• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Biaya Gabungan dan Produk Sampingan pada Unilever Indonesia Tbk (Studi Kasus Tahun 2023)

N/A
N/A
THERESA MEIRA PATRICIA NAPITU

Academic year: 2025

Membagikan "Manajemen Biaya Gabungan dan Produk Sampingan pada Unilever Indonesia Tbk (Studi Kasus Tahun 2023)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

JOINT AND BY-PRODUCT COSTING

(Pada Perusahaan Manufaktur PT. Unilever Indonesia Tbk. Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2023)

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akuntansi Logistik Dosen Pengampu : Theresia Hesti Bwarleling, S.E.,M.Ak.

Disusun Oleh Kelompok 2:

Theresa Meira Patricia Napitu 11210059

Farida Aryanti 11210075

Ayu Lestari 11210088

Program Studi Akuntansi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

Universitas Bunda Mulia Kampus Ancol

2024/2025

(2)

DAFTAR ISI

BAB 1 INTRODUCTION.………...3

1.1 Latar Belakang... 3

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan...5

BAB 2 LANDASAN TEORI... 6

2.1 The Nature of Joint Cost...6

2.2 The Reasoning Behind Joint and By-Product Costing...8

2.3 Cost Allocation Methodologies...10

2.4 Pricing of Joint Products and By-products...10

BAB 3 PENUTUP...19

3.1 Kesimpulan...19

3.2 Saran... 20

(3)

BAB 1

INTRODUCTION

1. Latar Belakang

Joint Costs atau biaya bersama adalah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi dua atau lebih produk yang yang dihasilkan dari satu proses produksi. metode alokasi biaya untuk produk yang dihasilkan melalui proses produksi gabungan yang menghasilkan lebih dari satu produk. Joint costing mengacu pada proses di mana biaya yang dikeluarkan hingga titik pemisahan (split-off point) dibagi di antara produk-produk yang dihasilkan Titik pemisahan (split-off point) adalah tahap dalam proses di mana produk-produk ini menjadi teridentifikasi secara individual ntingnya.

Alokasi biaya bersama penting untuk pelaporan keuangan dan penentuan harga. Namun, proses alokasi ini sifatnya arbitrer karena tidak memberikan informasi yang langsung bermanfaat untuk keputusan manajerial. Setelah titik pemisahan, setiap produk dapat diidentifikasi secara individual, dan biaya tambahan yang terjadi setelah titik tersebut dialokasikan secara spesifik pada masing-masing produk.

Dalam metode ini, terdapat dua metode utama yang sering digunakan untuk alokasi biaya, yaitu berdasarkan nilai penjualan produk pada titik pemisahan dan berdasarkan margin kotor akhir dari produk. Pada metode pertama, alokasi biaya dilakukan sesuai dengan nilai penjualan relatif dari setiap produk pada titik pemisahan. Metode kedua, yang lebih kompleks, membutuhkan perhitungan margin kotor yang melibatkan seluruh biaya hingga titik penjualan akhir.

Alokasi biaya ini bukan hanya penting untuk tujuan pelaporan keuangan dan penilaian inventori, tetapi juga berdampak pada pengaturan harga produk, penilaian inventaris, perhitungan transfer pricing, dan pembagian keuntungan. Bab ini menguraikan bahwa meskipun metode ini berguna untuk laporan keuangan dan perpajakan, alokasi biaya joint dan by-product sering kali tidak terlalu berguna untuk keputusan manajerial karena sifatnya yang a rbitrer.

Perjalanan Unilever di Indonesia berawal dari pendirian Lever’s Zeepfabrieken N.V. pada 5 Desember 1933. Kemudian di tahun 1980 Perseroan berganti nama menjadi PT Unilever Indonesia sebagaimana tercatat pada akta No. 171 oleh notaris Kartini Muljadi, S.H., tanggal 22 Juli 1980.

(4)

Setelah melakukan penawaran umum saham perdana ke publik (initial public offering/IPO) di tahun 1982, Perseroan mengalami perubahan nama menjadi PT Unilever Indonesia Tbk per 30 Juni 1997. Perubahan tersebut dicatat oleh notaris Mudofir Hadi, S.H. dalam akta No. 92, dan telah disetujui oleh Menteri Kehakiman dalam Surat Keputusan No. C2-1.049HT.01.04- TH.1998 tanggal 23 Februari 1998 dan diumumkan dalam Berita Negara No. 39 tanggal 15 Mei 1998, Tambahan No. 2620.

PT Unilever Indonesia Tbk, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang barang konsumen, telah beroperasi di Indonesia selama 90 tahun dan berfokus pada keberlanjutan dalam operasionalnya. Unilever Indonesia menerapkan The Unilever Compass, panduan strategi global perusahaan yang berfokus pada tiga pilar utama: meningkatkan kesehatan planet, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, serta menciptakan dunia yang lebih adil dan inklusif. Melalui inisiatif ini, perusahaan berkomitmen untuk meminimalkan dampak lingkungan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan mempertahankan etika bisnis yang berkelanjutan.

Strategi keberlanjutan ini mencakup berbagai program, termasuk penggunaan bahan baku berkelanjutan, seperti teh SariWangi yang telah mendapatkan sertifikasi Rainforest Alliance.

Selain itu, perusahaan telah bekerja sama dengan petani kecil, seperti melalui program Bango Pangan Lestari, yang mendukung 35.000 petani kedelai hitam dan gula kelapa di Indonesia untuk memastikan kualitas dan keberlanjutan produk mereka.

Produk Home & Personal Care lahir dari komitmen untuk membantu masyarakat Indonesia berpenampilan lebih baik, menempati rumah yang nyaman dan bersih, merasa nyaman dengan dirinya,serta bisa menikmati kehidupan dengan lebih baik. Sementara produk Foods &

Refreshment dibuat dari bahan-bahan berkualitas tinggi yang berasal dari sumber berkelanjutan, dengan terus mengutamakan kenikmatan rasa dan nutrisi yang seimbang.

Produk-produk Home & Personal Care Unilever Indonesia yang meliputi unit bisnis Home Care,

Personal Care serta Beauty & Wellbeing, telah lama menjadi bagian dari keseharian masyarakat

Indonesia. Dengan mengandalkan keunggulan kerja produk yang superior dan inovatif, produk-produk Home & Personal kami terus diminati dan dicintai oleh masyarakat Indonesia.

Di tengah kenaikan inflasi yang berdampak pada daya beli, kenaikan harga komoditas yang

(5)

mempengaruhi harga jual, serta tingkat kompetisi yang semakin ketat, kami berfokus memenuhi kebutuhan konsumen dan menjaga kerja sama yang baik dengan para pelanggan.

Home & Personal Care membukukan penjualan bersih sebesar Rp25,15 triliun, turun 7,7% dari tahun sebelumnya Rp27,26 triliun.

Selain aspek lingkungan, PT Unilever Indonesia juga fokus pada kesejahteraan sosial dengan menyediakan akses ke konsultasi kesehatan melalui kampanye seperti Lifebuoy Siap Amankan Keluarga (SIAGA), dan mengutamakan keragaman serta inklusi dalam tenaga kerja.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu sifat Joint Costing?

2. Apa itu sifat By-Product Costing?

3. Apa saja Joint and By-Product Costing dari PT. Unilever Indonesia.Tbk?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang sifat Joint Costing 2. Untuk mengetahui tentang sifat By-Product Costing

3. Untuk mengetahui tentang Joint and By-Product Costing dari PT. Unilever Indonesia.Tbk

(6)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 The Nature of Joint Cost

Konsep Joint Cost (Biaya Bersama) adalah bahwa bisa ada lebih dari satu titik pemisahan.

Seseorang harus memiliki pemahaman yang kuat tentang titik pisah. Titik pisah adalah titik terakhir dalam proses produksi dimana tidak mungkin untuk menentukan sifat produk akhir. Semua biaya yang sudah dikeluarkan oleh proses produksi hingga titik tersebut baik langsung maupun overhead harus dialokasikan sebelum titik pemisahan dan biaya yang dapat dilacak langsung ke titik tersebut, yang terjadi setelah titik pemisahan.

The Nature of Joint Cost (Biaya Bersama) merujuk pada biaya produksi yang tidak dapat dialokasikan secara langsung ke satu produk tunggal karena biaya tersebut terkait dengan proses yang menghasilkan beberapa produk sekaligus. Joint cost muncul ketika satu proses produksi menghasilkan dua atau lebih produk yang saling berhubungan, biasanya disebut sebagai joint products (produk bersama).

Istilah Joint Cost yaitu terdapat produk sampingan adalah satu atau lebih produk tambahan yang muncul dari suatu proses produksi, tetapi nilai jual potensialnya jauh lebih kecil daripada produk gabungan utama yang muncul dari proses yang sama.

The Nature of Joint Cost dalam konteks perusahaan seperti Unilever merujuk pada konsep biaya yang timbul dari suatu proses produksi bersama, di mana satu sumber daya atau proses menghasilkan beberapa produk sekaligus. Joint cost biasanya tidak dapat langsung dialokasikan ke masing-masing produk secara terpisah, karena produk-produk tersebut dihasilkan dalam satu proses yang sama hingga titik tertentu.

Dalam produksi Unilever, seperti pada proses pembuatan minyak, sabun, atau produk kimia lainnya, sering kali terdapat biaya bersama dalam tahap awal produksi yang menghasilkan bahan baku atau komponen yang kemudian dipisahkan menjadi produk-produk akhir yang

(7)

berbeda. Misalnya:

o Produksi Minyak dan Sabun: Pada tahap pemrosesan minyak kelapa sawit, Unilever mungkin memiliki beberapa produk sampingan dan produk utama seperti minyak makan dan bahan dasar sabun. Biaya yang terkait dengan pemrosesan minyak pada tahap awal ini termasuk dalam kategori joint cost.

o Pembagian Joint Cost: Dalam hal ini, Unilever mungkin akan menggunakan metode tertentu untuk membagi biaya bersama ke masing-masing produk, seperti berdasarkan nilai pasar relatif atau kuantitas fisik dari masing-masing produk setelah proses pemisahan. Metode alokasi ini penting untuk tujuan pelaporan keuangan, perencanaan biaya, dan analisis profitabilitas setiap produk.

Contoh pada Laporan Keuangan: Dalam laporan keuangan, alokasi joint cost membantu Unilever menilai berapa besar biaya yang dihabiskan untuk menghasilkan setiap jenis produk. Ini membantu dalam analisis keuntungan atau kerugian setiap produk, yang bisa mempengaruhi keputusan manajerial tentang pengembangan atau pengurangan produksi untuk produk tertentu.

Dengan demikian, pemahaman mengenai joint cost sangat penting bagi perusahaan multinasional seperti Unilever untuk pengelolaan keuangan dan efisiensi produksi.

Contoh Joint Cost di Unilever:

Dalam pembuatan produk perawatan pribadi (misalnya, sabun atau sampo), proses produksi awal menggunakan bahan baku kimia dan minyak yang sama. Setelah tahap tertentu dalam produksi, beberapa produk seperti sabun batangan, sabun cair, atau shampo bisa dihasilkan, namun biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan bahan baku pada tahap awal harus dialokasikan untuk masing-masing produk.

Dalam hal ini, biaya seperti bahan baku (kimia, minyak), tenaga kerja, dan overhead pabrik pada proses awal adalah joint costs, yang harus dibagi antara produk akhir yang dihasilkan.

Produk-produk seperti Bango dan Royco, yang menggunakan bahan baku lokal seperti kedelai hitam dan rempah-rempah, merupakan contoh produk yang kemungkinan besar memiliki proses joint costing. Selama produksi, beberapa bahan baku dapat menghasilkan produk sampingan yang dapat dimanfaatkan kembali atau dijual untuk mengoptimalkan biaya produksi.

(8)

Unilever juga mengelola sisa bahan baku dari proses produksi dengan mengalihkannya menjadi pakan ternak, terutama dari produksi Bango dan Royco.

2.2The Reasoning Behind Joint and By-Product Costing

The Reasoning Behind Joint and By-Product Costing mengacu pada logika atau dasar pemikiran di balik penetapan dan alokasi biaya untuk produk utama dan produk sampingan yang dihasilkan dari suatu proses produksi bersama.

Prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP) mengharuskan biaya ditetapkan ke produk untuk tujuan penilaian persediaan. Meskipun biaya yang dikeluarkan oleh proses produksi hingga titik pemisahan tidak dapat ditetapkan dengan jelas ke satu produk, tetapi tetap menemukan beberapa metode alokasi yang wajar untuk melakukannya, agar mematuhi aturan akuntansi.

Logika yang digunakan untuk mengalokasikan biaya ke produk bersama dan produk sampingan tidak terlalu berkaitan dengan metode alokasi yang diperoleh secara ilmiah, tetapi lebih berkaitan dengan menemukan cara cepat dan mudah untuk mengalokasikan biaya yang cukup dapat dipertahankan (seperti yang akan kita lihat di bagian berikutnya).

Alasan penggunaan metodologi sederhana adalah karena para penyebar GAAP menyadari bahwa tidak ada manfaat nyata bagi manajemen untuk biaya bersama yang dialokasikan—

biaya tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan titik impas, menetapkan harga optimal, atau mencari tahu profitabilitas pasti dari masing-masing produk. Sebaliknya, biaya tersebut digunakan untuk salah satu tujuan berikut, yang sifatnya lebih administratif:

1. Penilaian persediaan.

Dimungkinkan untuk memanipulasi tingkat persediaan (dan karenanya tingkat pendapatan yang dilaporkan) dengan mengalihkan alokasi biaya gabungan ke produk-produk yang disimpan dalam persediaan.

2. Pelaporan pendapatan.

Banyak organisasi membagi laporan pendapatan mereka menjadi beberapa sub level yang melaporkan laba menurut lini produk atau bahkan produk individual.

3. Penetapan harga transfer.

Perusahaan dapat mengubah harga jual produk di antara berbagai divisinya, sehingga harga tinggi dibebankan ke divisi yang berlokasi di area dengan pajak tinggi, yang

(9)

menghasilkan tingkat pajak penghasilan yang dilaporkan lebih rendah sehingga tarif pajak tinggi tersebut dapat diterapkan.

4. Perhitungan bonus.

Bonus manajer mungkin bergantung pada tingkat laba yang dilaporkan untuk produk tertentu, yang sebagian didasarkan pada tingkat biaya bersama yang dialokasikan untuk produk tersebut.

5. Perhitungan kontrak biaya plus.

Banyak kontrak pemerintah didasarkan pada penggantian biaya perusahaan, ditambah beberapa margin yang telah ditentukan sebelumnya.

6. Penggantian asuransi.

Jika suatu perusahaan mengalami kerusakan pada area produksi atau inventarisnya, beberapa barang jadi atau inventaris pekerjaan yang masih dalam proses mungkin telah rusak atau hancur.

Alasan mengapa perusahaan seperti PT. Unilever Indonesia Tbk. menggunakan Join and By-Product Costing adalah untuk memastikan alokasi biaya yang adil dan akurat antara produk utama dan produk sampingan, serta untuk mengelola profitabilitas dan harga jual produk.

Joint Product Costing (Produk Utama): Unilever mungkin menghasilkan berbagai produk utama seperti shampo, sabun, dan detergen yang memiliki nilai jual yang signifikan dan dihasilkan dari proses produksi yang serupa.

Penggunaan sistem joint product costing penting untuk memastikan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk produksi bersama dibagi dengan adil di antara produk-produk tersebut.

By-Product Costing (Produk Sampingan): Dalam proses produksi, Unilever juga menghasilkan produk sampingan seperti limbah bahan baku atau sisa-sisa dari pengolahan bahan baku yang masih memiliki nilai jual (misalnya, sisa bahan kimia atau plastik bekas). Produk sampingan ini dijual atau dimanfaatkan lebih lanjut, dan perusahaan akan menggunakan by-product costing untuk mengalokasikan biaya yang sesuai.

 Efisiensi Biaya: Menggunakan sistem ini membantu perusahaan memaksimalkan keuntungan dengan memastikan bahwa biaya tidak dibebankan hanya pada produk utama, tetapi juga mencakup kontribusi dari produk sampingan.

(10)

 Memperhitungkan Nilai Produk Sampingan: Dengan by-product costing, Unilever dapat menghitung kontribusi dari produk sampingan (misalnya, limbah plastik yang dapat didaur ulang atau bahan sisa yang bisa dijual) yang membantu menurunkan total biaya produksi.

Secara keseluruhan, joint dan by-product costing membantu perusahaan seperti Unilever untuk mengalokasikan biaya secara efektif, memaksimalkan profitabilitas, mengelola inventaris, dan memastikan pelaporan keuangan yang akurat.

2.3 Cost Allocation Methodologies

Cost Allocation Methodologies adalah berbagai metode atau pendekatan yang digunakan untuk membagi atau mengalokasikan biaya bersama (joint costs) ke berbagai produk, departemen, atau pusat biaya lainnya dalam sebuah perusahaan. Tujuan dari alokasi biaya ini adalah untuk menentukan bagian biaya yang relevan untuk setiap unit yang dihasilkan atau untuk setiap departemen, sehingga dapat memberikan gambaran yang akurat tentang profitabilitas, biaya produksi, dan kinerja masing-masing bagian dalam perusahaan.

Meskipun beberapa metodologi alokasi biaya telah diusulkan dalam literatur akuntansi, hanya dua metode yang diterima secara luas. Yang pertama didasarkan pada nilai penjualan semua produk bersama pada titik pemisahan. Untuk menghitungnya, akuntan inventaris mengkompilasi semua biaya yang terakumulasi dalam proses produksi hingga titik pemisahan, menentukan nilai penjualan akhir semua produk yang dibuat pada titik pemisahan, dan kemudian menetapkan biaya ini ke produk berdasarkan nilai relatifnya.

Metode alokasi kedua didasarkan pada estimasi margin kotor akhir dari setiap produk gabungan yang diproduksi. Perhitungan margin kotor didasarkan pada pendapatan yang akan diperoleh setiap produk pada akhir seluruh proses produksi, dikurangi biaya semua biaya pemrosesan yang dikeluarkan dari titik pemisahan hingga titik penjualan. Ini adalah pendekatan yang lebih rumit, karena mengharuskan akuntan inventaris untuk mengakumulasi biaya tambahan hingga akhir proses produksi, yang pada gilirannya memerlukan pengetahuan yang wajar tentang cara kerja proses produksi dan di mana biaya dikeluarkan. Meskipun ini adalah metode yang lebih sulit untuk dihitung, penggunaannya mungkin wajib dalam kasus-kasus di mana harga jual akhir dari satu atau lebih produk gabungan tidak dapat ditentukan pada titik pemisahan (seperti yang diperlukan untuk metode alokasi pertama), sehingga membuat metode alokasi lainnya tidak berguna.

(11)

Metode alokasi biaya (cost allocation) adalah bagaimana perusahaan mendistribusikan biaya yang tidak dapat langsung diatribusikan ke produk tertentu. Dalam hal ini, Unilever dapat menggunakan beberapa metodologi untuk membagi joint cost di antara produk bersama dan produk sampingan.

Metode yang Mungkin Digunakan oleh Unilever:

Physical Measurement Method: Dalam pembuatan produk seperti sabun atau shampo, biaya produksi bisa dibagi berdasarkan ukuran fisik atau berat dari produk yang dihasilkan. Misalnya, jika satu batch menghasilkan 60% sabun batangan dan 40% shampo, biaya yang timbul akan dibagi sesuai dengan persentase tersebut.

Sales Value at Split-Off Method: Metode ini membagi biaya berdasarkan nilai pasar dari produk saat produk tersebut dipisahkan atau di-split-off dalam proses produksi. Produk dengan harga jual yang lebih tinggi akan menerima proporsi biaya yang lebih besar. Misalnya, jika shampo memiliki harga jual yang lebih tinggi daripada sabun batangan, maka shampo akan menanggung lebih banyak biaya produksi.

Net Realizable Value (NRV) Method: Metode ini digunakan ketika produk bersama belum memiliki nilai pasar yang jelas pada saat diproduksi. Biaya dibagi berdasarkan nilai yang dapat direalisasikan setelah produk dijual. Jika produk sampingan (seperti limbah bahan kimia) dapat dijual dengan harga rendah, biaya akan dibagi lebih banyak pada produk utama.

By-Product Costing: Biaya yang terkait dengan produk sampingan (seperti bahan sisa atau limbah yang dapat didaur ulang) akan dialokasikan menggunakan pendekatan minimal cost atau sales value at point of sale, yang mencatat bahwa biaya produk sampingan lebih rendah dan hanya berkontribusi sedikit pada total biaya produksi.

Metode Berdasarkan Biaya Rata-Rata Tertimbang (Weighted Average Method): Dalam metode ini, biaya dialokasikan berdasarkan bobot tertentu yang disesuaikan untuk setiap produk, tergantung pada faktor-faktor seperti kompleksitas produksi, jumlah waktu atau tenaga kerja yang dibutuhkan, atau biaya bahan.

Misalnya, produk yang memerlukan lebih banyak bahan baku atau waktu akan menerima alokasi biaya yang lebih besar.

Direct Allocation Method: Dalam metode ini, biaya dari departemen pendukung dialokasikan langsung ke departemen produksi tanpa mempertimbangkan interaksi

(12)

antar-departemen pendukung. Biasanya digunakan dalam perusahaan yang memiliki proses produksi yang lebih sederhana.

Step-Down Method (Metode Bertahap): Metode ini digunakan untuk mengalokasikan biaya dari departemen pendukung ke departemen produksi dengan cara bertahap, di mana satu departemen mendistribusikan biaya ke departemen lainnya ecara berurutan sampai semua biaya teralokasi.

Untuk menentukan harga tenderloin dari sapi (seperti yang terlihat dalam diagram), umumnya harga harus dihitung mulai dari tahap pertama hingga tahap akhir dari proses pemisahan (split-off). Berikut adalah langkah-langkah yang mungkin dapat digunakan untuk menghitung harga 1 kg tenderloin:

1. Biaya Pembelian Sapi Utuh: Mulailah dengan menghitung total biaya pembelian sapi utuh. Ini mencakup seluruh biaya untuk mendapatkan sapi dalam bentuk karkas penuh.

2. Proses Pemisahan (Split-Off Point):

- Tentukan titik di mana bagian-bagian dari sapi dipisahkan (seperti visera, tulang rusuk, dan bagian lainnya). Biaya yang terkait dengan proses pemisahan ini harus dicatat.

- Setelah proses pemisahan, hitung berapa proporsi biaya yang terkait dengan tenderloin.

Misalnya, jika tenderloin hanya sebagian kecil dari berat total sapi, biaya produksi dapat didistribusikan berdasarkan persentase berat.

3. Biaya Tambahan untuk Proses Pengolahan: Jika ada proses tambahan untuk meningkatkan kualitas atau mengolah tenderloin, tambahkan biaya ini.

(13)

4. Biaya Per Unit Berat: Setelah semua biaya sudah dihitung, bagi total biaya tenderloin dengan berat total tenderloin yang dihasilkan untuk mendapatkan biaya per kilogram.

Rumus Sederhana:

Dengan langkah-langkah ini, Anda bisa mendapatkan harga yang akurat untuk 1 kg tenderloin berdasarkan biaya yang sebenarnya dikeluarkan dalam proses produksi dari sapi utuh.

Memahami Diagram dan Perhitungan Harga Tenderloin

Diagram yang Anda tunjukkan menggambarkan proses pengolahan daging sapi dari karkas utuh hingga menjadi produk akhir seperti tenderloin dan produk lainnya. Namun, diagram ini tidak secara spesifik memberikan informasi mengenai perhitungan harga tenderloin.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tenderloin:

Harga tenderloin dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:

Kualitas Daging:

o Jenis Sapi: Sapi dengan kualitas daging yang baik umumnya memiliki harga daging yang lebih tinggi.

o Umur Sapi: Daging sapi muda cenderung lebih lembut dan memiliki harga yang lebih tinggi.

o Marbling: Adanya marbling (urat lemak) dalam daging akan meningkatkan cita rasa dan harga daging.

Potongan Daging:

o Tenderloin: Sebagai potongan daging yang paling lembut, tenderloin memiliki harga yang paling tinggi dibandingkan potongan daging lainnya.

o Permintaan Pasar: Permintaan pasar terhadap tenderloin yang tinggi juga akan mempengaruhi harga.

Biaya Produksi:

o Biaya Pemotongan: Proses pemotongan daging dari karkas menjadi potongan-potongan yang lebih kecil membutuhkan biaya.

(14)

o Biaya Pengemasan: Biaya pengemasan juga akan mempengaruhi harga jual.

Biaya Distribusi:

o Ongkos Transportasi: Biaya transportasi dari tempat pemotongan ke tempat penjualan akan mempengaruhi harga jual.

Margin Keuntungan: Setiap pelaku bisnis tentu akan menambahkan margin keuntungan pada harga jual produknya.

Perhitungan Harga Tenderloin secara Sederhana:

Secara sederhana, perhitungan harga tenderloin dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:

Harga Beli Karkas: Harga yang dibayar untuk membeli satu ekor sapi.

Persentase Hasil Tenderloin: Persentase berat tenderloin yang diperoleh dari satu ekor sapi.

Biaya Tambahan: Biaya pemotongan, pengemasan, dan distribusi.

Margin Keuntungan: Keuntungan yang ingin diperoleh.

Contoh Perhitungan (Sangat Sederhana):

Misalkan:

Harga beli satu ekor sapi = Rp 10.000.000

Persentase hasil tenderloin dari satu ekor sapi = 2%

Biaya tambahan (per kg tenderloin) = Rp 20.000 Margin keuntungan (per kg tenderloin) = Rp 30.000

Maka, perhitungan harga jual tenderloin per kilogram adalah:

Berat tenderloin dari satu ekor sapi = 2% x 10.000.000 gram = 200.000 gram = 200 kg Total biaya tenderloin = (200 kg x Rp 20.000/kg) + (200 kg x Rp 30.000/kg) = Rp 10.000.000

Harga jual tenderloin per kilogram = Rp 10.000.000 / 200 kg = Rp 50.000/kg Catatan:

(15)

Perhitungan di atas adalah contoh yang sangat sederhana dan tidak memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi harga jual. Dalam praktiknya, perhitungan harga akan jauh lebih kompleks dan melibatkan banyak variabel.

Untuk mendapatkan perhitungan harga yang lebih akurat, Anda perlu mempertimbangkan faktor-faktor berikut:

Data historis harga daging: Harga daging dapat fluktuasi tergantung pada musim, permintaan, dan faktor lainnya.

Analisis pasar: Memahami tren pasar dan persaingan harga dari penjual daging lainnya.

Biaya produksi yang sebenarnya: Melakukan perhitungan biaya produksi yang rinci, termasuk biaya tenaga kerja, listrik, air, dan lain-lain.

Kesimpulan:

Harga tenderloin sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk mengetahui harga tenderloin yang tepat, sebaiknya Anda menghubungi penjual daging atau melakukan survei harga di berbagai tempat

Dalam diagram ini, proses dimulai dari kiri dan bergerak ke kanan. Berikut adalah urutan langkah-langkahnya:

Bangkai Penuh - Titik awal proses.

Titik Pemisahan - Bangkai dibagi menjadi dua bagian:

o Jeroan (dipisahkan)

o Sisa Bangkai (melanjutkan proses)

 Sisa Bangkai mencapai Titik Terpisah lainnya :

o Tulang rusuk dipisahkan untuk pengolahan tambahan.

o The Remainder of Carcass melanjutkan perjalanannya.

o Pengolahan Tambahan diterapkan pada Iga untuk menghasilkan Produk Iga Beraroma.

Jadi, urutannya adalah:

 Bangkai Penuh

 Titik Pemisahan (Pemisah Jeroan dan Sisa Bangkai)

 Tulang rusuk dipisahkan dari sisa bangkai di titik pemisahan lain

(16)

 Pengolahan Tambahan untuk Iga untuk menciptakan Produk Iga Beraroma

 Bangkai yang tersisa terus berlanjut 2.4 Pricing of Joint Products and By-products

Pricing of Joint Products and By-Products merujuk pada penentuan harga jual untuk produk utama (joint products) dan produk sampingan (by-products) yang dihasilkan dari satu proses produksi bersama. Karena produk-produk ini berasal dari satu sumber biaya yang sama, menentukan harga jual yang tepat memerlukan pemahaman yang mendalam tentang struktur biaya, nilai pasar, dan strategi perusahaan.

Masalah operasional utama yang harus diabaikan dalam alokasi biaya bersama adalah penetapan harga produk bersama dan produk sampingan. Penentuan harga untuk produk utama dan produk sampingan di Unilever melibatkan berbagai pertimbangan, termasuk nilai pasar, biaya produksi, dan tujuan profitabilitas perusahaan.

Berikut adalah beberapa aspek utama dalam penentuan harga joint products dan by- products:

1. Penentuan Harga Berdasarkan Nilai Pasar:

Joint Products: Produk utama biasanya dijual pada harga yang mencerminkan nilai pasar atau permintaan konsumen. Misalnya, jika dua produk utama dihasilkan dari satu proses, perusahaan akan melihat harga pasar untuk masing-masing produk dan menentukan harga sesuai dengan permintaan pasar dan daya saing.

By-Products: Produk sampingan biasanya dihargai lebih rendah, mengingat mereka adalah produk tambahan dari proses utama. Harga by-product seringkali didasarkan pada nilai pasarnya yang lebih rendah, atau bahkan pada biaya minimum yang dibutuhkan untuk memproduksi dan mendistribusikannya.

2. Pendekatan Biaya Tambahan (Additional Cost Approach): Pendekatan ini melibatkan penghitungan harga dengan memperhitungkan biaya tambahan yang dibutuhkan untuk memproses produk lebih lanjut setelah split-off point (titik pemisahan), terutama untuk produk yang memerlukan proses tambahan sebelum bisa dijual. Dalam hal ini, harga produk harus menutupi biaya tambahan tersebut serta memberikan margin keuntungan.

3. Metode Nilai Bersih yang Dapat Direalisasikan (Net Realizable Value Method):

Dalam metode ini, harga produk dihitung berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasikan setelah memperhitungkan biaya tambahan untuk menjualnya. Ini adalah metode umum dalam penentuan harga joint products dan by-products karena

(17)

memungkinkan perusahaan untuk menentukan harga yang menutup biaya dan sekaligus mengoptimalkan laba.

4. Pendekatan Harga Berbasis Biaya (Cost-Based Pricing): Pada pendekatan ini, harga jual ditentukan berdasarkan alokasi biaya yang dihitung untuk setiap produk. Setelah joint cost dialokasikan, perusahaan dapat menetapkan harga yang memungkinkan untuk menutupi biaya produksi sekaligus mencapai target margin keuntungan. Pendekatan ini umum untuk produk yang nilai pasarnya lebih stabil.

5. Pendekatan Nilai Tambah (Value-Added Approach): Untuk produk sampingan yang memiliki nilai pasar rendah, beberapa perusahaan mungkin menggunakan pendekatan nilai tambah, yaitu menetapkan harga yang lebih tinggi setelah memberi produk tersebut nilai lebih, misalnya dengan pengemasan khusus atau pengolahan tambahan untuk meningkatkan daya jualnya.

Penetapan Harga untuk Tujuan Persaingan: Perusahaan seperti Unilever juga akan mempertimbangkan kondisi pasar dan harga pesaing saat menentukan harga produk utama dan sampingan. Dalam pasar yang kompetitif, harga produk utama mungkin diturunkan untuk meningkatkan pangsa pasar, sementara produk sampingan bisa dioptimalkan sebagai tambahan pendapatan.

Harga Produk Utama (Joint Products):

1. Produk utama seperti sabun, shampo, atau produk perawatan kulit biasanya dihargai berdasarkan permintaan pasar, biaya produksi, dan margin keuntungan yang diinginkan oleh Unilever.

2. Penetapan Harga Berbasis Nilai Pasar: Unilever akan mempertimbangkan harga pesaing, biaya produksi (termasuk alokasi joint cost), serta potensi margin keuntungan. Misalnya, shampo dengan merek yang kuat seperti Dove mungkin dihargai lebih tinggi karena nilai merek dan kualitasnya.

Harga Produk Sampingan (By-products):

1. Untuk produk sampingan seperti limbah kemasan atau bahan baku sisa yang masih dapat dijual atau didaur ulang, harganya lebih rendah karena nilai jualnya lebih kecil.

2. Penetapan Harga Berdasarkan Nilai Pasar atau Biaya Minimal: Produk sampingan sering kali dijual dengan harga rendah, dan jika produk sampingan tersebut memiliki nilai terbatas (misalnya, limbah yang diproses kembali menjadi bahan

(18)

bakar atau bahan campuran), maka harga akan lebih dipengaruhi oleh biaya minimal yang diperlukan untuk pengolahannya atau nilai jual pasar yang terbatas.

Contoh Implementasi Pricing di Unilever:

1. Produk Utama: Shampo atau sabun dengan harga premium.

2. Produk Sampingan: Sisa-sisa bahan baku atau limbah plastik kemasan yang diolah kembali dan dijual ke pasar dengan harga yang lebih rendah dibandingkan produk utama.

(19)

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Untuk PT Unilever Indonesia Tbk, Joint dan By-Product Costing sangat relevan dalam produksi barang konsumen yang melibatkan bahan baku yang digunakan bersama dalam satu proses. Unilever perlu menggunakan metodologi alokasi biaya yang tepat, seperti metode pengukuran fisik atau nilai jual, untuk mendistribusikan biaya produksi antara produk utama dan sampingan. Penentuan harga produk utama dan produk sampingan akan sangat dipengaruhi oleh nilai pasar serta biaya produksi yang telah dialokasikan dengan tepat.

Pricing of joint products and by-products adalah aspek penting dalam manajemen biaya yang membantu perusahaan untuk mengalokasikan biaya dengan tepat dan menetapkan harga jual produk secara strategis. Dengan menggunakan berbagai metode alokasi biaya seperti nilai pasar relatif, nilai bersih yang dapat direalisasikan, dan pendekatan berbasis biaya, perusahaan dapat memastikan bahwa produk utama dan sampingan dihargai secara sesuai dengan nilai ekonomisnya. Selain itu, optimalisasi penggunaan by-products dan adaptasi terhadap perubahan pasar merupakan strategi yang sangat penting untuk meningkatkan profitabilitas dan daya saing perusahaan.

PT Unilever Indonesia memiliki berbagai produk yang menggunakan metode joint costing dan product costing, yang keduanya digunakan untuk menghitung biaya produksi dan memastikan harga yang kompetitif di pasar. Berikut adalah ikhtisar dari kedua jenis produk ini berdasarkan laporan tahunan perusahaan:

Joint Costing: Produk-produk seperti Bango dan Royco, yang menggunakan bahan baku lokal seperti kedelai hitam dan rempah-rempah, merupakan contoh produk yang kemungkinan besar memiliki proses joint costing. Selama produksi, beberapa bahan baku dapat menghasilkan produk sampingan yang dapat dimanfaatkan kembali atau dijual untuk mengoptimalkan biaya produksi.

Unilever juga mengelola sisa bahan baku dari proses produksi dengan mengalihkannya menjadi pakan ternak, terutama dari produksi Bango dan Royco.

(20)

Product Costing: Produk perawatan pribadi seperti sabun dan deterjen, serta produk makanan seperti es krim dan minuman berbasis teh (contohnya, produk-produk kecantikan dan minuman SariWangi), menggunakan product costing karena proses produksinya lebih langsung dan produk akhirnya tidak dibagi dalam beberapa produk sampingan.

Biaya produksi dihitung untuk masing-masing produk agar sesuai dengan standar kualitas yang tinggi dan efisiensi biaya dalam setiap tahap produksi, dari bahan baku hingga produk jadi.

Dalam keseluruhan prosesnya, PT Unilever Indonesia mengadopsi sistem pengelolaan biaya yang ketat guna mencapai efisiensi biaya dan keberlanjutan produk-produknya.

Logika yang digunakan untuk mengalokasikan biaya ke produk bersama dan produk sampingan tidak terlalu berkaitan dengan metode alokasi yang diperoleh secara ilmiah, tetapi lebih berkaitan dengan menemukan cara cepat dan mudah untuk mengalokasikan biaya yang cukup dapat dipertahankan (seperti yang akan kita lihat di bagian berikutnya). Alasan penggunaan metodologi sederhana adalah karena para penyebar GAAP menyadari bahwa tidak ada manfaat nyata bagi manajemen untuk biaya bersama yang dialokasikan—biaya tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan titik impas, menetapkan harga optimal, atau mencari tahu profitabilitas pasti dari masing- masing produk. Sebaliknya, biaya tersebut digunakan untuk salah satu tujuan berikut, yang sifatnya lebih administratif:

3.2 Saran

Berikut adalah saran singkat terkait Joint and By-Product Costing untuk PT Unilever Indonesia Tbk:

1. Metode Alokasi Biaya yang Tepat: Gunakan metode sales value at split-off atau net realizable value (NRV) untuk alokasi biaya antara produk utama dan produk sampingan. Produk dengan harga jual lebih tinggi, seperti shampo premium, dapat dibebani biaya lebih besar.

2. Optimalisasi Produk Sampingan: Memaksimalkan pemanfaatan produk sampingan, seperti limbah plastik atau bahan sisa, untuk dijual atau diproses ulang. Ini dapat mengurangi biaya dan mendukung keberlanjutan.

(21)

3. Penggunaan Sistem ERP yang Canggih: Implementasikan sistem Enterprise Resource Planning (ERP) untuk memonitor biaya produksi secara real-time dan memastikan alokasi biaya yang akurat serta efisien.

4. Evaluasi Harga dan Biaya Secara Berkala: Lakukan review tahunan terhadap metode alokasi biaya dan harga produk, terutama dalam menghadapi fluktuasi harga bahan baku atau perubahan permintaan pasar.

5. Keberlanjutan dalam Pengelolaan Produk Sampingan: Fokuskan pada pengolahan produk sampingan dengan nilai tambah, misalnya daur ulang bahan kemasan atau limbah untuk produk ramah lingkungan, guna meningkatkan citra keberlanjutan.

6. Optimalisasi Rantai Pasokan: Tingkatkan efisiensi rantai pasokan untuk mengurangi biaya joint, seperti bekerja lebih efisien dengan pemasok dan menerapkan lean manufacturing.

Dengan menerapkan saran-saran ini, PT Unilever dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi dan memaksimalkan keuntungan dari produk utama maupun produk sampingan.

Referensi

Dokumen terkait

bermaksud mengadakan penelitian dengan judul : “ANALISIS KINERJA LAPORAN KEUANGAN (Study Kasus BANK RAKYAT INDONESIA Tbk.

Fitri Wahyuni (0905992 ), “ Pengaruh Profitabilitas terhadap Harga Saham (Studi Kasus pada Laporan Keuangan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk. Di bawah bimbingan

Strategi komunikasi Dalam Upaya Mendukung Transparansi Good Corporate Governance (Studi Kasus Tentang Transparansi PT. Unilever Indonesia, Tbk.). Menyatakan dengan

PENERAPAN AKUNTANSI PERTANGGUNGJAWABAN BIAYA SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN MANAJEMEN PADA PT.. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk

Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya perhitungan VaR portofolio pada saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Unilever Tbk

Permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini meliputi :1 Bagaimana pengaruh price to book value pada PT Unilever Tbk selama periode 2016-2021 pada perusahaan yang terdaftar di BEI?;

Bagaimana pengaruh rasio likuiditas terhadap dividen payout ratio pada PT Unilever Indonesia Tbk periode Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2021?. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk Cabang Binjai menilai kincrja manajemen melalui analisis rasio keuangan terhadap neraca dan laporan rugi laba dan Rasio keuangan yang digunakan PT