• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Anestesi pada Pasien Sinusitis Maksilaris dengan Komorbid Asma Brokial

N/A
N/A
Alviana Alviana

Academic year: 2024

Membagikan "Manajemen Anestesi pada Pasien Sinusitis Maksilaris dengan Komorbid Asma Brokial"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF LAPORAN KASUS FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NOVEMBER 2023 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN SINUSITIS MAXILLARIS DENGAN KOMORBID ASMA BROCHIAL

OLEH:

Alviana 105501110821

PEMBIMBING:

dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp. An.-TI, Subs MN(K)

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2023

(2)

2 LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Alviana

NIM : 105501110821

Judul Referat : Managejem Anestesi Pada Pasien Sinusitis Maxillaris Dengan Komorbid Asma Brochial

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, November 2023 Pembimbing,

(dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp. An.-TI, Subs MN(K))

(3)

3 KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan kesempatan-Nya sehingga laporan kasus dengan judul “Managejem Anestesi Pada Pasien Sinusitis Maxillaris Dengan Komorbid Asma Brochial

ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, sang pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp. An.-TI, Subs MN(K), yang telah memberikan arahan dan nasehat yang sangat berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya laporan kasus ini. Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan laporan kasus ini.

Demikian, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis secara khususnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, November 2023

Penulis

(4)

4 DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... 2

KATA PENGANTAR ... 3

DAFTAR ISI ... 4

BAB I PENDAHULUAN ... 5

BAB II LAPORAN KASUS ... 7

A. Preoperatif/ Preanestesi ... 7

B. Preinduksi ... 11

C. Intraoperatif ... 12

D. Post Operatif ... 14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Anatomi dan Histologi Bronkus ... 16

B. Fisiologi Pernapasan ... 19

C. Definisi Asma ... 21

D. Epidemiologi ... 21

E. Etiologi ... 22

F. Patofisiologi ... 23

G. Manifestasi Klinik ... 24

H. Penatalaksanaan ... 25

BAB IV DISKUSI ... 33

BAB V KESIMPULAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(5)

5 BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemui dalam praktik medis dan bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab paling umum terkait masalah kesehatan di dunia. Etiologi dari sinusitis kronis bersifat multifaktorial dan dapat meliputi faktor infeksi, inflamasi, atau struktural. Oleh karena itu, etiologi lain seperti rinitis alergi (tungau, debu, kapang), pajanan (iritan secara airborne, asap rokok, atau toksin lainnya), kelainan struktural (polip hidung, deviasi septum nasal), disfungsi silia, imunodefisiensi, dan infeksi fungi juga harus dipertimbangkan. Kondisi medis yang dikaitkan dengan sinusitis kronis seperti, asma.1

Asma adalah gangguan yang umum ditemukan pada 5-7% populasi. Pokok permasalahan dari gangguan ini adalah terjadinya peradangan pada jalan napas (bronkus) dan respons hiperaktif. Secara klinis, asma bermanifestasi sebagai serangan dispnea, batuk dan mengi yang terjadi secara episodik. Hal tersebut terjadi karena adanya obstruksi jalan napas akibat konstriksi otot polos bronkus, edema, dan peningkatan sekresi. Umumnya, obstruksi dicetuskan oleh alergen berupa serbuk tumbuhan, bulu binatang, debu, polutan dan berbagai zat kimia lainnya, termasuk obat-obatan.2

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan penanganan khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang saksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca pembedahan. Masalah paru merupakan penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan.

Komplikasi terjadinya atelektasis atau pneumonia pada pasien dengan fungsi paru normal pada preoperasi hanya 3%, sedangkan pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik yang memiliki perubahan fungsi paru berpeluang mengalami komplikasi sebesar 70%. Shnider dan Papper serta Gold dan Helrich melaporkan bahwa bronkospasme yang terjadi selama operasi ± 6% dari pasien asma.3

Untuk meminimalkan risiko efek samping pernafasan perioperatif pada pasien bedah asma, penilaian pra operasi yang memadai dan optimalisasi yang mencakup

(6)

6 riwayat penyakit, tes fungsi paru, dan pengobatan. Kedalaman anestesi yang memadai, penggunaan agen pelepas histamin yang lebih sedikit selama periode intraoperatif dan pemantauan ketat sistem respirator pasca operasi merupakan prasyarat untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas pada pasien bedah. Pada banyak pasien asma, pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dan bronkodilator diindikasikan untuk mencegah peradangan dan bronkokonstriksi yang berhubungan dengan intubasi endotrakeal.4

(7)

7 BAB II

LAPORAN KASUS A. Preoperatif/ Preanestesi

1. Identitas Pasien Nama : Nn. S Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 24 tahun Berat Badan : 45 Kg Tinggi Badan : 160 cm Status Gizi : Under Weight Alamat : Jl. Pelita Raya

Diagnosis : Sinusitis Maxillaris Dextra 2. Anamnesis

• Keluhan utama : Nyeri pada pipi kanan.

• Anamnesis terpimpin :

Pasien perempuan umur 24 tahun masuk ke RSUD Syekh Yusuf tanggal 7 November 2023 dengan keluhan nyeri pada pipi sebelah kanan yang dirasakan kurang lebih 1 bulan yang lalu, memberat 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan terus menerus. Nyeri memberat jika pipi tertekan. Nyeri dirasakan menjalar sampai ke kepala. Demam tidak ada, batuk tidak ada, mual dan muntah tidak ada, pusing tidak ada.

• Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat Asma (+)

- Riwayat Hipertensi (-) - Riwayat penyakit Jantung (-) - Riwayat Diabertes Mlitus (-)

- Riwayat Alergi Makan (+) alergi kacang-kacangan, udang

dan keju

- Riwayat Alergi Obat (+) Amoxicillin

(8)

8

• Riwayat Operasi : Tidak pernah 3. Pemeriksaan Fisis

GCS : Compos Mentis (E4M6V5)

Tanda-tanda vital

- Takanan darah : 115/84 mmHg

- Nadi : 98 x/menit

- Pernapasan : 18 x/menit

- Suhu : 36,7℃

- SpO2 : 100%

Proritas 6B - B1 (Breath)

Airway: bebas, gurgling / snoring / crowing (-/-/-), protrusi mandibular (-), dagu kecil (-), leher pendek (-), tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), frekuensi pernapasan : 18 x/menit, suara pernapasan : vesicular (+/+), suara tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-), gigi palsu (-), SpO2 100% (tanpa nasal kanul).

- B2 (Blood)

Akral hangat pada ekstremitas atas (+/+) dan ekstremitas bawah (+/+), tekanan darah: 115/84 mmHg, denyut nadi : 98x/menit, reguler, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.

- B3 (Brain)

Kesadaran: GCS 15 (E4M6V5) compos mentis refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), defisit neurologi (-), suhu 36,7°C.

- B4 (Bladder)

Buang air kecil: lancar, warna urin kekuningan, berpasir (-), bercampur darah (-), nyeri berkemih (-).

- B5 (Bowel)

Abdomen: Distensi (-), peristaltic (+) kesan normal, nyeri tekan (-) di seluruh region abdomen

(9)

9 - B6 (Back & Bone)

Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-), edema ekstremitas bawah (-/-).

ASA (American Society of Anesthesiologi)

Adapun Klasifikasi ASA ( American Society of Anesthesiology) untuk menilai kebugaran (Status) fisik Seseorang:

Klasifikasi ASA Definisi

ASA I Pasien normal dan sehat fisik dan mental

ASA II Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsional

ASA III Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi ASA IV Pasien dengan penyakit sistemik berat yang

mengancam hidup dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi

ASA V Pasien yang tidak mungkin bertahan hidup jika dilakukan operasi

ASA IV Pasien dengan kematian batang otak yang mana organnya diambil untuk didonorkan

“Bila operasi yang dilakukan darurat (Emergensi) maka penggolongan ASA diikuti huruf E (misalnya IE atau IIE)”.

Pada pasien didapatkan klasifikasi ASA II

(10)

10 4. Pemeriksaan Penunjang

• Laboratorium (4/11/2023)

Parameter Hasil Nilai Normal Satuan

WBC 9.13 4.11 – 11.30 103/µL

RBC 4.69 4.10 – 5.10 106/µL

HGB 12.6 12.3 – 15.3 gr/dL

HCT 39.8 35.9 – 44.6 %

PLT 244 172 – 450 103/µL

NEUT# 7.90 1.5 -7.0 103/ul

LYMPH# 0.47 1 – 3.7 103/ul

MONO# 0.16 0.00 – 0.70 103/ul

EOS# 0.60 0.00 – 0.40 103/ul

BASO# 0.00 0.00 – 0.10 103/ul

NEUT% 86.5 50.0 – 70.0 %

LYMPH% 5.2 29.0 – 79.0 %

MONO% 1.8 2.0 -11.0 %

EOS% 6.5 1.0 - 4.0 %

BASO% 0.0 0.0 – 2.0 %

HbsAg Non reaktif Non reaktif

Waktu Pembekuan 6.30 < 10 Menit

Waktu Perdarahan 3.00 1-6 Menit

5. Diagnosis

Sinusitis Maxillaris Dextra 6. Penatalaksanaan

• Rencana Operasi : FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery)

• KIE (+), Surat Tindakan Operasi, Surat Persetujuan Tindakan Anestesi

• IVFD RL 20 tpm

(11)

11

• Puasa 8 jam 7. Kesimpulan

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka:

• Diagnosis Pre-Operatif : Sinusitis Maxillaris Dextra

• Status Operatif : ASA II

• Jenis Operasi :FESS (Functional Endoscopy Sinus Surgery)

• Jenis Anestesi : General Endotracheal Anesthesia (GETA) B. Preinduksi

1. Pemeriksaan Fisik Preoperatif

• B1 (Breath)

Airway: Bebas, O2 on air room, SpO2 100%

• B2 (Blood)

Tekanan darah: 121/85 mmHg, Nadi: 71x/ menit

• B3 (Brain)

Kesadaran: GCS 15 (E4M6V5) compos mentis

• B4 (Bladder)

Cateter (-), nyeri saat BAK (-)

• B5 (Bowel)

Abdomen: Distensi (-), Peristaltik (+), Kesan normal, Nyeri tekan (-) di seluruh region

• B6 (Back & Bone)

Edema (-), hiperemis (-), deformitas (-) 2. Persiapan di Kamar Operasi

Hal- hal yang perlu di persiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

• Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.

• Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.

• Alat-alat resusitasi (STATICS)

(12)

12 S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru-paru dan

jantung. Laringoscope untuk melihat kondisi laring, Pilih bilah atau daun (blade yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang

T Tube Endo tracheal tube pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini di gunakan ETT ukuran 6.5 cm

A Airway Pipa mulut-faring (Guedel, Orotracheal airway) atau pipa hidung- faring (nasotracheal airway) pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan nafas

T Tape Plaster untuk menfiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.

I Introducer Mandarin atau silet dari kawat di bungkus plastic (kabel) yang mudah di bengkokkan untuk mengarahkan agar pipa trakea nudah di masukkan.

C connector Penyambung pipa dan peralatan anestesia S Suction Penyedot lender, ludah , darah dan lain-lain

• Tiang infus

• Monitor tekanan darah, nadi, pulse oximetry, suhu tubuh dan pernapasan.

• Obat-obatan yang diperlukan:

‒ Emergensi

‒ Premedikasi

‒ Induksi

‒ Muscle relaxan

• Kartu catatan medik anestesi C. Intraoperatif

1. Diagnosis Pra Bedah : Sinusitis Maxillaris Dextra 2. Diagnosis Pasca Bedah : Sinusitis Maxillaris Dextra

(13)

13 3. Jenis Pembedahan : FESS (Functional Endoscopy Sinus

Surgery)

4. Jenis Anestesi : General Endotracheal Anestesi

5. Lama Anestesi : 09.37 WITA – 10.42 WITA (65 Menit) 6. Lama Operasi : 09.42 WITA - 10.32 WITA (50 Menit) 7. Anestesiologist : dr. Ade Irna, M.Kes, Sp.An-TI Subsp TI (K) 8. Ahli THT : dr. Alifah Alwi, Sp.THT-KL

9. Infus : 1 line dengan connecta di tangan kiri

10. Premedikasi :

• Dexamethasone (0,1-0,5 mg/kgbb)

• Sulfat Atropine (0,02 mg/kgbb)

• Midazolam (0,05-0,1 mg/kgbb)

• Fentanyl (1-2 mcg/kgbb)

• Propofol (2-3 mg/kgbb)

11. Relaksan : Atracurium 25 mg/ 2,5 cc (0,5- 0,6/kgbb)

12. Teknik Anestesi : General Endotracheal Anestesi (GETA)

• Pasien berbaring dengan nyaman, kemudian diberikan dexamthasone 10 mg, Sulfat atropine 0,5 mg, midazolam 3 mg, fentanyl 50 mcg, propofol 100 mg.

• Setelah refleks bulu mata menghilang, dilakukan preoksigenasi dengan O2 10 liter/menit selama kurang lebih 3 menit.

• Injeksi Atracurium 25 mg/ IV bolus pelan.

• Batang laringoskop di pegang mengunakan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit ekstensi (Sniffing Position) buka mulut menggunakan jari tangan kanan.

• Memasukkan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan, menyusuri kanan lidah dan mengeser lidah ke kiri.

• Mencari epiglottis kemudian di angkat , setelah itu mencari plica vocalis.

(14)

14

• Masukkan ETT 6,5 ID mm melewati plica vocalis, lalu kembangkan cuff ETT.

• Menghubungkan ETT dengan connector ke bag valve dan periksa bunyi napas dengan stetoskop.

• Setelah di pastikan dada mengembang simetris, maka O2 sudah di pastikan masuk di paru-paru. Pasien di pasangkan kasa sebagai tampon ETT dapat di fiksasi menggunakan Plaster.

13. Dipasang sevovlurane : 2.0% sebagai maintenance.

14. Maintenance vol % : 02 10 liter/menit + Sevovlurane 1,5 Volume%

15. Maintenance : Fentanyl 20 mcg/jam/IV/syringe pump.

16. Tambahan Obat : Aminofillin 10cc + Efedrin 1 cc 17. Respirasi : Pernapasan kontrol

18. Cairan durante operasi : Perdarahan 50 ml= Cairan Ringer Latktat 150 ml

D. Post Operatif

Pemantauan di Recovery room ( ruang pulih) adalah ruangan khusus pasca anestesi / bedah yang berada di kompleks kamar operasi , hal yang perlu di pantau adalah:

Modifikasi Skore Aldrete

Objek Kriteria Nilai

Gerakan Mampu mengerakkan keempat ekstremitas Mampu mengerakkan dua ekstremitas Tidak mampu mengerakkan eskstremitas

2 1 0 Respirasi Mampu bernafas dalam dan batuk

Sesak atau pernafasan terbatas Henti nafas

2 1 0 Tekanan

Darah

Berubah sampai 20% dari pra bedah Berubah 20% - 50% dari pra bedah Berubah > 50% dari pra bedah

2 1 0

Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2

(15)

15 Sadar setelah di panggil

Tidak ada tanggapan terhadap rangsangan

1 0 Saturasi

Oksigen

Saturasi > 92 % udara kamar

Inhalasi O2 untuk mempertahankan saturasi >90%

Saturasi < 90 % meskipun dengan suplementasi O2 2 1 0

• Tekanan darah, nadi, pernafasan, aktivitas motoric

• IVFD Ringer Laktat

• Jika TDS <90 mmHg, TDD <60 mmHg dan MAP <60 mmHg, diberikan Efedrin 5- 10 mg/IV bolus pelan intermittent.

• Jika bradikardi (FDJ <50 x/mnt) diberikan SA 0,02 mg/kgBB/IV bolus intermitten.

(16)

16 BAB III

TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Bronkus

Secara anatomi terbagi menjadi sistem pernapasan atas dan bawah. Zona konduksi dimulai dari hidung sampai bronkiolus sedangkan zona respirasi dimulai dari ductus alveolaris sampai alveoli. Selain sebagai zona konduksi, hidung, mulut dan faring memiliki fungsi penting lainnya seperti bicara, menelan dan proteksi jalan napas. Jalan atas dan bawah dibatasi oleh laring.

Jalan napas bawah, mulai dari trakea, bercabang sekitar 23 kali.2

Bronkus merupakan bagian dari traktus trakeobronkial, yaitu suatu struktur yang dimulai dari trakea kemudian berlanjut menjadi bronkus dan bronkiolus.

Pada karina, trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri dengan bronkus kanan lebih lebar, pendek, serta lebih vertikal daripada bronkus kiri.

Hal ini menyebabkan partikel asing lebih sering terdeposit pada bronkus kanan.

Bronkus utama kanan akan bercabang menjadi tiga lobus, yaitu lobus kanan atas, lobus kanan tengah, dan lobus kanan bawah. Bronkus utama kiri terbagi menjadi dua lobus, yaitu lobus kiri atas dan lobus kiri bawah. Setiap lobus bronkus akan menghantarkan udara ke lobus paru yang spesifik.5

Ukuran bronkus semakin ke bawah akan semakin mengecil dan strukturnya pun berubah. Cincin kartilago yang mendukung setiap cabang akan berubah menjadi kartilago yang ireguler dan pada akhirnya menghilang saat mencapai bronkiolus. Traktus trakeobronkial mengalirkan udara pernapasan dari dan ke alveoli. Ujung distal dan percabangan trakea mengarah ke bawah selama inhalasi. Hal itu penting untuk mendukung inspirasi. Perubahan epitel pada bronkus menggambarkan fungsi saluran pernapasan. Epitel kolumnar bersilia pada percabangan awal berfungsi untuk menghangatkan dan mengalirkan udara serta melakukan penyaringan melalui peran mukosiliar yang mendorong mukus ke arah atas menuju esofagus. Epitel berubah menjadi kubus pada percabangan bagian distal agar dapat terjadi pertukaran gas.5

(17)

17 Dinding bronkus, bronchiolus sekunder dan tersier secara progresif struktur kartilagonya berkurang tetapi struktur otot polosnya bertambah sehingga akan meningkatkan efek muskular dalam kontriksi dan resistensi jalan nafas.

Gambar 3.1: Anatomi bronkus.

• Epitel bronkus

Traktus trakeobronkial secara histologi terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epitel, lamina propria, dan lapisan kartilago. Lapisan epitel terutama tersusun dari epitel kolumnar bersilia berlapis semu yang diselingi oleh kelenjar submukosa. Membran basalis memisahkan lapisan epitel dengan lamina propria. Seluruh traktus pulmonar dilapisi oleh sel epitel yang memiliki fungsi penting untuk menjaga fungsi normal dari sistem respirasi.

Sel ini bisa berfungsi sebagai pertahanan terhadap partikel asing, menjalankan transpor mukosiliar, menghasilkan zat-zat seperti mukus, protein surfaktan, ataupun peptida antimikroba, serta merangsang respons komponen saluran pernapasan lainnya seperti sel otot polos dan sel inflamatori.5

(18)

18 Gambar 3.2: Lapisan traktus trakeobronkial.

Sel epitel yang melapisi trakea dan bronkus utama terdiri dari sel bersilia, sel goblet, sel serous, sel Clara, brush cells, pulmonary neuroendocrine cells (PNECs), dan sel basal. Bentuk dari sel bersilia adalah kolumnar dengan permukaan yang diliputi oleh silia. Setiap sel bersilia pada saluran pernapasan bagian proksimal memiliki kurang lebih 200-300 silia yang diameternya ± 250 nm dan panjangnya ± 6 µm. Fungsi utama dari sel bersilia adalah untuk menjalankan transpor mukosiliar. Setiap kira-kira lima sel bersilia akan diselingi oleh satu sel goblet. Jumlah sel goblet pada bronkiolus akan semakin berkurang.5

Sel goblet bersama dengan kelenjar submukosa menghasilkan musin yang akan menangkap dan mengeluarkan partikel inhalasi sehingga permukaan epitel tetap terlindungi. Saluran pernapasan dapat berfungsi normal bila terdapat regulasi yang tepat dalam produksi musin. Apabila produksi musin terlalu banyak maka akan menyumbat saluran pernapasan, sedangkan jika terlalu sedikit akan mengganggu transpor mukosiliar.5

Sel serous pada permukaan epitel secara morfologi menyerupai sel serous yang terdapat pada kelenjar submukosa. Sel ini mengandung granula sekretori berukuran kecil. Sel Clara juga mengandung granula sekretori, tetapi sel ini lebih banyak ditemukan pada saluran pernapasan bagian distal.

Granula pada sel serous dan sel Clara bersifat electron-dense. Brush cells memiliki mikrovili yang menonjol dari permukaannya sehingga tampak seperti sikat. Fungsi brush cells masih belum jelas, tetapi mungkin berperan pada absorbsi cairan perisiliar, kemoreseptor, dan siliogenesis.5

(19)

19 Pulmonary neuroendocrine cells mengandung granula neurosekretori.

Granula ini terdiri dari serotonin dan peptida bioaktif lainnya seperti gastrin- releasing peptide (GRP). Jumlah PNECs pada saat lahir lebih banyak dan mungkin berperan dalam sistem pertahanan alami. Lapisan epitel di sepanjang membran basalis memiliki sel basal yang berfungsi sebagai pasokan cadangan dan mengganti sel silia serta sel mukus apabila diperlukan. Sel basal dan PNECs melekat pada membran basalis tetapi tidak pernah mencapai lumen saluran pernapasan.5

Kelenjar submukosa dapat ditemukan pada saluran pernapasan atas dan semakin ke distal jumlahnya akan semakin berkurang. Kelenjar submukosa mengandung sel mukus dan sel serous. Fungsi utama dari sel mukus adalah menghasilkan MUC5B, sedangkan sel goblet pada permukaan epitel menghasilkan MUC5AC. MUC5B dan MUC5AC merupakan musin utama pembentuk gel mukus di dalam traktus respiratorius baik pada kondisi sehat maupun pada pasien dengan penyakit pernapasan. Sel serous disebut juga sebagai neutrofil yang tidak bergerak karena kemampuannya memproduksi air, elektrolit, antimikroba, antiinflamasi, dan antioksidan.5

Gambar 3.3: Epitel bronkus.

B. Fisiologi Pernapasan

Sistem pernapasan berdasarkan fungsinya terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu zona konduksi (jalur hantaran udara) dan zona respirasi (area tempat pertukaran gas terjadi). Respirasi atau pernapasan didefinisikan oleh ahli fisiologi sebagai pertukaran gas-gas antara suatu organisme dan lingkungannya. Istilah respirasi tidak semata-mata terjadi di paru melainkan

(20)

20 juga pada tingkat jaringan sedangkan istilah ventilasi menunjukkan pertukaran udara masuk dan keluar paru. Fungsi respirasi meliputi fungsi pertukaran gas oksigen dan karbondioksida.2

Respirasi mempunyai dua fungsi: eksternal dan internal. Respirasi eksternal terjadi di paru-paru yaitu pertukaran gas-gas antara darah dan udara sekitarnya.

Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu: ventilasi, distribusi, difusi, dan perfusi. Sedangkan respirasi internal terjadi di tingkat sel. Fungsi respirasi eksternal normal adalah fungsi di mana paru-paru pada pernapasan spontan dengan udara kamar (pada kadar oksigen inspirasi [FiO] 20%) menghasilkan tekanan oksigen (PaO) dan tekanan karbondioksida (PaCO2) dalam batas batas normal. Dalam kondisi tertentu, nilai tersebut dapat terganggu sehingga diperlukan terapi oksigen baik dengan atau tanpa alat bantu napas (ventilator).2,3

Fungsi respirasi internal adalah penggunaan O2, pada metabolisme substrat di tingkat sel untuk menghasilkan CO2, H₂O, dan energi. Respirasi internal mengenai pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan. Pertukaran ini juga meliputi beberapa proses yaitu: efisiensi kardiosirkulasi dalam menjalankan darah kaya oksigen, distribusi kapiler, difusi gas-gas, dan metabolisme sel.

Fungsi ini melibatkan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery, DO2), perfusi ke jaringan, dan fungsi sel jaringan. DO2 melibatkan curah jantung (cardiac output, CO), nilai hemoglobin (Hb) dan saturasi oksihemoglobin arteri (SaO2).2,3

Ventilasi adalah fungsi inspirasi (masuknya udara ke) dan ekspirasi (keluarnya udara dari) paru-paru. Udara dapat masuk karena ada perbedaan tekanan antara udara luar (atmosfer) dengan tekanan negatif di dalam alveolus.

Tekanan negatif saat awal inspirasi ini terjadi karena gerakan dinding toraks ke atas dan ke depan, diafragma menjadi datar, diikuti oleh mengembangnya paru- paru. Dalam keadaan normal, inspirasi merupakan proses aktif sedangkan ekspirasi adalah proses pasif.2

(21)

21 C. Definisi Asma

Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas kronis. Hal ini ditandai dengan riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dada terasa sesak, dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya, serta keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi.6

D. Epidemiologi

Prevalensi asma di seluruh dunia mencapai 300 juta, dan diprediksi akan meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025. Prevalensi ini bervariasi di masing-masing negara dan peningkatan prevalensi terutama dijumpai pada negara maju.7 Prevalensi penyakit asma di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2018 didapatkan prevalensi asma di Indonesia 2,4% dengan kejadian terbanyak pada perempuan sebesar 2,5%.1 Prevalensi asma tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (4,59%), Kalimantan Timur (4,0%), dan Bali (3,9%).8

Pasien asma mempunyai risiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perioperatif akibat bronkospasme dan hipoksemia, dan anak-anak sangat rentan terhadap efek samping pernafasan perioperatif (PRAE). Terlepas dari teknik anestesi, efek samping pernafasan perioperatif seperti bronkospasme, laringospasme, desaturasi, batuk dan sekresi berlebihan dapat terjadi pada setiap tahap pemberian anestesi.4,9

Dari 4.000 insiden bronkospasme di Australia, didapatkan sebanyak 103 insiden bronkospasme perioperatif (3%) menunjukkan bahwa mekanisme alergi lebih sedikit terjadi (21%) dibandingkan dengan mekanisme nonalergi (79%). Di antara bronkospasme non-alergi tersebut, sebanyak 44% terjadi selama proses induksi anestesi, 36% pada fase maintenance, dan 20% terjadi pada saat akan dilakukan ekstubasi. Selama induksi anestesi, bronkospasme diakibatkan oleh iritasi jalan napas (64%), sedangkan sisanya diakibatkan oleh intubasi esophagus (17%), aspirasi (11%), dan edeme paru atau penyebab yang tidak diketahui (8%). Selama proses maintenance anestesi, penyebab utama

(22)

22 (80%) dari bronkospasme adalah alergi (34%), malposisi ETT (23%), iritasi jalan napas (11%), dan aspirasi akibat dari pemakaian LMA (9%).10

Selama induksi atau maintenance anestesi, bronkospasme yang disebabkan oleh iritasi jalan napas lebih sering terjadi pada pasien yang sudah mempunyai faktor predisposisi seperti asma, perokok berat, dan pasien dengan bronchitis.

Pasien dengan riwayat asma sebelumnya menyumbang 50%-60% kasus bronkospasme. Oleh karenanya, asma dan COPD ikut berperan dalam mekanisme patofisiologi bronkospasme, baik itu alergi maupun nonalergi, tanpa memandang stadium anestesi.10

E. Etiologi

Etiologi asma masih belum sepenuhnya dipahami, terutama ketika kita dapat menentukan anak mana yang menderita asma pediatrik yang akan terus menderita asma saat dewasa (hingga 40% anak-anak mengalami mengi, hanya 1% orang dewasa yang menderita asma. asma), namun disepakati bahwa penyakit ini merupakan patologi multifaktorial, yang dipengaruhi oleh genetika dan paparan lingkungan.

Dari sudut pandang genetik, gen yang diidentifikasi bertanggung jawab terhadap asma sudah lebih dari 100, dan banyak polimorfisme telah terbukti berhubungan dengan timbulnya asma. Faktor lingkungan yang paling terlibat dalam timbulnya asma pada anak-anak diwakili oleh alergen, asap tembakau, infeksi pernapasan dan polusi udara.8 Obstruksi pada asma terjadi karena konstriksi otot halus bronchial, edema, dan peningkatan sekresi. Secara umum, obstruksi dipresipitasi oleh komponen airbone seperti debu, bulu binatang, dan serbuk sari, dan lainnya. Pada beberapa pasien, bronkospasme dapat terjadi setelah pasien mengkonsumsi aspirin, non steroidal anti inflammatory agents (NSAID), sulfat, dan zat pewarna. Olahraga, emosi yang berlebihan, dan infeksi virus juga dapat mencetuskan bronkospasme pada banyak pasien.11

(23)

23 F. Patofisiologi

Patofisiologi asma sangatlah komplek, meliputi beberapa komponen: (1) inflamasi jalan nafas, (2) obstruksi jalan nafas yang intermiten, (3) hiperresponsif bronkus. Trigger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena inflamasi saluran nafas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat, atau ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan eksaserbasi ini adalah rinitis, sinusitis bilateral, poliposis, menstruasi, refluk gastroesopageal dan kehamilan.12

Proses patologis dimulai dengan menghirup bahan iritan (misalnya udara dingin) atau alergen (misalnya serbuk sari), yang kemudian, karena hipersensitivitas bronkus, menyebabkan peradangan saluran napas dan peningkatan produksi lendir. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi saluran napas secara signifikan, yang paling terasa pada saat ekspirasi.

Obstruksi jalan nafas terjadi karena kombinasi dari: Infiltrasi sel inflamasi, Hipersekresi mukus dengan pembentukan sumbat mukus dan Kontraksi otot polos.

Patofisiologi asma meliputi pelepasan lokal berbagai mediator kimia di jalan nafas, dan juga kemungkinan, reaksi berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi yang dihirup dapat mencetuskan bronkospasme melalui mekanisme imun spesifik dan yang tidak spesifik dengan degranulasi sel mast bronchial. Pada asma klasik alergi, antigen yang terikat pada immunoglobulin-E (IgE) pada permukaan sel mast akan menyebabkan proses degranulasi.11

Bronkokontriksi yang terjadi adalah hasil dari pelepasan histamine, bradykinin, leukotriene C, D, dan E, platelet activating factor, prostaglandin (PG) PGE2, PGF2, dan PGD2, faktor-faktor netrofil dan eosinophil. Sistem

(24)

24 saraf parasimpatis berperan penting menjaga tonus bronchial yang normal, aferen vagal pada bronkus peka terhadap histamine dan berbagai stimulus nyeri, termasuk udara dingin, menghirup substansi yang iritatif, dan instrumentasi (intubasi trakea). Aktivasi reflek vagal sebabkan bronkokontriksi, yang di mediasi oleh peningkatan intracellular cyclic guanosine monophosphate (cGMP).11

Pada serangan asma terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan sekresi berlebih bronkus sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran udara pada seluruh jalan napas bawah. Saat serangan asma berkurang, resistensi jalan napas akan kembali normal, dimulai pada jalan napas yang paling besar dan berlanjut hingga bagian perifer.2

G. Manifestasi Klinik

Selama periode fungsi paru normal atau mendekati normal, pasien tidak menunjukkan kelainan fisik. Saat obstruksi aliran udara ekspirasi terjadi, sejumlah gejala dan tanda muncul dan menjadi petunjuk tentang beratnya serangan asma. Dalam hal ini manifestasi klasik asma adalah wheezing, batuk dan dyspnea. Wheezing, paling sering dijumpai selama serangan asma akut, adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan suara yang dihasilkan karena turbulensi aliran gas melalui jalan nafas yang sempit.12

Derajat obstruksi jalan nafas dapat berubah dengan tiba-tiba, tidak adanya wheezing pada kasus-kasus yang berat dapat menggambarkan tidak adanya aliran udara yang cukup untuk membentuk suara ekspirasi. Adanya suara wheezing yang terjadi berulang dan menetap diperkirakan karena obstruksi fokal jalan nafas, misalnya menyempitnya bronkus karena aspirasi benda asing atau karena neoplasma.12

Karakteristik batuk pada asma dari nonproduktif sampai produktif karena jumlah sputum yang banyak yang berjenis mukoid dan seringkali sangat kuat.

Eosinofil dan debris yang lain menyebabkan sputum menjadi berwarna kuning, menetap walaupun tidak ada infeksi. Kadang-kadang, batuk merupakan satu- satunya manifestasi asma.12

(25)

25 Dyspnea cenderung bervariasi, tergantung pada beratnya obstruksi aliran udara ekspirasi. Pada kasus yang berat obstruksi jalan nafas, terdapat air hunger (udara yang terperangkap) mungkin menjadi simptom yang utama, dan pasien seringkali ingin cepat-cepat duduk untuk memudahkan bernafas.

Ketidaknyamanan di daerah dada dan sesak (sensasi karena tidak bisa menghirup udara dengan penuh) sering menyertai dyspnea pada pasien dengan asma dan dapat menyerupai angina pectoris.12

H. Penatalaksanaan

Obat-obat untuk penanganan asma meliputi β agrenergik agonis, methylxantine, glukokortikoid, antikolinergik, leukotriene blocker, dan mast cell stabilizing agent. Dengan pengecualian mast cell stabilizing agent, obat- obat diatas dapat digunakan untuk terapi asma akut maupun khronis. Meskipun tanpa sifat bronkodilator, cromolyn sodium dan nedocromil efektif untuk mencegah bronkospasme dengan cara memblok degranulasi sel mast.

Pengobatan asma dibagi dalam 2 komponen, yaitu terapi ‘controller’ yang memodifikasi area jalan nafas sehingga penyempitan jalan nafas akut lebih jarang terjadi. Terapi ‘controller’ diantaranya adalah kortikosteroid inhalasi dan sistemik, teofilin, dan leukotrian. Kemudian terapi ‘reliever’ atau agen

‘rescue’ untuk bronkospasme akut. Terapi ‘reliever’ diantaranya adrenergik agonis dan obat antikolinergik.

Pre Operatif

Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk memaksimalkan fungsi paru pasien tersebut. Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif maupun pasca operatif.3

Penilaian preoperasi harus fokus dan mencakup: Aktivitas hidup sehari- hari (ADL) dan status fisik, adanya gejala infeksi, jumlah dan purulensi dahak, adanya alergi, faktor-faktor yang diketahui memicu serangan atau eksaserbasi, penggunaan dan efektivitas obat-obatan, riwayat penyakit

(26)

26 sebelumnya, pembedahan dan anestesi, gangguan medis yang menyertai dan obesitas atau sindrom apnea tidur. Riwayat kunjungan darurat khusus asma, rawat inap, rawat inap di ICU, dan penggunaan kortikosteroid.4

Dalam mengevaluasi pasien dengan asma, harus menentukan status penyakit asmanya, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorik, pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah, dan foto toraks. Hasil evaluasi akan dipakai untuk menentukan status fisik pra- anestesia. The American Society of Anesthesiologists (ASA) menyusun klasifikasi status fisik pra-anestesia atas enam kelas.3

Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, pemeriksaan suara pernafasan dan penggunaan otot aksesoris. Adanya usaha nafas yang sulit, penggunaan otot aksesoris, dan waktu ekspirasi yang memanjang menunjukkan control asma yang buruk. Foto thorax dapat menunjukkan air trapping, hiperinflasi yang menyebabkan diafragma mendatar, jantung terlihat kecil, dan area paru tampak hiperlusen.11

Tes laboratorium tidak rutin diperlukan. Hitung jenis eosinophil sering berjalan parallel dengan derajat inflamasi jalan nafas dan hiperreaktivitas jalan nafas, merupakan pemeriksaan tidak langsung yang menilai status penyakit. Pemeriksaan analisa gas darah dapat berguna pada kasus asma yang berat, untuk menentukan baseline oksigenasi, retensi karbondioksida, dan status asam basa. Asma ringan biasanya menunjukkan normal PaO2 dan PaCO2. Hipoksemia dan hiperkapnia merupakan gambaran asma sedang dan berat, bahkan hiperkapnia ringan dapat merupakan penunjuk air trapping yang berat dan merupakan tanda akan terjadi gagal nafas.11

Pada pasien yang hendak dijadwalkan operasi mayor, dapat dijadwalkan untuk pemeriksaan PFT (Pulmonary Function Test) sebelum dan setelah bronkodilator. FEV1 atau FVC < 70% dan FEV1/FVC ratio <

65% nilai prediksi, biasanya menjadi faktor resiko terjadinya komplikasi perioperative. Pada pemeriksaan Elektokardiografi (EKG), dapat menunjukkan gagal jantung kanan atau iritabilitas ventrikel saat serangan asma.11

(27)

27 Pemberian sedasi pre-operasi, dapat berguna pada pasien asma yang akan menjalani operasi elektif, terutama pada pasien dimana faktor emosional dapat mencetuskan asma. Secara umum, benzodiazepin merupakan golongan terpilih untuk premedikasi.11

Penggunaan golongan H2- blocker (cimetidine, ranitidine, famotidine) secara teoritis merugikan, karena aktivasi reseptor H2 akan menyebabkan bronkodilatasi, pada keadaan dimana terjadi pelepasan histamin, aktivasi H1 dengan blokade H2 dapat menyebabkan bronkokontriksi.

Bronkodilator harus dilanjutkan sampai dengan waktu menjelang operasi.

Dapat digunakan β2 agonis, glukokortikoid inhalasi, leukotrien blocker, mast cell stabilizer, teofilin, antikolinergik.11

Pasien dengan riwayat asma atau yang diketahui pernah mengalami wheezing pre operatif perlu diberikan golongan β adrenergik. Short-acting β adrenergik secara rutin digunakan pada eksaserbasi asma untuk menghilangkan gejala-gejala dengan segera. Golongan simpatomimetik menyebabkan dilatasi bronkiolus melalui aktivasi adenylate cyclase dan peningkatan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaksasi otot polos bronkiolus. Obat-obat ini juga menghambat pelepasan antihistamin dan neurotransmiter kolinergik. β-adrenergik selektif umumnya diberikan secara inhalasi (metered dosed in- haler, MDI) dan sampai saat ini merupakan preparat yang paling efektif. Sebagai contoh, salbutamol, salmeterol, metaproterenol, dan terbutalin sulfat.3

Efek teofilin sama dengan golongan simpatomimetik, tetapi mempunyai cara kerja berbeda sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Sebagai bronkodilator, teofilin bekerja melalui dua mekanisme di paru yaitu relaksasi otot polos dan menekan rangsangan stimuli jalan napas. Mekanisme kerja yang pasti belum diketahui, diduga efek bronkodilatasi disebabkan oleh adanya penghambatan isoenzim phosphodiesterase PDE III dan PDE IV. Efek teofilin lainnya berhubungan dengan aktivitas molekular yang lain.

Teofilin juga dapat meningkatkan kontraksi otot diafragma dengan cara

(28)

28 peningkatan uptake Ca melalui adenosin-mediated channels. Pada serangan asma yang akut dan berat yang berhubungan dengan bronkitis kronis dan enfisema digunakan aminofilin. Aminofilin merupakan kompleks 2:1 dari teofilin dan etilen- diamin. Teofilin sebagai bahan untuk anti- asma sedangkan etilendiamin digunakan untuk membentuk kompleks aminofilin yang mudah larut dalam air. Pengunaan aminofilin tidak dianjurkan pada anak ber- usia <12 tahun.3

Kortikosteroid sering digunakan pada pasien yang tidak berespon terhadap pemberian antagonis β2 adrenergik. Pada serangan asma berat digunakan kortikosteroid parenteral. Kortikosteroid sistemik digunakan untuk mengontrol eksaserbasi berat, mencegah progresivitas dan inflamasi, pemulihan yang cepat, dan mengurangi tingkat kekambuhan.

Mekanisme kerja obat ini melalui pengurangan edema mukosa dan stabilisasi membran sel mast. Kortikosteroid inhalasi seperti beklometason (40 μg 2x/hari) merupakan landasan untuk menstabilkan asma persisten dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien bedah asma. Selain itu, steroid parenteral seperti hidrokortison (200 mg IV stat) dan metilprednisolon (40-80 mg IV per hari) selama 5 hari tetap menjadi pengobatan andalan asma eksaserbasi akut.3,4

Pemberian kortikosteroid oral jangka pendek sebelum operasi dan agonis β-adrenergik inhalasi serta agen antikolinergik pada hari operasi dapat menurunkan reaktivitas saluran napas dan mengurangi kejadian bronkospasme perioperatif. Pengobatan kombinasi dengan kortikosteroid dan agonis β2-adrenergik (metilprednisolon 40 mg/hari per oral) dan salbutamol masing-masing dapat meningkatkan fungsi paru pra operasi dan menurunkan kejadian mengi setelah intubasi endotrakeal.4

Intaoperatif

Saat yang paling kritis pada pasien asma yang akan menjalani anestesi adalah saat instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum via sungkup muka atau anestesi regional akan mengatasi masalah ini, tetapi tidak berarti mengeliminasi kemungkinan terjadinya bronkospasme. Terdapat bukti

(29)

29 bahwa intubasi trachea dapat menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas, tetapi tidak pada penggunaan LMA.11

Kedalaman anestesi yang memadai diperlukan untuk mencegah bronkospasme dan mengurangi respon terhadap intubasi trakea. Bronkospasme yang parah dapat menyebabkan kejadian fatal atau hampir fatal seperti kerusakan otak permanen karena ketidakmampuan ventilasi. Anestesi tingkat dalam dapat dicapai melalui kombinasi agen anestesi IV yang sesuai, opioid kerja ultra pendek, dan agen volatil sebelum melakukan instrumentasi pada saluran napas, karena intubasi trakea selama anestesi tingkat ringan dapat memicu bronkospasme.

Sasaran anestesi umum adalah induksi yang halus dan smooth emergence, dengan kedalaman anestesi yang cukup saat dilakukan stimulasi.4

Pada pasien dengan dua atau lebih faktor risiko PRAE (perioperative respiratory adverse event), induksi intravena dengan propofol dapat membatasi kejadian bila dibandingkan dengan induksi inhalasi dengan sevoflurane dalam nitrous oxide. Propofol menekan refleks laring dan melemahkan respon bronkospastik terhadap intubasi baik pada penderita asma dan non-asma. Propofol telah terbukti lebih unggul dibandingkan thiopental, thiamylal atau methohexital, dalam membatasi reaktivitas saluran napas dan mengi dengan induksi intravena.4,13

Propofol bekerja dengan cara menurunkan konsentrasi Ca2+ intrasel, menurunkan tonus motorik reflek vagal, menstimulasi motilitas silier pada jalan nafas, mencegah inflamasi jalan nafas, meregulasi efek ke reseptor GABA, 5 HT dan sistem saraf nonadrenergic noncholinergic (NANC), sehingga memberikan efek anestesi yang baik untuk pasien asma. Selain propofol, tinjauan sistematis menunjukkan bahwa ketamine adalah agen induksi yang ideal untuk pasien asma yang hermodinamiknya tidak stabil karena kemampuannya menghasilkan relaksasi otot polos langsung dan bronkodilatasi tanpa menurunkan tekanan arteri atau resistensi pembuluh darah sistemik.4,11

(30)

30 Anestesi volatil terutama halotan, isofluran dan Sevofluran adalah pilihan yang sangat baik untuk anestesi umum, karena menekan refleks saluran napas dan menghasilkan relaksasi otot polos bronkial langsung.

Namun, desfluran yang menyebabkan iritasi pada alat saluran napas dan meningkatkan resistensi saluran napas harus dihindari pada penderita asma.4

Alat saluran napas dan penggunaan zat penghambat neuromuskuler (NMBA/ Neuromuscular Blocking Agents) untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal dapat berdampak pada kejadian bronkospasme. Secara klinis, LMA atau masker wajah lebih baik dibandingkan ETT karena insiden bronkospasme yang lebih besar telah dilaporkan dengan penggunaan ETT pada pasien dengan infeksi saluran pernapasan akut yang sedang berlangsung atau yang baru saja terjadi. Laringoskopi direk merangsang refleks orofaringeal dan dapat memicu bronkospasme secara langsung atau setelah pemasangan ETT.13

Selama proses intubasi, pemberian NMBA dapat menumpulkan proses ini dan menurunkan kejadian dan keparahan refleks saluran napas, mengi, dan bronkospasme selama intubasi endotrakeal. Pilihan NMBA juga dapat mempengaruhi reaktivitas saluran napas dan potensi bronkospasme. Secara umum, mengingat efeknya terhadap respons saluran napas dan bronkospasme, NMBA yang berhubungan dengan pelepasan histamin (atracurium, mivacurium, dan d-tubocurarine) harus dihindari.13

Masalah lain yang harus dipertimbangkan ketika bronkospasme terjadi intraoperatif adalah identifikasi kemungkinan reaksi anafilaksis atau anafilaktoid. Dalam kasus seperti itu, bronkospasme mungkin merupakan salah satu komponen manifestasi klinis alergi sistemik. Agen penghambat neuromuskular (NMBA), produk yang mengandung lateks, agen kontras radiologi, dan antibiotik telah diidentifikasi sebagai agen yang paling sering bertanggung jawab atas reaksi hipersensitivitas perioperatif.13

(31)

31 Pemberian rocuronium dikaitkan dengan lebih seringnya reaksi alergi dibandingkan dengan NMBA lainnya. Selama reaksi alergi, bronkospasme umumnya merupakan salah satu komponen manifestasi klinis yang mungkin juga mencakup ruam eritematosa yang sering disertai urtikaria dan manifestasi kardiovaskular mulai dari hipotensi hingga kolaps kardiovaskular. Pemisahan kedua skenario klinis ini (bronkospasme primer dari reaksi alergi) diperlukan karena pengobatan reaksi alergi memerlukan pemberian epinefrin segera untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang optimal.13

Reflek bronkospasme dapat ditumpulkan sebelum intubasi dengan pemberian dosis tambahan agen induksi, ventilasi dengan 2-3 minimum alveolar concentration (MAC) agen volatile selama 5 menit, atau memberikan lidokaine intravena atau intratracheal (1-2 mg/kgBB). Harus diperhatikan bahwa pemberian lidokaine intratrakheal sendiri dapat mencetuskan bronkospasme jika dosis agen induksi yang digunakan tidak adekuat.11

Post Operatif

Perjalanan intraoperatif merupakan penentu utama manajemen pasca operasi, jika operasi berjalan lancar dan nyeri, mual, dan status pernapasan terkontrol dengan baik, penderita asma dapat dengan aman dipulangkan ke unit rawat inap yang sesuai tanpa intervensi lebih lanjut, namun jika terjadi komplikasi intraoperatif yang signifikan dengan bronkospasme parah, perhatian khusus harus diberikan untuk memastikan keselamatan pasien selama periode pasca operasi. Pemberian agonis β sebelum timbulnya penyakit dan selama periode pemulihan pasca operasi sesuai kebutuhan untuk bronkospasme berulang dan mempertahankan posisi kepala di tempat tidur lebih baik untuk pencegahan atelektasis.4

Pemberian bronkodilator dilanjutkan sesegera mungkin pada pasca- operatif melalui nebulator atau sungkup muka hingga pasien mampu menggunakan MDI (metered dose inhaler) sendiri secara benar. Kategori

(32)

32 pasien yang memperoleh manfaat terapi MDI bila memenuhi kriteria sebagai berikut: frekuensi pernapasan <25 kali/menit, mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih, kapasitas vital >15 ml/kg BB, mampu berkomunikasi verbal dan mengikuti instruksi, koordinasi tangan-mulut, inspirasi memadai, PEFR ≥150 L/menit untuk perempuan dan >200 L/menit untuk laki-laki.3

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas wheezing. Reversal pemblok neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak me- nimbulkan bronkospasme bila diberikan dosis antikolinergik yang tepat.

Obstruksi jalan napas, laringospasme, bronkospasme, ventilasi yang rendah, dan hipoksemia merupakan ancaman utama. Pasien yang teridentifikasi berisiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring pasca-operatif agar fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan.3

Penanganan nyeri pasca-operatif perlu diatasi untuk menurunkan kejadian bronkospasme. Parameter respirasi yang harus dinilai pasca- anestesia yaitu suara napas paru harus sama di kedua paru, frekuensi napas 10-35 x/menit, irama napas teratur, volume tidal minimal 4-5 ml/kg BB, kapasitas vital 20-40 ml/kg BB, inspirasi paksa -40 cm H2O, PaO2 pada FiO2 30% 100 mm Hg, dan PaCO2 30-45 mmHg.3

(33)

33 BAB IV

DISKUSI

Pada kasus ini, pasien diagnosis dengan sinusitis maksillaris dan akan dilakukan tindakan operasi yaitu FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) dengan prosedur anestesi yaitu GETA (General Endotracheal Anesthesi). Pasien ini memiliki komorbid yaitu asma bronchial dan juga didapatkan bahwa pasien ini memiliki alergi terhadap beberapa makan dan obat (Amoxicilin).

Berdarsarkan literatur, pasien dengan riwayat penyakit asma saat ingin dilakukan operasi maka perlu dievaluasi dengan tujuan untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif maupun pasca operatif.3 Penilaian preoperasi harus fokus dan mencakup: Aktivitas hidup sehari- hari (ADL) dan status fisik, adanya gejala infeksi, jumlah dan purulensi dahak, adanya alergi, faktor-faktor yang diketahui memicu serangan atau eksaserbasi, penggunaan dan efektivitas obat-obatan, riwayat penyakit sebelumnya, pembedahan dan anestesi, gangguan medis yang menyertai dan obesitas atau sindrom apnea tidur. Riwayat kunjungan darurat khusus asma, rawat inap, rawat inap di ICU, dan penggunaan kortikosteroid.4 Pada pasien ini didapatkan data bahwa serangan asma pasien terjadi 1 bulan yang lalu dan pasien tidak sedang mengonsumsi obat asma. Pasien juga tidak pernah ke rumah sakit karena penyakit asmanya.

Selain dilakukan anamnesis dapat juga dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pre operatif. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan fisik dimana didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, pemeriksaan laboratorium didapatkan eosinofilnya meningkat. Pada literatur dijelaskan bahwa pasien dengan penyakit asma perlu dilakukan pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital, pemeriksaan suara pernafasan dan penggunaan otot aksesoris. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorim, foto thorax untuk melihat air trapping, hiperinflasi yang menyebabkan diafragma mendatar, jantung terlihat kecil, dan area paru tampak hiperlusen.11 Pemeriksaan analisa gas darah dapat berguna pada kasus asma yang berat, untuk menentukan baseline oksigenasi, retensi karbondioksida,

(34)

34 dan status asam basa. Pada pemeriksaan Elektokardiografi (EKG), dapat menunjukkan gagal jantung kanan atau iritabilitas ventrikel saat serangan asma.11

Persiapan intubasi yang diberikan pada pasien yaitu memasang alat monitoring untuk menilai tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu dan saturasi pasien.

Didapatkan tanda-tanda vital pasien pre intubasi: Tekanan darah = 121/85 mmHg, Nadi= 71 x/ menit, Pernapasan= 20x/ menit dan SpO2 100%. Tiang infus, alat-alat resusitasi (STATICS), obat-obatan anestesi. Pada pasien ini diberikan obat dexamethasone 2cc, sulfas atropin 2 cc, midazolam 2 cc, fentanyl 5 cc, propofol 10 cc dan untuk muscle relaxannya diberikan atracurium 2,5 cc.

Berdasarkan literatur, penggunaan preoperatif, untuk mencegah terjadinya asma selama operasi sering digunakan untuk pasien. Dosis yang sering digunakan adalah 1-2mg/kg kortisol dan dexamethason 0,1-0,5 mg/kgbb. Pemberian 1-2 jam sebelum induksi sangat dianjurkan karena efek dari steroid tidak akan tercapai dalam beberapa jam. Steroid juga akan meningkatkan dan memperlama kerja dari agonis beta adrenergik.14

Sulfas atropin merupakan golongan obat antikolinergik/ antimuskarinik yang bekerja melalui penghambatan kompetitif reseptor asetilkolin postganglionik dan tindakan vagolitik langsung, yang menyebabkan penghambatan parasimpatis reseptor asetilkolin di otot polos. Antikolinergik merupakan terapi pilihan untuk bronkospasme akibat kerja β blocker.3 Kepustakaan lain menuliskan, golongan antikolinergik tidak umum diberikan kecuali pada pasien dengan sekresi yang banyak atau direncanakan induksi menggunakan ketamin.11

Midazolam merupakan golongan obat benzodiazepine, dalam kepustakaan dipaparakan bahwa, benzodiazepin merupakan golongan terpilih untuk premedikasi. Pemberian Midazolam 0,5 mg/kg untuk pasien cemas aman dan efektif untuk mengurangi kecemasan dan bronkospasme akibat kecemasan.4,11

Fentanyl merupakan golongan opioid yang efek utamanya adalah analgetik.

Penggunaan fentanyl intravena sebagai ko-induksi bisa menimbulkan batuk yang dikenal dengan istilah fentanyl-induced cough (FIC).15

Propofol merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Propofol digunakan

(35)

35 untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum. Pemilihan agen induksi tidak terlalu penting, jika kedalaman anestesi tercapai sebelum intubasi atau stimulasi operasi. Tiopental dapat mencetuskan bronkospasme, karena pelepasan histamin. Propofol dan etomidat merupakan agen induksi yang cocok, propofol dapat juga menyebabkan bronkodilatasi. Propofol bekerja dengan cara menurunkan konsentrasi Ca2+ intrasel, menurunkan tonus motorik reflek vagal, menstimulasi motilitas silier pada jalan nafas, mencegah inflamasi jalan nafas, meregulasi efek ke reseptor GABA, 5 HT dan sistem saraf nonadrenergic noncholinergic (NANC), sehingga memberikan efek anestesi yang baik untuk pasien asma.11

Atracurium merupakan non-depolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA). Penggunaan obat pelemas otot dapat membantu proses pembiusan dengan memudahkan dan mengurangi cedera dari tindakakan laringoskopi dan intubasi trakea serta memberikan relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali. Benzylisoquinolinium, mivacurium, atracurium, cisatracurium, dan doxacurium dapat menyebabkan pelepasan histamin bila diberikan, yang dapat menyebabkan bronkospasme, hipotensi, dan takikardia akibat vasodilatasi perifer.16 Meskipun suxamethonium dapat melepaskan histamin dalam kadar rendah, suxamethonium memiliki manfaat besar bagi penderita asma yang membutuhkan induksi rangkaian cepat dalam rangkaian sumber daya rendah tanpa morbiditas dan mortalitas yang signifikan.4

Pada saat intraoperasi, tekanan darah pasien turun menjadi 87/50 mmHg, selang beberapa menit saturasi pasien turun dari 100% ke 73%. Tindakan yang dilakukan saat itu yaitu manual bag ventilation, lalu diberikan aminofilin/aminophyllin 10 cc/240 mg, 5 cc drips, 5 cc bolus. Lalu diberikan juga efedrin 1cc/5 mg. Setelah lakukan terapi, saturasi pasien kembali 100% dan tekanan darah pasien menjadi 113/74 mmHg.

Berdasarkan kepustakaan Saat bronkospasme perioperatif terjadi, konsentrasi oksigen harus dinaikkan hingga 100%, dan manual bag ventilation segera dimulai untuk mengevaluasi compliance pulmonum dan mengidentifikasi semua penyebab tekanan sirkuit yang tinggi. Dalam literatur aminofilin diindikasikan sebagai tambahan terhadap agonis selektif beta-2 inhalasi dan kortikosteroid sistemik untuk

(36)

36 mengobati gejala eksaserbasi akut dan obstruksi aliran udara reversibel yang berhubungan dengan asma dan penyakit paru-paru kronis lainnya, misalnya emfisema dan bronkitis kronis. Mekanisme kerja aminofilin belum sepenuhnya dipahami. Saat memasuki tubuh, aminofilin melepaskan teofilin, yang bertanggung jawab atas efek bronkodilatasi.17 Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB.

Kepustkaan lain menuliskan, bronkodilator yang digunakan dalam regulasi alergi yang disebabkan oleh penyempitan saluran nafas pada pasien di ruang operasi RSPUR diberikan ephedrine dengan dosis 50 mg/ml injeksi. Efektifitas penggunaan ephedrin 50 mcg/kgBB prainduksi dalam mengurangi intensitas nyeri dan menjaga stabilitas hemodinamik pasca pemberian propofol intravena. Ephedrine Untuk pengobatan asma, tablet 25 mg digunakan setiap empat jam sesuai kebutuhan, dan dosis maksimum tidak boleh melebihi 150 mg dalam 24 jam. Untuk orang dewasa, rekomendasi dosis bolus adalah 5 sampai 10 mg, dan dosis intramuskular untuk efek jangka panjang yang diinginkan adalah 25 sampai 50 mg. Efedrin memerlukan pengenceran sebelum penggunaan intravena.

Efedrin adalah obat sintetik non ketokolamin yang mempunyai aksi langsung yang menstimuli reseptor β1, β2, α1 adrenergik dan aksi tak langsung dengan melepaskan norepinefrin endogen. Efedrin akan menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot.18

(37)

37 BAB V

KESIMPULAN

Pengelolaan pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan penanganan khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang saksama untuk mengurangi komplikasi selama dan pasca pembedahan. Masalah paru merupakan penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan.

Shnider dan Papper serta Gold dan Helrich melaporkan bahwa bronkospasme yang terjadi selama operasi ± 6% dari pasien asma. Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk memaksimalkan fungsi paru pasien tersebut.

Evaluasi pasien asma sebelum tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif maupun pasca operatif.

(38)

38 DAFTAR PUSTAKA

1. Syafia A, Sa H, Himayani R. Sinusitis Kronis. Agromedicine.

2023;10(1):45-49.

2. Margarita Rehatta N dkk. Anestesiologi Dan Terapi Intensif (Buku Teks KATI-PERDATIN). Edisis Per. PT Gramedia Pustaka Utama; 2019.

3. Suhartono C, Tambajong HF, Lalenoh DC. Penanganan Perioperatif Pada Asma. J Biomedik. 2013;5(1). doi:10.35790/jbm.5.1.2013.2039

4. Bayable SD, Melesse DY, Lema GF, Ahmed SA. Perioperative

management of patients with asthma during elective surgery: A systematic review. Ann Med Surg. 2021;70(September):102874.

doi:10.1016/j.amsu.2021.102874

5. Paramita DV, Juniati SH. Fisiologi dan Fungsi Mukosiliar Bronkus. J THT - KL. 2016;9(2):8-18.

http://eprints.undip.ac.id/44023/3/KielPino_G2A009138_Bab2KTI.pdf 6. 2021 GINA: Global Strategy for Asthma Management and Prevention

(2021 Update). https://ginasthma.org/gina-reports/

7. Kartina Y, Djajalaksana S, Chozin I, Al Rasyi H. Perbedaan Ekspresi miRNA-126 dan Interleukin (IL)-13 Pada Pasien Asma Terkontrol Penuh dan Tidak Terkontrol Penuh. J Respirol Indones. 2020;40(1):19-27.

8. Maulana A, Perihantono N, Yovsyah. Effects of Obesity with the Risk of Asthma on Productive Age Female in Indonesia. J Epidemiol Indones.

2020;4(1):1-36. http://journal.fkm.ui.ac.id/epid

9. Kamassai J, Aina T, Hauser J. Asthma Anesthesia. In: StatPearls [Internet].

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan; 2023.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537327/?report=reader 10. Rahmadinie A, Vitraludyono R. Tatalaksana Bronkospasme selama

Anestesi Umum. J Anaesth Pain. 2020;1(3):9-17.

doi:10.21776/ub.jap.2020.001.03.02

11. Sinardja CD. LAPORAN KASUS: MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN ASMA PADA OPERASI KISTOMA OVARII. Published online 2018.

12. Rai, Prof.Dr.dr.Ida Bagus Ngurah, Sp, p (K) dan dr. IGN Bagus Artana SP.

Asma Meeting: Comprehenssive Approach Of Asthma. In: Divisi Paru, Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar;

2016.

13. Khara B, Tobias JD. Perioperative Care of the Pediatric Patient and an Algorithm for the Treatment of Intraoperative Bronchospasm. J Asthma Allergy. 2023;16(June):649-660. doi:10.2147/JAA.S414026

(39)

39 14. Wardani NP. Penggunaan Kortikosteroid pada Prosedur Anestesia. Fak

Kedokt Univ Udayana. Published online 2014:1-33.

15. Sedono R, Harijanto E. Perbandingan Kecepatan Penyuntikan Fentanil 5 Detik dan 20 Detik Terhadap Angka Kejadian Fentanyl-Induced Cough ( FIC ) Comparison of Fentanyl Injection Rate Between 5 Seconds And 20 Seconds To Fentanyl-Induced Cough ( FIC ). Anesth Cricical Care J Perdatin. 2016;34(1):16-23.

16. Adeyinka,A. Layer D. Neuromuscular Blocking Agents. tatPearls [Internet].

Treasure Island (FL); 2023.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537168/?report=reader#_NBK53 7168_pubdet_

17. Zafar Gondal A ZH. Aminophylline. In: Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK545175/?report=reader#_NBK54 5175_pubdet_

18. Persyaratan UM, Gelar M, Kedokteran S, Saleh A. Mencegah Hipotensi Pada Anestesi Spinal. Published online 2009.

Gambar

Gambar 3.1: Anatomi bronkus.
Gambar 3.3: Epitel bronkus.

Referensi

Dokumen terkait

Pasien dengan asma yang tidak terkontrol dengan baik atau wheezing pada waktu induksi anestesi memiliki faktor resiko yang tinggi terjadi komplikasi

Ringkasan: Manajemen anestesi telah dilakukan pada wanita dengan kistoma ovarium permagna.Operasi berjalan sukses dan pasien diperbolehkan pulang ke rumah setelah

Manajemen medula spinalis, terutama bagian cervical selama operasi dan resusitasi pasien dengan cedera spinal, memiliki banyak pertimbangan penting untuk ahli anestesi, antara

Pada kasus ini, dilakukan anestesi regional dengan blok epidural neuroaksial pada pasien GJK dengan memperhatikan efek blok simpatis dan risiko penurunan

Dokumen ini membahas kasus penggunaan anestesi umum pada pasien dengan PJB ASD Asianotik yang mengalami kemungkinan kesulitan

Laporan kasus anestesi spinal pada operasi TUR-P untuk indikasi BPH pada pasien laki-laki berusia 69

Laporan ini menguraikan tentang asuhan keperawatan anestesi pada pasien dengan CVD SH (Stroke Hemoragik) yang akan menjalani tindakan shunt dengan metode anestesi umum (GA-ETT) di RSUD