Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
1
“Dia tak sepenuhnya salah, tetapi dia juga tidak sepenuhnya benar…
Mereka menjadi seperti itu pasti karena lingkungannya…”
-Pangeran Nasution, 2010
Barisan kata-kata itu sudah tentu pernah kita dengarkan dalam keseharian kita. Sebentuk pernyataan yang mengajak kita untuk berefleksi atau berpikir sejenak, bahwa betapa lingkungan merupakan suatu hal yang begitu signifikan keberadaannya menyertai fase kehidupan kita, baik dalam penyertaan biologis, sosial, maupun kultural. Ada yang mengatakan bahwa lingkungan itu hanya ada karena dihuni oleh suatu organisme (hidup tertentu). Oleh karena itu, sepetak ladang adalah lingkungan bagi pertumbuhan dan kehidupan seekor sapi, segumpal kotoran sapi merupakan lingkungan bagi seekor kumbang-kotoran, dan cangkang kumbang-kotoran adalah lingkungan bagi seekor kutu parasit.
Pengertian lingkungan semacam ini merupakan rumusan dari ilmu-ilmu biologi yang mencoba menunjukkan bahwa tiap kelompok manusia dan individu mempunyai lingkungannya sendiri, dan kemudian masing-masing mereka membentuk bagian lingkungan bagi mahluk lainnya. Lingkungan dalam hal ini secara sederhana juga berarti ‘sistem yang meliputi’ (encompassing system).1
Berbagai studi tentang manusia dan lingkungan telah melahirkan bermacam hasil tulisan dengan berbagai kandungan pendekatan dan pemikirannya masing- masing, demi mengungkap bagaimana sebenarnya keterhubungan antara manusia dengan lingkungannya yang sering juga dikatakan sebagai ‘ruang hidup’manusia. Dari kalangan ilmuan antropologi misalnya, telah banyak pemikir yang berangkat dari disiplin ilmu ini melakukan berbagai studi dan kemudian mengungkapkan berbagai temuan mereka tentang kehidupan manusia terkait dengan keberadaan lingkungannya. Beberapa hasil pemikiran dari para ahli antropologi itu kemudian menjadi pemikiran yang cukup dikenal dan mempengaruhi cara berpikir masyarakat luas mengenai kehidupan manusia dan lingkungannya, antara lain adalah: ekologi budaya, determinisme lingkungan, posibilisme, ekosistemik, dan etnoekologi.
Beberapa hasil pemikiran tersebut diakui sebagai variasi pendekatan dalam studi antropologi, khususnya antropologi ekologi sebagai lingkup studi yang
1 Robin Attfield, ‘Etika Lingkungan Global’, hlm. 4.
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
2 berkonsentrasi pada studi tentang keterkaitan antara kehidupan manusia dan lingkungannya. Sebagai sebuah pendekatan, masing-masing mereka memiliki sejumlah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi cara pandang mereka terhadap persoalan dalam studi antropologi ekologi, yang kemudian tentu saja mencirikan bagaimana paparan dalam temuan-temuan studinya. Seperti apakah sejumlah asumsi tersebut, dan bagaimanakah pandangan mereka tentang relasi manusia dan lingkungannya? Hal ini akan menjadi pembicaraan utama dalam tulisan ini yang coba diungkap dengan bahasa sederhana, dan juga lebih sebagai tuturan
‘listing’ dengan sedikit penyertaan penalaran, serta kritik pembelajaran yang hadir disana-sini di dalam tulisan.
-Antropologi Ekologi-
“Ecological Anthropology is a subdiscipline of Anthropology for studying cultural and social adaptation which are made by human beings to their environtment” (Ahimsa, 1994:1).
“Ecological anthropology focuses upon the complex relations between people and their environment. Human populations have ongoing contact with and impact upon the land, climate, plant, and animal species in their vicinities, and these elements of their environment have reciprocal impacts on humans. Ecological anthropology investigates the ways that a population shapes its environment and the subsequent manners in which these relations form the population’s social, economic, and political life” (Salzman and Attwood 1996:169).
“In a general sense, ecological anthropology attempts to provide a materialist explanation of human society and culture as products of adaptation to given environmental conditions”
(Seymour-Smith 1986:62).
A. MAHKLUK HIDUP DAN RELASI JEJARING KEHIDUPAN
Dalam suatu lingkungan hidup, terdapat berbagai tipe mahluk hidup yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga membentuk suatu kesatuan dari lingkungan hidup tersebut. Mahluk hidup itu adalah kelompok flora (producer), fauna (herbivore dan carnivore;
heterotroph), mahluk hidup pengurai (decomposer), dan juga manusia
(omnivore; heterotroph) yang sering dikatakan sebagai mahluk hidup paling
unggul di antara mahluk hidup lainnya. Salah satu hubungan yang paling
signifikan dan dengan cepat dapat kita pahami adalah hubungannya dalam
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
3
jaringan kehidupan (relasi konsumsi; makanan). Bagaimana hubungan atau interaksi antara mahluk hidup tersebut? Untuk pemahaman yang lebih jelas, dapat diawali melalui skema (siklus konsumsi) berikut ini:
Dari skema di atas, dihasilkan penjelasan mengenai level-level relasi antara producer, heterotroph, dan decomposer; apa saja yang dimakan, dan seberapa besar energi matahari dapat mengambil peranan bagi mahluk hidup. Manusia diketahui memanfaatkan sumber daya makanan dari beberapa level sumberdaya, yang umum diketahui memberikan berbagai bentuk energi yang berbeda-beda, dan biasanya manusia memanfaatkan berbagai bentuk energi itu untuk berbagai kepentingan atau aktivitas kehidupannya.
2Producer di sini merupakan suatu spesies yang dapat mengumpulkan (sintesis) makanannya sendiri. Berbagai jenis tanaman (green plants)
2 Deksripsi analitis atas skema jaringan kehidupan pada beberapa tipe mahluk hidup ini, turut mengacu pada tulisan Mark Q. Sutton dan E.N Anderson, “Introduction to Cultural Ecology” (2004: 46-50).
Omnivores (humans; heterotroph)
Carnivores (Fauna; heterotroph)
Herbivores (heterotroph) Fauna
(Producer)
Microconsumers (decomposer) Solar
Energy
Nutrients and other abiotic constituents
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
4
merupakan contoh yang paling umum dari kelompok mahluk hidup
‘producer’. Tanaman menggunakan energi secara langsung dari matahari dan mengkombinasikannya dengan air, gas, dan berbagai mineral, untuk menghasilkan makanan melalui suatu proses yang disebut dengan
‘photosynthesis’. Pada umumnya, kita semua (manusia) dan berbagai mahluk hidup lainnya sangat bergantung pada tanaman untuk menangkap energi matahari (surya) dan kemudian menggantikan energi itu menjadi bentuk persenyawaan, yang dengan itu manusia maupun hewan dapat mengkonsumsi atau memanfaatkannya sebagai udara (pernafasan) kehidupan. Selain tanaman sebagai producer, mahluk hidup lain yang akan dibicarakan adalah kelompok mahluk hidup ‘heterotrophs’.
Heterotroph merupakan mahluk hidup yang mengkonsumsi atau memakan mahluk hidup lainnya. Salah satu contoh mahluk hidup ini adalah hewan sapi. Sapi diketahui sebagai mahluk hidup yang memakan tanaman sebagai sumber pemenuhan kebutuhan makanannya. Selain sebagai hewan pemakan, sapi juga merupakan salah satu sumber makanan bagi mahluk hidup pemakan lainnya, yang dalam hal ini sapi adalah makanan bagi manusia. Mahluk hidup ‘heterotrop’ tidak memiliki kemampuan untuk secara langsung memanfaatkan energi dari matahari.
Mahluk hidup ini hanya mampu memperoleh energi dengan mengkonsumsi mahluk hidup ‘producer’ atau mahluk hidup ‘heterotroph’
lainnya, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Selain mahluk hidup ‘producer’ dan ‘heterotroph’, ada mahluk hidup
lain yang tidak kalah penting keberadaannya bagi mahluk hidup yang
lainnya, yaitu ‘decomposer’ (mahluk pengurai yang secara teknis seperti
heterotroph, tetapi pada level yang lebih kecil/mikrokonsumer) yang
merupakan mahluk hidup dengan ukuran kecil, seperti bakteri misalnya,
yang memakan mahluk hidup lain (sudah mati/berupa bangkai). Mahluk
hidup ini menghancurkan material-material organik dan kemudian
menyediakan nutrisi untuk dikembalikan lagi kepada tanaman. Dalam
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
5
sistem kehidupan, nutrisi, energi, dan peredarannya selalu mengacu pada rantai makanan, yang kemudian pada akhirnya akan kembali lagi ke lingkungan (alam) sebagai entitas kehidupan yang telah mati atau dalam kondisi busuk. Tidak seperti energi, nutrisi akan didaur ulang dalam suatu garis edar ‘sirkulasi’, sehingga akan dapat dimanfaatkan secara terus- menerus selama sirkulasi itu tetap berlangsung.
B. INTERELASI LINGKUNGAN HIDUP: MANUSIA, ALAM, DAN BUDAYA
Lingkungan hidup merupakan suatu kesatuan lingkungan yang terdiri dari lingkungan alam, lingkungan sosial, maupun lingkungan budaya (lingkungan buatan). Lingkungan alam dapat diartikan sebagai suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur biotik maupun abiotik, seperti sungai, pepohonan, tanah, unsur mineral, dan berbagai unsur lainnya. Sementara itu, lingkungan sosial dapat diartikan sebagai suatu lokasi atau tempat di mana terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu kesatuan sosial. Sedangkan lingkungan Budaya (buatan), dapat diartikan sebagai suatu lingkungan yang merupakan hasil karya manusia dan sering terwujud dalam bentuk-bentuk material. Dari pemahaman sederhana tentang tiga jenis lingkungan itu, maka bagaimanakah interelasi antara lingkungan hidup (khususnya lingkungan alam dan budaya) tersebut? Hal ini akan coba dibahas dalam paragraph- paragraph selanjutnya, dengan turut mengacu pada pemahaman tentang naluri dan tindakan (representasi kognisi) dalam kehidupan manusia.
Apa yang terdapat di dalam lingkungan alam, boleh dikatakan
merupakan sumber daya bagi manusia dalam rangka menciptakan
lingkungan budayanya. Terkait dengan naluri untuk mempertahankan
atau melindungi diri, manusia menciptakan salah satu karya dalam
lingkungan budayanya, yaitu ‘rumah’. Dalam upaya menciptakan rumah,
maka manusia membutuhkan perangkat penciptaannya yang notabene
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
6
berasal dari lingkungan alam, seperti material tanah sebagai sumber daya utama karena menjadi titik lokasi atau tempat di mana rumah itu akan didirikan. Selain itu, manusia juga membutuhkan sumber daya lain berupa material kayu yang diperoleh dari pepohonan, yang digunakan sebagai pondasi atau kerangka konstruksi rumah. Meskipun kita ketahui bahwa ada material pondasi atau kerangka konstruksi rumah selain kayu yang telah digunakan manusia dalam beberapa abad terakhir (seperti berbagai jenis bebatuan, semen, pasir, dan berbagai material kekinian lainnya), namun tetap saja sumber daya material itu diperoleh dari lingkungan alam.
Selain karya budaya (rumah) sebagai tempat pertahanan maupun perlindungan diri, manusia juga memanfaatkan karya budaya ini sebagai situs (tempat) interaksi sosial yang merupakan salah satu naluri kehidupan lainnya pada diri manusia, yaitu naluri untuk ‘bergaul’.
Karya budaya lainnya dalam lingkungan budaya manusia adalah perangkat ‘penerangan’ (listrik) yang memberikan berbagai kemudahan maupun kenyamanan bagi kehidupan manusia. Sumber daya material
‘penerangan’ ini merupakan perangkat budaya (sebagai hasil kreasi budaya) yang juga diperoleh dari lingkungan alam, seperti air misalnya, yang digunakan sebagai tenaga pembangkit listrik. Selain listrik, perangkat material lainnya yang sangat berperan dalam kehidupan (lingkungan budaya) manusia adalah berbagai jenis bahan bakar cair maupun gas (seperti bensin, solar, avtur, maupun gas), bagi sarana transportasi maupun untuk keperluan berbagai sajian kuliner manusia. Seluruh perangkat material itu dapat diperoleh manusia dari lingkungan alam.
Interelasi antara lingkungan alam dan budaya yang lain adalah
interelasi yang berkaitan dengan naluri mencari keindahan dan meniru
pada manusia. Naluri mencari keindahan biasanya berkaitan dengan
kebutuhan psikologi manusia (seperti aktivitas wisata), sehingga manusia
akan melakukan kreasi budaya terhadap lingkungan alam (dengan sumber
daya yang berupa potensi panorama atau pemandangan alam), dengan
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
7
Lingkungan
Alam Lingkungan
Sosial
Lingkungan Budaya
Lingkungan Hidup
mendesain sedemikian rupa suatu lingkungan alam menjadi suatu lingkungan budaya yang menyajikan segala potensi panorama maupun pemandangan alam.
Ironisnya, berbagai bentuk interelasi antara lingkungan alam dan
budaya itu seringkali berlangsung timpang. Ketimpangan dimaksud
adalah dalam hal perilaku manusia yang lebih sering memanfaatkan
berbagai sumber daya pada suatu lingkungan alam untuk kepentingan
lingkungan budayanya, tanpa berupaya untuk menjaga kelestarian dari
suatu lingkungan alam tersebut. Boleh dikatakan hampir seluruh
perangkat material atas kreasi budaya manusia dalam melangsungkan
keberadaan lingkungan budayanya, merupakan kontribusi dari segala
sumber daya yang terdapat pada lingkungan alam. Oleh sebab itu, sudah
sepatutnya manusia melakukan suatu tindakan atau perilaku yang
menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan alam. Namun
ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya, hanya sedikit individu manusia
yang menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan alam, sebagai
bentuk interelasi seimbang antara lingkungan alam dengan lingkungan
budaya manusia. Interelasi antara lingkungan itu dapat juga dipahami
melalui skema interelasi berikut:
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
8
C. PERSPEKTIF TEORETIK/ PENDEKATAN KAJIAN ANTROPOLOGI
EKOLOGI
Studi mengenai ekologi dalam disiplin ilmu Antropologi memiliki beragam teori maupun pendekatan. Teori dan pendekatan di dalam antropologi ekologi juga mengalami perkembangan maupun pembaruan secara berkelanjutan. Untuk itu, di sini hanya akan membahas beberapa teori maupun pendekatan saja, tentunya yang dianggap memberi pengaruh besar dalam perkembangan studi-studi antropologi ekologi. Ada dua pendekatan yang dikembangkan dan sangat berpengaruh dalam studi antropologi ekologi, yaitu Human Ecology dan Cultural Ecology.
1. Human Ecology
Pendekatan ini menekankan pada aspek manusia dan kemampuannya dalam berinteraksi dengan lingkungan (alam). Ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam membangun kerangka teori dalam pendekatan ini, yaitu:
a) Azas survival seluruh kebudayaan yang berkaitan b) Gabungan prinsip biologi dan geografi
c) Kebudayaan lokal dapat beradaptasi dengan lingkungan, populasi, dan ekosistem
d) Adaptasi berlangsung pada tingkat/level individu e) Hubungan antara adaptasi yang berkelanjutan
Dalam perkembangannya, ada suatu kalangan ilmuan antropologi yang menyepakati bahwa pendekatan human ecology merupakan pendekatan dalam studi antropologi ekologi, yang penekanannya adalah pada aspek biologis dari manusia dalam mempelajari hubungan atau keterkaitan antara manusia dengan lingkungannya.
3
3 Argumentasi jawaban di sini dikonstruksi melalui telaah pemikiran yang mengacu pada catatan materi perkuliahan Prof. Dr. Kodiran, M.A., pada sesi kuliah “Lingkungan dan Perubahan Sosial Budaya”, Maret 2010. –dikombinasikan dengan tulisannya Sutton dan Anderson: Introduction to Cultural Ecology (2004: 2-3).
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
9
2. Cultural Ecology
Salah satu akar dari berbagai studi antropologi ekologi yang telah jauh berkembang pada masa kini, sebenarnya telah tertanam sejak tahun 1930- an oleh Julian H. Steward dalam tulisannya “The Economic and Social Basis of Primitive Bands” di tahun 1936. Steward dalam tulisannya, menghadirkan pernyataan “bagaimana interaksi antara kebudayaan dan lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab-akibat (in causal terms)”. Pernyataan teoritis dan metodologis ini kemudian tidak banyak berubah ketika dia menjelaskan secara lebih eksplisit tentang hubungan antara lingkungan dan kebudayaan dalam bukunya “Theory of Culture Change” (1955). Dalam buku ini ia menguraikan, mendefinisikan, serta mengembangkan apa yang dia sebut dengan “ekologi budaya” (cultural ecology), yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai mahluk hidup (dengan budayanya) menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan geografi tertentu. Dengan demikian, budaya merupakan hal penting yang menjadi perhatian bagi pendekatan ini dalam mempelajari hubugan antara manusia dan lingkungannya (Ahimsa, 1994: 3).
Ekologi budaya Steward. Teori ekologi budaya Steward mengajukan
pemikiran; bahwa perbedaan atau persamaan budaya dari pelbagai
lingkungan, dapat dilacak dari ‘adaptasi’ baru yang diperlukan atau
dimiliki dengan berupa perubahan teknologi dan pengetahuan produksi
(ekonomi). Adaptasi merupakan salah satu hal penting dalam ekologi
budaya Steward. Adaptasi di sini bermaksud untuk menjelaskan
bagaimana hubungan antara lingkungan (alam) dan manusia. Dengan
adaptasi tersebut, Steward mencoba menjelaskan bahwa lingkungan (alam)
lokal pada suatu kelompok manusia, komunitas, ataupun masyarakat,
bukanlah suatu faktor yang sangat menentukan. Ada hal lain yang
menentukan suatu kebudayaan pada suatu kelompok manusia di berbagai
tempat (lingkungan) yang berbeda. Meskipun demikian, lingkungan tetap
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
10
memiliki hubungan maupun kontribusi atas upaya adaptasi yang dilakukan oleh manusia.
Beberapa hal lain yang cukup menentukan itu oleh Steward disebut dengan ‘inti budaya’ (cultural core). Inti budaya itu adalah: a) teknologi, b) ekonomi, c) penduduk, dan d) organisasi sosial. Keempat aspek ini dikatakannya sebagai inti budaya karena keterhubungannya yang mendapatkan pengaruh langsung dari lingkungan. Terjadinya perbedaan maupun persamaan kebudayaan antara satu kelompok manusia dengan kelompok lainnya, menurut Steward disebabkan oleh keempat inti budaya tersebut. Berbicara mengenai inti budaya, pendekatan ini mendefinisikan inti budaya sebagai “konstelasi fitur yang paling erat kaitannya dengan kegiatan subsistensi dan pengaturan ekonomi”. Pendekatan ini berupaya menemukan penyebab perubahan budaya dan berusaha menyusun metode untuk mengenali cara-cara di mana perubahan budaya yang disebabkan oleh adaptasi terhadap lingkungan.
Dengan cara pemahaman yang lain terhadap ekologi budaya Steward, pendekatan ini berupaya menyatakan bahwa ada beberapa unsur pokok dalam kehidupan manusia dan lingkungannya yang menjadi titik perhatian pendekatan ekologi budaya ini. Beberapa unsur pokok itu adalah; “pola-pola perilaku” (behavioural patterns), yakni kerja (work) dan teknologi yang dipakai dalam proses pengolahan atau pemanfaatan lingkungan. Oleh sebab itu, pemikiran utama dalam studi ekologi budaya adalah mengenai “the process of work, its organization, its cycles and rhythm and its situational modalities” (Ahimsa, 1994: 3).
Dalam melakukan studi antropologi ekologi dengan pendekatan ini, ada tiga langkah dasar yang perlu diikuti, yakni: (1) melakukan analisis atas hubungan antara lingkungan dengan teknologi pemanfaatan dan produksi;
(2) melakukan analisis atas ‘pola-pola perilaku dalam eksploitasi suatu
kawasan tertentu yang menggunakan teknologi tertentu’; dan (3)
melakukan analisis atas ‘tingkat pengaruh dari pola-pola perilaku dalam
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
11
pemanfaatan lingkungan terhadap aspek-aspek lain dari kebudayaan’.
Tujuan dari pendekatan ini adalah ‘untuk menjelaskan asal-usul, ciri-ciri, dan pola-pola budaya tertentu yang tampak di berbagai daerah yang berlainan’ (Ahimsa, 1994: 4)
.Salah satu studi yang dilakukan oleh Steward sehingga memunculkan pemikirannya atas ekologi budaya adalah penelitiannya mengenai pertumbuhan peradaban di Peru dan Meso di Amerika, yang menghadirkan kesan adanya persamaan kebudayaan pada kedua wilayah tersebut. Atas dasar itu, Steward menyarankan perlunya dikaji keterkaitan hubungan antara teknologi pada suatu kebudayaan dengan lingkungannya; antara lain dengan menganalisis hubungan pola tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan, sehingga warga dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktivitas mereka dan akhirnya mampu untuk terus melanjutkan kehidupannya. Dari studinya ini, Steward berpendapat bahwa ada hubungan antara teknologi yang dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu; kemudian pola-pola kelakuan dalam rangka mengeksploitasi suatu daerah, erat kaitannya dengan teknologi yang diciptakan; dan pola-pola kelakuan dalam rangka itu akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kebudayaannya (Poerwanto, 2008: 68-69).
Selain ekologi budaya Steward, selanjutnya berkembang beberapa aliran dari pendekatan ekologi budaya, seperti ekosistemik (kultural dan materialistik) dan etnoekologi. Kedua aliran pendekatan ini akan dipaparkan pada paragraph-paragraph selanjutnya. Akan tetapi, khususnya dalam paparan mengenai aliran ekosistemik, hanya akan lebih membicarakan tentang ekosistemik materialistik.
Ekosistemik Materialistik. Istilah pendekatan ini hadir mewakili
yang produktif tetapi berlangsung singkat pada sekitar tahun 1960-an,
ekosistemik materialistik atau dikenal dengan neofungsionalisme yang
dipelopori oleh Andrew P. Vayda dan R.A. Rappaport sebagai bentuk
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
12
pengembangan baru yang hadir secara eksplisit pada sistem permodelan tingkat interaksi, terutama memberikan dasar penting bagi kekuatan tekno- lingkungan yang berbicara mengenai ekologi dan kependudukan. Dalam pendekatan ini, kebudayaan direduksi menjadi suatu adaptasi sedangkan perilaku fungsional homeostatik dan deviasi penangkal sehingga berfungsi untuk menjaga suatu sistem besar atas kehidupan manusia dan lingkungan (Bettinger 1996:851).
Sistem ekologi sebagai pendekatan yang digunakan pada kajian- kajian mengenai interaksi manusia dengan lingkungan, juga menghadirkan masalah-masalah berkaitan dengan asumsi dasarnya tentang
‘keseimbangan’ (equilibria) pada suatu ekosistem, dan juga kecenderungannya membatasi analisis pada ‘hubungan dengan lingkungan alam secara tertutup’. Kajian dari Suttles Piddocke (McCay, 1978) tentang peranan “pesta potlatch” pada ‘Indian Kwakiutl’, mengungkapkan tentang mekanisme pengaturan keseimbangan dalam sistem populasi manusia dengan kondisi sumber daya. Asumsi keseimbangan seperti ini menurut McCay seringkali hanya menjadi asumsi-asumsi belaka yang cenderung mengabaikan realitas akan disrupsi sistem dan relasi-relasi yang tidak seimbang (McCay, 1978:400).
Kecenderungan membatasi analisis pada lingkungan dekat secara tertutup memunculkan masalah mengenai batas ekosistem. Perilaku biota laut yang bermigrasi, terutama ikan atau predator, mempersulit ditentukannya batas-batas analisis yang sesuai (Cordell, 1974; dalam Lampe, 2006:19).
Kritikan yang lain juga datang terhadap pendekatan ini. Kritik ini
menyinggung tentang kecenderungan aliran pendekatan ini yang
cenderung memberkati ekosistem dengan sifat-sifat biologis organisme,
kecenderungan untuk model-model yang mengabaikan waktu dan
perubahan struktural, kecenderungan untuk mengabaikan peran individu,
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
13
dan kecenderungan pengakuan stabilitas ekosistem yang berlebihan (Moran, 1990:16).
Meskipun demikian, Rappaport juga memberikan kontribusi penting bagi penerapan metodologi baru pada tahun 1960-an. Mereka memusatkan perhatian pada pendekatan ekosistem, sistem berfungsi, dan aliran energi.
Metode ini bergantung pada penggunaan pengukuran seperti kalori dan protein pengeluaran konsumsi. Perhatian diberikan kepada konsep-konsep ekologi berasal dari biologis, seperti daya dukung, faktor-faktor pembatas, homeostasis, dan adaptasi. Pendekatan ekosistem ini tetap populer di kalangan ahli antropologi ekologi selama tahun 1960-an dan 1970-an (Ahimsa, 1994:14).
Etnoekologi. Ahimsa (1997:54) mengatakan bahwa dalam antropologi, pendekatan etnoekologi merupakan salah satu cabang dari aliran Etnosains (ethnoscience) yang dipelopori oleh ahli-ahli antropologi dengan latar belakang linguistik yang kuat. Etnoekologi pertama kali diperkenalkan oleh Harold C. Conklin dalam uraiannya mengenai “Sistem perladangan di kalangan orang Subanun di Pulau Mindanao, Philipina”.
Ide ini kemudian dikembangkan oleh Charles O. Frake yang menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam ekologi. Etnoekologi dapat dikatakan didasarkan pada sejumlah asumsi yang saling berkaitan.
Salah satu asumsinya adalah bahwa interaksi lingkungan-manusia pada
suatu komunitas atau masyarakat, berbeda dengan suatu komunitas atau
kelompok masyarakat lainnya, dan ini sangat dipengaruhi oleh pikiran,
pengetahuan, dan bahasa. Dalam suatu konteks dan sebagai respon
terhadap rangsangan lingkungan, faktor-faktor yang mempengaruhi
tersebut berinteraksi untuk membentuk suatu pandangan dunia yang
sangat mempengaruhi bagaimana manusia bertindak. “Orang tidak
langsung menanggapi lingkungan mereka sedemikian rupa, tetapi akan
lebih dulu memahami hal apa saja yang ada di dalam lingkungan itu:
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
14
misalnya, hewan dan tanaman dikonseptualisasikan dalam pikiran mereka dan kemudian diberi label dengan bahasa mereka”.
Asumsi selanjutnya, juga masih mengacu pada tulisan Ahimsa (1994:7), bahwa kelompok-kelompok masyarakat atau suatu komunitas dengan budaya yang berbeda, akan melihat dan memahami dunia mereka secara berbeda sebagai akibat dari berbagai aspek sosial, sejarah, budaya, kondisi lingkungan dan pengalaman. Bagaimanapun, ini bukan untuk mengatakan bahwa setiap budaya atau masing-masing masyarakat harus merasakan dan memahami lingkungan dalam cara yang sama sekali unik.
Tujuan dan metode dari pendekatan yang merupakan turunan dari etnosains ini adalah untuk melukiskan lingkungan menurut sudut pandang masyarakat tineliti. Pendekatan ini berangkat dari sebuah asumsi utama mengenai lingkungan atau ‘lingkungan efektif’ (effective environment) bersifat kultural sebab lingkungan “obyektif” yang sama, pada umumnya dapat “dilihat” atau “dipahami” (perceived) secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaannya.
Selanjutnya dalam tulisan Ahimsa (1994:1997), dikatakan bahwa dalam pendekatan ini, lingkungan dikatakan efektif apabila lingkungan itu memiliki pengaruh bagi pembentukan perilaku manusia, dan memiliki sifat kultural. Dalam hal ini, selain lingkungan merupakan suatu lingkungan fisik, tetapi juga telah mengalami penafsiran melalui sistem pengetahuan dan nilai tertentu. Suatu lingkungan telah mengalami penafsiran, dinamakan “ethnoenvironment” atau “cognized environment”
yang dikodifikasi dalam bahasa, sehingga untuk memahaminya kita harus memberikan perhatian pada bahasa sehari-hari masyarakat yang diteliti.
Ungkapan “bahasa mencerminkan budaya” memang tepat dalam konteks
ini. Sistem pengetahuan suatu masyarakat mengenai lingkungan tersebut
terwujud dalam bentuk berbagai klasifikasi, kategorisasi dan taksonomi
unsur-unsur lingkungan. Oleh karenanya, berbagai konsep dan istilah
yang menunjukkan klasifikasi mengenai lingkungan, pada dasarnya
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
15
merupakan akses terbaik guna mencapai sistem pengetahuan tentang lingkungan. Dengan demikian, untuk memahami lingkungan tersebut kita harus dapat menemukan dan mengungkapkan taksonomi-taksonomi, kategorisasi serta klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam istilah-istilah lokal, sebab dalam taksonomi dan klasifikasi inilah terkandung pernyataan- pernyataan atau ide-ide masyarakat yang kita teliti mengenai lingkungannya.
Apa yang dikemukakan oleh Ahimsa di atas, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Anderson (dalam Muhammad Arifin, 2003), bahwa para etnoekologis menekankan deskripsi pada lingkungan “perceptual”
atau “cognized” pada kebudayaan spesifik sebagai suatu strategi penelitian dengan maksud: pertama, “to describe what people know about nature”; kedua,
“to describe how people use this knowledge to get along in the world”. Pendekatan etnoekologi merupakan salah satu pendekatan tertentu yang berbeda dengan pendekatan lainnya dalam antropologi ekologi, dengan demikian pendekatan ini mempunyai ciri tertentu yang lain dari pendekatan lainnya.
Dalam hal ini, Anderson menunjukkan empat (4) ciri pendekatan etnoekologi, antara lain: (1) etnoekologi menekankan pada “perceptual environment”; (2) etnoekologi dimaksudkan mendeskripsikan secara emik domain budaya, meliputi “perseptual environment”. Secara mendasar, etnoekologi bermaksud menganalisis semantik secara formal; (3) analisis etnoekologi dibatasi pada keterhubungan ekologis yang bersifat intra cultural; (4) sepanjang etnoekologi berkaitan dengan lingkungan efektif, hal ini dimaksudkan untuk melakukan evaluasi dan prediksi efek dari kemungkinan perilaku yang bervariasi dalam partisipasi lingkungan mikro, yaitu lingkungan yang sering kali dibatasi untuk masyarakat lain (dalam Arifin, 2003).
4
4Muhammad Arifin, Lembo, Simpukng, dan Sipungk Klasifikasi Hutan dan Kebun Secara Tradisional Orang Dayak Benuaq, Tunjung dan Pasir di Kalimantan Timur (Suatu Studi Etnoekologi), www.ekonomirakyat.org. 2003 (diakses pada 1 Juni 2010).
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
16
Selain itu, Ahimsa (1997:55) kembali mengingatkan, bahwa dengan perhatian khusus terhadap aspek pengetahuan atau kognitif, pada gilirannya akan sangat membantu (peneliti) dalam mengamati gejala-gejala sosial yang berkaitan dengan masalah ekologi, sembari melakukan analisis atas pelbagai pandangan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
D. EKOSISTEM BAGI KEHIDUPAN BIOLOGI MANUSIA DAN PERILAKU BUDAYA
Ekosistem merupakan kesatuan hidup yang terdiri dari suatu komunitas mahluk hidup dari berbagai jenis, dengan berbagai benda mati yang berinteraksi membentuk suatu sistem. Oleh sebab itu, tentu saja ekosistem akan berimplikasi terhadap kehidupan manusia, terlebih pada aspek biologis manusia dan perilaku budayanya. Seperti apakah implikasi ekosistem tersebut? Hal ini akan coba dibahas dalam paragraph-paragraph selanjutnya.
Sutton dan Anderson (2004:36-37) mengatakan bahwa ekosistem merupakan suatu sistem yang memiliki keterikatan secara geografis, atau suatu sistem yang terbentuk dari keberadaan dan keberinteraksian sekelompok organisme yang terdiri dari komponen abiotik maupun biotik pada suatu lingkungan (alam). Terkait dengan aspek biologis manusia dan keterikatannya dengan suatu ekosistem, implikasi signifikan yang muncul adalah mengenai asupan kebutuhan biologis manusia (makanan, air, dan juga udara) yang mau tidak mau, akan dan harus disesuaikan dengan keberadaan ekosistem serta di lingkungan (alam) mana manusia itu berada.
Untuk menemukan implikasi signifikan itu, khususnya mengenai
asupan kebutuhan makanan bagi manusia, ada baiknya jika merujuk pada
studi yang dilakukan oleh C. Geertz mengenai sistem pertanian di
Indonesia, karena dalam studinya, Geertz ada menjelaskan bagaimana
implikasi ekosistem terhadap aspek biologis manusia dan perilaku
budayanya.
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
17
Dalam studinya ini, Geertz mencoba membandingkan dua tipe ekosistem di Indonesia untuk melihat implikasi ekosistem terhadap aspek biologis manusia dan perilaku budayanya. Tipe ekosistem pertama adalah ekosistem dengan ciri tanah yang cenderung kering, yang disebutnya dengan karakter swidden (perladangan). Karakteristik ekosistem ini merupakan sistem lingkungan dengan plot hamparan perladangan yang mensimulasi satu kondisi lingkungan alam. Tipe ekosistem ini merupakan suatu ekosistem di mana indeks keragaman spesiesnya (tumbuhan dan hewan) cukup tinggi, sehingga energi (pasokan makanan) yang diproduksi oleh sistem ini didistribusikan di antara sejumlah besar spesies yang berbeda, dan masing-masing diwakili (dikonsumsi) oleh sekelompok individu manusia dalam jumlah yang relatif kecil (Geertz, 1963, dalam Vayda, 1979: 4-5).
Karakter ekosistem seperti ini menurut Geertz akan lebih banyak menawarkan beragam sumber makanan bagi manusia. Dengan demikian, perilaku budaya yang berlangsung pada suatu kelompok manusia dengan karakter ekosistem seperti ini akan lebih sederhana. Perilaku budaya di sini berkaitan dengan cara manusia dalam memenuhi kebutuhan biologis (makanan), seperti penggunaan teknologi/alat dalam berladang, dan juga organisasi sosial yang berkaitan dengan pengorganisasian manusia dalam upaya pemenuhan kebutuhan biologisnya (aktivitas berladang maupun dalam berburu binatang). Kesederhanaan dalam perilaku budaya yang terbentuk pada suatu kelompok individu manusia tersebut, berlangsung karena karakter ekosistem ini menawarkan banyak kemudahan bagi mereka untuk mendapatkan pasokan makanan (Geertz, 1963, dalam Vayda, 1979: 5-8).
Sebaliknya, pada tipe ekosistem yang kedua, dengan ciri tanah yang
relatif harus sering dalam keadaan basah, kemudian indeks keragaman
spesies (tumbuhan dan hewan) yang relatif lebih kecil, menyebabkan
perilaku budaya manusia dengan karakter ekosistem ini menjadi lebih
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
18
kompleks dan menuntut intensitas ketepatan maupun ketekunan yang lebih besar dibandingkan pada perilaku budaya dengan karakter ekosistem sebelumnya. Karakter ekosistem dengan indeks keragaman spesies yang rendah menyebabkan sumber energi (pasokan makanan) tidak didistribusikan oleh banyak spesies (tumbuhan maupun hewan). Untuk itu, manusia harus meningkatkan perilaku budayanya agar mampu menyediakan pasokan makanan yang mencukupi tuntutan kebutuhan biologis mereka. Perilaku budaya ini berkaitan dengan modifikasi teknologi/alat yang digunakan dalam pertanian, dan juga penerapan model pengorganisasian yang tepat dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan biologis mereka. Pada tipe ekosistem kedua ini, Geertz menyebutnya dengan ekosistem yang bercirikan hamparan persawahan. Dengan demikian, aktivitas pemenuhan kebutuhan biologis manusia dengan karakter ekosistem seperti ini adalah dengan perilaku budaya ‘bertani sawah’ (Geertz, 1963, dalam Vayda, 1979: 17-19).
Dari apa yang telah dipaparkan dalam paragraph-paragraph sebelumnya, ditemukan implikasi dari ekosistem terhadap aspek biologis manusia dan perilaku budayanya juga berkaitan dengan persoalan pertumbuhan populasi manusia, kemudian juga berkaitan dengan keberadaan lingkungan yang menunjukkan adanya saling ketergantungan fungsional di antara komponen-komponen itu yang mengukuhkan keberadaan suatu ekosistem. Pemahaman atas implikasi ekosistem juga dapat ditelusuri melalui ilustrasi berikut:
Kebudayaan (cultural behaviour);
Perilaku Budaya Faktor-faktor lingkungan
(environment factors)
Fisik/Aspek Biologis Manusia
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
19
Faktor lingkungan memberi peluang untuk perkembangan unsur- unsur kebudayaan dengan menggunakan ‘akal’ dan ‘budhi’ manusia, untuk memanfaatkan, mengubah bentuk, jumlah maupun lokasi faktor- faktor lingkungan tersebut. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa dengan segala potensi yang diberikan lingkungan kepada manusia, dalam rangka upaya pemanfaatan lingkungan, harus mengacu pada ‘3 S’ (selaras, serasi, dan seimbang), yang meliputi tatanan pemikiran, peristiwa, maupun setiap tindakan atau perilaku manusia dalam aktivitas pemanfaatan lingkungan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, H.S.
1994 “Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangannya”.
Masyarakat Indonesia - Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Thn. XX (4): 1-50. Jakarta: LIPI.
Attfield, Robin
2010 “Etika Lingkungan Global”. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bettinger, Robert
1996 “Neofunctionalism”. Encyclopedia of Cultural Anthropology. Vol. 4 David Levinson and Melvin Ember (eds). Hlm. 851-853. New York.
Kodiran, Prof. Dr. M.A.
2010 “Kumpulan Catatan Materi Perkuliahan (Lingkungan dan Perubahan Sosial Budaya)”. Tidak dipublikasikan.
L
P
O
Budaya T
Program Studi Antropologi - UNIMAL Pangeran P.P.A Nasution, S.Sos., M.A.
Antropologi Lingkungan
20
Lampe, Munsi
2006 “Pemanfaatan Sumber Daya Taka oleh Nelayan Pulau Sembilan (Studi tentang Variasi Perilaku Nelayan dan Konsekuensi Lingkungan dalam Konteks Internal dan Eksternal)”. Disertasi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
McCay, Bonnie J.
1978 “System Ecology, People Ecology, and the Anthropology of Fishing Communities”. Human Ecology, Vol. 6, No. 4 : 397-422.
Moran, Emilio F.
1990 “The Ecosystem Approach in Anthropology”. Ann Arbor:
University of Michigan Press.
Poerwanto, Hari.
2008 “Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi”.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutton, Mark Q. & Anderson, E.N.
2004 “Introduction to Cultural Ecology”. United States of America:
Altamira Press.
Vayda, Andrew P.
1979 “Environment and Cultural Behavior”. United States of America:
National History Press.
e-reference:
http://ecology.com (diakses pada 1 Juni 2010)
www.ekonomirakyat.org 2003 (diakses pada 1 Juni 2010)
Fruk w*r Fid* ei biiak
aD 4@'a!i i trr-Pr eh
h4idsibn F? l!bur!!n trkG
D ir lfui ir hrr dii
ab! ,!i!i ers, rer e!!h
crEhhotrd':l
I
Adaptation
Author(s): Alexander Alland, Jr.
Source: Annual Review of Anthropology, Vol. 4 (1975), pp. 59-73 Published by: Annual Reviews
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2949349 . Accessed: 23/12/2010 12:58
Your use of the JSTOR archive indicates your acceptance of JSTOR's Terms and Conditions of Use, available at .
http://www.jstor.org/page/info/about/policies/terms.jsp. JSTOR's Terms and Conditions of Use provides, in part, that unless you have obtained prior permission, you may not download an entire issue of a journal or multiple copies of articles, and you may use content in the JSTOR archive only for your personal, non-commercial use.
Please contact the publisher regarding any further use of this work. Publisher contact information may be obtained at . http://www.jstor.org/action/showPublisher?publisherCode=annrevs. .
Each copy of any part of a JSTOR transmission must contain the same copyright notice that appears on the screen or printed page of such transmission.
JSTOR is a not-for-profit service that helps scholars, researchers, and students discover, use, and build upon a wide range of content in a trusted digital archive. We use information technology and tools to increase productivity and facilitate new forms of scholarship. For more information about JSTOR, please contact [email protected].
Annual Reviews is collaborating with JSTOR to digitize, preserve and extend access to Annual Review of Anthropology.
http://www.jstor.org
Copyright 1975. All rights reserved
ADAPTATION
? 9552Alexander Alland, Jr.
Department of Anthropology, Columbia University, New York, NY 10027
The subject of this paper is adaptation. I shall frame my discussion in terms of three topics which have nagged anthropology since its beginning. These topics are: 1. the role of biogenetic factors in cultural behavior; 2. the relation between behavioral systems and the external or natural environment; 3. the relation between mind, behavior, and ecological adaptation. I hope to show that these three topics reduce to a single theme when they are considered in terms of the central problem, adaptation. In addition, I hope to show that two of the major lines of development within anthropology, ecology and structuralism, can be reconciled and combined in a unified approach to human adaptation.
DEFINITIONS
The term adaptation as it has been used in biology and anthropology has been reviewed by Alland & McCay (4) and Alland (2). Here I shall note two problems which emerge in both disciplines. The first problem derives from current mean- ings of adaptation within biology where the term is used in reference to either physiological or evolutionary processes. Physiological adaptation is an organ- ismic or systemic response to parametric variation which acts to maintain homeostasis. Evolutionary adaptation is transgenerational change in the direc- tion of increased maximization in specific environments. These definitions have been noted in cultural-ecological studies and have been adopted by an- thropologists as analogies to organismic processes. Bateson (6) and Slobodkin (44) have applied the physiological model to the analysis of hierarchical re- sponses in behavior systems which act to maintain systemic continuity over time in response to different degrees of pertubation. Each of these definitions has value for anthropological research, but when they are used interchangeably, as they sometimes are, confusion results.
The second problem derives from the tautology which emerges when adapta- tion as a transgenerational phenomenon is used to explain the existence of particular traits. To say that adaptive traits are those which are present in systems, or that those traits which are present in systems are adaptive, adds nothing to our understanding of process. To be meaningful, adaptation as a temporal process of transgenerational change must have some kind of inde- 59
60 ALLAND
pendent measure and/or be charted according to a consistent theory. Alland (2) has suggested that for egalitarian societies this measure can be the same as that used in biology (comparative demographic success or increased ability to trans- form environmental energy into organisms), but the development of complex social systems (ranked or class societies) creates a whole set of new problems which can be met only partially by a consideration of demographic success.
Harris (21), noting both the risk of tautology and the measurement problem, suggested sometime ago that parallel traits or sets of traits occurring under the same or similar technoenvironmental conditions in different geographical areas could be taken as strong evidence for adaptation in behavioral systems; God- elier (18, 19) and other Structural Marxists (Friedman 17) see adaptation as a process of accommodation to environments and to certain internal char- acteristics of the behavioral system itself. They do not limit the concept of adaptation to technoenvironmental success and do not adopt a quantifiable measure. Instead they document the process of adaptation through a careful processual analysis in which structural-Marxist principles are applied to eth- nohistorical data.
A processual theory of adaptation must account for continuity and change of evolutionary systems rather than the specific characteristics of the systems themselves. It must begin with some understanding of the human potential for adaptation in the biological sense, uncover those mechanisms which maintain continuity or produce change, and generate transformational rules which can be used to explain and predict changes in behavioral systems with specific char- acteristics under stated sets of conditions. The focus on evolutionary stages or sets of accumulated traits, both of which have a long tradition within evo- lutionary anthropology, avoids the problem of process. This produces a static orientation in which stages become reified and serve as explanations for their own existence.
BIOGENETIC FACTORS IN CULTURAL BEHAVIOR
Recent developments in ethology have challenged the view, held since Boas, that biogenetic factors play no role in culture. It is to Boas that we credit the demonstration that groups with similar genetic patterns can have vastly different cultures and that similar cultures can be found among peoples with different genetic backgrounds. Such data destroyed scientific arguments for racial ex- planations of cultural differences. Yet even Boas accepted the idea, still current in all branches of anthropology, that the human species was a single biological entity and that the base line for all cultural developments was some sort of psychic unity. This concept must, of course, be grounded on the axiom that human brain patterns have something to do with behavior. Since Boas we have assumed that psychic unity can be used to explain similarities but not differences in cultural behavior. After all, how could a mechanism which is held in common
ADAPTATION 61 by all members of the species generate differences among separate groups of that species? Such an assumption is wrong, however, if we consider the role that any specific pattern must play in the development of cultural behavior in the context of different cultural, environmental, and historical factors. Brain structure, which is itself a developmental process (Piaget 38), must interact dialectically with environmental variables in very definite ways which ultimately yield differ- ential cultural patterns.
In 1959 Spuhler published The Evolution of Man's Capacity for Culture (48).
This book, which had a wide influence in both physical and cultural anthropol- ogy, presented a program for determining what biological factors in the evo- lution of primates had led to the specifically human capacities for culture and language. Physical anthropology in the 1950s and 1960s concentrated much of its effort on models which could be used to account for human capacities. These models were constructed on and checked against data from the fossil record and ethological studies of infrahuman primates.
The concept of capacities has become so popular that it is current practice for scholars to introduce their discussion of human behavior in terms of capacities and then pass on to other matters. Although the concept has been of great importance for the development of anthropology, employed this way it is re- duced to a useless truism. In addition, while it opened up speculation about fossil evolution in behavioral terms, the capacities paradigm tended to structure the theory of emergent behavior on a series of analogies from infrahuman primates which have evolved their own sets of capacities in the context of their own environmental niches. Not enough thought was given to what might be called human ethology, the study of panhuman behavioral patterns.
Primate studies have tended to serve as metaphors for current thinking about human behavior and its origins. When in the recent past anthropology was dominated by a male centric view of behavior, hunting, aggression, and terri- toriality were seen as the main forces in the developmental process. With a change toward a more balanced view, which includes a consideration of hunting and gathering as well as the development of cooperation in the context of increasing sociality and complex cognitive structures, primate studies have become more sophisticated, yielding confirmation of new theories of human biological and social evolution.
Experiments in language learning among chimpanzees have demonstrated that these animals are capable of rather complex learning in the area of commu- nication. While such studies tell us much about the capabilities of these apes, as well as the creative ability of scientists to teach "language" across the species barrier, they tell us little about the development of language in humans. Chimps do not learn the way humans do, nor is there any evidence that they have real genetic programs for speech function. As good as they are at learning various forms of sign language, they are incapable of lying to each other or of creating the kind of rich associations which produce metaphor and theory building. Dis- cussion of chimpanzee speech tends to confuse communication, which is found
62 ALLAND
in various forms throughout the animal kingdom, with language, which is a specifically human adaptation.
The growing interest among the general public in ethology and primate studies has led to a long series of popular books (Ardrey 5, Lorenz 33, Morris 35, Tiger
& Fox 49), which have misused and misinterpreted the available data from ethology as well as the new field of behavioral genetics. It is in this domain that weak analogies between the behavior of modern Homo sapiens and other animals have been used, often in distorted form. Much good material has suffered by citation out of scientific context. Such works have given ethology a bad reputation, particularly among cultural anthropologists. In a rush to protect the concept of culture from biodeterministic inroads, many anthropologists have rejected any notion that biology may be linked to contemporary behavior. Here they hide behind the concept of psychic unity, having only the vaguest notions of what such a concept might mean in biological terms. I believe that it is a professional duty of anthropologists to protest against the misuse of data, but this should not lead to the rejection of careful ethological work. My own book, The Human Imperative (1), was not written as an attack on ethology as a field.
Rather, it was an answer to a number of books which can best be classed as
"pop" biology.
It is my opinion that much of the speculation about the human biogram has been weak specifically because its models have been taken too much from studies of other species. We need to know more about the biological under- pinning of behavior in contemporary Homo sapiens. We need to recognize that our cerebral hardware may not only limit the outside boundaries of behavior, but may also directly influence the developing behavioral system.
One of the earliest excursions into the realm of biology and behavior was Darwin's The Expression of Emotions in Man and Animals (1 1). Although out of date in some respects (particularly methodology), Darwin's study stands as a model for the kind of cross-cultural research which must be done if we are to discover what behavioral patterns in our species can be closely linked to biologi- cal programming. Eibl-Eibesfeldt (13) has filmed and analyzed human ex- pressive patterns across the boundaries of culture and among individuals deaf and blind from birth. Several constant patterns emerge from these studies. They are related to emotional expression and certain social displays which may turn out to have a strong biological element in their development.
On another plane the theoretical implications of structuralism, particularly the work of Levi-Strauss (26-32) and the linguistic theories of Chomsky (7), call for a reexamination of the assumption that culture is a completely open system.
Levi-Strauss' models of structural transformations, even if eventually they will have to be replaced with other models (Sperber 45), suggest that mental patterns are very much a closed system operating within a set of very strict rules.
Chomsky suggests that underlying the variety of the world's languages are principles of universal grammar which are inborn and which limit and pattern the range of variation possible in the development of any natural language. Struc-
ADAPTATION 63 turalism recently has been approached from an overtly biological perspective by Laughlin & d'Aguili (25).
BEHAVIORAL SYSTEMS AND THE EXTERNAL ENVIRONMENT
In the early 1960s a group of anthropologists and archeologists took over adaptation models from biology and animal ecology. Treating human groups as populations, they consciously abjured the stages of development approach emphasized by earlier evolutionists. Instead they turned to an examination of the dynamic relationships between populations and the environment, including other human groups. The pioneer work is, of course, Basin-Plateau Aboriginal Sociopolitical Groups (Steward 46), which antedates these developments by a good 25 years. It should also be noted that this school was inspired in part by the work of Leslie White (53, 54), who kept the idea of evolution alive at the end of the Boas period and beyond. Although he followed a stages model, White also emphasized process, particularly the role of energy transformation in the evo- lution of social systems.
The new ecologists abandoned the notion of culture sui generis along with the superorganic, which were both strong elements in White's thinking, and turned instead to study at close range and in detail sets of relationships between human populations and their environments. They measured caloric input and output, trophic systems, nutritional and disease factors, soil types, flora and fauna, and subsistence techniques, in an attempt to see how specific populations fit as biological entities into their environmental settings.
The archeologists among them (Flannery 14-16, Coe & Flannery 8, McNeish 34) began to see the origins of domestication as a process of accommodation between plant, animal, and human communities, which developed not as revolu- tions but as slow adaptational movements towards greater degrees of resource management. The development of urban settlement was schematized as a com- bination of factors which included ecological and social variables. Freed of the stages concept, these anthropologists examined data from the perspective of specific hypotheses. Differences in process leading to the same result were uncovered through research and explained in terms of different ecological and historical conditions (Flannery 14-16). Deprived, in most cases, of data on social organization, these scholars dealt primarily with technological and set- tlement patterns. Privileged by long time runs in their data and new techniques, and aided by experts in botany and zoology, they developed sound answers to processual questions.
The ethnologists among these human ecologists were forced to limit the range of collected data. Their problem was the inverse of that faced by archeologists.
They had rich material but short temporal depth. This type of data framework led to a limited but detailed examination of specific systems. Since the work of Vayda (50), Vayda & Leeds (52), Collins (9), and Collins & Vayda (10), these
64 ALLAND
scholars have tended to concentrate on self-regulatory systems. The landmark work of this type is Pigs for the Ancestors (Rappaport 39). In this work Rap- paport attempted to demonstrate a self-regulating system of pig husbandry and ritual pig slaughter which maximized the adaptation of a series of interrelated populations in relation to the carrying capacity of their technoenvironmental setting. Unfortunately, none of Rappaport's data really demonstrate the exis- tence of such a self-regulating system. As Rappaport himself reports, the Tsembaga population at the time of his study was well below carrying capacity.
Although there was some indication that the group had been more numerous at a former time, ethnographic data could confirm neither the demographic hypoth- esis nor the hypothetical system of self-regulation as it was supposed to have functioned in the past. In addition, since the publication of Pigs for the Ances- tors the whole concept of carrying capacity has come into question as a mea- surable quantity (Street 47). In the construction of ecological models, carrying capacity remains an interesting theoretical tool, but we now know that it is practically impossible to quantify.
Recently the group of anthropologists and biologists associated with Vayda have begun to examine ecological and cultural change as well as stability. Vayda himself has looked at the maladaptive aspect of Maori warfare which developed under acculturation conditions (51). In addition, this group has begun to look at short and long range change in systems as well as conditions which promote stability within the framework of response hierarchy originally developed by Gregory Bateson (6). In this model systemic change is examined as a set of possible responses to environmental change which are triggered by the degree and duration of perturbation. Such responses are ranked in a hierarchy which operates to maintain overall stability, particularly under widely fluctuating conditions that nonetheless oscillate around a mean value. Adaptation here is seen as the ability of a system to return to a previous state when conditions permit. Too rapid unidirectional change is seen as maladaptive because the return of environmental parameters to initial conditions would force a new adaptation rather than a more economical return to a previous state. Such reversible hierarchies of response in cultural systems are equivalent to phys- iological adaptation in organisms.
While these ideas represent a further refinement of earlier borrowing by anthropologists from biological models, I believe that a too facile transfer of such concepts to notions about stability and change in cultural systems can lead to a reintroduction of the superorganic into ecological discourse. Cultures are not superorganisms. Their boundaries are not as definite and fixed, nor are their systems so fully integrated as biological systems. Organisms have physiological and morphological memories built into their genomes. Their return to an initial state after stress is less problematical than a hypothetical return for cultures under stress. In addition, the idea of systemic integrity and stress plasticity also involves the idea that lags, which inhibit change under initial conditions of perturbation, are in some way not only adaptive but are outcomes of natural selection. It makes more sense to me to conceive of flexibility rather than lag as
ADAPTATION 65 the outcome of selection. Systems which have limited response ranges to chang- ing environments will tend to be replaced by more flexible systems, at least in variable environments.
In spite of my caveats, I believe that the ecological approach to adaptation has been valuable. It should be clear that the major shift in evolutionary thinking which has developed in human ecology has been the turn away from stages of development to a more dynamic view of process fully parallel with evolutionary thinking in biology. Such a framework allows the anthropologist to generalize from specific cases of human behavior to general processes of biological adapta- tion and to phrase these generalizations in terms of thermodynamic and informa- tion theory. These theoretical orientations in their turn allow the researcher to seek out new data on human behavior and to organize it in new ways.
Rappaport (40) has suggested that ritual is an information exchange device which communicates cultural, ecological, and demographic data across the boundaries of local social groups. Such information can then be used in the planning of short range ecological and social strategies. The interaction of a series of groups in a bounded environment may be more adaptive for a complex population system of interacting parts when gain and even loss for some groups may be regulated by the flow of such information. Rappaport suggests that information transferred during rituals, and which is therefore sacred, is likely to be accepted as true even by conflicting parties. If this is the case, strategies would be based on the evaluation of such "true" information by the participat- ing groups.
These ideas are interesting and theoretically valuable, but they are difficult to operationalize without long time runs and careful measurement of a wide range of variables. This is perhaps why ecologically oriented archeologists have presented more convincing arguments than have cultural ecologists. The goals of the archeologists are more modest, they have greater control of the temporal element, and they treat populations which, by virtue of their extinction, are no longer subject to new historical forces.
A close look at cultural ecology yields other difficulties. In general, cultural ecologists do not consider cause; instead their program is to explain function.
They deal with what "is" rather than with some ideal adaptive system. It is for this reason that they reject questions about hypothetically better adapted sys- tems. In the case of pig husbandry among the Tsembaga, for example, a nonecologist might ask why the people allow pig herds to get too large and only then reduce the population through overkilling (a process which reduces the available supply of meat well below amino acid requirements). Why don't the Tsembaga keep their herds at a constant more rational level, have a steady supply of high-grade protein, and avoid degradation of the environment as well as the other inconveniences associated with overly large herd size? Such ques- tions are not entertained by the Vayda school of cultural ecology because, it claims, the system as such has been described and explained. These analyses are distinguished from earlier functional analyses on the basis of a model of self- regulation which allows the observer to predict responses to systemic and
66 ALLAND
environmental variation. Such explanations, however, depend for their force upon clearly defined and demonstrated feedback systems whose variables do indeed change values according to predicted directions at predicted times. While many such systems have been "sketched" (to borrow Rappaport's own term) none have been successfully demonstrated. When such systems are not demon- strated, there is the high risk that the notion of adaptation will fall back into tautology. Under these circumstances the nonecologist's questions about hypo- thetically better or more rational systems are in fact justified.
Sahlins (41) has raised serious objections to the ecological framework. He has done this by readily admitting that what's there is there, but adding that if no system is demonstrated, we are reduced to the truism that all populations that exist are in some sense adapted. His criticism has been countered (Harris, personal communication) by the suggestion that populations exist below car- rying capacity because adaptive systems must hedge against the poorest possi- ble conditions. Thus population will adjust to the carrying capacity of the environment in its poorest yielding years. This could be a valid argument, but it is unproved. Considering the problem of carrying capacity in general, this solution to Sahlin's objections is like putting a bandaid on gangrene.
In the place of ecological explanations, Sahlins has offered his own ideas concerning production in technologically primitive societies. He sees the mode of production, particularly what Marxists call the relations of production, as a cultural rather than an ecological category. The amount produced by a popu- lation will depend, not on the carrying capacity or some other environmental adjustment, but rather on the kind of social unit that is engaged in work, the nature of distribution, and the nature of economic control within the society.
Sahlins notes that so-called primitives tend to underproduce. Such an ob- servation leads him to question why any society might produce more than is necessary to meet immediate needs. Surplus production is seen as a social glue used to unite segments of society which otherwise might fragment. The posited underproduction is seen as a natural response to need against the absence of any incentive to work any harder than is necessary. Sahlins calls the mode of production in simple societies the domestic mode of production or DMP.
Although the DMP as an explanation for underproduction is far from proved by the data Sahlins presents, his substitution of cultural for ecological ex- planations of basic economic patterns must be dealt with. As I shall suggest below, the correct solution to this problem might lie in a combination of cultural and ecological factors which operate together in the development of specific adaptations.
Not all cultural ecologists have concerned themselves with functional sys- tems. A different, and to my mind less successful, approach to adaptation has been taken by Harris in a series of publications beginning with "The Cultural Ecology of India's Sacred