Tujuh Tradisi Teori Komunikasi
Teori komunikasi sebagai suatu bidang didukung oleh “Seven Traditions of Communication Theory as a Field” oleh Robert Craig (2006). Teori tersebut merekonstruksi teori komunikasi sebagai bidang dialogis-dialektis berdasarkan dua prinsip: model komunikasi konstitutif sebagai metamodel dan teori sebagai praktik metadiskursif. Selain itu, teori-teori komunikasi saling relevan ketika ditujukan pada dunia praktis di mana
“komunikasi” sudah menjadi istilah yang sangat bermakna (Craig, 2006).
A. Tradisi Retoris atau Retorika
Tradisi Retoris. Teori komunikasi ini menetapkan komunikasi sebagai seni wacana.
Ini menyiratkan bahwa menguasai keterampilan komunikasi memerlukan latihan dan pendidikan seperti halnya kerajinan apa pun. Keahlian retoris menandakan kekuatan seperti halnya pidato publik dimana kemampuan komunikasi yang baik seseorang memberikan dampak kepada pendengarnya. Karena keragaman cara orang berkomunikasi, teori ini menyarankan penelitian lebih lanjut mengenai metode, teori, dan praktik yang antara lain akan mengasah keterampilan tersebut. Namun, retorika tidak serta merta menerjemahkan validitas atau kebenaran dari apa yang dikomunikasikan. Seperti halnya pidato politik calon- calon tertentu yang bersaing untuk mendapatkan suatu posisi, gagasan tentang ‘latihan retorika murni’ dapat mempunyai konotasi kekesalan atau retorika yang tidak berarti ketika kata-kata tidak berarti tindakan, atau ketika pada dasarnya bersifat netral dan tanpa emosi.
Meskipun demikian, tradisi retoris mengangkat keterampilan komunikasi yang baik sebagai sesuatu yang harus dipelajari dan dikaji secara kritis sebagai wacana yang berseni dan metodis yang dijiwai dengan penalaran logis.
Dalam definisi yang lebih modern, literasi retoris mengacu pada keterampilan dalam memahami peran audiens dalam membentuk wacana, mengidentifikasi dan merespons audiens dalam situasi penulisan dan menyadari pendirian ideologis diri sendiri dan pendirian audiens (Cook, 2002 seperti dikutip oleh Suryani dkk, 2014). Perspektif ini memungkinkan terjadinya pertemuan hubungan pengirim-penerima. Dalam Retorika Klasik Aristoteles, hubungan pembicara-pesan-pendengar dicontohkan dalam ethos-logos-pathos. Etos menyoroti kredibilitas pembicara dan otoritas pembicara. Ini juga berkonotasi dengan interpretasi. Sikap interpretatif tersebut diperoleh dari pemahaman pembicara terhadap pesannya. Logos menggarisbawahi pesan yang perlu dipahami yang akan disampaikan kepada khalayak secara pathos.
Salah satu contoh untuk menggambarkan tradisi retoris adalah mendengarkan pidato seorang politisi. Kekuatan persuasif terpancar dari diri pembicara sebagai orator. Dengan logo yang mewakili logika pidato sebenarnya, persuasi melampaui penonton sebagai pathos dalam hal bagaimana penonton terpengaruh secara emosional. Hal ini dapat dijelaskan dari cara keyakinan dan ideologi mempengaruhi penonton, sehingga terbujuk.
Teori Aristoteles
Teori ini berpusat pada pemikiran mengenai retorika yang sering disebutnya sebagai alat persuasi. Pada intinya, teori retorika milik Aristoteles menyebutkan bahwa efektivitas persuasi ditentukan oleh kualitas komunikator dalam menyampaikan bukti logos (logika), pathos (emosi), dan ethos (etika atau kredibilitas)
Teori Isocrates
Inti dari retorika Isocrates adalah konsep "filsafat", bukan sebagai pencarian pengetahuan yang abstrak tetapi sebagai panduan praktis untuk hidup berbudi luhur dan berkontribusi pada kebijakan. Bagi Isocrates, retorika menjadi wadah yang melaluinya cita-cita filosofis dikomunikasikan dan diberlakukan, mengubah warga negara menjadi agen moral yang mampu membentuk nasib komunitas mereka.
Teori Cicero
Inti dari filosofi retoris Cicero adalah gagasan "prudentia" atau kebijaksanaan praktis yang ia yakini harus mendasari semua wacana persuasif. Oleh karena itu, retorika Cicero mengutamakan penanaman karakter berbudi luhur dan integritas etika, mengakui bahwa kredibilitas orator dan kekuatan persuasif bergantung pada reputasi kejujuran, kebijaksanaan, dan kebenaran moral mereka.
Teori Burkean
Retorika Burkean adalah konsep "identifikasi", di mana pembicara berusaha menjalin hubungan dengan audiensnya dengan menggunakan nilai, pengalaman, dan identitas bersama. Burke berpendapat bahwa persuasi muncul bukan dari paksaan atau manipulasi tetapi dari penyelarasan kepentingan dan konstruksi kesamaan antara pembicara dan pendengar. Dalam pandangan ini, retorika menjadi wahana untuk menumbuhkan solidaritas dan kerja sama, menjembatani kesenjangan antara perspektif yang berbeda dan menumbuhkan rasa kebersamaan.
Teori Performatif
Dalam kerangka teori performatif, retorika dipandang sebagai tindakan sosial yang menciptakan dan memperkuat identitas, norma, dan hubungan antarindividu.
Misalnya, dalam sebuah pidato politik, bukan hanya kata-kata yang digunakan untuk meyakinkan audiens, tetapi juga untuk memperkuat citra diri pembicara, membangun solidaritas dengan kelompok pendengar tertentu, dan bahkan untuk menegaskan kekuatan politik. Konsep utama dalam teori performatif adalah "performatif utterance" yang pertama kali diperkenalkan oleh J.L. Austin.
Pencetus
1. Aristoteles: Sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah retorika, Aristoteles memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman kita tentang retorika.
Dalam novel “Retorika”, Aristoteles menyelidiki berbagai aspek retorika, termasuk bagaimana membangun argumen yang meyakinkan, cara menangani emosi audiens, dan pentingnya karakter pembicara dalam persuasi.
2. Plato: Meskipun mengemukakan tentang retorika yang berbeda dengan Aristoteles, Plato juga berpengaruh dalam perkembangan teori retorika. Dalam karyanya
"Gorgias" dan "Phaedrus", Plato menekankan penggunaan retorika yang manipulatif dan menganalisis keabsahan penggunaan retorika dalam mencari kebenaran.
3. Isocrates: Isocrates mengembangkan pendekatan retorika yang lebih praktis dan etis daripada Plato dan Aristoteles. Dia menekankan pentingnya retorika pendidikan untuk meningkatkan kualitas pemimpin politik dan memberdayakan warga negara dalam kehidupan masyarakat.
B. Tradisi Semiotik
Sebagai teori komunikasi, semiotika menekankan makna intersubjektif yang dimediasi oleh tanda-tanda. Artinya, makna realitas yang bersifat intersubjektif dipahami dengan menggunakan tanda, simbol, dan bahasa dalam suatu kelompok sosial budaya sebagai ekspresi bersama. Permasalahan dalam praktik komunikasi dapat mencakup keragaman makna, berbagai perspektif yang dapat menyembunyikan unsur-unsur penting dari apa yang nyata. Bahasa, misalnya, memiliki kesamaan makna ketika berada dalam komunitas bersama sebagai sebuah ideologi sosial, diobjektifikasi namun masih terdapat makna sub-tekstual, atau makna di dalam sebuah kata yang secara relatif dapat dipahami oleh sebagian orang dan tidak oleh orang lain khususnya. bahasa dalam konteks yang berbeda.
Contoh lain untuk mengilustrasikan komunikasi semiotik adalah melalui pemahaman rambu lalu lintas sebagai makna yang dikonstruksi bersama sedemikian rupa sehingga lampu hijau berarti pergi; lampu baca berarti berhenti. Makna yang dipahami secara sosial ini berkonotasi dengan mediasi makna intersubjektif. Ferdinand de Saussure dan Charles Peirce adalah kontributor utama tradisi ini.
Teori Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure (1857-1913) memaparkan semiotika didalam Course in General Lingustics sebagai “ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dari definisi tersebut adalah sebuah relasi, bahwa jika tanda merupakan bagian kehidupan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda (sign system) dan ada sistem sosial (social system) yang keduanya saling berkaitan. Dalam hal ini, Saussure berbicara mengenai konvesi sosial (social konvenction) yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan pengkombinasian dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial
Teori Semiotika Charles Sander Peirce
Charles Sander Peirce berpendapat bahwa semiotika didasarkan pada logika karena logika mempelajari bagaimana orang bernalar. Menurut Peirce, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda, yang memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memahami apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dalam hal ini, manusia memiliki tanda-tanda yang berbeda dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Tanda linguistik dianggap sebagai salah satu yang paling penting. Fungsi dan kegunaan tanda sangat penting dalam teori semiotika ini. Tanda sebagai alat komunikasi sangat penting dalam berbagai situasi dan dapat digunakan dalam berbagai aspek komunikasi.
Teori semiotika Roland Barthes
Roland Barthes berfokus pada konsep tanda dan simbol serta interpretasinya. Barthes memperluas pemahaman bahasa melampaui kata-kata, menganggap bahwa segala sesuatu dalam lingkungan budaya kita berkomunikasi melalui tanda.
Teori semiotika John Fiske
John Fiske dalam semiotika (ilmu tentang tanda) terdapat dua perhatian utama, yakni hubungan antara tanda dan maknanya, dan bagaimana suatu tanda dikombinasikan menjadi suatu kode.
Teori semiotic Michael Riffaterre
Michael Riffaterre merupakan pionir pendekatan semiotika analisis puisi dengan mendefinisikan bahwa makna karya sastra bersifat subjektif. Ia menyatakan bahwa makna karya sastra diolah dengan cara (1) menggusur, (2) mendistorsi, dan (3) menciptakan makna yang akhirnya menjadi mimesis.
Pencetus
1. Ferdinand de Saussure: Saussure dianggap sebagai salah satu pendiri utama teori semiotik modern. Dalam karyanya "Course in General Linguistics" (Kursus dalam Linguistik Umum), yang diterbitkan setelah kematiannya, Saussure memperkenalkan konsep strukturalisme dan membedakan antara "langue" (sistem bahasa) dan "parole"
(ucapan individu). Konsep-konsep ini membentuk dasar bagi banyak pemikiran dalam studi semiotik dan linguistik strukturalis.
2. Charles Sanders Peirce: Peirce adalah seorang filsuf dan ilmuwan Amerika yang berkontribusi besar terhadap pengembangan teori semiotik. Dia dikenal karena memperkenalkan konsep tanda yang terdiri dari tiga unsur: tanda itu sendiri (representamen), objek yang direpresentasikan, dan interpretan yang menghubungkan keduanya. Konsep ini menjadi dasar bagi apa yang dikenal sebagai semiotik Peirce atau pragmatik semiotik.
3. Roland Barthes: Barthes adalah seorang filsuf dan kritikus sastra Prancis yang memainkan peran penting dalam mengembangkan teori semiotik, terutama dalam konteks budaya populer dan sastra. Dalam karyanya yang terkenal "Mythologies"
(Mitologi), Barthes menganalisis cara di mana tanda-tanda budaya mempengaruhi pemikiran dan perilaku kita. Dia juga mengembangkan konsep "pembebasan"
(désoeuvrement) untuk menyatakan cara di mana kita bisa memecah struktur tanda- tanda yang dominan.
C. Tradisi Fenomenologis
Teori komunikasi ini menekankan adanya dialog dan keberbedaan. Ini berarti bahwa komunikasi dengan orang lain membenarkan tujuan komunikasi otentik dalam praktik yang dijalani. Berbagi pengalaman yang mendalam, belajar dari cerita lain, berinteraksi dengan orang lain memberikan solusi otentik sebagai dimensi interpretatif. Hal ini menyiratkan bahwa dialog yang berkelanjutan harus dipraktikkan karena dialog tersebut akan menghasilkan hasil yang baik dan dapat memecahkan masalah komunikasi dalam berbagai
bentuk. Dalam hal ini, fenomenologi menekankan rasa hormat terhadap pemikiran dan ekspresi orang lain dengan cara yang sama seperti hubungan yang menekankan kebutuhan satu sama lain.
Dalam penelitian komunikasi, fenomenologi adalah desain penelitian berharga yang mengeksplorasi dan menganalisis pengalaman hidup para partisipan penelitian. Dalam melakukannya, tema dikembangkan sebagai interpretasi yang mengarah pada penciptaan esensi yang merupakan puncak penyelidikan fenomenologis. Salah satu gagasan penting dalam proses ini adalah bahwa fenomena dipahami sebagai “penampakan” realitas, bukan realitas fisik sebagaimana ditafsirkan dalam pengalaman hidup. Artinya, agar fenomenologi menjadi asli, ia menangkap esensi sebagai penampakan, asumsi, tema menyeluruh, dan nilai- nilai yang menandakan esensi. Edmund Husserl dan Alfred Schutz dikaitkan dengan tradisi ini.
Teori Fenomenologi Husserl
Fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi.
Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama.
Teori Fenomenologi Alfred Schutz
Fenomenologi adalah pendekatan yang membantu kita memahami gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat. Schutz menghubungkan fenomenologi dengan ilmu sosial, terutama dalam pengamatan terhadap perilaku aktor sosial. Fokus utama fenomenologi bukan hanya pada teknis pengamatan, melainkan pada makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari.
Teori Fenomenologi Heidegger
Heidegger mendirikan filsafat fenomenologi eksistensialis dengan mempertanyakan ulang pendekatan filsuf sebelum dirinya, yaitu pertanyaan dari eksistensi sebagai suatu konsep, dengan propertinya menuju pada pertanyaan eksistensi sebagai diriya sendiri. Adapun beberapa tekanan Heidegger yakni konsep mit atau dengan, bersama
itu mempunyai makna ekssitensial. artinya kebersamaan itu bukan melekat pada diri manusia, namun mengikuti manusia dan melekat. oleh karena itu Heidegger mengungkapkan untuk mengenal diri, harus melalui mitdasein, melalui orang lain.
dengan mengenal orang lain, manusia bisa mengenal dirinya.
Teori fenomenologi Jean-Paul Sartre
Fenomenologi Jean-Paul Sartre yang dikenal melalui karyanya "Being and Nothingness" (L'Être et le néant), menawarkan pemahaman yang unik tentang pengalaman manusia dan subjektivitas. Sartre memperkenalkan konsep dasar
"kesadaran kosong" (consciousness), yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak untuk membuat pilihan dan memberi makna pada dunia mereka sendiri. Menurut Sartre, kita ditakdirkan untuk hidup dalam keadaan ketidakpastian dan kebebasan yang tidak terbatas, dan tugas kita adalah untuk memilih dan bertindak dalam situasi-situasi ini. Konsep "bad faith" (mauvaise foi) juga menjadi pusat perhatian dalam teorinya, yang merujuk pada ketidakjujuran diri sendiri dalam menghadapi kebebasan dan tanggung jawab kita. Dengan demikian, teori fenomenologi Sartre mengeksplorasi kompleksitas subjektivitas manusia, menekankan peran sentral kebebasan, tanggung jawab, dan pengambilan keputusan dalam membentuk realitas individu.
Teori fenomenologi Maurice Merleau-Ponty
Fenomenologi Maurice Merleau-Ponty memperluas dan memperdalam pemikiran fenomenologis Husserl dengan menyoroti peran tubuh dalam pengalaman manusia.
Merleau-Ponty menekankan bahwa pengalaman manusia tidak terbatas pada pikiran atau kesadaran saja, tetapi juga melibatkan tubuh yang terlibat secara aktif dalam interaksi dengan dunia luar. Dalam karyanya yang terkenal, "The Phenomenology of Perception" (Fenomenologi Persepsi), ia mengeksplorasi hubungan antara tubuh dan persepsi, menyoroti bagaimana tubuh memberikan struktur bagi pengalaman kita tentang dunia. Merleau-Ponty juga menekankan pentingnya konteks sosial, budaya, dan sejarah dalam membentuk pengalaman subjektif. Dengan demikian, teori fenomenologi Merleau-Ponty memperkaya pemahaman kita tentang sifat kompleks dari pengalaman manusia, serta memperluas cakupan fenomenologi untuk mencakup dimensi sosial dan tubuh.
Pencetus
Edmund Husserl, seorang filsuf Jerman yang dianggap sebagai pencetus utama teori fenomenologi, memperkenalkan fenomenologi sebagai metode filosofis untuk mempelajari pengalaman manusia secara langsung tanpa membuat asumsi sebelumnya tentang subjektivitas atau realitas. Karya-karyanya, terutama "Logische Untersuchungen"
(Investigations Logiques), kemudian berkontribusi besar pada penciptaan teori fenomenologi dan berdampak pada banyak filsuf dan disiplin ilmu lainnya.
D. Tradisi Sibernetika
Sebagai teori pengolahan informasi, tradisi cybernetic dalam komunikasi menekankan komunikasi sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang terhubung bersama untuk menjalankan fungsi yang dapat dipecah dan dianalisis sebagai unit informasi. Tradisi ini juga berhubungan dengan hubungan input-output dengan tetap menga
kui pentingnya umpan balik dan kontrol, sebab dan akibat, serta analisis dualistik terhadap berbagai fenomena. Sebagai sistem yang kompleks, praktik komunikasi mengidentifikasi berbagai perspektif dalam proses komunikasi di luar kausalitas dan mengakui ketidakpastian hasil bahkan dalam situasi terkendali. Dengan demikian, teori ini melihat melampaui perspektif linier dalam memahami mengapa peristiwa terjadi sebagaimana adanya, dan sebaliknya melihat hubungan yang lebih besar dengan menggunakan pemikiran sistem dalam analisisnya. Norbert Wiener dan Claude Shannon adalah tokoh terkemuka dalam tradisi ini.
Teori Norbert Wiener
Matematikawan dan filsuf Norbert Wiener dianggap sebagai pencipta sibernetik.
Dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1948, "Cybernetics: Or Control and Communication in the Animal and the Machine," Wiener adalah orang pertama yang menggunakan istilah "sibernetika". Dia membahas konsep umpan balik, atau feedback, sebagai cara sistem dapat mengatur dan mengontrol dirinya sendiri.
Teori Heinz von Foerster
Heinz von Foerster adalah seorang ilmuwan yang berperan besar dalam mengembangkan teori belajar sibernetik. Von Foerster menekankan betapa pentingnya membuat realitas yang subjektif dan memberikan pemberdayaan individu selama proses belajar. Dia berpendapat bahwa orang secara aktif berkontribusi pada pembentukan pengertian dan arti mereka sendiri.
Teori Gordon Pask
Gordon Pask adalah seorang psikolog dan ahli sibernetik yang menciptakan konsep
"konversi interaksi" dalam teori belajar sibernetik. Konsep ini menekankan betapa pentingnya interaksi antara seseorang dan lingkungannya untuk belajar dan memahami apa yang mereka lakukan.
Teori W. Ross Ashby
W. Ross Ashby adalah seorang ilmuwan komputer dan ahli sibernetik yang menciptakan gagasan "homeostasis ultrasibernetik", yang menjelaskan bagaimana regulasi sistem dapat mencapai keseimbangan dinamis saat beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Ashby juga menawarkan gagasan "mesin belajar", yang merupakan model matematika untuk memahami proses belajar adaptif.
Teori Francisco Varela dan Humberto Maturana
Francisco Varela dan Humberto Maturana adalah ahli sibernetik dan biolog. Teori
"autopoiesis", yang diciptakan oleh Maturana dan Varela, menggambarkan sistem hidup yang memiliki kemampuan untuk belajar dan memperbaiki diri sendiri. Selain itu, mereka meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana realitas subjektif dibangun dan peran penting persepsi dalam proses belajar.
Pencetus
Teori sibernatik atau cybernetics dikembangkan oleh ilmuwan dan matematikawan Norbert Wiener pada pertengahan abad ke-20. Ia memperkenalkan konsep ini dalam bukunya yang berjudul "Cybernetics: or Control and Communication in the Animal and the Machine"
yang diterbitkan pada tahun 1948. Teori ini berfokus pada studi tentang sistem, kontrol, dan komunikasi dalam organisme hidup dan mesin.
E. Tradisi Sosiopsikologis
Ekspresi, interaksi dan pengaruh mendasari teori komunikasi sosiopsikologis. Hal ini menekankan pada bagaimana manusia mengekspresikan dirinya kepada orang lain melalui interaksi sosial yang mempengaruhi perilakunya atau bagaimana dampaknya terhadap orang lain. Hal ini memerlukan perhatian terhadap sebab dan akibat perilaku sebagai interaksi antara faktor individu dan sosial yang perlu dimanipulasi dan dimoderasi agar sesuai dengan berbagai situasi. Pentingnya hal ini terletak pada kenyataan bahwa komunikasi dalam tradisi sosiopsikologis bergerak seiring dengan realitas praktis karena hal ini mempengaruhi
individu yang diilhami oleh keputusan-keputusan yang ‘hati-hati’ melalui manipulasi perilaku seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Di sini, komunikasi memainkan peran penting dalam kapasitas mediasinya untuk memahami kedalaman hubungan antarmanusia, dalam memahami hakikat manusia sebagai individu yang lebih dari sekadar individu rasional yang memiliki kapasitas untuk terhubung melalui interaksi dialogis. Terakhir, penekanan teoritis pada konteks sosial dari makna dan ekspresi dapat mempengaruhi kepribadian individu dan praktik komunikasi juga. Pertemuan faktor-faktor inilah yang mendefinisikan tradisi sosiopsikologis dalam teori komunikasi. Tokoh terkemuka yang terkait dengan tradisi ini termasuk Kurt Lewin dan Harold Lasswell.
Teori Identitas Sosial adalah teori yang memprediksi perilaku antar kelompok tertentu berdasarkan perbedaan status kelompok, legitimasi dan stabilitas yang dipersepsikan sebagai hasil dari perbedaan status tersebut, dan kemampuan untuk berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain.
Teori Sosialisasi, dalam sosiopsikologi, teori sosialisasi mencoba menjelaskan bagaimana individu belajar untuk berperilaku sesuai dengan norma sosial dan budaya yang ada di masyarakat mereka. Teori ini menyoroti peran lingkungan sosial seseorang, seperti keluarga, teman sebaya, sekolah, media massa, dan lembaga lainnya, dalam membentuk identitas dan perilaku mereka.
Teori Strukturalisme dalam sosiopsikologi adalah pendekatan untuk memahami manusia dan masyarakat melalui analisis struktur-sruktur sosial yang membentuk dan memengaruhi perilaku individu dan interaksi sosial. Teori ini muncul di bidang sosiologi dan antropologi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, dengan kontribusi dari tokoh seperti Emile Durkheim, Ferdinand de Saussure, dan Claude Lévi-Strauss.
Pendekatan strukturalisme menekankan bahwa pola-pola sosial dan perilaku individu dapat dipahami dengan memeriksa struktur masyarakat yang ada, seperti norma, nilai- nilai, institusi, dan hubungan kekuasaan. Dianggap bahwa struktur-struktur ini memainkan peran penting dalam membentuk pola-pola perilaku dan interaksi sosial.
Teori Intergroup Relations, dalam bidang sosiopsikologi dikembangkan untuk memahami interaksi dan dinamika antara kelompok sosial. Teori ini menekankan peran persepsi, identitas, stereotip, prasangka, konflik, dan proses sosial lainnya yang terjadi antara kelompok sosial.
Teori Pengaruh Sosial, digunakan untuk menganalisis bagaimana individu dipengaruhi oleh lingkungan sosial mereka dan interaksi mereka dengan orang lain.
Teori ini mencakup berbagai konsep seperti konformitas, kepatuhan, dan persuasi.
Pencetus
Kurt Lewin adalah seorang psikolog Jerman-Amerika yang dikenal karena kontribusinya terhadap bidang psikologi sosial. Lewin menciptakan banyak konsep dan pendekatan baru dalam bidang ini, seperti teori lapangan, teori percepatan-perlambatan, dan teori gatekeeper. Lewin juga sangat berpengaruh dalam memperkenalkan pendekatan eksperimental untuk penelitian psikologi sosial.
F. Tradisi Sosial Budaya atau Sosio Kultural
Secara singkat dinyatakan, tradisi teori komunikasi ini menandakan proses komunikasi yang menghasilkan dan mereproduksi pola sosiokultural bersama. Artinya adalah bahwa nilai-nilai, norma, ritual, dan pola perilaku lain yang dipraktikkan secara sosial diproduksi dan direproduksi pada tingkat individu. Cara lain untuk mengatakan bahwa perilaku manusia adalah produk dari nilai-nilai budaya bersama dan peran komunikasi adalah untuk memelihara dan meningkatkan kode komunikasi yang membahas simbol dan pola budaya ini. Selain itu, terdapat kesadaran budaya yang tinggi dalam memahami berbagai kesalahpahaman budaya, konflik yang memerlukan kecermatan melihat simbol-simbol batin budaya seperti norma, adat istiadat, dan lain-lain. Lebih lanjut, teori ini berbicara tentang suara yang melampaui individualisme menjadi suara yang memperkuat identitas budaya yang dilestarikan, ditransfer, dan direproduksi dalam berbagai praktik komunikasi.
Tradisi sosiokultural jika dibandingkan dengan tradisi sosio-psikologis adalah studi tentang hubungan seseorang secara keseluruhan dengan suatu budaya, bukan perbedaan individu. Realitas adalah jumlah dari semua bagian ketika memandang orang sebagai komponen dan pengaruh jumlah tersebut terhadap individu. Dalam istilah ratapan, Kita adalah hasil dari cara orang lain memandang kita, dan kita mewakili diri kita sendiri. Dengan demikian. Cara kita menggambarkan diri sendiri adalah cara kita ingin dilihat oleh orang lain, dan cara mereka memandang kita, meskipun pada awalnya bersifat stereotip, merupakan pengaruh langsung terhadap cara mereka bertindak terhadap kita, sehingga memperkuat identitas kita.
Teori Aktivitas Budaya, adalah kerangka teori sosiokultural yang dikembangkan oleh banyak ahli di Uni Soviet, termasuk Lev Vygotsky dan Aleksei Leontiev. Teori ini menekankan bahwa konteks budaya dan aktivitas manusia sangat penting untuk memahami perkembangan kognitif dan sosial.
Teori Interaksionisme Sosial menekankan betapa pentingnya interaksi sosial untuk membentuk pemahaman dan perilaku individu. Dalam teori ini, individu dianggap sebagai agen aktif yang terlibat dalam interaksi sosial yang berkelanjutan dengan lingkungan mereka.
Teori Konstruktivisme Sosial menekankan bahwa pengetahuan dan makna tidak hanya ditemukan tetapi juga dibangun secara kolektif oleh orang-orang dalam masyarakat. Teori ini menekankan bahwa interaksi sosial, budaya, dan bahasa sangat penting untuk membentuk pemahaman dan interpretasi kita tentang dunia.
Teori Budaya Material menekankan peran benda fisik dan materi dalam membentuk budaya dan masyarakat. Teori ini percaya bahwa tidak hanya elemen immaterial seperti nilai, norma, dan keyakinan yang membentuk budaya, tetapi juga benda fisik seperti alat, teknologi, dan artefak lainnya.
Teori Partisipasi Periferal menekankan bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi melalui instruksi langsung atau formal, tetapi juga melalui partisipasi dalam kegiatan sosial yang lebih luas dalam komunitas. Konsep "partisipasi periferal" mengacu pada cara individu memulai pembelajaran dengan berpartisipasi dalam kegiatan yang lebih sederhana atau di luar inti kegiatan komunitas yang lebih kompleks. Interaksi terus- menerus dengan anggota komunitas yang lebih berpengalaman dapat membantu orang meningkatkan partisipasi mereka dan memahami praktik yang lebih kompleks.
Pencetus
Lev Vygotsky, seorang psikolog asal Rusia, adalah salah satu pencipta teori sosiokultural atau sosiobudaya. Vygotsky mengembangkan teorinya pada awal abad ke-20, menekankan betapa pentingnya lingkungan sosial dalam perkembangan seseorang. Teori Vygotsky berfokus pada bagaimana interaksi sosial, budaya, dan lingkungan mempengaruhi pembentukan pikiran dan perilaku seseorang. Konsep-konsep seperti zona perkembangan dekat, peran bahasa, dan peran budaya sangat penting baginya.
G. Tradisi Kritis
Dalam teori ini, komunikasi dianggap bersifat diskursif dan reaksioner terhadap struktur kekuasaan yang mengakibatkan diskriminasi, penindasan, dan bentuk situasi degeneratif serupa. Praktik komunikasi berpusat pada upaya untuk mencapai suatu tujuan, untuk emansipasi kesenjangan tertentu yang disebabkan oleh kemajuan, kapitalisme, dan kekuasaan yang memerlukan refleksi kritis untuk mempengaruhi perubahan dalam sistem. Di sini, komunikasi merupakan katalis bagi perasaan kebebasan, keadilan, dan harapan emansipatoris. Dalam masyarakat yang berubah dengan cepat saat ini, kesadaran palsu tidak dapat dihindari dan menciptakan gagasan ketidakpuasan dan perpindahan. Misalnya saja, kapitalisme yang pada umumnya merupakan filosofi pasar bebas menciptakan gagasan yang salah tentang kemajuan ketika narasi diskriminasi dan ketidaksetaraan terus menghantui individu-individu di lapisan masyarakat bawah. Masalah-masalah ini menjadi titik tumpu praktik komunikasi yang mendukung ide-ide revolusioner yang menggalang perubahan.
Tradisi kritis berpusat pada pandangan yang sangat idealis. Memperoleh informasi saja tidak cukup untuk menjadi bagian dari tradisi kritis; tindakan juga merupakan nilai yang sangat penting. Karena studi dalam varian ini cenderung berkisar pada kekuasaan, penindasan, kesenjangan, dan hak istimewa yang beragam secara demografis dalam suatu masyarakat, perubahan sosiologis melalui komunikasi sangatlah penting. Marxisme dalam studi ekonomi dan produksi dalam aliansi dengan masyarakat, postmodernisme yang berfokus pada munculnya era informasi dan kekuatan media, dan terakhir studi feminis yang mengkritik dan mempelajari peran gender, ras dan seksualitas merupakan disiplin utama tradisi kritis. . Para ahli teori ini biasanya aktif dalam organisasi aktivis dan kelompok masyarakat, menantang norma dan peran tradisional. Cendekiawan seperti Herbert Marcuse dan Jürgen Habermas terlibat dalam analisis kritis terhadap media, wacana, dan praktik komunikasi.
Teori Kritis Frankfurt School, Kelompok sarjana di Institut untuk Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, pada abad ke-20 mengembangkan kumpulan ide yang dikenal sebagai Teori Kritis Frankfurt School. Salah satu tokoh penting dalam kelompok ini adalah Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Dengan fokus pada kapitalisme dan alienasi individu dalam masyarakat konsumeris, Teori Kritis Frankfurt School bertujuan untuk menganalisis dan mengkritik struktur sosial dan budaya masyarakat modern. Untuk memahami bagaimana kekuatan ekonomi dan politik memengaruhi kehidupan sehari-hari,
mereka memasukkan ide-ide seperti industri budaya, media massa, hegemoni budaya, dan dominasi ideologi.
Teori Kritis Postkolonial merupakan kerangka pemikiran yang berkembang dalam kajian sosial, sastra, dan humaniora, yang menyoroti dampak dan warisan kolonialisme serta upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan dan penindasan yang berkelanjutan setelah periode kolonial berakhir. Teori ini meneliti dinamika kekuasaan, identitas, budaya, dan representasi dalam konteks pasca-kolonial.
Teori Kritis Feminis, yang mengkaji dan mengkritisi struktur kekuasaan, ketidaksetaraan gender, dan ketidakadilan sosial dengan cara kritis. Teori ini juga meneliti bagaimana faktor-faktor seperti patriarki, kapitalisme, rasisme, dan lainnya saling berhubungan dan mempengaruhi pengalaman perempuan dalam masyarakat.
Teori Kritis Raisal, adalah kerangka konseptual yang menekankan bagaimana struktur sosial, kebijakan publik, dan praktik institusional menciptakan dan mempertahankan ketidaksetaraan rasial. Teori ini mengkaji bagaimana rasisme tidak hanya merupakan fenomena individu atau interpersonal, tetapi juga bagaimana struktur kekuasaan dan kebijakan yang melembagakan ketidaksetaraan.
Teori Kritis Budaya, berasal dari tradisi kritis dalam ilmu sosial, terutama dalam bidang budaya, media, dan studi sastra. Para filsuf dan kritikus budaya seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse, dan Jürgen Habermas dari Sekolah Frankfurt di Jerman sering dikaitkan dengan teori ini. Mereka membuat teori ini sebagai tanggapan terhadap hal-hal seperti kapitalisme, hegemoni budaya, dan alienasi yang mereka anggap terjadi di masyarakat modern.
Pencetus
Sebuah kelompok intelektual dari Institut untuk Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, adalah pencetus teori kritis. Max Horkheimer adalah tokoh penting dalam perkembangan teori kritis. Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas juga terlibat dalam perkembangan teori kritis. Dalam upaya untuk memahami dan mengatasi ketidaksetaraan dan penindasan dalam masyarakat, teori kritis berpusat pada analisis kritis terhadap struktur sosial dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Craig, R. (1999). Communication theory as a field. Oxford Academic.
https://academic.oup.com/ct/articleabstract/9/2/119/4201776?redirectedFrom=fulltext Craig, R. (2006). Communication theory as a field. Communication Theory Volume 9 Issue
2/p 119-161. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1468- 2885.1999.tb00355.x
Goodnight, T. (2014). Rhetoric, communication, and information.
https://www.researchgate.net/publication/266105722_Rhetoric_Communication_and_I nformation
Linde, A. (2020). The meaning of phenomenological approach to communication (in
comparison with system approach).
https://www.researchgate.net/publication/339884609_The_Meaning_Of_Phenomenolo gical_Approach_To_Communication_In_Comparison_With_System_Approach
Rogala, A., Bialowas, S. (2016). Theory of Communication: Evolution, Approaches, Models.
In: Communication in Organizational Environments. Palgrave Macmillan, London.
https://doi.org/10.1057/978-1-137-54703-3_1
Suryani, I., Hashima, N., Yaacob, A., Rashid, S., Desa, H. (2014). Rhetorical structures in academic research: Writing by non-native writers. International Journal of Higher Education Vol. 3, No. 1. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1067558.pdf.
Santiago, Rolando. (2022). Mapping Out The Seven Traditions of Communications.