MENGHIMPUN DAN MEMBUKUKAN AL-QUR’AN PADA MASA KHULAFA’UR RASYIDIN
A. Menghimpun dan Membukukan Al-Qur’an pada Masa Khulafa’ Rasyidin
Tidak dikumpulkannya Al-Qur’an kedalam satu kitab tertentu disebabkan antara lain karena Rasulullah SAW masih menunggu datangnya ayat Al-Qur’an hingga turunnya ayat terakhir, disamping juga disebabkan karena ayat-ayat itu tersusun tidak tertib nuzul-nya.
Dalam hal ini penulis mempunyai kesesuaian pendapat dengan Manna’ Khalil Al-Qattan. Dalam artian karena turunnya ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak tersusun menurut tertib nuzul-nya, maka ia masih membutuhkan penjelasan nabi untuk meletakkan ayat tersebut pada surah apa dan ayat berapa. Sebagai contoh ternyata ayat yang terakhir diturunkan tidak berada pada surah An-Nas yang menjadi surah penutup dalam Al-Qur’an.
Dalam pemahaman lain berarti juga bahwa bias saja terjadi pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an ini selama Rasulullah SAW masih hidup, jika saja Al-Qur’an itu turun sempurna jauh hari sebelum Rasulullah SAW wafat karena beliau tidak menunggu lagi ayat yang akan turun kemudian hari.
Alasan lain atas tidak dibukukannya Al-Qur’an pada masa nabi sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khattabiy yang dikutip oleh Hilaluddi Al-Suyuthi Al-Syafi’I dalam bukunya Al-Ithqan Fi ‘Ulum Al-Qur’an adalah bahwa Rasulullah SAW masih menunggu ayat-ayat nasikh terhadap sebagian hukum atau bacaannya.
Kalau diteliti lagi dalam sejarahnya, pengumpulan Al-Qur’an ini sebenarnya sudah dilakukan pada masa Rasulullah SAW masih hidup akan tetapi pengulpulan itu bukan dalam artian mengumpulkan dan menjadikannya dalam satu bentuk buku tertentu. Pengumpulan itu sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qattan, bahwa dikalangan ulama’ mereka memiliki dua pengertian.
Pertama, pengumpulan Al-Qur’an dalam artian hifdzuhu, yakni menghafalnya dikatakannya jumma’ Al-Qur’an sama dengan Huffadzuhu yakni orang-orang yang menghafalnya dalam hati.
Kedua, pengumpulan Al-Qur’an dalam artian penulisannya secara sempurna atau dengan hanya memilah dan memisahkan ayat per ayat atau surah per surah atau hanya menertibkan ayat per ayatnya saja dan seluruh surah itu di tulis dalam bentuk satu sahifah yang terpisah atau juga penertiban ayat dan surah yang terpisah itu.
Pemahaman yang dapat diambil dalam penjelasan ini adalah ketika kita memilih- milah surah dan ayat-ayat yang tersebar dan terpisah itu, secara otomatis kita juga mengelompokkannya ke dalam bagian-bagian yang lain.
Dari penjelasan ini, penulis dapat pemahaman bahwa usaha pengumpulan Al- Qur’an dalam makna yang luas itu sebenarnya sudah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW . Pemahaman ini akan semakin kuat jika kita melihat hadits Rasulullah SAW yang berkenaan dengan hal tersebut.
Diantara hadits yang berkenaan dengan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW ini, walaupun hanya eksplisit, berbunyi sebagai berikut :
دوعسم نبا لدبع نع :ةعبرا نم نأرقلا اوذح :لوقي ملسو هيلع ا يلص ا لوسر تعمس،
يراخبلا هاور) بعك نب يبا نباو ذاعمو ،ملاسو)1
"Aku telah mendengar Nabi SAW berkata : “Ambillah Al-Qur’an dari empat orang : Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’az dan Ubai bin Khattab." (HR.Bukhari).
Dalam hadits yang disampaikan ini terlihat ada kata perintah hudzu yang dalam bahasa Indonesia bias berarti “ambillah”. Dalam kata ini secara tersirat kita dapat memahami adanya perintah secara tidak langsung kepada para sahabat untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
1. Masa Khalifah Abu Bakar Siddiq
1
Pengumpulan Al-Qur’an dalam artian menyusun lembaran-lembaran tulisan dan pengumpulan hafalan menjadi bentuk satu buku tertentu dan utuh, dilakukan pertama kali pada masa khalifah Abu Bakar, ide pengumpulan Al-Qur’an ini sebenarnya muncul dari Umar ibn Al-Khattab karena beliau sangat mengkhawatirkan kehilangan para sahabat yang hafal Al-Qur’an setelah terjadinya perang Yamamah.
Pada awalnya usulan ini meragukan Khalifah Abu Bakar yang berkuasa pada waktu itu, Abu Bakar beralasan karena pengumpulan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi beliu dapat diyakinkan oleh ‘Umar ibn Al-Khattab. Selanjutnya kedua sahabat ini sepakat untuk membentuk satu tim dan yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit.
Disebutkan juga dalam Al-Ithqam bagaimana keadaan Zaid bin Tsabit ketika mendapat perintah mengumpulkan Al-Qur’an ini beliau berkata : “Demi Allah, andaikan mereka memintaku untuk memindahkan gunung, mengumpulkan Al-Qur’an adalah lebih berat bagiku.” Akhirnya karena kedua sahabat ini meyakinkan Zaid bin Tsabit beliau mau melaksanakan tugas mulia ini.
Dalam pelaksanaannya Zaid bin Tsabit mengumpulkan tulisan dan hafalan para sahabat dengan persyaratan sebagaimana petunjuk dari Abu Bakar bahwa untuk dapat diterimanya tulisan dan hafalan para sahabat itu harus berdasarkan kepada dua hal berikut ini:
1. Setelah para penghafal dan penulis ini mengajukan hafalan dan tulisan Al- Qur’annya kepada Zaid bin Tsabit beserta timnya, hafalan dan tulisan itu haruslah sesuai dengan tulisan dan atau hafalan para sahabat lainnya.
2. Bahwa tulisan yang didapatkan oleh tim Zaid bin Tsabit ini adalah yang benar- benar ditulis atas perintah dan dihadapan Rasulullah SAW. Sebagaimana diketahui ada di antara para sahabat itu menulis Al-Qur’an atas inisiatif pribadi.
Untuk membuktikan kebenaran kedua persyaratan ini diharuskan adanya dua orang saksi mata ketika orang itu melakukan penulisan dihadapan Rasullullah SAW.
Dengan demikian kita dapat melihat adanya persyaratan yang sangat ketat, yang membuktikan dan menunjukkan kepada kita bahwa usaha ini bukanlah suatu usaha
yang gampang. Usaha yang juga tidak hanya mencurahkan kemapmpuan intelektual tapi lebih dari itu juga melibatkan emosi dan keyakinan serta kemantapan hati para sahabat.
Kejelian dan kehati-hatian seorang Zaid bin Tsabit terlihat dari penjelasan diatas, setelah keraguannya yang timbul kemudian dapat diyakinkan oleh Abu Bakar dan
‘Umar, beliau atas inisiatif Abu Bakar, masih juga memberikan persyaratan yang ketat untuk dapat diterimanya hafalan dan tulisanpara sahabat itu.
Pengumpulan yang dilakukan pada zaman Abu Bakar ini menjadi tonggak pondasi awal terbentuknya Al-Qur’an dalam satu kitab, meskipun pada dasarnya kegiatan ini sudah dilakukan, sudah ada beberapa muhsaf sahabat, akan tetapi- mushaf-mushaf ini tidak ditulis dengan cara yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit yakni dengan kehati-hatian yang mendalam. Istilah mushaf juga muncul bersamaan dengan kegiatan ini.
Setelah lembaran-lembaran dan tulisan itu terkumpul, lembaran-lembaran itu disimpan oleh Abu Bakar, setelah beliau wafat lembaran-lembaran ini berpindah ke
‘Umar ibn Khattab hingga beliau wafat dan setelah itu disimpan oleh Hafsah binti
‘Umar.
2. Masa Khalifah Umar Bin Khattab
Dalam masa kepemimpinan Khalifah ‘Umar tidak banyak permasalahan – permasalahan yang muncul, khususnya permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan pada masa kekahalifahan Umar banyak menghadapi pertempuran besar dalam rangka perluasan daerah, serta munculnya tantangan dari bangsa Parsi dan Romawi yang sudah lama berencana untuk menumpas dan menghancurkan agama Islam. Kemudian juga disebabkan oleh karena sudah terkumpulnya lembaran- lembaran al-Qur`an pada masa Abu Bakar menjadi satu mushaf,dianggap al- Qur`an sudah terselamatkan.
3. Masa Khalifah Usman Bin Affan
Permasalahan mengenai Al-Qur’an ini baru muncul kembali ketika wilayah Islam sudah berkembang luas. Berkembangnya wilayah kekuasaan Islam ini secara otomatis menimbulkan masalah-masalah baru. Dalam cara membaca Al-Qur’an saja sebagai contoh dibeberapa tempat, bacaannya ada yang berbeda dengan tempat yang lainnya sehingga tidak jarang diantar perbedaan itu ada yang salah dan dapat mengacu kepada perpecahan ummat karena dari antara mereka ada yang saling tuding-menuding.
Melihat keadaan yang sedemikian rupa Huzaifah bin AlYaman melaporkannya kepada Khalifah ‘Usman lalu Khalifah menindaklanjutinya dengan memanggil dan memerintahkan Zaid bin Tsabit Al-Anshari, ‘Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘ash dan
‘Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf yang ada.
Mushaf-mushaf yang ada ini ditulis dan diperbanyak dengan mempergunakan bahasa Quraisy, hal ini sesuai dengan perintah Khalifah ‘Usman : “Tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Quraisy.”
Penulis dapat merasakan kebenaran perintah Khalifah ‘Usman ini, karena pemahaman makna bahasa tidak cukup dengan mengerti akan kaidah bahasa itu saja tapi lebih dari itu juga membutuhkan pemahaman “rasa” bahasa atau yang dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah Dzaug al-Lughah. Rasa bahasa ini bisa saja berubah dengan sendirinya andai saja ia dicampur dengan bahasa lain.
Hal ini bukan satu-satunya sebab kenapa Al-Qur’an ditulis dengan menggunakan satu logat yakni logat Quraisy, dari latar belakang yang ada penulis melihat bahwa Khalifah ‘Usman bin Affan memerintahkan hal yang sedemikian rupa adalah lebih bertujuan kepada sarana untuk pemersatu ummat. Maka khalifah Usman membentuk panitia yang terdiri dari:
- Zain bin Tsabit sebagai ketua dari golongan Anshar - Abdullah bin Zubair dari golongan Muhajirin - Sa`id bin `Ash dari golongan Muhajirin
- Abdurrahman bin Harits bin Hisyam dari golongan Muhajirin.
Setelah panitia dapat menyelesaikan penyusunan Al- Qur`an sesuai petunjuk khalifah, sehingga mushhaf yang dapat diselesaikan adalah lima buah, empat diantaranya dikirim ke Mekkah, Kuffah, Bashrah dan Syam. Sedangkan yang satu lagi tetap tinggal di Madinah yang disimpan oleh Usman. Mushhaf itulah yang dikenal dengan nama Mushhaf al- Imam.
Al-Qur’an yang kita baca dan resapi sekarang ini adalah hasil usaha dan jerih- payah sahabat. Usaha pengumpulan dan pembukuan yang tdak mudah telah dilakukan oleh sahabat yang mulia ini adalah kewajiban kita sekarang untuk melestarikannya.
B. Faktor-faktor Pendorong Menghimpun dan Membukukan Al-Qur’an
Latar belakang penghimpunan dan pembukuan Al-Qur’an ini sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya disebabkan oleh berbagai macam persoalan. Pada dasarnya faktor yang melatar belakangi kegiatan ini dapat dibagi kedalam dua bagian sesuai dengan zaman dan masa dilakukannya kegiatan tersebut :2 1. Kegiatan pengumpulan dan pembukuan pada masa Khalifah Abu Bakar
dilakukan tidak dilatar belakangi oleh perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat kala itu, karena Islam masih belum tersebar luas seperti pada masa Khalifah ‘Usman. Faktor yang melatar belakangi kegiatan ini ketika itu adalah karena para sahabat, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, mengkhawatirkan hilangnya para penghafal Al-Qur’an. Hal inilah yang menjadi faktor yang melatar belakangi kegiatan ini.
2. Ketika Khalifah ‘Usman bin ‘Affan berkuasa menggantikan Khalifah ‘Umar ibn Al-Khattab, Islam sudah tersebar luas dan bahkan tersebar ke daerah yang tidak menggunakan bahasa dan dialek Quraisy, karena itu Al-Qur’an dibaca dengan banyak cara. Perbedaan-perbedaan yang ada ini bahkan mengacu kepada perbedaan diantara ummat.
2
Melihat dari latar belakang ini, tanggapan penulis adalah bahwa factor yang melatar belakangi kegiatan pengumpulan dan pembukuan Al-Qur’an ini di masa khalifah ‘Usman bin Affan adalah :
1. Sebagai koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang ada.
2. Sebagai sarana pemersatu ummat.
Dari faktor-faktor yang ada ini terlihat pula perbedaan antara pengumpulan dan pembukuan yang dilakukan oleh Abu Bakar dan kegiatan yang sama yang dilakukan oleh ‘Usman bin ‘Affan.
Selain perbedaan faktor yang mendorong kegiatan pengumpulan ini, ada juga perbedaan cara terlaksananya kegiatan ini. Pada masa Abu Bakar pengumpulan itu adalah mengumpulkan tulisan-tulisan pada tulang, kulit hewan dan pelepah kurma menjadi satu. Adapun cara yang dilakukan oleh ‘Usman bin ‘Affan adalah dengan menyalin ayat-ayat ini ke dalam satu mushaf dan menggunakan satu bahasa yakni bahasa dan dialek Quraisy.
Pengumpulan dan pembukuan yang dilakukan oleh ‘Usman bin “Affan ini dilakukan pada tahun 25 H, dan sampai sekarang mushaf-mushaf yang ditulis pada masa itu hampir tidak bisa ditemukan lagi.
C. MENILAI AKURASI KEILMUAN DAN OTENTISITAS AL-QUR’AN 1. Menilai Akurasi Keilmuan
Sebagai kitab suci dan petuntuk, Al-Qur’an mempunyai berbagai dimensi untuk dijadikan panutan hidup dan paduan arah bagi setiap ummat manusia pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya. Al-Qur’an juga mengajak manusia untuk berfikir dan berzikir tentang ciptaan Allah SWT. Dengan akal dan ilmu yang dimiliki manusia, ia dapat dibedakan dengan makhluk yang lainnya dan dengan itu pula sebagian manusia dapat dibedakan dengan sebagian lainnya yang bodoh. Allah menjadikan ilmu ini sebagai alat ukur atau barometer untuk dapat mencapai derajat yang lebih tinggi.
Adalah benar bahwa Al-Qur’an itu sumber petunjuk bagi ummat manusia, ,maka ia menjadi landasan awal berfikir manusia.Tidaklah tepat sesuatu yang menjadi landasan berfikir diletakkan setelah pemikiran yang telah menjadi rumusan tertentu.
Hal seperti ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita sekarang ini. Ketika kita menemukan teori ilmiah, kita akan segera melihat ayat-ayat Al-Qur’an dan mengilmiahkan ayat-ayat tersebut. Dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa teori- teori ilmu tersebut selalu mengalami perubahan sementara Al-Qur’an berada dalam kebenaran yang abadi.
Ilmiahnya Al-Qur’an tidak terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang ada. Tetapi keilmiahannya terletak pada seruannya kepada manusia untuk menggunakan akal dan berfikir.
Banyak terdapat dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang membangkitkan gairah berfikir bagi manusia, antara lain berbunyi sebagai berikut :
َنوُرّكَفَتَت ْمُكّلَعَل ِتاَيلا ُمُكَل ُ اا ُنّيبُي َكِلَذَك ...
“...Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. ( Al-Baqarah :219 )
َنوُرّكَفَتَي ْمُهّلَعَل ِساّنلِل اَهُبِرْضَن ُلاَثْمَ ْلا َكْلِتَو ...
“...Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” ( Al-Hasyr :21)
نوُرّكَفَتَي ٍم ْوَقّل ٍتاَي َل َكِلَذ يِف ّنِإ ...
“...Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah ) bagi kaum yang memikirkan.” (Al-Ra’ad:3)
َنوُهَقْفَي ٍم ْوَقِل ِتاَيلا اَنْلّصَف ْدَق ...
“...Sungguh Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang- orang yang memahami.” (Al-An’am:98)
Keilmiahan Al-Qur’an selain terletak pada ajakannya kepada manusia untuk selalu berfikir juga terletak pada isyarat-isyarat ilmiah yang diungkapkan dalam konteks hidayah. Diantara contoh yang berkenaan dengan ini adalah berkembang biaknya tanaman melalui angina sebagai sarana perpindahan, contoh ini diberikan oleh Al-Qattan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an.
َحِقاَوَل َحاَيّرلا اَنْلَس ْرَأَو ...
“Dan Kami telah meniupkan angina untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)……..”
(Al-Hijr:22)
Juga tentang penciptaan manusia dan embriologi Al-Qur’an menerangkan sebagai berikut :
ْنِم ّمُث ٍةَََفْطّن نِم ّمُث ٍباَرُت نّم مُكاَنْقَلَخ اّنِإَف ِثْعَبْلا َنّم ٍبْيَر يِف ْمُتنُك نِإ ُساّنلا اَهّيَأ اَي
ّمُث ىًام َََسّم ٍلَجَأ ىَلِإ ءاَشَن اَم ِماَح ْرَ ْلا ُنّل ٍةَقّلَخُم ِرْيَغَو ٍةَقّلَخّم ٍةَغ ْضّم نِم ّمُث ٍةَقَلَع
ًلْفِط ْمُكُجِرْخُن ...
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkita dari kubur, maka (ketahuilah) sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani,kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sepurna kejadiannya dan tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan didalam rahim, apa yang Kami kehendaki, sampai waktu yang telah ditentukan kamu sebagai bayi……..” (Al-Hajj:5)
Dalam contoh yang diberikan oleh Manna’ Khalil Al-Qattan ini, penulis setuju dengan ungkapannya bahwa dalam Al-Qur’an ada terdapat isyarat ilmiah dan tidak ditunjukkan secara langsung dan mutlak. Karena ia berupa isyarat, maka ia perlu pemahaman dan penterjemahan yang luas oleh manusia. Jika teori yang dirumuskan oleh manusia melalui isyarat ilmiah Al-Qur’an ini salah, maka yang tidak benar adalah penafsiran manusia terhadap isyarat ilmiah itu dan bukan Al-Quran. Al-Qur’an
mengandung kebenaran abadi sementara teori ilmu pengetahuan selalu berubah dan dengan perubahan ini bisa bermakna bahwa teori yang lahir belakangan bias menguatkan terdahulu atau bahkan teori yang terlahir belakangan itu menyalahi teori yang lebih dahulu dikemukakan.
Ada contoh yang menarik mengenai salah satu pertentangan teori ilmiah tentang evolusi Darwin yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an. Rasyid Ridha berpendapat bahwa permasalahan ini adalah semata-mata adalah persoalan ilmiah dan tidak ada sedikitpun sangkut-pautnya dengan persoalan agama.
Penulis kurang sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha di atas, karena dengan jawaban seperti itu seolah-olah ada kesan bahwa ilmu itu tidak ada hubungannya dengan agama dan ini akan mengaburkan pemahaman tentang agama itu sendiri.
Pendapat mengenai persoalan yang sama juga dikemukakan oleh ‘Abbas Mahmud Al-‘Aqqad sebagai berikut :
“Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran argumentasi-argumentasinya.
Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan Al-Qur’an Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan penafsiran-penafsiran lainnya.”
Pendapat ini, menurut asumsi penulis, lebih dapat diterima, artinya untuk dapat memahami suatu teori dituntutadanya suatu pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, karena sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam Al-Qur’an itu petunjuk ilmiah hanya berupa isyarat saja. Hal yang mendasar adalah bahwa Al- Qur’an itu selalu kekal dalam kebenaran sementara ilmu itu abadi dalam perubahan.
2. Otentisitas Al-Qur’an
Secara mendasar Al-Qur’an telah membuat suatu pengumuman kepada ummat manusia bahwa keberadaannya akan terjaga. Pernyataan ini termaktub dalam Al- Qur’an sendiri melalui firman Allah SWT sebagai berikut :
َنوُظِفاَحَل ُهَل اّنِإَوَرْكّذلا اَنْلّزَن ُن ْحَن اّنِإ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memliharanya.”24 (Al-Hijr : 9)
Bukti lain tentang otentisitas Al-Qur’an ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Quraish Shihab berikut ini :
“ Huruf-huruf Hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al-Qur’an adalah jaminan keutuhan Al-Qur’an sebagaimana diterima oleh Rasulullah SAW.
Tidak berlebih atau berkurang satu hufruf pun dari kata-kata yang digunakan Al- Qur’an. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf B(i)sm All(a)h Al-R(a)hm(a)n Al-R(a)him. Huruf a dan I dalam kurung tidak tertulis dalam aksara bahsa Arab.
Huruf ق (qaf) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3x19.
Huruf-huruf kaf, ha’, ya’. ‘ayn, shad ك,(،ص،ع،ي، ه (،dalam surah Maryam, ditemukan sebanyak 798 kali atau 42x19.
Huruf ن (nun) yang memulai surah Al-Qalam ditemukan sebanyak 133 atau 7x19. Kedua huruf ي (ya’) dan س (sin) pada surah Yasin masing- masing ditemukan sebanyak 285 kali atau 15x19. Kedua huraf ط (tha) dan ه (ha’) pada surah Thaha masing-masing berulang sebanyak 342 kali sama dengan 19x18.
Huruf ح (ha’) dan م (mim) yang terdapat pada keseluruhan surah yang dimulai dengan kedua huruf ini, ha’ mim, kesemuanya merupakan perkalian dari 114x19, yakni masing-asing berjumlah 2166.”
Dari penjelasan yang agak panjang ini kita bisa melihat betapa terjaganya Al- Qur’an dari sejak ia diturunkan hingga sekarang tidak satupun terjadi penambahan atau pengurangan. Yang dititipkan oleh nabi kepada kita itu adalah berupa kata-kata ini sampai saat ini tidak mengalami kekurangan atau penambahan sedikitpun. Dari sinilah kita bisa melihat betapa otentiknya Al-Qur’an itu.
Selain dari bukti itu yang ada dalam Al-Qur’an itu sendiri kita bisa juga melihat keotentikannya melalui bukti-bukti sejarah dan kebiasaan serta kenyataan bangsa Arab itu sendiri, diantaranya adalah sebagai berikut :
Bahwa bangsa Arab pada umumnya tidak mengenal baca dan tulis ketika Al- Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk menjaga Al-Qur’an mereka mengandalkan hafalan, bahkan sampai saat sekarang orang Arab terkenal dengan kekuatan menghafal.
Penulis menyatakan dengan kebanyakan karena tidak semuanya buta huruf, terbukti dengan adana para sahabat yang bisa menulis dan mereka ini diperintahkan oleh Rasul untuk menuliskan ayat-ayat yang diturunkan kepadanya.
Bahwa masyarakat Arab sangat menyukai kesusasteraan dan hingga saat ini sering diadakan perlombaan. Oleh karena itu mereka juga menggemari Al-Qur’an yang memiliki gaya bahasa dan sastra yang tinggi.
Bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu turun, berdialog dengan bangsa Arab ketika itu, bahkan diantaranya ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para sahabat.
Dan bahwa Al-Qur’an itu turun sedikit demi sedikit, berangsur-angsur dan ini memudahkan bagi para sahabat untuk menghafalnya.
Berdasarkan uraian Penulis diatas dapat disimpulkan bahwa Penghimpunan Al- Qur’an sebenarnya sudah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW yakni menulis dan menghafal ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi.
Pembukuan dalam artian menjadikannya dalam satu mushaf, baru terlaksana pada masa khalifah Abu Bakar Siddiq atas usul Umar bin Khattab, disebabkan
kekhawatiran keselamatan al- Qur`an karena banyaknya penghafal al- Qur`an yang wafat pada perang Yamamah.
Selanjutnya pembukuan menjadi satu mushaf pada masa khalifah Usman bin Affan yang dikenal dengan Mushaf al- Imam atau Mushaf Usmani. Kemudian telah dilakukan penyempurnaan atau pengi`raban seperti memberi baris oleh Abu Aswad Ad Dualy seorang ahli bahasa yang menciptakan tanda baca pada masa khalifah Mu`awiyah bin Abi Sofyan dan kemudian disempurnakan oleh Nashar bin `Ashim dan Yahya bin Ya`mar pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan tahun 685- 705M.