangguan istirahat tidur, malaise.

 Tekanan darah normal / sedikit menurun, takikardi, peningkatan suhu.

 BAB dan BAK normal.

 BB menurun, turgor kulit kurang, membrane mukosa kering.

 Sakit kepala, pusing.

 Gelisah.

 Batuk pada malam hari dan memberat pada siang hari.

 Mata tampak menonjol, wajah memerah / sianosis, lidah terjulur dan pelebaran vena leher saat serangan batuk.

 Batuk Pilek.

 Bunyi nyaring (whoop) saat inspirasi.

 Penumpukan lender pada trachea dan nasopharing.

 Penggunaan otot aksesorus pernafasan.

 Sputum atau lendir kental.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d banyaknya mucus b. Pola nafas tidak efektif b/d dispnea

c. Resiko defisit nutrisi d/d adanya mual dan muntah d. Hipertermi b/d proses infeksi saluran nafas

(9)

3. Intervensi Keperawatan Bersihan jalan nafas

tidak efektif b/d banyaknya mucus

Observasi

 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

 Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgiling, mengi, wheezing, ronkhi kering)

 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Terapeutik

 Pertahanan kepatenan jalan napas dengan head-tift dan chin- lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)

 Posisikan Semi-Fowler atau Fowler

 Berikan minuman hangat

 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

 Keluarkan sumbatan benda padat dengan proses McGill

 Berikan Oksigen, Jika perlu Edukasi

 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, Jika tidak komtraindikasi

 Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, Jika perlu

Pola nafas tidak efektif b/d dispnea

Observasi

 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

 Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgiling, mengi, wheezing, ronkhi kering)

 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Terapeutik

 Pertahanan kepatenan jalan napas dengan head-tift dan chin- lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)

 Posisikan Semi-Fowler atau Fowler

 Berikan minuman hangat

 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik

 Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal

 Keluarkan sumbatan benda padat dengan proses McGill

 Berikan Oksigen, Jika perlu Edukasi

 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, Jika tidak komtraindikasi

 Ajarkan teknik batuk efektif Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,

(10)

mukolitik, Jika perlu Resiko defisit

nutrisi d/d adanya mual dan muntah

Observasi

 Identifikasi status nutrisi

 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

 Identifikasi makanan yang disukai

 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien

 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik

 Monitor asupan makanan

 Monitor berat badan

 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium Terapeutik

 Lakukan oral hygienis sebelum makan, jika perlu

 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan)

 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai

 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi

 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein

 Berikan suplemen makanan, jika perlu

 Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi Edukasi

 Anjurkan posisi duduk, jika mampu

 Ajarkan diet yang diprogramkan Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. pereda nyeri, antlemetik), jika perlu

 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

Hipertermi b/d proses infeksi saluran nafas

Observasi

 Identifikasi penyebab hipotermia (mis. dehidrasi, terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)

 Monitor suhu tubuh

 Monitor kadar elektrolit

 Monitor haluaran urine

 Monitor komplikasi akibat hipertermia Terapeutik

 Sediakan lingkungan yang dingin

 Longgarkan atau lepaskan pakaian

 Basahi dan kipas permukaan tubuh

 Berikan cairan oral

(11)

mengalami hiperhidrosis (keringat berlebih)

 Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)

 Hindari pemberian antipiretik atau aspirin

 Berikan oksigen, jika perlu Edukasi

 Anjurkan tirah baring Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, Jika perlu

4. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan tindakan atau implementasi adalah pemberian tindakankeperawatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan rencana tindakan yangtelah disusun setiap tindakan keperawatan yang dilakukan dan dicatat dalamp encatatan keperawatan agar tindakan keperawatan terhadap klien berlanjut.Prinsip dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu cara pendekatankepada klien efektif, teknik komunikasi terapi serta penjelasan untuk setiaptindakan yang diberikan kepada klien.

Dalam melakukan tindakan keperawatan menggunakan tiga tahap yaituindependen, dependen, interdependen. Tindakan keperawatan secaraindependen adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjukdan perintah dokter atau tenaga kesehatan lainnya, dependen adalah tindakanyang sehubungan dengan tindakan pelaksanaan rencana tindakan medis daninterdependen adalah tindakan keperwatan yang menjelaskan suatu kegiatanyang memerlukan suatu kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnyatenaga sosial, ahli gizi dan dokter, keterampilan yang harus perawat punya dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu kongnitif dan sifat psikomotor.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai kemungkinan terjadi pada tahapevaluasi adalah masalah dapat diatasi, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi atau timbul masalah yang baru. Evaluasi dilakukan yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil Evaluasi proses adalah yang dilaksanakan untuk membantu keefektifan terhadap tindakan. Sedangkan, evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir tindakan keperawatan secara keseluruhan sesuai dengan waktu yangada pada tujuan.

(12)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pertusis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit yang paling menyerang anak anak. Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi sehingga diperlukan vaksinisasi atau imunisasi dini kepada bayi atau anak-anak untuk mencegah penularan pertusis. Asuhan keperawatan pada penderita pertusis secara garis besar adalah menjaga kebersihan jalan napas agar terbebas dari bakteri pertusis.

B. Saran

Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi referensi bagi para mahasiswa keperawatan maupun pembacanya dalam

(13)

DAFTAR PUSTAKA

J. Kunoli, Firdaus. 2021. Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis, Edisi e-Book. Jakarta: CV.

Trans Info Media

J. Kunoli, Firdaus. 2021. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular: Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, Edisi e-Book. Jakarta: CV. Trans Info Media

Manjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan mencobakan teknik kultur in vitro pada tumbuhan Tabat Barito, mengetahui komposisi zat pengatur tumbuh (ZPT) yang sesuai untuk mempercepat

Zat pengatur tumbuh (hormon) pada tanaman ialah senyawa organik yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan mengubah proses fisiologis tumbuhan. Pada

Perlakuan VW dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA 0.5 ppm dan BAP 3 ppm mempunyai warna daun hijau muda. Zat pengatur tumbuh terutama sitokinin dalam bentuk BAP yang

Pemberian zat pengatur tumbuh menyebabkan waktu ploriferasi tunas menjadi lebih lama terlihat dari Tabel 2, dimana pemberian zat pengatur tumbuh berupa sitokinin maupun

Nilai signifikansi Panjang tunas untuk zat pengatur tumbuh ZPT bawang merah dan Bonggol Pisang dan zat pengatur tumbuh ZPT Harmonik adalah 0,684 hal ini menunjukkan bahwa Pemberian Zat

ZAT PENGATUR TUMBUH • Alami: Fitohormon • Sintetik: Zat Pengatur Tumbuh buatan bisa sama dengan fitohormon; tetapi bukan hasil biosintesis dalam tanaman • Secara umum; senyawa

KESIMPULAN Terdapat pengaruh konsentrasi zat pengatur tumbuh TDZ yang menurunkan peubah pertumbuhan planlet stevia dan tidak terdapat pengaruh konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA pada

Media tumbuh yang digunakan pada percobaan ini adalah media dasar MS Murashige and Skoog, sukrosa, prolin, agar bahan pemadat, aquades, arang aktif, zat pengatur tumbuh yang berasal