• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandemi Ketidakpatuhan Mahkamah Konstitusi terhadap Putusan Mahkamah Agung

N/A
N/A
Mutiara Regina Manurung

Academic year: 2024

Membagikan "Pandemi Ketidakpatuhan Mahkamah Konstitusi terhadap Putusan Mahkamah Agung"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pandemi

Ketidakpatuhan Mahkamah Konstitusi terhadap Putusan Mahkamah Agung

Info Artikel

A. Pendahuluan yang independen, tidak memihak, dan bebas dari campur tangan pihak lain.

Mahkamah Konstitusi dibentuk, negara ingin memastikan bahwa konstitusi benar-benar terlaksana dalam negara dan menjadi dasar pembuatan peraturan. Selain diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi, kewenangan mengadili juga dilakukan oleh DPR.

Bahasa Indonesia:

Abstrak

and Ahmad Muzaki3 Sekar Anggun Gading Pinilih1*, Retno Saraswati2

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pada Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum dapat diartikan sebagai negara yang pemerintahannya berdasarkan asas-asas hukum dengan tujuan untuk membatasi kewenangan pemerintahan.1

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia, lembaga peradilan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan tujuan untuk menjadi pengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara ini.

Berdasarkan hasil kajian, putusan-putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan- putusan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan inkonstitusional, atau dapat dikatakan telah terjadi

pelanggaran konstitusi karena putusan-putusan tersebut tidak mempertimbangkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.

Implikasi hukum yang diperoleh adalah putusan Mahkamah Konstitusi masih belum dapat dijadikan sebagai yurisprudensi; terjadi kerancuan dan ketidakpastian hukum terkait putusan yang saling bertentangan; terjadinya konstitusionalisme yang menyebabkan tertundanya keadilan; dan dapat melemahkan kewibawaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengadilan, dan apa implikasi hukumnya. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal dengan

pendekatan hukum normatif, yang menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan.

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta

1

Sebagai konsekuensi dari negara hukum, pembagian kekuasaan di Indonesia dibagi menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kewenangan yudikatif dilaksanakan dengan tujuan untuk menjamin terlaksananya kewenangan yudikatif I Dewa gede Atmadja, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945

(Malang: Setara Press, 2011).

Mahkamah Agung. Ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku.

Kata kunci:

Mahkamah Konstitusi seringkali diabaikan oleh para pihak, salah satunya Mahkamah Agung Diterbitkan:

29 Desember 2022

Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti ingin mengkaji konstitusionalitas atas ketidakpatuhan terhadap putusan-putusan Mahkamah

Konstitusi, putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Agung .

Address : Jl. Prof. Soedarto, Tembalang, Semarang, Central Java, Indonesia, 50275

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yang menjalankan fungsi yudikatif telah Diterima: 17 April 2022 keputusan final dan mengikat yang mengikat semua pihak. Namun, dalam praktiknya, keputusan Diterima:

27 Desember 2022 Riwayat Artikel:

Volume 17. Nomor 2. Desember 2022 Halaman 178-188

: [email protected]

ISSN 1907-8919 (Cetak) ISSN 2337-5418 (Daring) E-mail

ÿ

DOI: http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v17i2.36196

123Faculty of Law, Universitas Diponegoro, Indonesia, Indonesia

(2)

4 2

3

179 Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan

Hasil Perubahan UUD 1945, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia: Buku VI, Kekuasaan Kehakiman, Revisi.

(Jakarta: Sekretariat Jenderal

selalu menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus setiap perkara. Penjelasan sebelumnya menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat yang merupakan penafsiran terhadap substansi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ( UUD 1945).

Widayati, “Problem Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang-Undang,” Jurnal Pembaharuan Hukum 4, no. 1 (2017): 10.

ÿ

Faktanya, masih terdapat putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dilaksanakan oleh lembaga peradilan lain (dalam hal ini Mahkamah Agung) yang mengakibatkan putusan-putusan

Mahkamah Konstitusi berada pada posisi mengambang (floating execution). Hal ini dapat mengakibatkan putusan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak mengikat oleh sebagian pihak, padahal produk hukum yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang memiliki kedudukan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Undang-Undang.

Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan yang sama dengan undang- undang, dan untuk pelaksanaannya tidak harus menunggu perubahan undang-undang terlebih dahulu. Hal inilah yang menjadi dasar putusan Mahkamah Konstitusi yang wajib dipatuhi oleh semua pihak yang terkait dengan hal-hal yang berkaitan dengan substansi putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang tidak sinkron dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 103K/Pid/2007 yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/MK.003/2007 tentang Mahkamah Konstitusi Nomor 103K/Pid ...

PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang tidak dipertimbangkan oleh putusan Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 295K/Pdt.Sus-PHI/2015 yang pada kenyataannya masih menggunakan ketentuan yang telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Kedudukan Mahkamah Agung tidak mengawasi dan berada di atas Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi juga tidak mengawasi dan berada di atas Mahkamah Agung. Artinya kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah setara, sebagai lembaga yang menjalankan fungsi peradilan di Indonesia.2

Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, putusannya bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi pemohon pengujian undang-undang (pihak yang mengajukan pengujian undang-undang) saja, tetapi juga berlaku bagi semua pihak yang terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.3

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, keputusan tersebut tetap mengikat semua pihak.

Mahkamah Agung yang kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Konstitusi.

PUU-IV/2006 tentang penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan tersebut menyatakan bahwa pelanggaran hukum materiil tersebut

inkonstitusional. Namun, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 103K/Pid/2007, hakim menggunakan pelanggaran hukum formil dan materiil.

Ciri putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat jika ditinjau dari aspek hukum dalam buku adalah bentuk dan pilihan yang terbaik. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Hamdan Zoelva, alasan dibuatnya ketentuan ini adalah Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjaga kemurnian konstitusi dengan penafsiran yang lebih rinci. Penafsiran tersebut akan dijadikan dasar untuk menyelesaikan kembali segala persoalan yang berkaitan dengan hal yang ditafsirkan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penafsiran hanya berlaku satu kali dan bersifat mengikat serta putusan harus diletakkan pada tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dilakukan upaya apa pun untuk membatalkannya.4 Apapun bentuknya Budi Suhariyanto, “Masalah Eksekutabilitas Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh Mahkamah Agung,” Jurnal Konstitusi 13, no. 1 (2016): 175.

Beberapa contoh di atas menggambarkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah

Contoh lain dapat dilihat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/

(3)

C. Hasil dan Pembahasan B. Metode

6 Saldi Isra, “Titik Singgung Wewenang Mahkamah Agung Dengan Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 1 (2015): 26.

180

The Supreme Court Decision Number 103K/

Pid/2007 is one of the decisions that should be subject to the Constitutional Court Decision Number 003/PUU-IV/2006. In the Constitutional Court’s decision, the judge decided on the explanation of Article 2 pa-ragraph (1) of Law Number 20 of 2001 con-5 Ayu Desiana, “Analisis Kewenangan

Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003,” Majalah Hukum Forum Akademika 25, no. 1 (2014):

50.

Pandemi Jilid 17 Nomor 2 Desember 2022 Halaman 178-188

ÿ

Dalam praktiknya, putusan Mahkamah Konstitusi tidak selalu diikuti dan dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung.

Pid/ 2007.

Dalam mengadili suatu perkara, Mahkamah Agung akan mendasarkan proses pemeriksaan dan putusannya pada undang-undang tertentu. Dalam konteks tersebut, apabila undang-undang yang dijadikan dasar pemeriksaan suatu perkara telah dibatalkan atau diputuskan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, maka pada dasarnya Mahkamah Agung memiliki kewajiban untuk mematuhinya.6 Artinya, Mahkamah Agung harus melihat secara rinci putusan Mahkamah Konstitusi terkait untuk mengetahui secara jelas hasil penafsiran resmi Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang tersebut.

a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 103K/

Putusan pengadilan yang tidak

mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi yang memiliki beberapa fungsi sebagaimana disebutkan di atas,

menjadikannya sebagai lembaga peradilan yang putusannya tidak hanya berdampak pada pemohon dan/atau termohon, tetapi juga berdampak pada masyarakat karena sifatnya yang erga omnes.

Putusan Mahkamah Konstitusi harus menjadi acuan bagi pengadilan lain yang akan memutus suatu perkara, termasuk Mahkamah Agung, agar putusan tersebut tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diputus sebelumnya.

pelindung hak konstitusional warga negara, dan pelindung demokrasi.5

1. Konstitusionalitas Mahkamah Agung

Hal ini menimbulkan masalah ketidakpatuhan terhadap norma hukum yang bersifat final dan mengikat, yang selanjutnya dapat dipertanyakan mengenai konstitusionalitas putusan Mahkamah Agung. Berdasarkan uraian di atas, menarik untuk dikaji dan dianalisa lebih mendalam mengenai permasalahan berikut: Bagaimana konstitusionalitas putusan Mahkamah Agung yang tidak

mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi?

Bagaimana implikasi hukum dari putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi?

Namun demikian, beberapa putusan Mahkamah Agung yang diuraikan di atas tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Hal ini dibuktikan dengan tidak

mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut sehingga putusan tersebut tidak sesuai dengan substansi putusan Mahkamah Konstitusi.

Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal dengan pendekatan hukum normatif. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum. Data sekunder diperoleh dengan menggunakan studi kepustakaan yang berkaitan dengan topik yang dibahas. Penelitian ini mengkaji peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Agung yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai penjaga konstitusi, penafsir akhir konstitusi, pelindung hak asasi manusia,

Berikut ini beberapa putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi:

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes.

Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum tetap dan final, namun terdapat beberapa perbedaan dalam pelaksanaannya. Khusus untuk Mahkamah Konstitusi yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional, dalam hal ini dapat diartikan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai lima fungsi yang melekat sesuai dengan

kewenangannya.

(4)

ÿ 181 Artinya tetap berpedoman pada kenyataan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Perusahaan dengan alasan efisiensi tanpa harus menutup perusahaan adalah sah dan dapat dilakukan.

Hal ini tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi 19/PUU-IX/2011 yang pada pokoknya

menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi apabila perusahaan tersebut tutup permanen.

Hal ini dapat dipertanyakan mengingat adanya ketentuan hukum lain, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 yang diputus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum. Dari uraian di atas, putusan Mahkamah Agung Nomor 295K/Pdt.Sus-PHI/2015 yang masih

menggunakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

Dalam pengembangannya, Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 103K/Pid/2007 menggunakan sifat melawan hukum formil dan materiil, yang

menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan unsur melawan hukum sebagai melawan hukum formil mengakibatkan makna melawan hukum dalam Pasal 2 ayat (1) menjadi tidak jelas, sehingga hakim harus menelusuri makna melawan hukum terhadap nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat ketika ketentuan tersebut diterapkan dalam perkara-perkara konkret.

miliknya.

pasal (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 295K/Pdt.Sus-PHI/2015, hakim dalam

pertimbangan hukumnya pada pemeriksaan judex juris hanya mendasarkan bahwa alasan pemohon kasasi dapat dibenarkan karena putusan judex factie keliru dalam penerapan hukumnya. Hakim dalam

pertimbangannya hanya membatasi pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang sebelumnya telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pengertian hukum kebendaan yang melawan hukum (materiele wederrechtelijk) yaitu hukum yang tidak tertulis dalam pengertian kepatutan, kehati- hatian, dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai norma keadilan, merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda antara satu lingkungan sosial tertentu dengan lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di suatu tempat dapat diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melanggar hukum, menurut norma yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat,

sebagaimana dikemukakan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH di persidangan.

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sepanjang menyangkut frasa: “Yang dimaksud dengan

“melawan hukum” dalam pasal ini meliputi perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yaitu sekalipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan bermasyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.”

b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 295K/

Pdt.Sus-PHI/ 2015.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/

2018 merupakan salah satu putusan yang seharusnya tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, yang dalam putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada frasa “pekerjaan lain” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai meliputi pengurus partai politik.

c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/

Putusan Mahkamah Agung Nomor 295K/

Pdt.Sus-PHI/2015 merupakan salah satu putusan yang seharusnya tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011, di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan penggunaan frasa “perseroan tertutup” sepanjang tidak berarti perseroan tertutup permanen atau tertutup sementara, maka pasal tersebut inkonstitusional. Putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi tersebut didasarkan pada fakta bahwa frasa tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

HUM/ 2018.

(5)

182

Pandemi Jilid 17 Nomor 2 Desember 2022 Halaman 178-188

ÿ

Hakim Mahkamah Konstitusi, ketentuan pidana yang berkaitan dengan praktik kedokteran dalam beberapa pasal di atas tidak dapat dibenarkan dan tidak cukup proporsional yang apabila diterapkan dapat

merugikan profesi kedokteran karena telah

menimbulkan perasaan tidak aman dan takut akibat tidak seimbangnya antara pelanggaran yang

dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pertimbangan para

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada pelaksanaannya tidak ditaati oleh Mahkamah Agung.

Di samping menggunakan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai batu uji, putusan Mahkamah Konstitusi juga diputuskan lebih dahulu daripada putusan Mahkamah Agung sehingga putusan Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi Mahkamah Agung untuk dipatuhi dalam mengadili sengketa.

PUU-V/2007 yang memuat bahwa penerapan pidana penjara dan/atau kurungan dalam Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan putusan tersebut, maka tindakan dokter yang memenuhi rumusan pasal ini tidak dapat lagi dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan kurungan, melainkan hanya dapat dikenakan denda.

Hakim Mahkamah Agung menyatakan ketentuan Pasal 60A Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, meskipun Pasal 60A merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU- XVI/2018 di mana putusan tersebut merupakan bentuk penafsiran atas Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, ketentuan Pasal 60A tersebut tetap mengikat sepanjang tidak diberlakukan secara retroaktif terhadap Peserta Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang telah mengikuti tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1.110 K/

Pid.Sus/2012 seharusnya tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/

Dalam pelaksanaanya, putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 tersebut memiliki substansi yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 tersebut secara garis besar mengadili Dr. Oesman Sapta Odang selaku pemohon terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum selaku termohon. Komisi Pemilihan Umum berpedoman pada Putusan Mahkamah Konstitusi 30/PUU-XVI/

2018, menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Surat Nomor 1043/PL.01.4-SD/06/KPU/

IX/2018 tanggal 10 September 2018 perihal Persyaratan Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah.

d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1.110 K/

Hal ini berdasarkan fakta bahwa terdakwa melanggar Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tentang “sengaja menjalankan praktik kedokteran tanpa memiliki izin praktik”, serta Pasal 79 huruf c tentang “tidak memenuhi kewajiban memberikan pelayanan kedokteran sesuai dengan standar profesi dan prosedur operasional standar”. Sebagaimana dijelaskan di atas, ketentuan pidana penjara dan kurungan dalam Pasal 76 dan Pasal 79 huruf c

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1.110 K/Pid.Sus/2012 menjatuhkan hukuman penjara satu tahun enam bulan.

Pid.Sus/ 2012

Beberapa contoh putusan di atas menggambarkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang merupakan penafsiran resmi konstitusi, belum tentu dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung dalam memutus suatu perkara.

(6)

10 Fadjar Laksono, Winda Wijayanti et.al, “Implikasi Dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 Tentang SBI Atau RSBI,”

7

Jurnal Konstitusi 10, no. 4 (2013): 733.

Saputra, “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan MA 295 K/Pdt.Sus-Phi/2015 Yang Tidak Mempertimbangkan Putusan MK 19/PUU-IX/2011.”

Ibid.

Saputra, “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan MA 295 K/Pdt.Sus-Phi/2015 Yang Tidak Mempertimbangkan Putusan MK 19/PUU-IX/2011.”

Dri Utari Cristina, Ismail hasani, ed., Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI: Naskah Konfrensi Mahkamah Konstitusi Dan Pemajuan Hak

Konstitusional Warga (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2013).

8

9 11

183

ÿ

Hal ini juga berlaku di pengadilan, misalnya jika Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa suatu pasal dinyatakan inkonstitusional, pengadilan lain tidak diperkenankan menggunakan pasal dalam undang-undang tersebut sebagai dasar memutus suatu perkara kecuali undang-undang tersebut ditafsirkan sesuai dengan apa yang menjadi substansi putusan Mahkamah tersebut.

Jika masih digunakan, berarti hakim yang memutus perkara tersebut tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Perkara tersebut merupakan bentuk pembangkangan dan pengabaian terhadap konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi. Tindakan ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan melahirkan situasi dan kondisi ketatanegaraan yang tidak teratur secara sistemik, karena putusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menegakkan nilai-nilai konstitusi Indonesia tersebut bersifat mengikat dan final sejak putusan tersebut dibacakan,10 belum dipertimbangkan atau tidak dipatuhi oleh Mahkamah Agung yang pada dasarnya berkedudukan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi sama halnya dengan tidak mempertimbangkan konstitusi, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan inkonstitusional.

Putusan yang tidak memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi sama halnya dengan tidak menaati dan tidak memperhatikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan representasi hakikat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi, sehingga apabila suatu putusan hakim tidak memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka putusan hakim tersebut tidak memperhatikan hukum tertinggi dalam suatu negara, sehingga dapat dikatakan bahwa putusan hakim tersebut inkonstitusional,11 atau dapat dikatakan bahwa putusan tersebut telah melanggar nilai-nilai konstitusi yang berlaku.

Tidak menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bahan pertimbangan dalam memutus suatu perkara Artinya dalam menguji undang-undang, putusan MK merupakan undang-undang dasar baru yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi semua pihak untuk tidak melaksanakan putusan MK karena pada dasarnya putusan MK mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang- undang dasar.8

Dengan mengucapkannya dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes, maka semua pihak berkewajiban untuk melaksanakan isi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, termasuk Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga telah dimuat dalam berita negara Republik Indonesia, yang berarti bahwa Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya wajib mengetahui dan menaati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.9

Menurut K. C Wheare, interpretasi hakim Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu cara mengubah konstitusi secara informal.

Pada dasarnya putusan MK tersebut bersifat negatif terhadap lembaga legislatif, yakni bersifat erga omnes, artinya berlaku bagi semua warga negara.7

Ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dapat terjadi karena Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara.

Adanya ketidakpatuhan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 mengindikasikan adanya ketidakpatuhan terhadap norma hukum yang bersifat final dan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi, apapun bentuknya, baik yang dianggap baik maupun yang buruk dalam masyarakat, tetap mengikat karena putusan tersebut merupakan bentuk penafsiran resmi terhadap konstitusi yang berlaku.

(7)

Dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, Mahkamah Konstitusi berwenang memutus perkara yang ditanganinya. Putusan yang dapat dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara antara lain permohonan tidak diterima, permohonan ditolak, dan permohonan dikabulkan.

Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum mengikat baik bagi pemohon maupun seluruh warga negara karena 12 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Pengujian UU Terhadap UUD (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015).

13 Nanang Sri Darmadi, “Kedudukan Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia,” Jurnal Hukum 26, no. 2 (2011): 678.

Adanya putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta merta menghilangkan kedudukan putusan Mahkamah Agung sebagai yurisprudensi. Yurisprudensi adalah undang-undang yang mengikat dan dikuatkan oleh 14 Saputra, “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan MA 295 K/Pdt.Sus-Phi/2015 Yang Tidak Mempertimbangkan Putusan MK 19/PUU-IX/2011.”

Pandemi Jilid 17 Nomor 2 Desember 2022 Halaman 178-188

184 ÿ

Dasar pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi adalah kesadaran hukum para pihak yang terkait dengan putusan tersebut tanpa adanya paksaan. Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi memerlukan kesadaran moral dan kesadaran hukum dari lembaga terkait.12

Dalam pelaksanaannya, dengan kekuatan hukum yang telah diuraikan di atas, masih saja terjadi ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam artikel ini, penulis secara khusus membahas implikasi hukum dari putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi, meliputi:

Penulis berpandangan bahwa implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut penting dalam upaya menumbuhkan kesadaran untuk melaksanakan isi konstitusi.

Adanya ketentuan yang mengatur pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan membuat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut semakin dipatuhi oleh semua pihak.

Sifat putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji suatu undang-undang adalah declaratoir constitutief, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang memuat pasal, frasa, dan/atau ayat yang dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar, maka peraturan perundang-undangan tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.14

Hal ini dikarenakan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan penafsiran resmi terhadap konstitusi yang dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan konstitusi. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus dan mengadili suatu perkara dapat diartikan sebagai tidak mempertimbangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai hukum dasar tertinggi

yang berlaku, sehingga dapat dikatakan sebagai tindakan inkonstitusional.

se dari sifat omnis keputusan.

lembaga negara yang diberi tugas untuk menjamin pelaksanaan putusannya yang bersifat final dan mengikat. Selain itu, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kekuatan memaksa untuk melaksanakan putusannya karena belum ada sanksi terkait putusan hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang menjadi salah satu penyebab banyaknya pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

e. Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Agung yang Tidak Mempertimbangkan Putusan Mahkamah

Konstitusi. f. Putusan tersebut tetap mempunyai kedudukan sebagai yurisprudensi.

Putusan Mahkamah Agung, apapun bentuknya, karena putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut telah sah sebagai yurisprudensi. Lembaga peradilan merupakan sarana bagi warga negara untuk mencari keadilan dan upaya penyelesaian masalah yang dihadapinya terkait dengan pertentangan hak dan kewajiban. Tugas hakim dalam hal ini adalah menetapkan hukum, sehingga putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku agar tercapai keadilan.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi peradilan yang mempunyai kewenangan mengadili objek perkara konstitusi dan keberadaannya dalam rangka memperkuat dasar konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.13

(8)

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia, memutus perselisihan tentang kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

“Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung tentang adanya permohonan pengujian suatu undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi”.

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.

Sifat final putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang- Undang ini juga mencakup kekuatan mengikat (final and binding).

ÿ 185

penerapan hukum.

g. Keputusan tersebut dapat menimbulkan kebingungan dalam

Putusan pengadilan merupakan salah satu sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang setara. Adanya ketidakpatuhan terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang telah digugat oleh Mahkamah, meskipun putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa:

Maksud isi artikel tersebut adalah agar Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan untuk menunda penyelesaian perkara yang berkaitan dengan undang- undang yang sedang dalam proses pengujian undang- undang. Putusan mengenai pengujian undang-undang tersebut kemudian dimuat dalam berita negara Republik Indonesia yang dapat diketahui oleh semua pihak.

Berdasarkan hal tersebut, tidak ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk tidak mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi oleh semua pihak, khususnya Mahkamah Agung yang sama-sama berkedudukan sebagai lembaga peradilan berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia merupakan bentuk pengingkaran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir akhir konstitusi. Masyarakat akan beranggapan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi hanya sebatas pada kitab undang-undang tanpa memiliki kekuatan hukum dalam tindakan.

Adanya perbedaan substansi dari kedua putusan tersebut akan menimbulkan kebingungan bagi

pemegang kewenangan peradilan lainnya dalam mencari pertimbangan terkait perkara yang mempunyai relevansi dengan putusan tersebut, apalagi karena keduanya telah memiliki kedudukan sebagai yurisprudensi. Adanya perbedaan putusan yang dijatuhkan tentu akan

menimbulkan kebingungan, baik di masyarakat maupun di kalangan peradilan lainnya, mengingat keduanya merupakan yurisprudensi yang diakui sebagai sumber hukum di Indonesia. Pada dasarnya, untuk mengantisipasi adanya dua putusan yang saling bertentangan tersebut, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 menyatakan

bahwa:

Berdasarkan hal tersebut, maka putusan suatu lembaga peradilan meskipun secara substansi bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain, tetap berlaku sebagai yurisprudensi dan menjadi sumber hukum. Dalam hal ini putusan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi, meskipun terdapat substansi yang saling bersinggungan, namun keduanya tidak kehilangan kedudukan sebagai yurisprudensi karena keduanya merupakan putusan hakim pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan diputus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

asas res judicata pro veritate ha-betuur yang mempunyai pengertian bahwa semua putusan hakim harus dianggap baik dan benar.

Hal ini kemudian ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No.

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa:

h. Menyebabkan tertundanya keadilan konstitusionalisme

Keadilan Konstitualisme Penundaan yaitu penundaan pemberian keadilan yang berlandaskan pada nilai-nilai konstitusi Indonesia, karena keadilan terhadap hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh putusan Mahkamah Konstitusi tidak terlaksana

karena tidak dipatuhinya ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(9)

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa

“Mahkamah Konstitusi memberitahukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan tersebut dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi”.

Apabila dijelaskan mengenai hubungan kedua lembaga peradilan tersebut, sesungguhnya telah dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, yaitu dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, serta dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Selain itu putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga diucapkan dalam sidang paripurna yang terbuka untuk umum dan kemudian dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Sebagaimana diketahui, Konstitusi sebagai acuan yang menjadi pedoman dan dilaksanakan oleh seluruh elemen bangsa, telah mengatur hal-hal yang mendasar, salah satunya adalah tentang pembentukan dan pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara utama, termasuk Mahkamah Konstitusi.17

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa:

“Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum”. Hal ini menunjukkan bahwa sejak selesainya pengucapan atau pembacaan putusan, maka sejak saat itu pula perintah putusan tersebut harus dilaksanakan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang terlebih dahulu.

Kenyataannya, adanya ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengindikasikan adanya keterlambatan dalam pelaksanaan keadilan atas pemenuhan hak konstitusional warga negara, yang tidak sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini akan menimbulkan citra buruk bagi penegakan konstitusi di Indonesia dan melemahkan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Kenyataan yang dapat dilihat ialah bahwa salah satu hal yang melemahkan kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan lembaga Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Agung itu sendiri yang merupakan bagian dari pemegang kekuasaan kehakiman.

putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan oleh Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman.15

Adanya empat putusan Mahkamah Agung yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya mengindikasikan adanya pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Semakin banyaknya tindakan pembangkangan atau pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi akan melemahkan kewibawaan Konstitusi Negara Republik Indonesia sebagai konstitusi tertinggi, termasuk melemahkan kedudukan Mahkamah Konstitusi yang memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi.16

Apabila penafsiran resmi konstitusi yang dituangkan dalam bentuk putusan Mahkamah Konstitusi tidak dipatuhi dan tidak dipertimbangkan oleh lembaga peradilan lainnya, termasuk Mahkamah Agung, maka hal ini mengindikasikan adanya kondisi yang melemahkan konstitusi.

Bila hal ini dibiarkan, maka putusan MK tersebut dapat dikatakan kuat secara tekstual, tetapi lemah dalam pelaksanaannya.

i. Dapat melemahkan kewibawaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Artinya, tidak ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk tidak mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi.

Kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud nyata kesetiaan kepada konstitusi.

kewenangan Konstitusi Republik Indonesia itu sendiri.

Pasalnya, jika hal ini terjadi maka akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap

16 Ibid. 17 Ibid.

15 Novendri M.Nggilu, “Menggagas Sanksi Atas Tindakan Constitution Disobedience Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi 16, no. 1 (2019): 56–57.

Pandemi Jilid 17 Nomor 2 Desember 2022 Halaman 178-188

186 ÿ

(10)

Putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempunyai beberapa implikasi hukum, antara lain putusan Mahkamah Agung tersebut masih berlaku sebagai yurisprudensi, dapat menimbulkan kerancuan dalam penerapan hukum, menimbulkan keterlambatan keadilan konstitusi, dan melemahkan kewibawaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai hukum tertinggi.

Putusan Mahkamah Agung yang tidak mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(inkonstitusional) karena putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan cerminan hakikat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai hukum dasar yang tertinggi. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang memiliki fungsi sebagai penafsir akhir konstitusi menjadikan putusannya bersifat erga omnes atau mengikat seluruh warga negara, karena berkaitan dengan tegaknya konstitusi.

Implikasi selanjutnya adalah akan mereduksi fungsi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir akhir dan pengawal konstitusi. Sebab, putusan tersebut tidak lagi dianggap kuat karena lemahnya sifat hukum dalam tindakan putusan yang digugat oleh Mahkamah Konstitusi.

Sifat hukum yang kuat dalam undang-undang harus diikuti oleh hukum dalam tindakan, sehingga Mahkamah Konstitusi dapat dipercaya sebagai lembaga peradilan yang dapat menjamin nilai-nilai konstitusional senantiasa ditegakkan dalam konstitusi.

negara hukum yang dalam penyelenggaraannya berpedoman pada asas-asas hukum yang berlaku.

Apapun bentuk putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, putusan tersebut tetap harus dilaksanakan karena merupakan cerminan konstitusi.

Salah satu potensi pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah dapat menurunkan semangat warga negara dalam menegakkan nilai-nilai konstitusi, seperti berkurangnya perkara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan tata usaha negara.

isi dan kedudukan konstitusi, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi.

Konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara harus dijunjung tinggi. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mengimplementasikan nilai-nilai konstitusi dalam kehidupan bernegara, termasuk dengan melakukan penafsiran resminya dalam bentuk putusan Mahkamah Konstitusi.

Hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kondisi yang membahayakan, karena pengujian undang-undang merupakan suatu proses pencarian keadilan oleh warga negara atas

terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan, sehingga apabila minat warga negara untuk mengajukan pengujian undang- undang menurun, maka akan memungkinkan terjadinya berbagai ketimpangan yang dapat mengakibatkan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya.

Apabila tidak memperhatikan atau tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka akan timbul beberapa akibat hukum sebagaimana diuraikan di atas.

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai dua lembaga yang memegang kewenangan peradilan, hendaknya bekerja sama untuk menghasilkan putusan-putusan yang berorientasi pada penegakan hukum dan keadilan tanpa melemahkan kedudukan satu sama lain. Konsep ini bertujuan untuk mendukung kedudukan Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat.

Implikasi selanjutnya ialah mereduksi fungsi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir dan pengawal konstitusi yang terakhir.18 Sebab, putusan tersebut dianggap tidak lagi kuat karena lemahnya sifat law in action dalam putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Desiana, Ayu. “Analisis Kewenangan Mahkamah Kon-stitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersi-fat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.” Majalah Hukum Fo-rum Akademika 25, no. 1 (2014): 50.

Isra, Saldi. “Titik Singgung Wewenang Mahkamah 18 M.Nggilu, “Menggagas Sanksi Atas Tindakan Constitution

Disobedience Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi.”

187 Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahka-mah

Konstitusi Pada Pengujian UU Terhadap UUD. Jakarta:

Raih Asa Sukses, 2015.

Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahka-mah Konstitusi, 2010.

Atmadja, I Dewa gede. Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945. Malang:

Setara Press, 2011.

ÿ

E. Referensi D.Kesimpulan

(11)

Utari Cristina, Ismail hasani, Dri, ed. Masa Depan Mah-kamah Konstitusi RI: Naskah Konfrensi Mahka-

tahun 2013.

Tim Penyusun Naskah Komprehensif Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945. Naskah Komprehensif Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Re-publik Indonesia: Buku VI, Kekuasaan Kehaki-man. Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.

Sri Darmadi, Nanang. “Kedudukan Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia.” Jurnal Hukum 26,

mah Konstitusi Dan Pemajuan Hak Konstitusion-al Warga. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, Jurnal Konstitusi 13, no. 1 (2016): 175.

Suhariyanto, Budi. “Masalah Eksekutabilitas Putusan Mahkamah Konstitusi Oleh Mahkamah Agung.”

Jurnal Cakrawala 18, no. 1 (2018): 96.

tidak. 2 (2011): 678.

Saputra, Rahmat. “Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan MA 295 K/Pdt.Sus-Phi/2015 Yang Tidak Mem-pertimbangkan Putusan MK 19/PUU-IX/2011.”

Agung Dengan Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 1 (2015): 26.

Maulidi, M.Agus. “Menyoal Kekuatan Eksekutorial Pu-tusan Final Dan Mengikat Mahkamah Konsti-tusi.” Jurnal Konstitusi 16, no. 2 (2019): 342.

188 ÿ

Pandemi Jilid 17 Nomor 2 Desember 2022 Halaman 178-188

M.Nggilu, Novendri. “Menggagas Sanksi Atas Tindakan

Constitution Disobedience Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi 16, no. 1 (2019): 56–57.

Jurnal Konstitusi 10, no. 4 (2013): 733.

4, tidak. 1 (2017): 10.

Laksono, Winda Wijayanti et.al, Fadjar. “Implikasi Dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/

PUU-X/2012 Tentang SBI Atau RSBI.”

Widayati. “Problem Ketidakpatuhan Terhadap Putu-san Mahkamah Konstitusi Tentang Pengujian Undang- Undang.” Jurnal Pembaharuan Hukum

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi, berjudul: “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi Di Dalam Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada (Putusan Mahkamah Konstitusi

BAB IV EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Peralihan Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil

Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian undang-undang yang mengabulkan permohonan Pemohon yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal,

Meskipun Putusan inkonstitusional sudah dilakukan oleh hakim sejak 2006, namun model putusan inkonstitusional bersyarat yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi pada

ep u b hk am Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan mahkamahagung go id R DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ng MAHKAMAH AGUNG memeriksa perkara

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi keduanya merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana yang terdapat dalam bunyi

PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TINJAUAN PUTUSAN MAHMAKAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DAN PUTUSAN

Atas dasar tersebut, tesis ini akan mengulas tentang Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tinjauan Putusan