MAKALAH
TEORI INTERAKSI SOSIAL
Oleh :
Eclesia R Butar-Butar NIM 20.701.001
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puja hanya bagi Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan karunianya saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori Interaksi Sosial” dengan lancar. Penyusunan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok.
Dalam proses penyusunannya tak lepas dari bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya dalam menyelesaikan makalah ini.
Meski demikian, saya menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan di dalam laporan makalah ini, baik dari segi segi baca, tata bahasa maupun isi. Jadi saya terbuka menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca.
Demikian apa yang dapat saya sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk masyarakat umum, dan untuk saya sendiri khususnya.
Makassar, 13 Juni 2022
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...ii
BAB I...1
PENDAHULUAN...1
A. Latar belakang...1
B. Rumusan masalah...2
C. Tujuan...2
BAB II...3
PEMBAHASAN...3
A. Teori Identitas Sosial...3
B. Teori Kategorisasi Diri...6
C. Fasilitas Sosial...7
D. Teori Kemalasan Sosial...10
E. Deindividuasi...13
F. Polarisasi Kelompok...16
G. Dilema Sosial...18
BAB III...19
PENUTUP...19
A. Kesimpulan...19
DAFTAR PUSTAKA...20
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Bentuk umum dari sebuah proses sosial adalah interaksi sosial, dan arena bentuk-bentuk lain dari proses sosial hanyalah sebuah bentuk-bentuk khusus dari sebuah interaksi. Dengan begitu yang dapat disebut proses sosial, hanyalah interaksi sosial itu sendiri. Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa adanya interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan secara Bersama-sama. Syarat utama dari adanya atau hadirnya aktivitas-aktivitas sosial adalah adanya interaksi sosial (Wulandari).
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Interaksi sosial sendiri merupakan hubungan yang dinamis, dimana hubungan tersebut berkaitan dengan hubungan antar perseorangan, antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya, maupun hubungan antara perseorangan dengan kelompok. Tidak jarang disebutkan bahwa seseorang akan menjadi sulit untuk bertahan hidup, apabila ia tidak menjalin interaksi dengan seorang individu lainnya. Teori-teori yang menjelaskan motif dan pola-pola interaksi sosial juga sudah banyak dikembangkan di antaranya Teori
Identitas, Teori Kategorisasi Diri, Fasilitas sosial, Pemalasan Sosial, Deindividuasi, Polarisasi Kelompok, Dilema Sosial.
B. Rumusan masalah
Bahasan dalam makalah ini dibatasi dengan rumusan masalah yaitu : Apa pengertian dari Teori Identitas, Teori Kategorisasi Diri, Fasilitas sosial, Pemalasan Sosial, Deindividuasi, Polarisasi Kelompok, Dilema Sosial?
C. Tujuan
Adapun tujuan pada makalah ini : Untuk mengetahui dan memahami Teori Identitas, Teori Kategorisasi Diri, Fasilitas sosial, Pemalasan Sosial, Deindividuasi, Polarisasi Kelompok, Dilema Sosial.
BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Identitas Sosial
Secara epistimologi, kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau dua benda; (3) kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda; (4) Pada tataran teknis, pengertian epistimologi di atas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata
“identik”, misalnya menyatakan bahwa “sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain.
Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang lain.6 Ketika kita membicarakan identitas di situ juga kita membicarakan kelompok. Kelompok sosial adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain dan terlibat dalam satu kegiatan bersama atau sejumlah orang yang mengadakan hubungan tatap muka secara berkala karena mempunyai tujuan dan sikap bersama; hubungan- hubungan yang diatur oleh norma-norma; tindakan-tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kedudukan (status) dan peranan (role) masing-masing dan antara orang-orang itu terdapat rasa ketergantungan satu sama lain.
Komponen Pembentuk Identitas SosialPada dasarnya setiap individu selalu berlomba memiliki identitas yang positif di mata kelompok lain untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain sehingga nantinya mendapatkan suatu persamaan sosial (sosial equality).
Menurut Laker dalam keadaan di mana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas/kelompok lain yang dipandang lebih baik.
Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar terbentuknya identitas sosial, yaitu social identification, social categorization, dan social comparison.
a. Identification
Ellemers menyatakan bahwa identifikasi sosial, mengacu pada sejauh mana seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh orang lain) sebagai anggota kategori sosial tertentu. Posisi seseorang dalam lingkungan, dapat didefinisikan sesuai dengan “categorization” yang ditawarkan. Sebagai hasilnya, kelompok sosial memberikan sebuah identification pada anggota kelompok mereka, dalam sebuah lingkungan sosial. Ketika seseorang teridentifikasi kuat dengan kelompok sosial mereka, mereka mungkin merasa terdorong untuk bertindak sebagai anggota kelompok, misalnya, dengan
menampilkan perilaku antar kelompok yang diskriminatif. Aspek terpenting dalam proses identification ialah, seseorang mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok tertentu. Hogg & Abrams juga menyatakan bahwa dalam identifikasi, ada pengetahuan dan nilai yang melekat dalam anggota kelompok tertentu yang mewakili identitas sosial individu. Selain untuk meraih identitas sosial yang positif, dalam melakukan identifikasi, setiap orang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam suatu kelompok.
b.
CategorizationEllemers menyatakan bahwa categorization menunjukkan kecenderungan individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan membentuk kelompok-kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu.
Sebagai konsekuensi dari categorization, perbedaan persepsi antara unsur- unsur dalam kategori yang sama berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori (out group) lah yang lebih ditekankan. Dengan demikian, categorization berfungsi untuk menafsirkan lingkungan sosial secara sederhana. Sebagai hasil dari proses categorization, nilai-nilai tertentu atau stereotip yang terkait dengan kelompok, dapat pula berasal dari individu anggota kelompok itu juga. Kategorisasi dalam identitas sosial memungkinkan individu menilai persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok. Adanya social categorization menyebabkan adanya self categorization. Self categorization merupakan asosiasi kognitif diri dengan
kategori sosial yang merupakan keikutsertaan diri individu secara spontan sebagai seorang anggota kelompok.
c. Social Comparison.
Ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan kelompok lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Identitas sosial dibentuk melalui perbandingan sosial. Perbandingan sosial merupakan proses yang kita butuhkan untuk membentuk identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan kita. Melalui perbandingan sosial identitas sosial terbentuk melalui penekanan perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan outgroup, dalam perbandingan sosial, individu berusaha meraih identitas yang positif jika individu bergabung dalam ingroup. Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini merupakan pergerakan psikologis dari perilaku individu dalam kelompok. Proses perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan status kelompoknya.
B. Teori Kategorisasi Diri
Teori kategorisasi diri adalah seperangkat prasuposisi dan hipotesis terkait tentang berfungsinya konsep diri sosial (konsep diri berdasarkan perbandingan dengan orang lain, yang relevan dengan interaksi sosial).
Richard Jenkins mengambil intisari Turner 1987 tentang identitas sosial dengan mengatakan, kategorisasi sosial menghasilkan identitas sosial dan menghasilkan perbandingan sosial, yang dapat saja berakibat positif atau
negatif terhadap evaluasi diri. Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri seseorang yang didasarkan pada identifikasinya dengan sebuah bangsa kelompok etnis, gender atau afiliasi sosial lainnya, identitas sosial sangat penting karena mereka memberi kita perasaan bahwa kita memiliki tempat dan kedudukan dalam dunia. Tanpa identitas sosial, kebanyakkan dari kita akan merasa seperti kelereng yang mengelinding bebas dan tanpa saling terkait antara satu dengan yang lain dalam semesta.
disukai banyak orang sehingga populer diantara teman- temannya.
C. Fasilitas Sosial
Fasilitasi sosial mengacu pada temuan bahwa orang terkadang mengerjakan tugas dengan lebih efektif ketika mereka berada di sekitar orang lain. Fenomena ini telah dipelajari selama lebih dari satu abad, dan para peneliti telah menemukan bahwa hal itu terjadi dalam beberapa situasi tetapi tidak dalam situasi lain, tergantung pada jenis tugas dan konteksnya.
Poin Utama: Fasilitasi Sosial
- Fasilitasi sosial mengacu pada temuan bahwa orang terkadang melakukan tugas dengan lebih baik ketika ada orang lain.
- Konsep tersebut pertama kali diusulkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898; Psikolog Floyd Allport menamakannya fasilitasi sosial pada 1920.
- Ada atau tidaknya fasilitasi sosial tergantung pada jenis tugasnya:
orang cenderung mengalami fasilitasi sosial untuk tugas-tugas yang langsung atau tidak asing lagi. Namun, hambatan sosial (penurunan kinerja di hadapan orang lain) terjadi untuk tugas- tugas yang kurang dikenal orang.
Pada tahun 1920, Floyd Allport menjadi psikolog pertama yang menggunakan istilah fasilitasi sosial. Namun, penelitian tentang fasilitasi sosial membawa hasil yang bertentangan: kadang-kadang, fasilitasi sosial terjadi, tetapi, dalam kasus lain, orang melakukan tugas yang lebih buruk ketika orang lain hadir.
Pada tahun 1965, psikolog Robert Zajonc menyarankan cara potensial untuk menyelesaikan ketidaksesuaian dalam penelitian fasilitasi sosial. Zajonc meninjau penelitian sebelumnya dan melihat bahwa fasilitasi sosial cenderung terjadi untuk perilaku yang dipraktikkan dengan baik.
Namun, untuk tugas-tugas yang kurang berpengalaman, mereka cenderung melakukannya lebih baik saat sendirian.
Mengapa ini terjadi? Menurut Zajonc, kehadiran orang lain membuat orang lebih mungkin terlibat dalam apa yang oleh para psikolog disebut sebagai respons dominan (pada dasarnya, respons "default" kita: jenis tindakan yang paling alami bagi kita dalam situasi itu). Untuk tugas-tugas sederhana, respon dominan cenderung efektif sehingga fasilitasi sosial akan terjadi. Namun, untuk tugas yang kompleks atau asing, respons dominan
cenderung tidak mengarah pada jawaban yang benar, sehingga kehadiran orang lain akan menghambat kinerja kita dalam tugas tersebut. Intinya, ketika Anda melakukan sesuatu yang Anda kuasai, fasilitasi sosial akan terjadi dan kehadiran orang lain akan membuat Anda lebih baik. Namun, untuk tugas- tugas baru atau sulit, Anda cenderung tidak melakukannya dengan baik jika ada orang lain.
Contoh Fasilitasi Sosial
Untuk memberikan contoh bagaimana fasilitasi sosial dapat bekerja dalam kehidupan nyata, pikirkan bagaimana kehadiran penonton dapat mempengaruhi penampilan musisi. Seorang musisi berbakat yang telah memenangkan banyak penghargaan mungkin merasa bersemangat dengan kehadiran penonton, dan memiliki pertunjukan live yang bahkan lebih baik daripada berlatih di rumah. Namun, seseorang yang baru mempelajari alat musik baru mungkin akan merasa cemas atau terganggu oleh tekanan saat tampil di bawah penonton, dan membuat kesalahan yang tidak akan mereka lakukan saat berlatih sendiri. Dengan kata lain, ada tidaknya fasilitasi sosial tergantung pada keakraban seseorang dengan tugas: kehadiran orang lain cenderung meningkatkan kinerja pada tugas yang sudah dikenali dengan baik, tetapi cenderung menurunkan kinerja pada tugas yang tidak dikenal.
Mengevaluasi Bukti Fasilitasi Sosial
Dalam makalah yang diterbitkan pada tahun 1983, peneliti Charles Bond dan Linda Titus meneliti hasil studi fasilitasi sosial dan menemukan
beberapa dukungan untuk teori Zajonc. Mereka menemukan beberapa bukti fasilitasi sosial untuk tugas-tugas sederhana: pada tugas-tugas sederhana, orang menghasilkan lebih banyak pekerjaan jika ada orang lain (meskipun pekerjaan ini tidak selalu berkualitas lebih baik daripada apa yang orang hasilkan ketika mereka sendirian). Mereka juga menemukan bukti hambatan sosial untuk tugas-tugas kompleks: ketika tugas itu rumit, orang cenderung menghasilkan lebih banyak (dan melakukan pekerjaan yang lebih berkualitas) jika mereka sendirian.
D. Teori Kemalasan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan terhindar dari aktivitas yang berkaitan dengan kerja sama antara individu satu dengan yang lainnya. Namun sebagian orang ada yang merasa kurang menyukai adanya kerja sama atau kerja bersama tim. Prilaku tersebut dapat dikatakan sebagai kemalasan sosial yang nama lainnya social loafing. Universitaspsikologi.com akan menjelaskan apa itu kemalasan sosial dan apa saja aspek dan faktor yang dapat mempengaruhinya.
Menurut Karau & Wiliams (dalam Krisnasari dan Purnomo, 2017) kemalasan sosial diartikan sebagai pengurangan motivasi dan usaha ketika individu bekerja secara bersama-sama dibandingkan dengan ketika mereka bekerja secara sendiri.
J. Clark dan Baker (dalam Zahra, 2016) mengatakan pemalasan sosial (social loafing), yaitu tindakan individu untuk berperforma secara minimal di dalam kelompok dibanding dengan ketika bekerja sendiri.
Menurut Latané, Williams, & Harkins (dalam Zahra dkk, 2015) kemalasan sosial (social loafing) merupakan perilaku individu untuk mengurangi usaha ketika bekerja di dalam kelompok, yang mengakibatkan inefektivitas kelompok dalam mencapai tujuan.
Menurut Taylor, Pepalu & Sears (dalam Audi, 2014) perilaku pemalasan sosial yang dilakukan oleh individu dapat membuat anggota- anggota kelompok lainnya merasa dirugikan. Perasaan rugi ini dapat menjadi sumber konflik. Di dalam hubungan persahabatan, apabila terjadi konflik, pihak yang terlibat akan cenderung melakukan pengorbanan demi kebaikan hubungan persahabatannya.
Belajar Kelompok
Pratikno (dalam Setiawan, 2015) menjelaskan bahwa belajar kelompok adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan logis dan sistematis yang dilakukan oleh beberapa orang dengan memiliki kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya agar memperoleh perubahan tingkah laku dan belajar menjadi lebih efektif. Belajar dalam suatu kelompok akan memberikan dampak yang signifikan kepada siswa yang berada didalam
kelompok tersebut jika setiap anggota belajar secara sungguh- sungguh, berdiskusi, dan saling bekerjasama dalam menyelesaikan masalah.
Kemalasan Sosial Dalam Belajar Kelompok
Fishbein dan Ajzen (dalam Susanto dan Simanjuntak 2015) kemalasan social (social loafing) pada tugas kelompok adalah kemauan atau niat individu untuk mengurangi motivasi dan usahanya saat mengerjakan tugas secara bersama-sama dalam kelompok jika dibandingkan dengan saat ia bekerja secara individual.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemalasan Sosial dalam Belajar Kelompok
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemalasan social menurut Sarwono (dalam Harmaini dkk, 2016) yaitu:
a. Faktor Kepribadian
Orang yang mepunyai daya sosial (social efficacy) yang tinggi mengalami fasilitas sosial dengan kehadiran orang lain, sementara yang daya sosialnya rendah mengalami pemalasan.
b. Keterampilan
Bagi orang yang terlatih kehadiran orang lain meningkatkan prestasi, sedangkan bagi yang tidak terlatih kehadiran orang lain justru akan menurunkan prestasinya.
c. Persepsi terhadap kehadiran orang lain
Jika seseorang beranggapan bahwa orang-orang lain yang hadir akan meningkatkan semangatnya, akan terjadi fasilitasi sosial.
d. Harga diri
Bagi orang dengan harga diri rendah, kehadiran orang lain justru menurunkan prestasi. Akan tetapi, pada orang-orang ini kehadiran orang lain tidak berpengaruh jika mereka sedang melakukan tugas-tugas yang sulit karena hasilnya pasti rendah dan dapat dipahami mengapa rendah.
E. Deindividuasi
Deindividuasi adalah sebuah konsep dalam psikologi sosial yang menjelaskan hilangnya kesadaran diri karena seseorang menjadi satu dengan kelompok. Dari beberapa teori :
- Deindividuasi adalah keadaan dimana seseorang kehilangan kesadaran akan diri sendiri (self awareness) dan kehilangan pengertian evaluative terhadap dirinya (evaluation apprehension) dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas dan mengalihkan atau menjauhkan perhatian dari individu (Festinger, Pepilone, & Newcomb; 1952).
- Deindividuasi adalah bentuk pengekangan perilaku yang diinginkan individu, tetapi bertolak belakang dengan norma sosial. Teori ini juga menegaskan bahwa menyatunya individu
terhadap kelompok membuat individu kehilangan identitas diri yang berakibat seseorang berperilaku agresif atau menyimpang dari perilaku sosial. (Festinger, dalam Chang, 2008)
- Deindividuasi berfokus pada bagaimana anonimitas memberi pengaruh negatif pada perilaku sosial individu. Diener (1980) menyatakan kalo kondisi anonim menyebabkan seseorang dapat kehilangan kesadaran sosialnya sebagai individu. “Kehilangan kesadaran” ini adalah elemen kunci yang menyebabkan deindividuasi pada diri seseorang.
- Deindividuasi merupakan tahap psikologis yang ditandai oleh hilangnya self-awareness dan berkurangnya ketakutan individu karena berada dalam kelompok. (Hughes, 2013)
- Deindividuasi terjadi ketika seseorang melakukan tindakan anti sosial yang tidak diinginkan karena ketertarikan individu dalam kelompok (Singer, Brush, & Lublin, dalam Li, 2010).
- Deindividuasi adalah hilangnya kesadaran diri dan pengertian evaluatif diri sendiri yang terjadi di dalam situasi kelompok, di mana hal tersebut membantu perkembangan baik atau buruknya norma kelompok (Myers, 2008).
Faktor Penyebab Deindividuasi
Singer, Brush, dan Lublin (1965) menyatakan bahwa seseorang bisa mengalami deindividuasi jika:
- mempunyai banyak kesamaan dengan anggota kelompok yang lain
- merasa yakin bahwa tindakannya tidak akan diperhatikan sebagai tindakan perorangan, namun sebagai tindakan kelompok
- tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas aksi yang ia lakukan.
- Jika tiga syarat tadi telah terpenuhi, maka deindividuasi bisa terjadi.
Menurut Reicher (1995) ada 3 faktor utama yang membuat seseorang mengalami deindividuasi, yaitu:
- Group immersion, yang berarti meleburnya individu ke dalam kelompok. Individu tidak lagi melihat dirinya sebagai seorang individu tetapi sebagai bagian dari kelompok.
- Anonimity, yaitu saat di mana identitas pribadi seseorang tidak diketahui.
- Hilangnya self- awareness dan self regulation. Hilangnya kesadaran diri dan kontrol diri menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang mengalami deindividuasi.
Menurut Myers (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi deindividuasi, yaitu
- Individu berada dalam kelompok besar. Ketika individu berada pada kelompok besar, maka individu merasa bahwa tanggung jawab adalah urusan kelompok. Kesadaran individu berkurang dan berpotensi menimbulkan perilaku impulsif.
- Anonimitas fisik. Ketika individu berada pada kelompok besar, maka individu cenderung mempersepsikan dirinya sebagai yang anonim.
- Terstimulasi dan pengalihan aktivitas. Seringkali perilaku kelompok berawal dari hal-hal sepele. Contohnya bentrokan antar suporter yang biasanya dari saling ejek dan berujung ke tindakan anarkis.
F. Polarisasi Kelompok
Gejala mengumpulnya pendapat kelompok pada satu pandangan tertentu disebut sebagai polarisasi kelompok. Myers (2012:375) menyatakan bahwa group polarization adalah ketika kelompok menghasilkan keterikatan pada sejumlah kecenderungan anggota, sebuah penguatan pada kecenderungan rata-rata anggota, bukan sebuah pemisahan dalam kelompok.
Terjadinya polarisasi kelompok antara lain dimulai dengan adanya diskusi dalam kelompok yang memunculkan ide-ide yang sama, dimana hal ini semakin kuat jika prasangka sosial anat anggota kelompok rendah. Dalam
kehidupan sehari-hari adanya pemisahan din (self segregation) dimana para pria masuk dalam kelompok pria dan perempuan masuk ke dalam kelompok perempuan juga salah satu faktor yang dapat membentuk polarisasi kelompok.
Terdapat juga polarisasi kelompok dalam sekolah, dalam komunitas dan sebagainya (Myers, 2012: 378-382).
Penjelasan lain tentang hadirnya polarisasi kelompok adalah karena adanya pengaruh informasional dan pengaruh normatif. Pengaruh informasional adalah pengaruh yang merupakan hasil dari penerimaan bukti terhadap kenyataan. Misalnya dalam sebuah diskusi kelompok yang memunculkan sejumlah gabungan dari gagasan yang kebanyakannya menyukai sudut pandang yang dominan. Dalam proses diskusi kelompok muncul pendapat-pendapat yang hadir di dalam dan dan mereka sendiri (dalam Myers, 2012:382).
Sedangkan pengaruh normatif adalah pengaruh yang didasarkan pada hasrat seseorang untuk diterima atau dikagumi oleh orang lain. Leon Festinger (1954) menyatakan adanya pengaruh dari social comparison (perbandingan sosial) dimana kita ingin mengevaluasi pendapat dan kemampuan dari diri kita sendiri dengan pandangan dan kemampuan orang lain (dalam Myers, 2012:383). Perbandingan-perbandingan ini dapat menimbulkan kesan yang salah tentang apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh orang lain (pluraristic ignorance) sehingga menimbulkan reaksi yang salah pula. Penolakan pluraristik (pluraristic ignorance) adalah kesan yang salah pada kebanyakan orang lain pikirkan atau rasakan atau bagaimana mereka merespons.
Contohnya adalah ketika kita dan beberapa orang yang lain ingin mengadakan demonstrasi terhadap adanya ketidakadilan dari perusahaan, namun ternyata masing-masing tidak berani untuk menjadi pemimpin demostrasi karena ketakutan-ketakutan seperti resiko pemecatan, hukuman dan sebaginya.
Sehingga akhirnya tidak ada yang mengawali untuk bergerak, padahal pada awalnya ada kesamaan pendapat tentang "ketidakadilan".
G. Dilema Sosial
Dilema sosial adalah situasi dimana kepentingan diri bertentangan dengan kesejahteraan kelompok dalam waktu jangka panjang atau situasi dimana keinginan individu menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan oleh kelompok. Dalam istilah teknis dilema sosial adalah situasi dimana pilihan jangka pendek yang paling menguntungkan bagi individu pada akhirnya akan menimbulkan hasil negatif bagi semua pihak yang terkait.
Brewer dan Kramer (1986) dilema sosial eksis atau terjadi setiap kali hasil kumulatif dari pilihan individual yang masuk akal menjadi bencana kolektif. Dilema sosial membuat kepentingan diri jangka pendek individu bertentangan dengan kepentingan jangka panjang kelompok (yang mencakup individu).
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Interaksi sosial sendiri merupakan hubungan yang dinamis, dimana hubungan tersebut berkaitan dengan hubungan antar perseorangan, antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya, maupun hubungan antara perseorangan dengan kelompok. Teori-teori yang menjelaskan motif dan pola- pola interaksi sosial juga sudah banyak dikembangkan di antaranya Teori Identitas, Teori Kategorisasi Diri, Fasilitas sosial, Pemalasan Sosial, Deindividuasi, Polarisasi Kelompok, Dilema Sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Novriyanti . (2011, July 12). Berbagai Teori Motivasi. Universitas Jambi.
http://novriyanti.staff.unja.ac.id
Deddy Mulyana, 2005, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Baron, A. R. & Byrne, D. 2003. Psikologi Sosial. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Edisi kesepuluh.
Taylor, E. S., Peplau, A. L., & Sears, O. D. 2009. Psikologi Sosial. Prenada Media Group. Jakarta.
Mental Health. (2020). Pengertian Polarisasi Kelompok
Audi, Nanda, Lukita .(2014) . Persahabatan Dan Toleransi Pemalasan Sosial Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sumatera Utara. Psikologia: Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi Tahun 2014, Vol. 9, No. 2, hal. 52-56
Maulana, Robi. (2016). Definisi Deindividuasi.
https://www.psikologihore.com/variabel-deindividuasi/ Teori-teori Motivasi.