MATERI PEMBELAJARAN KE-13
POKOK BAHASAN : Perkembangan Kemandirian, dan Penyesuaian Diri Peserta Didik TUJUAN : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami beberapa hal berikut:
1. Bentuk-bentuk dan karakteristik kemandirian
2. Perkembangan kemandirian peserta didik dan implikasinya bagi pendidikan
3. Aspek-aspek penyesuaian diri dan faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri.
A. KONSEP DASAR KEMANDIRIAN 1. Pengertian Kemandirian
Istilah “kemandirian” berasal dari kata dasar "diri” yang mendapat awalan “ke”
dan akhiran "an”, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar "diri”, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasan tentang perkembangan diri itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah self, karena diri itu merupakan inti dari kemandirian. Konsep yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.
Perkembangan kemandirian merupakan masalah penting sepanjang rentang kehidupan manusia. Perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan- perubahan fisik, yang pada gilirannya dapat memicu terjadinya perubahan emosional, perubahan kognitif yang memberikan pemikiran logis tentang cara berpikir yang mendasari tingkah laku, serta perubahan nilai dalam peran sosial melalui pengasuhan orangtua dan aktivitas individu. Secara spesifik, masalah kemandirian menuntut suatu kesiapan individu, baik kesiapan fisik maupun emosional untuk mengatur, mengurus dan melakukan aktivitas atas tanggung jawabnya sendiri tanpa banyak menggantungkan diri pada orang lain.
Kemandirian muncul dan berfungsi ketika peserta didik menemukan diri pada posisi yang menuntut suatu tingkat kepercayaan diri. Menurut Steinberg (1993), kemandirian berbeda dengan tidak-tergantung, karena tidak tergantung merupakan bagian untuk memperoleh kemandirian.
Menurut Chaplin (2002), otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Seifert dan Hoffnung (1994) mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai “the ability to govern and regulate ones own thoughts, feelings, and actions freely and responssibly while overcoming feelings of shame and doubt”. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.
Erikson (dalam Monks, dkk, 1989), menyatakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego, yaitu merupakan perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan-keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain.
1
Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi di mana peserta didik secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut, peserta didik diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian:
a. Suatu kondisi di mana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.
b. Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
c. Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya.
d. Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
2. Bentuk-bentuk Kemandirian
Robert Havighurst (1972) membedakan kemandirian menjadi beberapa bentuk kemandirian, yaitu:
a. Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.
b. Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.
c. Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
d. Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.
Sementara itu, Steiberg (1993) membedakan karakteristik kemandirian atas tiga bentuk, yaitu: a) kemandirian emosional (emo- tional autonomy); b) kemandirian tingkah laku (behavioral autonomy); dan c) kemandirian nilai (value autonomy). Lengkapnya, Steinberg menulis:
The first emotional autonomy-that aspect of independence related to changes in the individual’s close relationships, especially with parent. The second behavioral autonomy-the capacity to make in- dependent decisions and follow through with them. The third char- acterization involves an aspect of independence referred to as value autonomy-wich is more than simply being able to resist pressures to go along with the demands of other; it means having a set a principles about right and wrong, about what is important and what is not.
Kutipan di atas menunjukkan karakteristik dari ketiga aspek kemandirian, yaitu:
a. Kemandirian emosional, yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional antar individu, seperti hubungan emosional peserta didik dengan guru atau dengan orangtuanya.
b. Kemandirian tingkah laku, yakni suatu kemampuan untuk membuat keputusan- keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab.
c. Kemandirian nilai, yakni kemampuan memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.
3. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian
Sebagai suatu dimensi psikologis yang kompleks, kemandirian dalam perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan. Perkembangan kemandirian seseorang berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemandirian tersebut.
Lovinger (dalam Sunaryo Kartadinata, 1988), mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristiknya, yaitu:
a. Tingkat pertama, adalah tingkat impulsif dan melindungi diri. Ciri-cirinya sebagai berikut:
1) Peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain
2) Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistik
3) Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype) 4) Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games
5) Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
b. Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik. Ciri-cirinya sebagai berikut:
1) Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan sosial 2) Cenderung berpikir stereotype dan klise
3) Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal
4) Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian 5) Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi 6) Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal
7) Takut tidak diterima kelompok
8) Tidak sensitif terhadap keindividualan 9) Merasa berdosa jika melanggar aturan.
c. Tingkat ketiga, adalah tingkat sadar diri:
1) Mampu berpikir alternatif
2) Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi 3) Peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada 4) Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah
5) Memikirkan cara hidup
6) Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.
d. Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-cirinya sebagai berikut:
1) Bertindak atas dasar nilai-nilai internal
2) Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan
3) Mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri sendiri maupun orang lain
4) Sadar akan tanggung jawab
5) Mampu melakukan kritik dan penilaian diri 6) Peduli akan hubungan mutualistik
7) Memiliki tujuan jangka panjang
8) Cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial 9) Berpikir lebih kompleks dan atas dasar pola analitis.
e. Tingkat kelima, adalah tingkat individualitas. Ciri-cirinya sebagai berikut:
1) Peningkatan kesadaran individualitas
2) Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan 3) Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain
4) Mengenal eksistensi perbedaan individual
5) Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan 6) Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya 7) Mengenal kompleksitas diri
8) Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
f. Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri. Ciri-cirinya sebagai berikut:
1) Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan
2) Cenderung bersikap realistik dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain 3) Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan sosial
4) Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan 5) Toleran terhadap ambiguitas
6) Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment)
7) Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal 8) Responssif terhadap kemandirian orang lain
9) Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang
10) Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
4. Pentingnya Kemandirian Bagi Peserta Didik
Pentingnya kemandirian bagi peserta didik, dapat dilihat dari situasi kompleksitas kehidupan dewasa ini, yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kehidupan peserta didik. Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta didik terlihat dari berbagai fenomena yang sangat membutuhkan perhatian duania pendidikan, seperti perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, perilaku agresif, dan berbagai perilaku menyimpang yang sudah mengarahkan pada tindak kriminal. Dalam konteks proses belajar, terlihat adanya fenomena peserta didik yang kurang mandiri dalam belajar, yang dapat menimbulkan gangguan mental setelah memasuki pendidikan lanjutan, kebiasaan belajar yang kurang baik (seperti tidak betah belajar lama atau belajar hanya menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari bocoran soal-soal ujian).
Fenomena-fenomena di atas, menuntut dunia pendidikan untuk mengembangkan kemandirian peserta didik. Sunaryo Kartadinata (1988) menyebutkan beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan kemandirian yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu:
a. Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas.
Perilaku seperti ini akan mengarah pada perilaku formalistik, ritualistik dan tidak konsisten, yang pada gilirannya akan menghambat pembentukan etos keija dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.
b. Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertransenden terhadap lingkungannya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif, yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.
c. Sikap hidup konformistis tanpa pemahaman dan konformistik dengan mengorbankan prinsip. Mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang berkembang dalam masyarakat menunjukkan adanya ketidakjujuran dalam berpikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
Gejala-gejala tersebut merupakan bagian kendala utama dalam mempersiapkan individu-individu yang mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Oleh sebab itu, perkembangan kemandirian peserta didik menuju ke arah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk dilakukan secara serius, sistemads dan terprogram.
5. Perkembangan Kemandirian Peserta Didik dan Implikasinya Bagi Pendidikan Kemandirian adalah kecakapan yang berkembangan sepanjang rentang kehidupan individu, yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian peserta didik, di antaranya:
a. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai
b. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah
c. Memberi kebebasan kepada anak untuk mengekplorasi lingkungan, mendorong rasa ingin tahu mereka
d. Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak e. tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain f. Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.
B. KONSEP DASAR PENYESUAIAN DIRI 1. Pengertian dan Teori Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri merupakan suatu konstruk psikologi yang luas dan kompleks, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri individu itu sendiri. Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri menyangkut seluruh aspek kepribadian individu dalam interaksinya dengan lingkungan dalam dan luar dirinya.
Individu adalah makhluk yang unik dan dinamik, tumbuh dan berkembang, serta memiliki keragaman kebutuhan, baik dalam jenis, tataran (level), maupun intensitasnya.
Keragaman cara individu dalam memenuhi kebutuhannya menunjukkan adanya keragaman pola penyesuaian diri individu. Bagaimana individu memenuhi kebutuhannya akan menggambarkan pola penyesuaian dirinya. Proses pemenuhan kebutuhan ini pada hakikatnya merupakan proses penyesuaian diri. Dalam hal ini Mustafa Fahmi (1977) menulis:
"Pengertian luas tentang proses penyesuaian terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang dituntut dari individu tidak hanya mengubah kelakuannya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan di luar, dalam lingkungan di mana dia hidup, akan tetapi juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan adanya orang lain dan macam-macam kegiatan mereka... Jika mereka ingin penyesuaian, maka hal itu menuntut adanya penyesuaian antara keinginan masing-masingnya dengan suasana lingkungan sosial tempat mereka bekeija.”
Sifat dinamik dari perilaku individu memungkinkannya mampu memperoleh penyesuaian diri yang baik. Penyesuaian diri itu sendiri bersifat dinamik dan bukan statik. Bahkan menurut Hollander (1981), sifat dinamis (dynamism) ini menjadi kualitas esensial dari penyesuaian diri. Lebih jauh Hollander menulis:
“The essential quality of adjustment is its dynamism, or potential for change.
Adjustment occurs whenever the individual faces new en- vironmental conditions that require a responsse. An example is that of students who go from high school to college, especially of the first is small and the second large. Adjustment also takes the form of fitting one’s psychological needs to cultural norms. Even physiologically based needs, such as hunger, are satisfied in socially approved ways.
What we eat, and how we eat are illustrations of actions learned from a society’s pattern of culture.
Adjustment involves learning to meet new circumstances through changes in actions or attitudes. Basically, learning means actual or potential alterations in behavior which may be more or less permanent. Although we may seek the familiar and more comfortable patterns of past behavior, they may not be appropriate under changed conditions. Therefore, adjustment means adopting new ways of acting, or at times returning to old ones which are more appropriate”.
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa kualitas penyesuaian yang penting adalah dinamisme atau potensi untuk berubah. Penyesuaian terjadi kapan saja individu menghadapi kondisi-kondisi lingkungan baru yang membutuhkan suatu respons.
Penyesuaian juga tampil dalam bentuk menyesuaikan kebutuhan psikologis seseorang dengan norma- norma budaya. Bahkan kebutuhan dasar secara fisiologis, seperti rasa lapar, dipenuhi menurut cara-cara yang ditentukan secara sosial. Apa yang kita makan, dan bagaimana kita makan merupakan ilustrasi dari tindakan yang dipelajari dari suatu pola kebudayaan suatu masyarakat.
Penyesuaian mencakup belajar untuk menghadapi keadaan baru melalui perubahan dalam tindakan atau sikap. Sepanjang hidupnya individu akan mengadakan perubahan perilaku, karena memang dia dihadapkan pada kenyataan dirinya maupun lingkungannya yang terus berubah. Ini berarti bahwa "adjustment is a lifelong process, and people must continue to meet and deal with the stresses and challenges of life in order to achieve a healthy personality”. (Derlega & Janda, 1978).
Schneiders (1964) juga menyebut penyesuaian diri (adjustment) sebagai: "A process involving both mental and behavioral responsses, by wich an individual strives to cope successfully with inner needs, tensions, frustration and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives”.
Jadi, penyesuaian diri pada prinsipnya adalah suatu proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dengan mana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan- kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik dan frustrasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan di mana ia tinggal.
Menurut Baum (1985), tingkah laku penyesuaian diri diawali dengan stres, yaitu suatu keadaan di mana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang.
Setiap individu memberikan reaksi yang berbeda dalam menghadapi situasi tertentu sesuai dengan proses pendekatan yang digunakannya. Seseorang mungkin dapat bereaksi tanpa adanya beban, tetapi orang lain mungkin menganggapnya sebagai situasi yang membebani atau mengancamnya. Adanya perbedaan tersebut berkaitan erat dengan bagaimana seseorang mempersepsi, menilai dan mengevaluasi situasi yang dihadapinya.
Persepsi, penilaian dan evaluasi terhadap realitas inilah yang disebut sebagai realitas individu.
Dalam mempersepsikan suatu situasi, individu akan membuat sejumlah asumsi tentang dirinya, tentang dunia di luar dirinya dan tentang relasi dirinya dengan dunia di luar dirinya melalui self system yang dimilikinya. Self system ini diperoleh dari proses belajar sepanjang rentang hidupnya. Menurut Voleman (1971), berfungsinya self system pada seseorang melibatkan asumsi-asumsi yang dibuat sendiri oleh individu yang bersangkutan. Asumsi- asumsi tersebut meliputi:
a. Reality assumption, yaitu pandangan individu mengenai dirinya sendiri, apa yang dipikirkannya, siapa dirinya dan apa sebenarnya sifat-sifat dari lingkungannya.
b. Possibility assumption, yaitu pandangan individu mengenai hal- hal yang mungkin tentang perubahan-perubahan, tentang kesempatan pengembangan diri dan hubungannya dengan lingkungan sosialnya.
Asumsi-asumsi inilah yang akhirnya membentuk frame of refer- ence yang merupakan suatu pandangan yang menetap pada diri individu dalam hubunganya dengan lingkungan, serta merupakan hal penting untuk mengarahkan tingkah laku individu tersebut. Dalam beberapa hal frame of reference yang dimiliki individu merupakan dasar untuk mengevaluasi pengalaman-pengalaman baru, untuk coping dengan dunianya. Oleh sebab itu, konsekuensi logis dari frame of reference ini adalah individu cenderung mempertahankan asumsi-asumsi yang sudah dimilikinya dan menolak informasi baru yang berlainan.
Perbedaan individu ini menyebakan konsep penyesuaian diri menjadi relatif sifatnya, sehingga tidak dapat dibuat suatu pilihan cara- cara dalam menghadapi stres tertentu secara pasti. Menurut Schneider (1964), penyesuaian diri itu dikatakan relatif karena:
a. Penyesuaian diri dirumuskan dan dievaluasi dalam pengertian kemauan seseorang untuk mengubah atau untuk mengatasi tuntutan yang mengganggunya. Kemampuan ini berubah-ubah sesuai dengan nilai-nilai kepribadian dan tahap perkembangannya.
b. Kualitas dari penyesuaian diri berubah-ubah terhadap beberapa hal yang berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan.
c. Adanya variasi tertentu pada individu.
Meskipun terdapat perbedaan pola reaksi penyesuaian diri individu, namun tidak dapat diabaikan adanya kenyataan bahwa penyesuaian diri itu sendiri bisa baik dan bisa tidak baik. Dalam beberapa hal reaksi penyesuaian ini dapat dipandang efisien, bermanfaat atau memuaskan, yang tidak terlepas dari situasi lingkungan yang dihadapinya. Artinya, individu dapat menyelaraskan tuntutan dalam dirinya dengan tuntutan lingkungannya dengan cara-cara yang dapat diterima lingkungannya.
Penyesuaian seperti ini dapat dikatakan sebagai penyesuaian diri yang baik (good adjustment). Sebaliknya, jika reaksi- reaksinya tidak efiesien, tidak memuaskan, makan dikatakan sebagai penyesuaian diri yang kurang baik (bad adjustment). Menurut Schneider (1964), individu yang well adjusted adalah mereka yang dengan keterbatasannya, kemampuan yang dimilikinya dengan dengan corak kepribadiannya, telah belajar untuk bereaksi terhadap dirinya sendiri dan lingkunganya dengan cara yang dewasa, bermanfaat, efisien, dan memuaskan.
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri yang Sehat
Penyesuaian diri yang baik berkaitan erat dengan kepribadian yang sehat. Sebab, sebagaimana dikemukakan oleh Lazarus, "... personality and adjustment are totality interrelated subjects of study. The are two sides of the same coin. It is really impossible to speak of one without the other" Oleh sebab itu, penyesuaian diri yang sehat lebih merujuk pada konsep “sehat”nya kehidupan pribadi seseorang, baik dalam hubungannya dengan diri sendiri, dengan orang lain, maupun dengan lingkungannya. Sistem penyesuaian diri ini merupakan kondisi untuk mengembangkan diri secara optimal.
Mengacu pada beberapa konsep tentang sehatnya kepribadian individu yang diajukan oleh beberapa ahli, seperti kepribadian normal (Cole, 1953), kepribadian produktif (Fromm dan Gilmore, 1974), dan psiko-higiene (Sikun Pribadi, 1971), maka secara garis besarnya penyesuaian diri yang sehat dapat dilihat dari empat aspek kepribadian, yaitu: a) kematangan emosional; b) kematangan intelektual; c) kematangan sosial; dan d) tanggung jawab.
a. Kematangan emosional mencakup aspek-aspek:
1) Kemantapan suasana kehidupan emosional
2) Kemanta pan suasana kehidupan kebersamaan denganorang lain 3) Kemampuan untuk santai, gembira dan menyatakan kejengkelan 4) Sikap dan perasaan terhadap kemampuan dan kenyataan diri sendiri.
b. Kematangan intelektual mencakup aspek-aspek:
1) Kemampuan mencapai wawasan diri sendiri
2) Kemampuan memahami orang lain dan keragamannya 3) Kemampuan mengambil keputusan
4) Keterbukaan dalam mengenal lingkungan.
c. Kematangan sosial mencakup aspek-aspek:
1) Keterlibatan dalam partisipasi sosial 2) Kesediaan keija sama
3) Kemampuan kepemimpinan 4) Sikap toleransi
5) Keakraban dalam pergaulan.
d. Tanggung jawab mencakup aspek-aspek:
1) Sikap produktif dalam mengembangkan diri
2) Melakukan perencanaan dan melaksanakannya secara fleksibel 3) Sikap altruisme, empati, bersahabat dalam hubungan interpersonal 4) Kesadaran akan etika dan hidup jujur
5) Melihat perilaku dari segi konsekuensi atas dasar sistem nilai 6) Kemampuan bertindak independen.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dari dilihat dari konsep psikogenik dan sosiopsikogenik. Psikogenik memandang bahwa penyesuaian diri dipengaruhi oleh riwayat kehidupan sosial individu, terutama pengalaman khusus yang membentuk perkembangan psikologis. Pengalaman khusus ini lebih banyak berkaitan dengan latar belakang kehidupan keluarga, terutama menyangkut aspek-aspek:
a. Hubungan orangtua-anak, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam keluarga, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter yang mencakup:
1) Penerimaan-penolakan orangtua terhadap anak
2) Perlindungan dan kebebasan yang diberikan kepada anak 3) Sikap dominatif-integratif (permisif atau sharing)
4) Pengembangan sikap mandiri-ketergantungan.
b. Iklim intelektual keluarga, yang merujuk pada sejauhmana iklim keluarga memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual anak, pengembangan berpikir logis atau irrasional, yang mencakup:
1) Kesempatan untuk berdialog logis, tukar pendapat dan gagasan 2) Kegemaran membaca dan minat kultural
3) Pengembangan kemampuan memecahkan masalah 4) Pengembangan hobi
5) Perhatian orangtua terhadap kegiatan belajar anak
c. Iklim emosional keluarga, yang merujuk pada sejauhmana stabilitas hubungan dan komunikasi di dalam keluarga terjadi:
1) Intensitas kehadiran orangtua dalam keluarga 2) Hubungan persaudaraan dalam keluarga 3) Kehangatan hubungan ayah-ibu.
Sementara itu dilihat dari konsep sosiopsikogenik, penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor iklim lembaga sosial di mana individu terlibat di dalamnya. Bagi peserta didik, faktor sosiopsikogenik yang dominan memengaruhi penyesuaian dirinya adalah sekolah, yang mencakup:
a. Hubungan guru-siswa, yang merujuk pada iklim hubungan sosial dalam sekolah, apakah hubungan tersebut bersifat demokratis atau otoriter, yang mencakup:
1) Penerimaan-penolakan guru terhadap siswa.
2) Sikap dominatif (otoriter, kaku, banyak tuntutan) atau integratif (permisif, sharing, menghargai dan mengenal perbedaan individu).
3) Hubungan yang bebas ketegangan atau penuh ketegangan.
b. Iklim intelektual sekolah, yang merujuk pada sejauh mana perlakuan guru terhadap siswa dalam memberikan kemudahan bagi perkembangan intelektual siswa sehingga tumbuh perasaan kompeten, yang mencakup:
1) Perhatian terhadap perbedaan individual siswa 2) Intensitas tugas-tugas belajar
3) Kecenderungan untuk mandiri atau berkonformitas pada siswa 4) Sistem penilaian
5) Kegiatan ekstrakurikuler 6) Pengembangan inisiatif siswa.
C. TUGAS-TUGAS
1. Sebutkan dan jelaskan bentuk-bentuk kemandirian?
2. Sebutkan dan jelaskan berbagai karakteristik kemandirian?
3. Jelaskan bagaimana perkembangan kemandirian peserta didik dan implikasinya bagi pendidikan?
4. Sebutkan dan jelaskan aspek-aspek penyesuaian diri yang sehat?
5. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor apa yang memengaruhi penyesuaian diri?
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., Bern, D.J., & Hoeksema, S.N., (1990). Hilgards Introduction to Psychology, New York: Harcourt Brace College Publishers.
Baum, R., (2007). The Psychology of Entrepreneurship. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Botvin, G.J., & Botvin, E.M., (1992). Adolescent Tobacco, Alcohol, And Drug Abuse:
Prevention Strategies, Empirical Findings, And Assessment Issues, Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, 13 (4), 29.
Chaplin, J. P., (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali
Derlega & Janda, (1978). Psikologi perkembangan Pesetra Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Erikson, Erik. H., (2010). Identitas Dan Siklus Hidup Manusia. Bunga rampai penerjemah: Agus Crèmes. Jakarta: PT. Gramedia.
Fahmi, Mustafa, (1982). Penyesuaian Diri Pengertian dan Peranannya dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Bulan Bintang
Havighurst, Robert J., (1972). Perkembangan Manusia dan Pendidikan. Bandung: Allyn and Bacon.
Hollander., (1981). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Lazarus, Richard S., & Folkman, Susan, (1966). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company
Monks, F.J,K & Haditono, S.R., (2001). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rogers, Carl., (1959). "A theory of therapy, personality and interpersonal relationships as developed in the client-centered framework.". in (Ed.) S. Koch. Psychology: A study of a science. Vol. 3: Formulations of the person and the social context.
New York: McGraw Hill.
Schneiders, (1964). Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Seifert, K.L. & Hoffnung, R.J., (1994). Child and Adolescent Development, Boston:
Houghton Mifflin Company.
Sikun Pribadi, (1981). Menuju Keluarga Bijaksana. Bandung: Sekolah Istri Bijaksana. Steinberg, L., (1999), Adolescence, United Statesof America: McGraw-Hill.