• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan Parasit pada Udang Windu (Penaeus monodon) di Tambak Intensif BPBAP Takalar

N/A
N/A
Alif musaldy

Academic year: 2024

Membagikan "Pemeriksaan Parasit pada Udang Windu (Penaeus monodon) di Tambak Intensif BPBAP Takalar"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

PEMERIKSAAN PARASIT PADA UDANG WINDU

(Penaeus monodon) DI TAMBAK INTENSIF BPBAP TAKALAR

OLEH ALIF MUSALDY

07120200009

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR

2024

(2)

PEMERIKSAAN PARASIT PADA UDANG WINDU

(Penaeus monodon) DI TAMBAK INTENSIF BPBAP TAKALAR

OLEH ALIF MUSALDY

07120200009

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR

2024

ii

(3)

HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PEMBIMBING

Judul : Pemeriksaan parasit pada udang windu (Penaeus monodon) di tambak intensif BPBAP Takalar

Nama : ALIF MUSALDY

Stambuk : 07120200009

Program Studi : Budidaya Perairan

Sk Pembimbing : 560/H.20/FPIK-UMI/V/2024

Telah Diperiksa dan Disetujui oleh:

Komisi Pembimbing:

Dr. Ir. H. Harlina, MP Andi Hamdillah ,S.Pi M,Sc Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui Oleh:

Dr. Ir. Abdul Rauf, M.Si Dr. Ir. H. Harlina, MP Dekan FPIK UMI Ketua Jurusan Budidaya Perairan

iii

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidaya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Propsal Penelitian dengan judul “Pemeriksaan parasit pada udang windu (Penaeus monodon) di tambak intensif BPBAP Takalar)

Penulis hanturkan terima kasih yang tak terhingga pada orang tua dan keluarga yang telah mendoa kan, mendidik dan memberikan motivasi serta semangat hingga terselesaikan Proposal ini.

Proposal penelitian yang saya buat, saya menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam proposal penelitian ini, hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang saya miliki. Oleh karena itu saya memohon kepada para pembaca untuk dapat memberikan tanggapan atau masukan maupun saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan proposal ini.

Makassar, 15 Mei 2024

ALIF MUSALDY

iv

(5)

DAFTAR IS

HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PEMBIMBING...iii

KATA PENGANTAR...iv

DAFTAR ISI...v

DAFTAR GAMBAR...vii

DAFTAR TABEL...viii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2. Tujuan Penelitian...4

1.3. Manfaat Penelitian...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...5

2.1 Udang Windu (Penaeus monodon)...5

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi...6

2.1.2 Sifat dan Tingkah laku...7

2.1.3 Habitat...8

2.1.4 Padat Penebaran...8

2.2 Penyakit pada Udang...9

2.2.1 penyakit parasit pada udang...10

BAB III METODE PENELITIAN...16

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...16

3.2 Alat dan Bahan...16

3.3 Jenis dan Sumber Data...16

v

(6)

3.4 Metode Penentuan Sampel...17 3.5 Metode Pemeriksaan Sampel...17 3.6 Analisis Data...18

BAB I

vi

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

Gambar 1 Morfologi Udang windu………... 6

Gambar 2 Zoothamnium sp………... 12

Gambar 3 Vorticella sp………. 13

Gambar 4 Epistylis sp………... 15

DAFTAR TABEL

vii

(8)

Tabel Deskripsi Hal Tabel 1 Kriteria prevalensi infeksi parasit... 19 Tabel 2 Kriteria intensitas... 19

viii

(9)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Peluang sumber perikanan di masa yang akan datang cukup baik dan menjadi hal utama karena ditinjau dari potensi sumber daya lahan perairan maupun perikanan yang sangat luas serta mempunyai keunggulan komparatif yang ada di Indonesia. Hal ini telihat sekitar 70% wilayah Indonesia terdiri atas lautan dengan flora dan fauna yang sangat beragam sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya genetik bagi kemajuan pembangunan sumber perikanan. Besarnya sumber daya perikanan diperkirakan mencapai 6,6 juta ton per tahun. Di bidang perikanan darat, baik air payau maupun air tawar, potensi yang tersedia juga cukup besar. Potensi perairan payau mencapai 840.000 ha dan yang telah dimanfaatkan baru 270.000 ha. Di samping potensi lahan, kondisi iklim tropis dan cuaca di Indonesia sangat cocok untuk mendukung pembiakan dan pertumbuhan budidaya ikan dan udang (Martosudarmo, et al 1982).

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Juni 2005 telah ditetapkan udang termasuk udang windu (Penaeus monodon) untuk dikembangkan di tambak. Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu primadona bagi petambak karena harga jual yang lebih mahal. Jumlah produksi udang secara umum pada tahun 2017

ix

(10)

mencapai 43,03 ribu ton atau naik 3,2 persen dari tahun 2016 sebesar 41,64 ton. Data produksi udang windu (Penaues monodon) Sulawesi Selatan pada tahun 2019 mencapai 10.370,2 ton atau hanya berada pada posisi ke-6 di Indonesia, dan Pemerintah menargetkan produksi produksi udang pada tahun 2020 meningkat menjadi 12 ton (DKP Prov Sulsel 2020) Sulawesi Selatan memilki nilai produksi perikanan budidaya lebih dari 9 triliun pada tahun 2016 atau yang tertinggi di wilayah pulau Sulawesi (Nainggolan et al., 2018). Kebangkitan budidaya udang windu, Penaeus monodon Fab. Di Sulawesi Selatan sudah menjadi tekad Pemerintah Sulawesi Selatan untuk mewujudkannya. Berbagai upaya yang sedang dan akan dilakukan untuk meningkatkan produktifitas udang windu baik melalui usaha budidaya langsung di tambak maupun melalui riset.

Udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani bermutu tinggi yang sangat digemari oleh konsumen dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu jenis udang yang merupakan primadona komoditas ekspor non-migas dari sektor perikanan adalah udang windu (Penaus monodon) Komoditas perikanan ini merupakan salah satu produk ekspor Indonesia dengan negara tujuan utama adalah Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat (Mahmud et al., 2013). Budidaya udang windu (Penaeus monodon) di Indonesia saat ini mengalami masalah dimana menurunnya kualitas lingkungan perairan. Lahan pertambakan yang semakin luas memunculkan perubahan lingkungan yang cukup drastis, dan menimbulkan pengaruh buruk yaitu

x

(11)

dengan munculnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh parasit menjadi kendala pada budidaya perikanan (Soetomo, 2000).

Penyakit yang biasanya menyerang udang windu disebabkan oleh bakteri, virus dan organisme patogen lainnya. Hal ini dapat terjadi apabila ada interaksi yang tidak seimbang antara udang sebagai inang, adanya organisme patogen, serta menurunnya kualitas air itu sendiri (Rukyani, 1993), keadaan ini merupakan masalah utama pada budidaya udang windu yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini dapat didukung oleh kondisi lingkungan yang kurang sesuai, sehingga ketika patogen menyerang udang akan lebih mudah terinfeksi karena kekebalan tubuh udang menurun dan akhirnya menyebabkan kematian pada udang. Salah satu patogen yang menyerang udang adalah parasit (Zulkarnain, 2011).

Parasit dibedakan menjadi 2 yaitu ektoparasit dan endoparasit. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi parasit dimulai dari induk udang, selain itu pencegahan parasit dengan memperbaiki kualitas air dan sanitasi peralatan merupakan jalan terbaik dari pada pengobatan yang sering memberikan resiko yang besar (Handayani, 1999).

Dampak dari timbulnya pada jenis ektoparasit protozoa yang ditemukan pada udang windu terdapat 4 genus yaitu Zoothamnium sp., Trichodina sp., Vorticella sp., dan Ichthiopthirius sp. bisa menyebabkan kematian udang secara tiba-tiba dan mengakibatkan kerugian ekonomi pada pembudidaya (Ayu, 2013) Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan agar dapat mengetahui identifikasi jenis parasit yang

xi

(12)

menyerang udang windu. Berdasarkan permasalahan yang ada sangat penting untuk mengetahui jenis parasit serta menganalisa prevalensi dan intensitas parasit pada budidaya udang windu yang dipeliharan di tambak intensif.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1 Mengidentifikasi jenis parasit yang menyerang budidaya udang windu di tambak intemsif BPBAP Takalar

2 Menganalisis perbedaan tingkat prevalensi dan intensitas parasit pada budidaya udang windu di tambak intensif BPBAP Takalar

1.3. Manfaat Penelitian

1. Dapat menentukan tindakan pengendalian yang dilakukan pada tambak yang terserang penyakit.

2. Memberikan keberlanjutan bagi usaha budidaya udang windu khususnya yang berada di Takalar

xii

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang Windu (Penaeus monodon)

Tubuh udang terdiri dari 2 bagian utama yaitu kepala dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Cephalotorax tertutup oleh kelopak kepala yang disebut carapace. Udang windu mempunyai 5 pasang kaki renang (pleopod) dan 5 pasang kaki jalan (pereopod). Bagian tubuhnya terdiri dari carapace (kepala) dan abdomen (perut). Pada ujung carapace terdapat rostrum yang mempunyai gerigi bagian atas (dorsal) sebayak 6-8 (kebanyakan 7) dan bagian bawah (ventral) sebanyak 2-4 buah 4 (kebanyakan 3) (Motoh, 1981; Solis, 1988).

Pada bagian abdomen terdapat 6 segmen serta telson pada segmen yang ke 6.

Cephalotorax terdiri dari 13 ruas (kepala: 5 ruas, dada: 8 ruas) dan abdomen 6 ruas, terdapat ekor dibagian belakang. Pada cephalotorax terdapat anggota tubuh, berturut- turut yaitu antenulla (sungut kecil), scophocerit (sirip kepala), antenna (sungut besar), mandibula (rahang), 2 pasang maxilla (alat-alat pembantu rahang), 3 pasang maxilliped, 3 pasang pereiopoda (kaki jalan) yang ujung ujungnya bercapit disebut chela. Insang terdapat di bagian sisi kiri dan kanan kepala, tertutup oleh carapace.

Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang pleopoda (kaki renang) yaitu pada ruas ke-1 sampai 5. Sedangkan pada ruas ke-6 kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau uropoda.

xiii

(14)

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Klasifikasi Udang windu menurut Mujiman dan Suyanto (2003) tergolong ke dalam:

Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Kelas : Crustacea Sub Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Natantia Famili : Penaedae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon

Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Setiyo, 2020)

xiv

(15)

Perkembangan udang windu mengalami perubahan setiap stadianya. Setelah telur menetas, larva akan melewati stadia nauplius, zoea dan mysis (Williamson 1982). Setelah melewati fase tersebut, udang windu mencapai stadia pasca larva dengan bagian tubuh yang lengkap hingga dewas. Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dengan kepala dan dada menyatu yang disebut kepala (cephalotorax), serta bagian belakang yang disebut badan (abdomen). Kepala dan dada udang windu terbungkus oleh cangkang yang disebut dengan carapace.

Cephalotorax terdiri dari 15 segmen 7 untuk bagian kepala dan 8 segmen untuk bagian dada pada ujungnya terdapat rostrum yaitu cangkang keras dan bergerigi, sedangkan abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson. Bagian kepala udang windu memiliki 5 pasang appendage, terdiri dari 2 pasang antenulla yang berfungsi sebagai penciuman dan keseimbangan, 1 pasang mandibula untuk mengunya, serta sepasang maxilulla dan maxilla untuk membantu makan dan bernapas. Bagian dada udang windu memiliki tiga pasang maxilped yang berfungsi membantu proses makan udang.

Bagian badan udang windu memiliki 5 pasang kaki renang (pleopoda) dan 5 pasang kaki jalan (periopod) serta sepasang uropda untuk membantu gerakan melompat dan naik turun (Tricahyo, 1995).

2.1.2 Sifat dan Tingkah laku

Udang Windu memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas. Pertumbuhan udang windu ditunjukkan adanya proses pergantian kulit (moulting). Kondisi udang pada saat ganti kulit sangat lemah sehingga akan sangat mudah diserang oleh udang

xv

(16)

lainnya. Hal ini disebabkan udang memiliki sifat kanibalisme. Udang windu aktif mencari makanan di malam hari (nocturnal). Makanan dari udang ini sangat bervariasi yaitu dari jenis crustacea rendah, moluska, ikan-ikan kecil, cacing, larva serangga, maupun sisa-sisa bahan organik (Murtidjo, 2003).

2.1.3 Habitat

Udang windu bersifat bentik dan menyukai dasar perairan yang terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Udang windu lebih suka bersembunyi dan membenamkan diri dalam lumpur pada saat moulting, hal ini sering dilakukan udang untuk menghindari pemangsaan. Menurut Mudjiman (2003), udang dewasa bertelur di laut kemudian larva yang menetas bergerak ke daerah muara. Semakin dewasa udang akan bergerak secara berkelompok menuju ke laut untuk melakukan perkawinan.

2.1.4 Padat Penebaran

Padat penebaran merupakan jumlah organisme yang ditebar pada suatu wadah dan dinyatakan dalam persatuan luas atau persatuan volume. Kepadatan yang rendah dan kuantitas pakan mencukupi akan meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan (Syahid et al, 2006). Menurut Syafiuddin (2000) padat penebaran udang windu pada tambak bergantung pada sistem budidaya yang diterapkan. Untuk sistem budidaya ekstensif maksimal 5 ekor/m2, semi intensif maksimal 5-10 ekor/m2, intensif 15- 40 ekor/m 2, dan super intensif lebih dari 100 ekor/m2. Padat penebaran

xvi

(17)

yang rendah akan menghasilkan sedikit udang dengan ukuran besar sedangkan padat tebar tinggi menghasilkan banyak udang dengan ukuran kecil (Heryanto, 2006).

2.2 Penyakit pada Udang

Parasit adalah organisme yang tinggal didalam organisme lain (inang), sehingga memperoleh makanan dari inangnya tanpa memberikan keuntungan apapun (Handjani dan Samsundari, 2005). Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya suatu penyakit yaitu adanya interaksi antara agen pembawa penyakit misalnya parasit dengan kondisi lingkungan serta udang itu sendiri (Yanto, 2006), Selain itu penyakit juga akan cepat timbul pada kondisi udang yang stress yang diakibatkan dari penurunan kualitas air oleh penumpukan bahan organik. (Afrianto dan Liviawaty, 1992).

Penyaki tyang sering menyerang udang windu baik di tambak maupun dipembenihan (hatchery) salah satunya adalah patogen dari golongan ciliata, terutama dari spesies Zoothamnium sp. dan Vorticella sp. (Baticados et al., 1989 dan Mahasri, 1996). Zoothamnium sp. dan Vorticella sp. merupakan ciliata yang hidup normal pada kondisi perairan yang berkualitas, akan tetapi protozoa ini akan meningkat populasinya pada kondisi perairan dengan kualitas yang rendah. Penyebaran jenis parasit ini meliputi daerah pertambakan di seluruh Indonesia, Thailand, Malaysia, India, Cina, Jepang dan Amerika (Rukyani, 1996).

Zoothamnium sp. menyerang udang pada semua stadia mulai dari telur hingga dewasa pada kondisi perairan dengan oksigen terlarut rendah (Baticados et al., 1989

xvii

(18)

dan Mahasri, 1996). Protozoa ini menyerang pada permukaan tubuh, kaki renang, kaki jalan, rostrum dan insang. Organ yang terserang akan terlihat seperti diselaputi bendaasing berwarna putih kecoklatan. Bila terjadi infeksi berat, penempelan ini menyebar ke seluruh permukaan tubuh sehingga sering disebut penyakit udang berjaket. Serangan protozoa tersebut mengakibatkan udang sulit bernafas, malas bergerak dan mencari makan (Sinderman, 1997). Sementara itu Tonguthai (1991) mengatakan bahwa udang yang terserang Zoothamnium sp. pada kondisi ini sulit ganti kulit (moulting) dan pertumbuhan terhambat hingga menyebabkan kematian 2.2.1. Penyakit parasit pada udang

Parasit adalah organisme yang tinggal didalam organisme lain (inang), sehingga memperoleh makanan dari inangnya tanpa memberikan keuntungan apapun (Handjani dan Samsundari, 2005). Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya suatu penyakit yaitu adanya interaksi antara agen pembawa penyakit misalnya parasit dengan kondisi lingkungan serta udang itu sendiri (Yanto, 2006), Selain itu penyakit juga akan cepat timbul pada kondisi udang yang stress yang diakibatkan dari penurunan kualitas air oleh penumpukan bahan organik. (Afrianto dan Liviawaty, 1992).

Penyakit yang sering menyerang udang windu baik di tambak maupun dipembenihan (hatchery) salah satunya adalah patogen dari golongan ciliata, terutama dari spesies Zoothamnium sp. yang merupakan parasit bersifat ektoparasit yang dapat menyebabkan penyakit zoothamniosis pada udang. Tubuh terdiri dari zooid dan

xviii

(19)

pedicle. Zooid berbentuk seperti kerucut hamper membulat. Diameter bagian anterior dan posterior lebih kecil dari pada bagian dorsal dan ventral (Patterson, 2010). ciliata yang hidup normal pada kondisi perairan yang berkualitas, akan tetapi protozoa ini akan meningkat populasinya pada kondi siperairan dengan kualitas yang rendah.

Penyebaran jenis parasit ini meliputi daerah pertambakan di seluruh Indonesia, Thailand, Malaysia, India, Cina, Jepang dan Amerika (Rukyani, 1996).

Protozoa ini menyerang pada permukaan tubuh, kaki renang, kaki jalan, rostrum dan insang. Organ yang terserang akan terlihat seperti diselaputi benda asing berwarna putih kecoklatan. Bila terjadi infeksi berat, penempelan ini menyebar ke seluruh permukaan tubuh sehingga sering disebut penyakit udang berjaket. Serangan protozoa tersebut mengakibatkan udang sulit bernafas, malas bergerak dan mencari makan (Sinderman, 1997). Sementara itu Tonguthai (1991) mengatakan bahwa udang yang terserang Zoothamnium sp. Pada kondisi ini sulit ganti kulit (moulting) dan pertumbuhan terhambat hingga menyebabkan kematian.

Protozoa yang menyerang udang yang sering ditemukan pada pemeliharaan udang pada kualitas air yang kurang baik dari kelas ciliata. Beberapa spesies dari kelas ciliata adalah sebagai berikut;

A. Zoothamnium sp 1) Klasifikasi

Menurut Mahasri dan Kismiyati (2008), klasifikasi Zoothamnium sp adalah sebagai berikut:

xix

(20)

Phylum : Protozoa Kelas : Ciliata Ordo : Peritricha Famili : Vorticellidae

Genus : Zoothamnium

Spesies : Zoothamnium sp

Gambar 2. Zoothamnium sp. (sumber : Sekhar, 2004) 2) Morfologi

Zoothamnium sp. Merupakan parasit bersifat ektoparasit yang dapat menyebabkan penyakit zoothamniosis pada udang vannamei. Tubuh terdiri dari zooid dan pedicle. Zooid berbentuk seperti kerucut hamper membulat. Diameter bagian anterior dan posterior lebih kecil dari pada bagian dorsal dan ventral (Patterson, 2010). Zooid terdiri dari tangkai peristomial yang bersilia, vacuolakontraktril, ribosom, mitokondria dan retikulu mendoplasma (Mahasri dan Kismiyati, 2008).

Pedicle berfungsi untuk melekat pada substrat. Pedicle mempunyai 2 cabang, dan

xx

(21)

setiap cabang memiliki cabang lagi. Reproduksi dengan cara pembelahan dan hasil pembelahan untuk memperbesar koloni.

3) Gejala klinis

Tubuh udang tertutup semacam selaput yang berwarna putih atau coklat yang menyerupai jaket. Udang sulit bernafas karena inang tertutup parasit (Sunarto dan Rukyani 1992).

B. Vorticella sp.

1) Klasifikasi

Menurut Verma (2005), klasifikasi Vorticella sp. Adalah sebagai berikut : Phylum : Protozoa

Kelas : Ciliata Subklas : Protociliata Ordo : Peritricha Famili : Vorticellidae Genus : Vorticella Spesies : Vorticella sp.

xxi

(22)

Gambar 3. Vorticella sp. (sumber :Holt, 2009) 2) Morfologi

Vorticella sp. Memilki ukuran lebih besar pada peristome dan memiliki silia.Tangkai berbentuk pipih dan silindris. Memiliki vakuolakontraktil 1 sampai 2 buah. Sel Vorticella sp. Berwarna kuning kehijauan. Hidup soliter dan menempel pada substrat (Dana dan Hadiroseyani, 1989).

3) Gejala Klinis

Gejala klinis udang yang terserang Vorticella sp hampir sama dengan udang yang terserang Zoothamnium sp. Udang berenang kepermukaan kolam dan tubuhnya berwarna buram. Insang yang terinfeksi berwarna kecoklatan. Proses moulting terhambat dan timbul peradangan pada kulit (Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, 2010).

C. Epistylis sp.

1) Klasifikasi

Menurut Kudo (1977), klasifikasi dari Epistylis sp adalah sebgai berikut : Phylum : Protozoa

Kelas : Ciliata Ordo : Peritricha Famili : Epistylidae

xxii

(23)

Genus : Epistylis Spesies : Epistylissp.

Gambar 4. Epistylis sp (sumber : Sekhar, 2004)

Morfologi

Epistylis sp hidup dalam bentuk koloni bertangkai yang tidak berkontraktil, mempunyai makro nucleus kecil. Bentuk tubuhnya seperti lonceng namun lebih ramping dan mempunyai cilia pada membrane adoral. Sel mampu berkontraksi.

Capsilia kecil berpasangan mengandung benang melingkar. Epistylis sp. adalah filter feeder dan merupakan ektoparasit pada udang dan predileksinya pada kulit dan insang (Trimariani, 1994).

2) Gejala Klinis

Penampilan udang vannamei menjadi tidak menarik. Tubuh udang kelihatan seperti berlumut dengan warna kecoklatan yang diakibatkan oleh penempelan parasit ini. Parasit ini juga menyerang insang udang vannamei, sehingga insang berwarna kehitaman (Barnes, 1991

xxiii

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia Makassar, Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan pada bulan juli 2024. Pengambilan sampel udang windu dilakukan di Tambak Intensif BPBAP Takalar

3.2 Alat dan Bahan

Dalam kegiatan penelitian, maka diperlukan peralatan dan bahan yang dapat menunjang dalam kegiatan ini. Adapun alat yang digunakan yaitu; cawan petri, dissecting set, cover glass, objek glass, gelasukur, pipet tetes, mikroskop, refrakto, pH meter, DO meter, jala lempar, timbangan digital, timbangan duduk, anco, ember, plastik packing dan alat tulis. Bahan yang digunakan yaitu; Udang windu aquades, tissue, sarung tangan.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan jenis data mix metod karena menggabungkan jenis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kategori atau bukan angka yaitu data tentang kegiatan budidaya, IPAL, asal benur. Data kuantitatif yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk angka atau numerik, dalam penelitian ini berupa data Informasi tentang jumlah benur, parasit, serta kualitas air.

xxiv

(25)

Penelitian ini menggunakan sumber primer dan sekunder. Data Primer adalah data yang bersumber sesuatu yang diperoleh dari hasil pengamatan sendiri dengan langsung kelapangan. Dalam penelitian ini hasil pengamatan sendiri meliputi pengukuran kualitas air dan parasit. Sedangkan data sekunder berupa data-data pendukung lainnya yang diperoleh dari literatur-literatur yang telah dipublikasikan, baik berupa buku, majalah, jurnal maupun data-data internet.

3.4 Metode Penentuan Sampel

Udang windu yang diambil sebanyak 15 ekor dari seluruh populasi udang windu di masing-masing tambak tradisioanal. Pengambilan sampel sebanyak 15 ekor sudah dianggap mewakili dari seluruh populasi udang, (Musyafak, 2010). Kemudian udang yang akan diamati setiap ekornya diukur berat dan panjang nya.

Pengambilan sampel udang dilakukan dalam keadaan hidup karena udang windu yang akan diperiksa secara mikroskopis harus dalam keadaan hidup. Hal ini dikarenakan pada pemeriksaan parasit yang sukar terlihat pada udang yang sudah lama mati atau dibekukan. Selain itu beberapa jenis ekto parasit akan melepaskan diri setelah inangnya mati atau mati bersama dengan inangnya dan akan sulit di identifikasi.

3.5 Metode Pemeriksaan Sampel

Pemeriksaan meliputi bagian insang, periopod (kaki depan), segmen tubuh, dan pleopod (kaki renang). Pemeriksaan organ insang sampel yang akan diamati udang dibuka pada bagian penutup insang dengan menggunakan gunting kemudian di

xxv

(26)

ambi lendirnya menggunakan metode Scrapping. Selanjutnya lendir insang diletakkan keatas kaca objek. Organ kaki renang dan kaki jalan, sampel dipotong sebelah kanan paling ujung dan diletakkan keatas kaca objek. Organ permukaan tubuh dilakukan dengan metode Scrapping menggunakan kaca penutup pada semua bagian tubuh udang yang kemudian ekor di letakkan di atas kaca objek. Organ kaki renang, kaki jalan, dan ekor diberi akuades dan kemudian ditutup oleh kaca penutup. Identifikasi ektoparasit dilakukan dengan bantuan mikroskop pada pembesaran 10x10 dan 10x40.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu menghitung jenis-jenis ektoparasit dan tingkat prevalensi udang yang terserang parasit dan mengukuran kualitas air.

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel. Dari hasil tabulasi diperoleh data berupa informasi tentang pengelolaan udang, hasil pengukuran parameter kualitas air, parasit, performa udang, serta parameter kesehatan udang.

Untuk menentukan tingkat prevalensi digunakan rumus sebagai berikut (Mulyana, 1990 dalam Musyaffak, 2010).

Prevalensi=

udang yang terserang penyakit

∑ sampel yang diamati x100

Dan untuk menentukan intensitas parasit menggunakan rumus Kabata 1985:

Intensitas

(

ekorind

)

=∑ parasit yang ditemukan

∑udang yang terinfeksi

xxvi

(27)

Tingkat intensitas dan prevelensi mengacu kepada William and Bunkley (1996) disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Kriteria prevalensi infeksi parasit menurut William dan Bunkley (1996)

No Tingkat Serangan Keterangan Prevalensi

1 Selalu Infeksi sangat parah 100-99 %

2 Hampi selalu Infeksi parah 98-90 %

3 Biasanya Infeksi sedang 89-70 %

4 Sangat sering Infeksi sangat sering 69-50 %

5 Umumnya Infeksi biasa 49-30 %

6 Sering Infeksi sering 29-10 %

7 Kadang Infeksi kadang 9-1 %

8 Jarang Infeksi jarang >1-0,1 %

9 Sangat jarang Infeksi sangat jarang >0,1-0,01 % 10 Hampir tidak pernah Infeksi tidak pernah >P0, 01 %

Tabel 2. Kriteria intensitas menurut Williams dan Bunkley (1996)

No Tingkat Infeksi Intensitas (ind/ekor)

1 Sangat rendah <1

2 Rendah 1-5

3 Sedang 6-55

4 Parah 51-100

5 Sangat parah >100

6 Super infeksi >1000

Data dianalisis secara deskriptif dengan cara menghubungkan data dengan penelitian terdahulu yang terkait dan kemudian disimpulkan.

xxvii

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan E. Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama PenyakitIkan. Kanisius.Yogya karta.

Ayu, D. 2013. Identifikasi Penyakit Pada Ikan Atau Udang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Fakultas Perikanan dan Kelautan.

Universitas Airlangga, Surabaya.

Barnes, RB dan EE Ruppert. 1991. Inverteberata Zoology. Six edition. Sounders College Publishing. New York: hal 124-146.

Dana, D. dan Y. Hadiroseyani. 1989. Pengendalian Hama dan Penyakit: Penyakit Udang dan Pengendaliannya. Institut Pertanian Bogor.

Handajani, H. dan Samsundari, S. 2005. Parasit dan PenyakitIkan. UMM Press:

Malang.

Handayani, R. 1999. Dinamika Pertumbuhan Parasit. Balai Besar PengembanganBudi daya Air Payau. Jepara.

Heryanto, H. 2006. Produksi Tokolan Udang Windu (Penaeus Monodon Fab.) skripsi Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan.Ipb, Bogor. 18-26 Hal.

Kudo R. 1977. Protozooology,5 th ed. Publisher Illinois USA.

Mahasri, G., Kismiyati. 2008. Parasit dan penyakit ikan I. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya.

Mahmud, U. K., Sumantadinata. dan Pandjaitan, N. H. 2013. Pengkajian Usaha Tambak Udang Windu Tradisional di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Technical Report, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mujiman, A. dan R. Suyanto. 2003. Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya.

Jakarta. 211 Hal.

xxviii

(29)

Murtidjo A. B. 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil.Kansius.Yogyakarta

Musyafak, M., Abida, I.W., dan Muhson, F.F. 2010. Analisa Tingkat Prevalensidan Derajat Infeksi Parasit Pada Ikan Kerapu Macan

(Ephinephilus Fuscoguttatus) di Lokasi Budidaya Berbeda.

JurnalKelautan. Vol. 3, No. 1, April 2010: Hal 82-90.

Noble dan Noble (1989) dalam Yuliartati Eka (2011),

Rukyani. 1993. Penanggulangan Penyakit Udang Windu Di Panti Benih. Prosiding Seminar Hasil Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.

Maros.

Sekhar, C. 2004. Shrimp Disease Diagnostic- Microscopic. Aquatic enterprise.

Malaysia. http://www.shrimpcare.com/Body.shtml. Diakses tanggal 02 Oktober 2019

Setiyo, M. 2020. Klasifikasi Morfologi Udang Windu (Penaeus Monodon) dan UdangvannamaeLitopenaeus Vannamei) Komoditas Udang Unggulan . Diakses PadaTanggal23 Agustus 2021. Https://Www.Dunia- Perairan.Com/2020/02/Klasifikasi-Morfologi-Udang-Windu.Html Soetomo, M.J.A. 2000. Teknik Budidaya Udang Windu (PenaeusMonodon).

Yogyakarta. Kansius.

Syafiuddin.2000. Kinerja Budidaya Udang Windu (Penaues Monodon Fab) Yang Dipelihara Bertingkat Dalam Sistem Reserkulasi. Tesis. Program PascasarjanaI pb. Bogor. 19-35 Hal.

Syahid, M. Subhan, A. dan Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara Poli kultur. Penebar Swadaya: Jakarta

Tricahyo, E, 1995. Biologi Dan Kultur Udang Windu (Pennaeus Monodon).

Akademika Pressindo. Jakarta.

Trimariani, A. 1994. Petunjuk Praktikum Parasitologi Ikan. Universitas Padjajaran.

Semarang. Hal. 48Williams, E.H. and Bunkley-Williams, L. 1996.

xxix

(30)

Parasits of Offshore Big Game Fishes of Puerto Rico and the Western Atlantic. Sportfish Disease Project. University of Puerto Rico.

Patterson, D. 2010. Description of Zoothamnium. Encyclopedia of Life.

Verma, A. 2005. Invertebrates Protozoa to Echinodermata. Alpha Science International Ltd. Harrow.

Williams, E.H. And Bunkley-Williams, L. 1996. Parasites Of Offshore Big Game Fishes of Puerto Rico and The Western Atlantic. Sportfish Disease Project. University of Puerto Rico.

Williamson Di. 1982. Larval Morphology and Diversity. Di Dalam: Abele Lg, Editor.

The Biology of Crustacea. Volume 2, Embryology, Morphology and Genetics. New York: Academic Press.

Yanto, H. 2006. Diagnose and Identification of Shrimp Diseases from Intensive Brackish water Ponds and Hatcheries in West Kalimantan.

Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, Volume.7, No.1, 2006: hal 17- 32.

Zulkarnain, M. N. F. 2011. Identifikasi Parasit Yang Menyerang Udang Vannamei (LitopenaeusVannamei) di Dinas Kelautan Perikanandan Peternakan Laporan Kuliah Kerja Praktik, Surabaya.

xxx

Gambar

Gambar 1. Morfologi Udang Windu (Setiyo, 2020)
Gambar 2. Zoothamnium sp. (sumber : Sekhar, 2004) 2) Morfologi
Gambar 4. Epistylis sp (sumber : Sekhar, 2004)
Tabel 2. Kriteria intensitas menurut Williams dan Bunkley (1996)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Identifikasi Histopatologi Insang Udang Windu ( Penaeus monodon ) Di Tambak Sekitar Semburan Lumpur Lapindo Sidoarjo.. Skripsi ini telah diterima

Kromatogram hasil penyuntikan dari larutan sampel udang windu hasil budidaya tambak Kelurahan Labuhan Deli perlakuan III yang dianalisa secara KCKT pada kolom C18 (250 mm

, '( Hasil percobaan pengaruh suhu pembiusan menunjukkan bahwa pembiusan udang windu tambak pada suhu 19°C dan 17°C selama 10 menit relatif tidak berbed%. dimana

Judul : PENGARUH PENGGUNAAN LAMPU TERHADAP OKSIGEN TERLARUT DI DASAR TAMBAK UDANG WINDU (Perznerls nzonodorz Fab.).. Nama Mahasiswa : Parda

Studi penambahan fosfolipid pakan induk udang windu dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kadar fosfolipid pakan yang optimal dalam pematangan induk udang

Hasil pengamatan terhadap salinitas air tambak berada pada kisaran 19—40 ppt, kisaran ini masih layak untuk budi daya udang windu di mana udang merupakan organisme euryha- line

setelah ablasi mata IGS induk udang windu asal tambak rata-rata berkisar O,93-L,37o/o, eedangkan setelah 20 hari ablasi mata tampak tingkat per- kembangan gonad induk

Hasil pengamatan terhadap salinitas air tambak berada pada kisaran 19—40 ppt, kisaran ini masih layak untuk budi daya udang windu di mana udang merupakan organisme euryha- line