• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Kesehatan yang Serius

N/A
N/A
Hasmina Mina

Academic year: 2024

Membagikan " Masalah Kesehatan yang Serius"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

i

RSUD dr. RM PRATOMO BAGANSIAPIAPI

Oleh :

ANDIKA NIM : 2341040

PROGRAM STUDY PROFESI NERS STIKES TENGKU MAHARATU PEKANBARU

2024

(2)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit stroke merupakan masalah kesehatan yang utama bagi masyarakat modern saat ini. Stroke menjadi masalah serius yang dihadapi di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan Stroke adalah penyebab kematian ketiga terbanyak setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Stroke merupakan suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan bahkan kematian (Batticaca B Fransisca, 2011). Yang dimana pada tahun 2013, diperkirakan 6,4 juta kematian (11,8%

dari semua kematian) disebabkan oleh stroke (Kim, Cahill, & Cheng, 2015).

Stroke dibagi dalam dua kategori mayor yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke non hemoragik terjadi karena aliran darah ke otak terhambat akibat aterosklorosis atau pembekuan darah. Sedangkan stroke hemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah otak sehingga menyebabkan terhambat aliran darah ke otak, darah merembas ke area otak dan merusaknya (Batticaca B Fransisca, 2011).

Otak sangat bergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan oksigen. Jika aliran darah kesetiap bagian otak terhambat karena thrombus dan embolus, maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak.

Kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan

(3)

nekrosisi mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik kemudian disebut infark, 2 hal ini menyebabkan terjadinya infark pada otak yang akan mempengaruhi kontrol motorik karena neuron dan jalur medial atau venteral berperan dalam kontrol otot-otot (Wijaya & Putri, 2013).

Amerika serikat, stroke merupakan penyebab utama kecacatan orang dewasa jangka Panjang dan penyebab kematian nomor lima dengan 795.000 peristiwa setiap tahun. Diperkirakan akan meningkat prevalensi stroke oleh 3,4 juta orang antara tahun 2012 dan 2030 (A. Boehme, C. Esenwa, 2018).

Prevalensi penyakit stroke tertinggi didunia adalah china dengan prevalensi stroke 69,6%, perdarahan intraserebral 23,8% dan 15,8%, perdarahan subarachnoid 4,4% dan 4,4%, dan tipe yang tidak ditentukan 2,1%

dan 2,0%, dengan hipertensi 88%, merokok 48%, dan penggunaan alcohol 44% (Wang et al., 2017).

Penyakit Stroke di Indonesia merupakan terbanyak dan menduduki urutan pertama di Asia. Jumlah kematian yang disebabkan oleh stroke menduduki urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59 tahun. Wilayah Kalimantan Timur merupakan wilayah tertinggi pengidap penyakit stroke dengan (14,7%), diikuti Di Yogyakarta (14,3%) Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing (11,4%) dan Bali berada pada posisi 17 dengan (10,8%) (RISKESDAS 2018).

Stroke menempati posisi pertama sebagai penyebab kematian dirumah sakit. Stroke tidak hanya menyerang masyarakat berkecukupan tapi juga warga sosial ekonomi rendah. Di Indonesia diperkirakan tiap tahun terjadi

(4)

500.000 penduduk terkena serangan stroke dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal sedangkan sisanya mengalami kecacatan (Ratna, 2011).

Begitu banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stroke, faktor risiko terjadinya stroke terbagi lagi menjadi faktor risiko yang dapat dirubah dan faktor risiko yang tidak dapat dirubah. Faktor risiko yang tidak dapat dirubah dan dikontrol pengaruhnya terhadap kejadian stroke, diantaranya yaitu faktor keturunan, ras, umur dan jenis kelamin. Sedangkan faktor risiko yang dapat dirubah yaitu hipertensi, penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, merokok, alcohol, peningkatan kolestrol, dan obesitas (Wijaya & Putri, 2013).

Sebagian besar penderita stroke hemoragik cenderung akan mengalami gangguan mobilitas fisik, pasien stroke dengan gangguan mobilisasi hanya berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi karena keterbatasan tersebut yang menyebabkan munculnya masalah keperawatan yaitu gangguan mobilitas fisik (Mubarak, Indrawati, & Susanto, 2015.)

Menurut PPNI, gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih esktremitas secara mandiri. Menurut PPNI, kriteria mayor untuk diagnosa keperawatan gangguan mobilitas fisik adalah mengeluh sulit menggerakan ekstremitas, kekuatan otot menurun dan rentang gerak menurun (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengangkat kasus stroke ini dikarenakan melihat dari penderita stroke yang mengalami peningkatan setiap tahunnya dan tergolong penyakit yang beresiko tinggi.

(5)

Serangan stroke dapat menimbulkan cacat fisik yang permanen. Cacat fisik dapat mengakibatkan seseorang kurang produktif. Oleh karena itu pasien stroke memerlukan rehabilitasi untuk meminimalkan cacat fisik agar dapat menjalani aktivitasnya secara normal. Rehablitasi harus dimulai sedini mungkin secara cepat dan tepat sehingga dapat membantu pemulihan fisik yang lebih cepat dan optimal, serta menghindari kelemahan otot dan gangguan fungsi lain.

Pasien dengan stroke akan mengalami gangguan-gangguan yang bersifat fungsional. Gangguan sensoris dan motorik post stroke mengakibatkan gangguan keseimbangan termasuk kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak, serta gangguan kontrol motorik dan sensorik.

Fungsi yang hilang akibat gangguan kontrol motorik pada pasien stroke mengakibatkan hilangnya koordinasi, hilangnya kemampuan keseimbangan tubuh dan postur (kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu) (Irfan 2010).

Pemulihan motoris anggota gerak atas dapat terjadi oleh karena pemberian latihan seperti mobilisasi dan rangsangan taktil. Mobilisasi adalah suatu pergerakan yang dihasilkan dari perubahan posisi tubuh atau perpindahan lokasi. Mobilisasi yang digunakan dibantu dengan masase, stretching, gerakan pasif sendi, dan gerakan aktif dibantu. Untuk rangsangan taktil yang diberikan yaitu menggosok kulit daerah anggota gerak atas dengan sikat yang dilakukan berulang-ulang.

(6)

Rangsangan taktil pada prinsipnya harus menimbulkan kontraksi otot, sehingga akan merangsang muscle spindle dan Golgi tendon. Impuls yang berasal dari kedua organ tersebut dikirim oleh serat konduksi bermielin.

Impuls propioseptif lain yang berasal dari reseptor fasia, sendi, dan jaringan ikat yang lebih dalam, juga dalam serat yang kurang bermielin. Rangsangan taktil akan merangsang propioseptor pada kulit dan persendian, serta muscle spindle yang akan bereaksi dengan dikirimnya impuls ke motoneuron anterior.

Perangsangan neuron ini menyebabkan peningkatan kontraksi secara singkat.

Rangsangan pada muscle spindle dan Golgi tendon akan diinformasikan melalui saraf aferen ke susunan saraf pusat sehingga akan mengkontribusikan fasilitasi dan inhibisi. Rangsangan taktil yang diulang- ulang akan memberikan informasi ke mekanisme supraspinal sehingga terjadi pola gerak yang terintegrasi dan menjadi gerakan-gerakan pola fungsional. Mobilisasi (gerak sendi pasif) dan rangsangan taktil secara bersamaan merupakan intervensi terapi yang tepat dan efektif yang berpotensi untuk memulai proses pengaktivasian otot pada stroke dengan memberikan informasi proprioseptif dan somatosensoris yang signifikan pada otak, serta memfasilitasi langsung aktivasi korteks motorik primer dan sistem kortikospinal untuk meningkatkan aktivasi motoric

(7)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah: “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Stroke Hemoragik Dengan Terapi Mobilisasi Dini di Ruang Flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere

C. Tujuan Penelitian Studi Kasus 1. Tujuan umum

Penelitian ini adalah untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada pasien dengan stroke hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang Flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere.

2. Tujuan khusus

Secara khusus penelitian pada pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere bertujuan untuk:

a. Mendeskripsikan pengkajian pada pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere

b. Mendeskripsikan diagnosis keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyant RSUD dr. T.C Hillers Maumere

(8)

c. Mendeskripsikan rencana keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyant RSUD dr. T.C Hillers Maumere

d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere

e. Mendeskripsikan evaluasi keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

a. Hasil dari penelitian diharapkan bisa menjadi bahan untuk memperdalam ilmu keperawatan dan menambah pengetahuan penelitian mengenai asuhan keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere.

b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian yang terkait dengan asuhan keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD Tc. Hillers Maumere

(9)

digunakan untuk referensi dalam penyusunan Standar Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere b. Bagi perawat pelaksana dapat digunakan sebagai dasar untuk

meningkatkan mutu asuhan keperawatan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik dengan terapi mobilisasi dini di Ruang flamboyan RSUD dr. T.C Hillers Maumere

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi umpan balik bagi perawat pelaksana tentang dokumentasi

(10)

BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Medis

1. Pengertian Stroke Hemoragik

Definisi stroke menurut WHO (2017) adalah suatu gangguan disfungsi neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau setidak- tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala-gejala dan tanda-tanda yang sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu (WHO, 2017).

Menurut Batticaca (2016), Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan perdarahan di otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian.

Stroke secara umum merupakan defisit neurologis yang mempunyai serangan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari terganggunya pembuluh darah otak (Hudak dan Gallo, 2016).

a. Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh darah pada otak. Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di dalam otak pecah. Otak sangat sensitif terhadap perdarahan dan kerusakan dapat terjadi dengan sangat cepat. Pendarahan di dalam otak dapat mengganggu jaringan otak, sehinga menyebabkan

9

(11)

pembengkakan, mengumpul menjadi sebuah massa yang disebut hematoma. Pendarahan juga meningkatkan tekanan pada otak dan menekan tulang tengkorak ( Silva, 2017).

Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak merupakan pusat kendali fungsi tubuh yang rumit dengan sekitar 100 millar sel saraf, walaupun berat total otak hanya sekitar 2,5% dari berat tubuh, 70 % oksigen dan nutrisi yang diperlukan tubuh ternyata digunakan oleh otak. Berbeda dengan otak dan jaringan lainya. Otak tidak mampu menyimpan nutrisi agar bisa berfungsi, otak tergantung dari pasokan aliran darah, yang secara kontinyu membawa oksigen dan nutrisi. Pada dasarnya otak terdiri dari tiga bagian besar dengan fungsi tertentu yaitu:

1) Otak besar, Otak besar yaitu bagian utama otak yang berkaitan dengan fungsi intelektual yang lebih tinggi, yaitu fungsi bicara, integritas informasi sensori ( rasa ) dan kontrolgerakan yang

(12)

halus. Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu, lobus frontalis, lobus parientalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis.

2) Otak kecil, Terletak dibawah otak besar berfungsi untuk koordinasi gerakan dan keseimbangan.

3) Batang otak, Berhubungan dengan tulang belakang, mengendalikan berbagai fungsi tubuh termasuk koordinasi gerakan mata, menjaga keseimbangan, serta mengatur pernafasan dan tekanan darah. Batang otak terdiri dari, otak tengah, pons dan medula oblongata.

Menurut Muttaqin (2017), ada beberapa faktor risiko stroke hemoragik, yaitu.

1) Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang menekan dinding arteri sampai pecah.

2) Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung 3) Peningkatan hemotokrik meningkatkan risiko infark serebral.

4) Kontasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi).

5) Konsumsi alkohol.

6) Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti payudara, kulit, dan tiroid.

(13)

7) Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid dalam dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar.

8) Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin).

9) Overdosis narkoba, seperti kokain.

2. Etiologi

Menurut Batticaca (2016), Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan intracranial dengan gejala peningkatan tekana darah systole >200 mmHg pada hipertonik dan 180 mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah keunguan, sianosis, dan pernafasan mengorok. Penyebab stroke hemoragik, yaitu :

a. Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak.

b. Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak.

c. Adanya sumbatan bekuan darah di otak

3. Manifestasi Klinis

Gejala stroke hemoragik bervariasi tergantung pada lokasi pendarahan dan jumlah jaringan otak yang terkena. Gejala biasanya muncul tiba-tiba, tanpa peringatan, dan sering selama aktivitas. Gejala mungkin sering muncul dan menghilang, atau perlahan-lahan menjadi lebih buruk dari waktu ke waktu.

(14)

Gejala stroke hemoragik bisa meliputi:

a. Perubahan tingkat kesadaran (mengantuk, letih, apatis, koma).

b. Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.

c. Kesulitan menelan.

d. Kesulitan menulis atau membaca.

e. Sakit kepala yang terjadi ketika berbaring, bangun dari tidur, membungkuk, batuk, atau kadang terjadi secara tiba-tiba.

f. Kehilangan koordinasi.

g. Kehilangan keseimbangan.

h. Perubahan gerakan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti kesulitan menggerakkan salah satu bagian tubuh, atau penurunan keterampilan motorik.

i. Mual atau muntah.

j. Kejang.

k. Sensasi perubahan, biasanya pada satu sisi tubuh, seperti penurunan sensasi, baal atau kesemutan.

l. Kelemahan pada salah satu bagian tubuh.

4. Patofisiologi

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi : arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20 menit maka akan

(15)

terjadi infark atau kematian jaringan. Akan tetapi dalam hal ini tidak semua oklusi di suatu arteri menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai di daerah tersebut. Dapat juga karena keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri seperti aterosklerosis dan trombosis atau robeknya dinding pembuluh darah dan terjadi peradangan, berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah misalnya syok atau hiperviskositas darah, gangguan aliran darah akibat bekuan atau infeksi pembuluh ektrakranium dan ruptur vaskular dalam jaringan otak. (Sylvia A. Price dan Wilson, 2016).

5. Komplikasi

Menurut Batticaca (2016) : a. Gangguan otak yang berat.

b. Kematian bila tidak dapat mengontrol respons pernafasan atau kardiovaskular.

6. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Batticaca (2017), Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dilakukan adalah :

a. Laboratorium : darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan serebrospinal, analisa gas darah, biokimia darah, elektolit.

(16)

b. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.

c. Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis)

d. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.

e. MRI (magnetic resonance imaging) : menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.

f. EEG (elektroensefalogram) : memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

g. Sinar-X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosit serebral ; klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid.

7. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan penderita dengan stroke hemoragik adalah sebagai berikut (Sylvia dan Lorraine, 2016) :

a. Posisi kepala dan badan atas 20–30 derajat, posisi miring apabila muntah dan boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.

b. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan oksigen sesuai kebutuhan.

(17)

c. Tanda – tanda vital diusahakan stabil.

d. Bed rest.

e. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia.

f. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu kateterisasi.

h. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonok.

i. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK.

j. Nutrisi peroral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. apabila kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT.

k. Penatalaksanaan spesifiknya yaitu dengan pemberian obat neuroprotektor, antikoagulan, trombolisis intraven, diuretic, antihipertensi, dan tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi.

B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Klien Stroke Hemoragik 1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan upaya untuk pengumpulan data secara lengkap dan sistematis mulai dari pengumpulan data, identitas dan evaluasi status kesehatan klien(Tarwoto, 2017). Hal-hal yangperlu dikaji antara lain:

(18)

a. Identitas Klien

Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register dan diagnosis medis.

b. Keluhan utama

Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.

c. Riwayat penyakit sekarang

Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.

d. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif dan kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat

(19)

antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

e. Riwayat penyakit keluarga

Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.

f. Pengkajian psikososial spiritual

Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

g. Pemeriksaan Fisik 1) Kesadaran

Biasanya pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran pasien mengantuk namun dapat sadar saat dirangsang (samnolen), pasien acuh tak acuh terhadap lingkungan (apati), mengantuk yang dalam (sopor), spoor coma, hingga penrunn kesadaran (coma), dengan

(20)

GCS < 12 pada awal terserang stroke. Sedangkan pada saat pemulihan biasanya memiliki tingkat kesadaran letargi dan compos mentis dengan GCS 13-15.

2) Tanda-tanda Vital a) Tekanan darah

Biasanya pasien dengan stroke non hemoragik memiliki riwatatekanan darah tinggi dengan tekanan systole > 140 dan diastole > 80. Tekanan darah akan meningkat dan menurun secara spontan. Perubahan tekanan darah akibat stroke akan kembali stabil dalam 2-3 hari pertama.

b) Nadi

Nadi biasanya normal 60-100 x/menit c) Pernafasan

Biasanya pasien stroke non hemoragik mengalami gangguan bersihan jalan napas

d) Suhu

Biasanya tidak ada masalah suhu pada pasien dengan stroke non hemoragik

3) Rambut

Biasanya tidak ditemukan masalah rambut pada pasien stroke non hemoragik

(21)

4) Wajah

Biasanya simetris, wajah pucat. Pada pemeriksaan Nervus V (Trigeminus) : biasanya pasien bisa menyebutkan lokasi usapan dan pada pasien koma, ketika diusap kornea mata dengan kapas halus, pasien akan menutup kelopak mata. Sedangkan pada nervus VII (facialis) : biasanya alis mata simetris, dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi, mengerutkan hidung, menggembungkan pipi, saat pasien menggembungkan pipi tidak simetris kiri dan kanan tergantung lokasi lemah dan saat diminta mengunyah, pasien kesulitan untuk mengunyah.

5) Mata

Biasanya konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, kelopakmata tidak oedema. Pada pemeriksaannervus II (optikus): biasanya luas pandang baik 90°, visus 6/6. Pada nervus III (okulomotorius): biasanya diameter pupil 2mm/2mm, pupil kadang isokor dan anisokor, palpebral dan reflek kedip dapat dinilai jika pasien bisa membuka mata. Nervus IV (troklearis):

biasanya pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke atas danbawah. Nervus VI (abdusen): biasanya hasil yang di dapat pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke kiri dan kanan.

6) Hidung

Biasanya simetris kiri dan kanan, terpasang oksigen, tidak ada pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan nervus I

(22)

(olfaktorius): kadang ada yang bisa menyebutkan bauyang diberikan perawat namun ada juga yang tidak, dan biasanya ketajaman penciuman antara kiri dan kanan berbeda danpada nervus VIII (vetibulokoklearis): biasanya pada pasoien yang tidak lemah anggota gerak atas, dapat melakukan keseimbangan gerak tangan – hidung.

7) Mulut dan gigi

Biasanya pada pasien apatis, spoor, sopor coma hingga coma akan mengalami masalah bau mulut, gigi kotor, mukosa bibir kering.

Pada pemeriksaan nervus VII (facialis): biasanya lidah dapat mendorong pipi kiri dan kanan, bibir simetris, dan dapat menyebutkanrasa manis dan asin. Pada nervus IX (glossofaringeus): biasanya ovule yang terangkat tidak simetris, mencong kearah bagian tubuh yang lemah dan pasien dapat merasakan rasa asam dan pahit. Pada nervus XII (hipoglosus) : biasanya pasien dapat menjulurkan lidah dan dapat dipencongkan ke kiri dan kanan, namun artikulasi kurang jelas saat bicara.

8) Telinga

Biasanya sejajar daun telinga kiri dan kanan. Pada pemeriksaan nervus VIII (vestibulokoklearis): biasanya pasien kurang bisa mendengarkan gesekan jari dariperawat tergantung dimana lokasi kelemahan dan pasien hanya dapat mendengar jika suara dan kerasdengan artikulasi yang jelas.

(23)

9) Leher

Pada pemeriksaan nervu X (vagus): biasanya pasien stroke non hemoragik mengalami gangguan menelan. Pada pemeriksaan kaku kuduk biasanya (+) dan bludzensky 1 (+).

10) Paru-paru

Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan

Palpasi : biasanya fremitus sama antara kiri dan kanan Perkusi : biasanya bunyi normal sonor

Auskultasi : biasanya suara normal vesikuler 11) Jantung

Inspeksi : biasanya iktus kordis tidak terlihat Palpasi : biasanya iktus kordis teraba Perkusi : biasanya batas jantung normal Auskultasi : biasanya suara vesikuler

12) Abdomen

Inspeksi : biasanya simetris, tidak ada asites Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar Perkusi : biasanya terdapat suara tympani

Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar

Pada pemeriksaan reflek dinnding perut, pada saat perut pasien digores, biasanya pasien tidak merasakan apa-apa.

(24)

13) Ekstremitas a) Atas

Biasanya terpasang infuse bagian dextra atau sinistra.Capillary Refill Time (CRT) biasanya normal yaitu <2 detik. Pada pemeriksaan nervus XI (aksesorius): biasanyapasien stroke non hemoragik tidak dapat melawan tahananpada bahu yang diberikan perawat. Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat siku diketuk tidak ada respon apa-apa dari siku, tidak fleksi maupun ekstensi (reflek bicep (-). Sedangkan pada pemeriksaan reflek Hoffman tromner biasanya jari tidak mengembang ketika di beri reflek (reflek Hoffman tromner (+).

b) Bawah

Pada pemeriksaan reflek, biasanya pada saat pemeriksaan bluedzensky 1 kaki kiri pasien fleksi ( bluedzensky (+)). Pada saat telapak kaki digores biasanya jari tidak mengembang (reflek babinsky (+)). Pada saat dorsal pedis digores biasanya jari kaki juga tidak berespon ( reflek Caddok (+)). Pada saat tulang kering digurut dari atas ke bawah biasanya tidak ada respon fleksi atau ekstensi ( reflek openheim (+)) dan pada saat betis di remas dengan kuat biasanya pasien tidak merasakan apaapa ( reflek Gordon (+)). Pada saat dilakukan treflek patella biasanya femur tidak bereaksi saat diketukkan (reflek patella(+)).

(25)

14) Aktivitas dan Istirahat

a) Gejala : merasa kesulitan untuk melakukann aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri atau kejang otot).

b) Tanda : gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadikelemahan umum, gangguan pengelihatan, gangguan tingkat kesadaran.

15) Sirkulasi

a) Gejala : adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipertensi postural.Tanda : hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme atau malformasi vaskuuler, frekuensi nadi bervariasi dan disritmia.

16) Integritas Ego

a) Gejala : Perasaan tidak berdaya dan perasaan putus asa

b) Tanda : emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.

17) Eliminasi

a) Gejala : terjadi perubahan pola berkemih

b) Tanda : distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.

(26)

18) Makanan atau Cairan

a) Gejala : nafsu makan hilang,mual muntah selama fase akut, kehilangan sensasi pada lidah dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah b) Tanda : kesulitan menelan dan obesitas.

19) Neurosensori

a) Gejala : sakit kepala, kelemahan atau kesemutan, hilangnya rangsang sensorik kontralateral pada ekstremitas, pengelihatan menurun, gangguan rasa pengecapan dan penciuman.

b) Tanda : status mental atau tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragik, gangguan fungsi kongnitif, pada wajah terjadi paralisis, afasia, ukuran atau reaksi pupil tidak sama, kekakuan, kejang.

20) Kenyamanan atau Nyeri

a) Gejala : sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda b) Tanda : tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan

pada otot 21) Pernapasan

a) Gejala : merokok

b) Tanda : ketidakmampuan menelan atau batuk , hambatan jalan napas, timbulnya pernapasan sulit dan suara nafas terdengar ronchi.

(27)

22) Keamanan

a) Tanda : masalah dengan pengelihatan, perubahan sensori persepsi terhadap orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespon, terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam menelan.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017). Diagnosa yang akan muncul pada kasus stroke non hemoragik dengan menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia dalam Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) yaitu:

a. Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (D.0017).

Defenisi ; mengalami penurunan tidak efektif Faktor resiko :

1) Keabnormalan masa protombin dan masa tromblopastin parsial 2) Penurunan kinerja ventrikel kiri

3) Aterosklerosis aorta 4) Diseksi Arteri 5) Fibrilasi atrium

(28)

6) Tumor otak 7) Stenosis karotis 8) Miksoma atrium 9) Aneurisma serebri

10) Koagulopati (mis anemi sel sabit) 11) Dilatasi kardiomiopati

12) Koagulasi (mis anemi sel sabit) 13) Embolisme

14) Cedera Kepala 15) Hiperkolesteronemia 16) Hipertensi

17) Endokarditis infektif 18) Katup protetik mekanis 19) Stenosis mitral

20) Neoplasma otak 21) Infark miokard akut 22) Sindrom sick sinus 23) Penyalahgunaan zat 24) Terapi tombolitik

25) Efek samping tindakan (mis tindakan operasi bypass) Kondisi Klinis terkait

1) Stroke

2) Cedera kepala

(29)

3) Aterosklerosis aortic 4) Infark miokard akut 5) Diseksi arteri 6) Embolisme

7) Endokarditis infektif 8) Fiblilasi antrium 9) Hiperkolesterolemia 10) Hipertensi

11) Dilatasi kardiomiopati

12) Koagulasi intravaskuler diseminata 13) Miksoma atrium

14) Neoplasma otak

15) Segmen ventrikel kiri akineti 16) Sindrim sick sinus

17) Stenosis mitral 18) Hidrosefalus

19) Infeksi otak (mis meningitis, ensefalitis, abses serebri)

b. Nyeri Akut (D.0077).

Definisi :Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.

(30)

Penyebab

1) Kondisi musculoskeletal kronis 2) Kerusakan sistem saraf

3) Penekanan saraf 4) Infiltrasi tumor

5) Ketidakseimbangan neurotransmitter, neuromodulator, dan reseptor.

6) Gangguan imunitas (mis. Neuropati HIV, virus varicella-zoster) 7) Gangguan fungsi metabolik

8) Riwayat posisi kerja statis 9) Peningkatan indeks masa tubuh\

10) Kondisi pasca trauma 11) Tekanan emosional

12) Riwayat penganiayaan (mis. Fisik, psikologis, seksual) 13) Riwayat penyalahgunaan

obat/zat Gejala dan tanda mayor Subjektif :

1) Mengeluh nyeri 2) Merasa depresi (tertekan) Objektif : 1) Tampak meringis 2) Gelisah

3) Tidak mampu menuntaskan aktivitas

(31)

Gejala minor Subjektif :

1) Merasa takut mengalami cedera berulang Objektif :

1) Bersikap protektif (mis. Posisi menghindari nyeri) 2) Waspada

3) Pola tidur berubah 4) Anoreksia

5) Focus menyempit 6) Berfokus pada diri sendiri Kondisi klinis terkait

1) Kondisi kronis (mis. Arthritis rheumatoid) 2) Infeksi

3) Cedera medulla spinalis 4) Konsisi pasca trauma 5) Tumor

Tujuan dan Kriteria Hasil

Pengalaman sensorikatau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan berintesitas ringan hingga berat dan konstan

Ekspetasi : menurun

(32)

c. Gangguan Mobilitas Fisik

Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstermitas secara mandiri

Penyebab :

1) Kerusakan integirtas struktur tulang 2) Perubahan metabolism

3) Ketidakbugaran fisik 4) Penurunan kendali otot 5) Penurunan massa otot 6) Penurunan kekuatan otot 7) Keterlambatan perkembangan 8) Kekauan sendi

9) Kontraktur 10) Malnutrisi

11) Gangguan musculoskeletal 12) Gangguan neuromuscular

13) Indeks masa tubuh diatas persentil ke 75 sesuai usia 14) Efek agen farmakologis

15) Program pembatasan gerak 16) Nyeri

17) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik 18) Kecemasan ‘gangguan kognitif

19) Keengganan melakukan pergerakan

(33)

20) Gangguan sensori persepsi Gejala dan tanda mayor Subjektif :

1) Mengeluh sulit menggerakan akstermitas Objektif :

1) Kekuatan otot menurun, Rentang Gerak menurun (ROM) Gejala dan tanda minor

Subjektif :

1) Nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan Objektif :

1) Sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi

d. Risiko Jatuh (D.0143)

Definisi: Berisiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan kesehatan akibat terjatuh

Faktor risiko:

1) Usia>65 tahun (pada dewasa) atau <2 tahun (pada).

2) Riwayat jatuh.

3) Anggota gerak bawah prosthesis (buatan).

4) Penggunaan alat bantu berjalan.

5) Penurunan tingkat kesadaran 6) Perubahan fungsi kognitif.

7) Lingkungan tidak aman (mis.licin, gelap, lingkungan asing).

(34)

8) kondisi pasca operasi.

9) Hipotensi ortostatik.

10) Perubahan kadar glukosa darah.

11) Anemia.

12) Kekuatan otot menurun 13) Gangguan pendengaran.

14) Gangguan kesimbangan

15) Gangguan pengelihatan (mis. Glaucoma, katarak, ablasio, retina, neuritis optikus).

16) Neurpati.

17) Efek agen farmakologi (mis. Sedari, alcohol, anastesi umum).

Kondisi klinis terkait 1) Osteoporosis.

2) Kejang.

3) Penyakit serebrovaskuler.

4) Katarak.

5) Glaucoma.

6) Demensia.

7) Hipotensi.

8) Amputasi.

9) Intoksikasi.

10) Preeclampsia.

(35)

Tujuan & Kriteria Hasil:

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, keparahan dan cedera yang diamati atau dilaporkan menurun.

3. Intervensi Keperawatan

a. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif Intervensi :

Manajemen Peningkatan Tekanan intracranial

Defenisi: mengidentifikasi dan mengelola peningkatan tekanan dalam rongga kranial

Observasi

1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis . lesi, gangguan metabolisme, edema serebral

2) Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK (mis tekanan darah meningkat, tekanan nadi melebar, bradikardia, pola naps ireguler, kesadaran menurun)

3) Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)

4) Monitor CVP (Central Venous Pressure) jika perlu 5) Monitor status pernapasan

6) Monitor intake dan output cairan Terapeutik

1) Meminimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang

(36)

2) Berikan posisi semi fowler 3) Pertahankan suhu tubuh normal Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu 2) Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu

b. Gangguan Mobilitas Fisik Dukungan Mobilisasi : Observasi :

1) Identidikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya 2) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan

3) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi

Terapeutik :

1) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu

2) Fasilitasi melakukan pergerakan ROM Pasif dan Aktif

3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam peningkatan pergerakan

Edukasi :

1) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi 2) Anjurkan melakukan mobilisasi dini

3) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis: duduk ditempat tidur, pindah dari tempat duduk ke kursi roda.

(37)

c. Resiko Jatuh Pencegahan Cidera Observasi:

1) Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera.

2) Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cidera

3) Identifikasi kesesuaian alas kaki atau stoking elastis pada ekstremitas bawah

Terapeutik:

1) Sediakan pencahayaan yang memadai

2) Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan rawat inap 3) Sediakan alas kaki antislip

4) Sediakan urinal untuk eliminasi di dekat tempat tidur, Jika perlu 5) Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau

6) Diskusikan mengenai latihan dan terapi fisik yang diperlukan.

7) Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan pasien, sesuai kebutuhan

Edukasi

1) Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga 2) Anjurkan berganti posisi secara perlahan dan duduk beberapa

menit sebelum berdiri

(38)

Manajemen Keselamatan Lingkungan Observasi:

1) Identifikasi kebutuhan keselamatan 2) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan Terapeutik:

1) Hilangkan bahaya keselamatan, Jika memungkinkan 2) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan risiko

3) Sediakan alat bantu kemanan linkungan (mis. Pegangan tangan) 4) Gunakan perangkat pelindung (mis. Rel samping, pintu terkunci,

pagar) Edukasi

1) Ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya lingkungan

d. Nyeri Observasi:

1) Identifikasilokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kuaiitas, intensitas nyeri

2) Identifikasi skala nyeri

3) Identifikasi respons nyeri non verbal

4) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri 5) Identifikasi pengetahuan dan kenyakinan tentang nyeri

(39)

Terapeutik :

1) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeed back, terapipijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)

2) Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri(suhuruangan, pencahayaan, kebisingan)

3) Fasilitas istirahat dan tidur

4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi :

1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 2) Jelaskan strategi meredakan nyeri

3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

5) Ajarkan teknik nonfarmakologi suntuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi :

1) Kolaborasi pemberian analgetik

2) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 3) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup

4) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 5) Monitor efek samping penggunaan analgetik

(40)

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pada penelitian ini meneliti tentang Identifikasi Faktor Dominan Penyebab Gagal Ginjal Kronik, sedangakan penelitian diatas menelititi Gambaran Stress pada

Dokumen ini membahas tentang gizi dan

Dokumen ini membahas tentang beberapa perubahan seluler yang terkait dengan penyakit

Dokumen ini membahas tentang penelitian yang menggunakan algoritma pengklasifikasi untuk membuat model prediksi penyakit stroke yang

Dokumen ini membahas tentang pentingnya mobilisasi untuk kesehatan manusia, khususnya dalam mengatasi penyakit

Dokumen ini membahas tentang kewaspadaan standar di lingkungan kesehatan untuk mencegah penularan penyakit

Dokumen tersebut membahas tentang langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah penyakit dan menjaga

Dokumen ini membahas tentang aspek laboratorium penyakit tidak menular stroke, termasuk perbedaan kadar kolesterol total pada pasien stroke iskemik dan