• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah lp dan askep sle

N/A
N/A
Ade Ferdian Syahputra

Academic year: 2025

Membagikan "makalah lp dan askep sle"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah LP dan Askep SLE

Askep (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra Keluarga)

Scan to open on Studocu

Makalah LP dan Askep SLE

Askep (Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra Keluarga)

Scan to open on Studocu

(2)

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KEGANASAN REAKSI ALERGI

SLE ( SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS ) Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok

Pada Mata Kuliah Sistem Integumen

Dosen Pengampu : Leni Indrawati, S.Kep,Ners. M.Kes

Disusun oleh :

1. Ratnasari Sumrotul S ( A1R15074 ) 2. Reni Citra Meilana ( A1R15075 )

3. Retno Wulandari ( A1R15076 )

4. Ridha Nur Yahni ( A1R15077 )

5. Risky Karuniawan ( A1R15078 )

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUTAMA ABDI HUSADA TULUNGAGUNG

PROGRAM STUDI D III - KEPERAWATAN

(3)

2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan “Keganasan Reaksi Alergi SLE” sesuai dengan waktu yang ditentukan.

LP dan Askep ini disusun sebagai salah satu tugas untuk memperoleh nilai Keperawatan di Program Studi D III - Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tulungagung.

Dalam penyusunan LP dan Askep ini, penulis mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak H. Sukanto, S.Pd, S.Kep,Ners ,M.Kes. selaku Ketua STIKes Hutama Abdi Husada Tulungagung

2. Leni Indrawati, S.Kep,Ners. M.Kes. selaku dosen pengajar mata kuliah Sistem Integumen dan dosen pembimbing

3. Seluruh anggota kelompok yang telah membantu kelancaran penyusunan makalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan LP dan Askep ini, dengan sebaik – baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu demi kesempurnaan, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak untuk menyempurnakannya.

Tulungagung, Oktober 2017

Penulis

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...

KATA PENGANTAR ……….…………...

DAFTAR ISI ………...

i ii iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ………

1.2. Rumusan

Masalah………..

1.3. Tujuan………

1.4. Manfaat……….

1 1 1 2 BAB II LAPORAN PENDAHULUAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Organ………

2.2. Definisi………

2.3. Klasifikasi………

2.4. Etiologi………

2.5. Patofisiologis………

2.6. Manifestasi Klinis………

2.7. Komplikasi……….

2.8. Pemeriksaan Penunjang………

2.9. Penatalaksanaan Medis………

3 3 3 4 5 7 9 10 10

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian………

3.2. Diagnosa Keperawatan……….

12 13 BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan………..

4.2. Saran ………

16 16 DAFTAR

PUSTAKA………..

17

(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lupus Eritematosus sistemik atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang multi sistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan ekuaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam auto antibodi dalam tubuh.

(http://www.medicastore.com : 2004)

SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda dengan penyakit autoimun organ spesifik (misalnya diabetes mellitus tipe 1, miastenia gravis, penyakit graver, dsb) dimana suatu respon autoimun tunggal mempunyai sasaran terhadap suatu jaringan tertentu dan menimbulkan gejala klinis yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi klinis. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan dalam melawan infeksi. Pada penyakit lupus dan penyakit auto imun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri.

Lupus bisa berdampak pada semua organ tubuh dari kulit, paru-paru, jantung, ginjal, saraf, otak maupun sendi dan menimbulkan kematian. Lupus bisa mengenal siapa saja dari berbagai usia dan kalangan. Bahkan lupus sama bahayanya dengan kanker, jantung maupun AIDS. Penyakit lupus memang belum sepopuler penyakit jantung, kanker, dan lainnya. Padahal penderita lupus di Indonesia ini cukup banyak dan semakin meningkat. Hingga kini, lupus memang belum diketahui secara pasti penyebabnya. Selain itu, lupus sering disebut sebagai penyakit 1000 wajah karena penyakit ini menyerupai penyakit lain. Sayangnya, bagi masyarakat penyakit lupus ini masih sangat awam.

1.2. Rumusan Masalah

a. Anatomi dan fisiologi sistem yang berkaitan dengan SLE ? b. Apakah yang dimaksud dengan SLE ?

c. Bagaimanakah tanda dan gejala SLE ? d. Bagaimana patofisiologi SLE ?

(6)

1.3. Tujuan

a. Agar kita mengetahui apa itu SLE

b. Agar kita mengetahui tanda dan gejala SLE c. Agar kita mengethaui patofisiologi dari SLE

d. Agar kita mengetahui rumusan asuhan keperawatan dari SLE

1.4. Manfaat Penulisan

 Manfaat Teoritis :

1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam mengetahui tentang penyakit lupus

2. Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.

 Manfaat Praktis :

Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang perawat maupun mahasiswa calon perawat dalam mengkaji laporan pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam menyusun asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus

(7)

BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

2.1. Anatomi dan Fisiologi Organ

Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk melakukan proses penyembuhan. Organ – Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid). Berdasarkan fungsinya :

a. Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.

b. Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa, the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated Lymphoid Tissue), tonsil.

2.2. Defenisi

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

(8)

2.3. Klasisifikasi SLE

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.

1. Discoid Lupus

Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

2. Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

3. Lupus yang diinduksi oleh obat

Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000)

2.4. Etiologi

Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi

(9)

risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE). Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% - 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24- 69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) . Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000)

2.5. Patofis (Patofisiologis)

Sistem regulasi kekebalan terganggu

Fungsi sel T supresor menjadi abnormal

Produksi antibody meningkat

Penumpukan kompleks imun

Kerusakan jaringan

(10)

Sendi SSP Jantung Ginjal

Degradasi Lingkungan Depresi Mengendap pada Antibodi membentuk Psikosis arteri Komplek dengan DNA

Terbentuk endapan Kejang Inflamasi Degradasi Jaringan Pada sendi neuropati artiole terminalis

Sensori motor

Artalgia Perikarditis Mengendap

Artitis membrane basal

Glomelurus

Pembekakan sendi Filtrasi terganggu

Nyeri tekan Proteinuira

Nyeri ketika bergerak kaku pagi hari Hematuria

Penyakit SLE terjadi akibat terganggu nya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen. Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik

(11)

yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue- spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama- sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks imun pada limpa.

Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.

Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/

gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

2.6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).

Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi.

(12)

Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram terjadi pada 10% - 20% pasien SLE.

Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002). Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002). Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi pleuritis dan efusi pleura.

Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs- nya positif dapat mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi.

Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).

Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi antifosfolipid.

Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin (aCL) dideteksi dengan pemeriksaan

(13)

ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka dapat terjadi perdarahan.

Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX);

adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005). Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002). Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika - Amerika dapat terjadi peningkatan serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).

Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American College of Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas kriteria tersebut antara lain:

a. Ruam malar b. Ruam discoid

c. Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)

d. Ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring e. Artritis

f. Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau perikarditis (radang perikardium)

g. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten >0.5 gr/hari h. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang

i. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia

(14)

j. Kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti DNA positif k. Adanya antibodi antinuclear

Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara lain penurunan berat badan, demam, dan kelainan tulang seperti pada arthritis.

2.7. Komplikasi a. Vaskulitis

Kondisi peradangan pembuluh darah yang ditandai dengan kematian jaringan, jaringan parut, dan proliferasi dari dinding pembuluh darah, yang dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.

b. Perikarditis

Suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada perikardium (kantung berlapis ganda yang mengelilingi jantung).

c. Myocarditis

Peradangan pada otot jantung atau miokardium.

d. Anemia Hemolitik

Kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali.

e. Intra Vaskuler Trombosis f. Hypertensi

g. Kerusakan Ginjal Permanen h. Gangguan Pertumbuhan

2.8. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik

Untuk mengeahui pasien SLE dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dan diagnostik berikut:

a. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)

Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto antibodi terhadap inti sel sering muncul di dalam darah.

b. Pemeriksaan anti ds DNA (Anti double stranded DNA)

Untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di dalamsel.

c. Pemeriksaan anti-Sm antibody

(15)

Untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukan dalam sel proin inti)

d. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan ) di dalam darah.

e. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan)

f. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)

g. Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain. Pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaa ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit lupus dibandingkan dengan LE cell prep.

h. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit i. Urine Rutin

j. Antibodi Antiphospholipid k. Biopsy Kulit

l. Biopsy Ginjal

2.9. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan 2.9.1. Medis

Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus (abses kulit ). Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE Kortikosteroid, jika membaik dilakukan tapering off. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai dua minggu sebelum TP). Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral). Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu

2.9.2. Keperawatan

Diet Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.

(16)

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler

a. Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

b. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

5. Sistem integumen

a. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.

b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renan

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

(17)

3.2. Diagnosa Keperawatan

1. Uraian Masalah Keperawatan a. Nyeri

b. Kerusakan intergritas kulit c. Isolasi sosial

d. Kerusakan mobilitas fisik e. Keletihan/kelelahan f. Perubahan Nutrisi g. Kurang Pengetahuan

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.

c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

3. Intervensi (Rencana Tindakan)

1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.

 Tujuan :

a. Gangguan nyeri dapat teratasi

b. Perbaikan dalam tingkat kenyamanan

 Kriteria Hasil : Skala Nyeri : 1-10

 Rencana Tindakan :

a. Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala nyeri 1-10).

R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.

b. Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka.

(18)

R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.

c. Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.

R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil.

d. Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi.

R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.

e. Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.

R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.

f. Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.

R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.

g. Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.

R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.

h. Berikan analgesic sesuai indikasi.

R : membantu mengurangi nyeri.

2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.

 Tujuan :

Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit

 Kriteria Hasil :

Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.

 Rencana Tindakan :

a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi.

Gambarkan lesi dan amati perubahan.

R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.

(19)

b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.

R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.

c. Gunting kuku secara teratur.

R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.

d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.

R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

e. Gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi

R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3. Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.

 Tujuan :

Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan keluarga klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).

 Kriteria Hasil :

Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari informasi yang diberikan

 Rencana Tindakan dan Rasional

a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.

R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.

b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.

R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.

c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.

(20)

R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.

d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.

e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, misalnya rumah sakit sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.

R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut;

mendukung pemulihan dan kemandirian.

(21)

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Klasifikasi SLE ada 3 yaitu Discoid Lupus, Systemic Lupus Erythematosus, Lupus yang diinduksi oleh obat. SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Tidak ada satu tes laboratorium tunggal yang dapat memastikan diagnostik SLE. Pengobatan yang digunakan pada SLE adalahNonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), Corticosteroids dan lain-lain yang dapat mendukung pengobatan penyakit SLE.

4.2. Saran

Sebagai seorang calon perawat kita diaharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan terhadap penderita SLE sesuai dengan standar prosedur.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Nursing Interventions Classification (NIC) : Fifth Edition. Missouri : Mosby Elsevier.

Nursing Outcomes Classification (NOC) : Fourth Edition.Missouri : Mosby Elsevier.

Reeves, Charlere J. 2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:Salemba Medika Smeltzer.

Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8.

Volume 3. Jakarta : EGC.

Wiley, John dan Sons Ltd. 2009. NANDA International : 2009-2011. United Kingdom : Markono Print Media.

http://id.scribd.com/doc/89493724/Patofisiologi-Lupus diakses pada tanggal 27 desember 2014 14.30

http://www.medicastore.com : 2004 pada tanggal 26 desember 2014 18.27

Referensi

Dokumen terkait

Antiphospholipid antibodies in paediatric systemic lupus erythematosus, juvenile chronic arthritis and overlap syndromes: SLE patients with both lupus anticoagulant and

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau yang lebih dikenal dengan istilah lupus adalah penyakit autoimun, sejenis alergi terhadap diri sendiri. Zat anti yang dibentuk

0 Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan antibodi yang sebenarnya untuk  menghasilkan

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit inflamasi kronis multisistem, dengan karakteristik autoimun dan etiologi yang tidak diketahui, terkait dengan

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem kronik dengan spektrum manifestasi yang luas mulai dari keterlibatan kutaneus minor sampai dengan

The present study is done to find out the causes of mortality in the systemic lupus erythematosus SLE patients in lupus unit of Rheumatology Research Center and other wards of Shariati

Unusual Presentation of Cerebral Lupus: A Case Report of Parkinsonism in Cerebral Lupus ABSTRACT Systemic lupus erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease with multisystem

Risk factors for symptomatic Avascular Necrosis AVN in a multi-ethnic Systemic Lupus Erythematosus SLE cohort ABSTRACT Avascular necrosis of bone AVN is increasingly being