PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN ASUSILA MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK
OLEH KEPOLISIAN DAERAH RIAU
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lancang Kuning
Disusun Oleh
NAMA : YOLA YULISTIA RESI NPM : 1674201517
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU
2020
ii
xii ABSTRAK
Permasalahan yang diteliti adalah mengenai penegakan hukum pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik di wilayah hukum Polda Riau. Rumusan masalah bagaimana Pelaksanaan, hambatan, dan upaya penyelesaian penegakan hukum pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik di wilayah hukum Polda Riau.
Metode penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian hukum sosiologis yang menggunakan data primer, data sekunder, dan data tertier yang mana semua data yang terkumpul diolah dan dianalisis. Lokasi penelitian bertempat di Provinsi Riau yang merupakan wilayah hukum Polda Riau. Adapun metode penelitian yang digunakan yakni jenis penelitian hukum sosiologis dengan menggunakan penarikan kesimpulan Deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal yang umum kepada hal yang bersifat khusus. Hasil Penelitian penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik Oleh Kepolisian Polda Riau cukup baik namun belum sepenuhnya terlaksana dengan efektif karena ada beberapa kendala atau hambatan dalam penyelesaian kasus, adapun hambatan dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni dari segi aspek personil atau penyidik, aspek sarana dan prasarana, aspek anggaran, dan aspek masyarakat. Upaya dalam mengatasinya dengan melakukan penambahan personil, penambahan anggaran dan prasarana, melakukan kerjasama dengan instansi terkait dengan baik dan melakukan koordinasi maupun sosialisasi dengan masyarakat terkait tindak pidana informasi transaksi elektronik yang memuat unsur pelanggaran kesusilaan.
Kesimpulannya yaitu penegakan hukum pelanggaran asusila melalui media elektronik di wilayah hukum Polda Riau dilakukan berdasarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, serta adanya hambatan tentunya sudah dipersiapkan dan dilakukannya upaya penyelesaian hambatan tersebut sehingga kedepannya Polda Riau dapat lebih professional, proporsional, dan berintegritas dalam upaya pemberantasan pelanggaran asusila di wilayah Provinsi Riau.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Penyidikan, Cybercrime
xiii ABSTRACT
The problem studied is the enforcement of immoral violations law through electronic media based on Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Transaction Information in the jurisdiction of the Riau Police. Formulation of the problem of how to implement, obstacles, and efforts to resolve immoral violations law enforcement through electronic media based on Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Transaction Information in the jurisdiction of the Riau Police. The research method used is a type of sociological legal research that uses primary data, secondary data, and tertiary data where all the data collected is processed and analyzed. The research location is located in Riau Province, which is the jurisdiction of the Riau Police. The research method used is the type of sociological legal research by using Dedictive inference, namely drawing conclusions from general things to specific things. The results of law enforcement research on immoral violations through electronic media based on Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Transaction Information by the Riau Regional Police are quite good but have not been fully implemented effectively due to several obstacles or obstacles. In solving cases, the obstacles can be seen from various aspects, namely in terms of personnel or investigators, facilities and infrastructure, budget and community aspects. Efforts to overcome this are by adding personnel, increasing budget and infrastructure, cooperating with related agencies properly and coordinating and socializing with the public regarding criminal acts of electronic transaction information that contain elements of decency violations. The conclusion is that law enforcement of immoral violations through electronic media in the jurisdiction of the Riau Police is carried out based on Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Transaction Information, as well as any obstacles, of course, have been prepared and efforts to resolve obstacles so that in the future the Riau Regional Police can be more professional, proportional, and have integrity in efforts to eradicate immoral violations in the Riau Province.
Keywords: Law Enforcement, Investigation, Cybercrime
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Keberadaannya sangat bermanfaat bagi masyarakat, hingga penggunaannya pun telah menimbulkan efek positif dan negatif bagi masyarakat luas. Efek positif penggunaanya justru sangat banyak bermanfaat dan sangat menunjang pekerjaan serta membantu edukasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan disamping itu juga memiliki efek negatif dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, hal ini dapat berefek seperti terciptanya suatu perbuatan melawan hukum atau tindakan penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh pelaku demi kepentingan pribadi dan atau sekelompok orang tertentu dengan tujuan agar dapat meraup keuntungan finansial di balik penggunaannya.
Salah satu pelanggaran penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang marak terjadi di dunia maya, yakni perbuatan pelanggaran asusila atau pornografi. Kejahatan penyebaran konten atau gambar yang berunsurkan pelanggaran asusila melalui media elektronik, yang merupakan suatu tindakan yang merugikan seserorang atau instansi yang berkaitan dan pengguna fasilitas dengan sistem informasi yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain, hal ini termasuk dalam tindak kejahatan.
1
2 Di Indonesia saat ini masalah pornografi dan pornoaksi sangat memprihatinkan, dan memiliki dampak negatif yang sangat nyata. Orang-orang yang menjadi korban kejahatan kesusilaan ini tidak hanya perempuan dewasa tetapi banyak korban yang masih anak-anak baik perempuan maupun laki-laki.
Para pelakunya pun bukan hanya orang yang tidak dikenal, atau orang yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan korban, diantaranya pelaku masih memiliki hubungan darah, atau hubungan semenda, hubungan profesi, hubungan kerja, hubungan tetangga, bahkan sampai hubungan pendidikan dengan korban.1 Masalah pornoaksi dan pornografi diIndonesia telah melampaui ambang toleransi dan merusak akhlak bangsa. Namun sangat disayangkan penyelesaian terhadap masalah pornografi yang menyangkut kesusilaan ini belum sesuai yang diharapkan. Kenyataan ini dapat dilihat berdasarkan jumlah kasus pornografi dan/atau pelanggaran kesusilaan melalui media elektronik yang ditangani oleh Kepolisian.2
Maraknya permasalahan-permasalahan terkait dengan tindak pelanggaran asusila membuat peneliti tertarik melakukan penelitian khususnya di Kepolisian Daerah Riau terkait penyelesaian kasus pelanggaran kesusilaan, dengan berbagai motif kejahatan yang terjadi, seperti motif balas dendam, sakit hati dan keuntungan finansial sehingga gambar atau kontan korban yang ada disebarluaskan pelaku melalui media sosial, dengan tujuan korban merasa malu dan sakit hati pelaku pun terbalaskan.
1Aswan, Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik, (Makasar: Guepedia, 2019), hlm. 185.
2Ibid, hlm. 185.
3 Kejahatan pelanggaran kesusilaan melalui media elektronik sendiri acapkali terjadi di wilayah hukum Kepolisian Daerah Riau, hal ini dibuktikan dengan pengaduan masyarakat dan bentuk dalam Laporan Polisi (LP). Dalam hal pengaduan masyarakat terkait adanya tindak pidana ITE yang memuat unsur Pelanggaran Kesusilaan di Tahun 2020 berjumlah 22 (dua puluh dua) kasus ditambah dengan penyelesaian kasus yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Riau di bidang Direktorat Reserse Kriminal Khusus Subdit 5 (Cybercrime) rentang waktu 2019 sampai dengan Tahun 2020 berjumlah 10 (sepuluh) kasus dengan peningkatan kasus pelanggaran asusila di Tahun 2020. Jumlah laporan dan pengaduan tersebut dilihat sangatlah minim jika dilihat dari pelanggaran- pelanggaran asusila melalui media sosial di wilayah hukum Polda Riau, dan dari tahun 2017 sampai dengan 2020 jumlah 10 (sepuluh) laporan tersebut masih ada 4 (empat) laporan yang belum terselesaikan sampai sekarang oleh Kepolisian Polda Riau khususnya Penyidik Unit Cyber Ditreskrimsus Polda Riau.3 Berdasarkan hal di atas terlihat penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik belum sepenuhnya efektif dan maksimal oleh Kepolisian Daerah riau dalam hal penyelesaian kasus-kasus pelanggaran asusila melalui media elektronik.
Sebagaimana diketahui Peran penindakan yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian Polda Riau, khususnya pada bagian Subdit 5 (cybercrime) yang membidangi penanganan perkara tindak pidana ekonomi khusus dan kejahatana dunia maya (Cybercrime) Ditreskrimsus Polda Riau, perlu melakukan langkah- langkah lebih lanjut dalam proses penanganan kasus terhadap kejahatan setiap
3 Hasil Wawancara dengan Kasubdit 5 Ditreskrimsus Polda Riau, AKBP Darul Qotni, di kantor Ditreskrimsus Polda Riau, pada tanggal 5 Agustus 2020.
4 orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar, agar tercipta keamanan yang kondusif dalam berenteraksi pada media sosial dan menekan angka pelanggaran kejahatan asusila di media elektronik.4
Adapun sanksi terhadap perbuatan melawan hukum tersebut, berupa penyebaran informasi transaksi elektronik melalui media elektronik yang mengandung unsur pelanggaran asusila, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar”
Dengan ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah:
“Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Salah satu dari empat kasus yang hingga pada saat ini tidak tercapai penyelesaian yaitu dengan nama tersangka Sdr. Sudiono yang melakukan pelanggaran tindakan asusila melalui media sosial yaitu Twetter, atas perbuatannya ini Ditreskrimsus Polda Riau menetapkan beliau sebagai tersangka dengan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Namun dikarenakan adanya
4 Ibid.
5 hambatan-hambatan tertentu kasusnya tidak kunjung selesai untuk dinaikkan statusnya ke tahap II (dua).5
Sebagaimana diketahui penegakan hukum merupakan suatu tindakan para penegak hukum dalam hal ini khususnya Kepolisian memberikan kepastian hukum dalam dalam penyelesaian kasus dan pencegahan peningkatan pelanggaran asusila agar tercipta keadaan yang aman dan kondusif dalam penggunaan teknologi, sehingga berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka penulis bermaksud mengangkat dan menulis penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Asusila Melalui Media Elektronik Berdasarkan Undang- Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik Oleh Kepolisian Daerah Riau”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang terhadap hasil observasi penelitian tersebut, maka dirumuskanlah suatu permasalahan agar pembahasan tidak jauh dari persoalan dan untuk memudahkan mencapai sasaran penulisan, maka diperlukan perumusan masalahpenelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh Kepolisian Daerah Riau?
5 Ibid.
6 2. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang ada dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang- Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh Kepolisian Daerah Riau?
3. Bagaimanakah upaya penyelesaian hambatan penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh Kepolisian Daerah Riau?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul dari perumusan masalah sebelumnya, yaitu:
a. Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh Kepolisian Daerah Riau.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ada dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh
7 Kepolisian Daerah Riau.
c. Untuk mengetahui upaya penyelesaian hambatan penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh Kepolisian Daerah Riau.
2. Kegunaan Penelitian.
Adapun yang menjadi manfaat atau kegunaan dari pembuatan penelitian dalam penulisan skripsi adalah:
a. Untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana hukum pada fakultas hukum jurusan Ilmu Hukum di Universitas Lancang Kuning.
b. Penelitian diharapkan berguna bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning khususnya.
c. Secara teoritis, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum terkait penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh Kepolisian Daerah Riau.
D. Kerangka Teori
Kerangka Teori berisikan teori-teori dan pendapat Ahli yang digunakan oleh peneliti sebagai dasar penelitian, Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan dan kesatuan yang logis yang
8 menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian.
Dapat pula dikatakan sebagai konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relefan untuk penelitian. Oleh karena itu teori-teori yang digunakan harus terkait penegakan hukum terhadap pelanggaran asusila melalui media elektronik berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik oleh Kepolisian Daerah Riau.
1. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah suatu kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Dan kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas dibidang Kejaksaan, Kepolisian, Kepengacaraan, dan Pemasyarakatan, yang secara sosiologis mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).6
Menurut Jimmly Assidiqie mengenai penegakan hukum adalah proses di lakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang
6 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hlm. 17.
9 terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.7
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula di tinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai- nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai- nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja8.
Menurut Laurensius penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-
7Ibid.
8Ibid
10 undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.9
Secara konsepsional, maka inti dari arti penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaedah-kaedah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filososi tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret.10
Soejano Soekanto menjelaskan bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah-kaedah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas dapatlah ditarik kesimpulan sementara. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada faktor- faktor tersebut. Menurut Soejano Soekanto bahwa faktor-faktor tersebut ada lima, yaitu: 11
1. Hukumnya sendiri, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
2. Penegak Hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
9Laurensius Arliman, Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat, (Yogyakarta:
Yogyakarta, 2015), hlm. 14.
10Ibid, hlm. 15.
11 Ibid, hlm. 44.
11 3. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
5. Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
2. Teori Penyidikan
Penyidikan dalam Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.12 Tindakan penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-bukti awal untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi-saksi yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut. Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begrips bepaling) sesuai tersebut dengan konteks Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dengan kongkret dan faktual dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut:13
a. Tindak pidana yang telah dilakukan;
b. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti);
c. Cara tindak pidana dilakukan;
d. Alat apa tindak pidana dilakukan;
12Mukhlis, Pergeseran Kedudukan Dan Tugas Penyidik POLRI Dengan Perkembangan Delik-Delik Di Luar KUHP, Artikel pada Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Vol. 3. No 1 Agustus 2012, hlm. 57.
13 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya, (Bandung: Alumni ,2007), hlm. 55.
12 e. Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan; dan
f. Siapa pelakunya.
Pelaksanaan penyidikan tindak pidana dilaksanakan setelah diketahui bahwa suatu peristiwa yang terjadi adalah tindak pidana.Setelah diketahui bahwaperistiwa yang terjadi diduga merupakan tindak pidana, segera dilakukan penyidikan melalui kegiatan penyelidikan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. 14 Penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil diberi petunjuk oleh penyidik Polri.Untuk kepentingan penyidikan. Penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, sedang dalam penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu tersebut melaporkan hal itu kepada penyidik.
Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu tersebut segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik (Pasal 107 butir 1 sampai dengan butir 3 Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana).15 Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
14Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Himpunan Juklak Dan Juknis Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, (Jakarta:
Kepolisian RI, 1987), hlm 5-6.
15 Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 24.
13 Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau kelurganya. Dalam hal penghentian tersebut dilakukan oleh penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu tersebut segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik.
Dalam melaksanakan penyidikan perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat didalam hukum acara pidana yang menyangkut hak- hak warga negara antara lain:16
a. Praduga Tak Bersalah (Persumption of Innocence)
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka persidangan, wajib tidak dianggap bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Persamaan di Muka Hukum (Equality Before The Law)
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan.
c. Hak Pemberian Bantuan atau Penasehat Hukum (Legal Aid atau Asistance) Setiap orang tersangkut perkara pidana wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan;
16Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm 118.
14 d. Peradilan harus dilakukan cepat sederhana biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan;
e. Penangkapan, penahanan,penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan surat perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang dan hanya dalam hal dengan cara yang diatur dengan Undang-undang;
f. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan azas hukum dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi; dan g. Penyelidik dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas -tugas
masing-masing pada umumnya di seluruh Indonesia, khusus didaerah hukum masing-masing dimana ia diangkat sesuai dengan ketentuan Undang- undang.
3. Teori Cybercrime
Sebagaimana disebutkan Muhammad Danuri dkk, Cybercrime merupakan istilah kejahatan dunia maya atau internet, cybercrime terjadi seiring dengan kemajuan teknologi dan muncul bersamaan lahirnya revolusi teknologi informasi.17 Pada masa awalnya cybercrime didefinisikan oleh Ahli dan pakar
17Muhammad Danuri & Suharnawi, Trend Cyber crime dan Teknologi Informasi di
15 hukum sebagai kejahatan komputer, menurut Budi Suhariyanto ada beberapa sarjana menggunakan istilah computer misuse, computer abuse, computer fraud, computer-related crime, computer-assisted crime, atau computer crime, namun para sarjana pada waktu itu pada umumnya lebih menerima pemakaian istilah computer crime karena dianggap lebih luas dan biasa dipergunakan dalam hubungan internasional18. Barda Nawawi Arief menggunakan istilah tindak pidana mayantara untuk menunjukan jenis kejahatan ini. Dengan kata lain cybercrime merupakan tindak pidana dengan menggunakan teknologi informasi sebagai wahana sasaran.Teknologi informasi yang dimaksud di sini adalah media komputer yang terkoneksi dengan jaringan internet:19
"Secara sederhana, yang dimaksud dengan cybercrime adalah setiap tindakan atau perilaku yang melanggar atau melawan hukum, etika atau tanpa kewenangan yang menyangkut pemerosesan data dan atau pengiriman data. Umumnya perbuatan tersebut dilakukan dengan melalui perangkat digital dalam suatu dunia maya (cyber)”
Definisi cybercrime diatas dapat diartikan sebagai berikut: "cybercrime"
adalah kejahatan di dunia cyber atau dunia virtual dengan menggunakan teknologi tinggi. Kejahatan ini juga dapat didefinisikan sebagai kejahatan di mana teknologi informasi merupakan target dari kejahatan atau dimana teknologi informasi dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk melakukan kejahatan. Dengan kata lain kejahatan menggunakan teknologi informasi, teknologi informasi sebagai
Indonesia”, Jurnal, Infokom Nomor 2 Th. XIII/SEPTEMBER 2017, hlm 58.
18Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (cyber crime)”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 9.
19Aroma Elmina Martha, Diktat Hukum Pidana dan PerkembanganTeknologi Informasi, (Yogyakarta:Pasca Sarjana Ilmu Hukum UII, 2006), hlm. 10.
16 alat, teknologi informasi sebagai tempat penyimpanan dan teknologi informasi sebagai target.20
Ari Juliano Gemma menyebutkan cybercrime adalah Kejahatan yang lahir sebagai dampak negatif dari perkembangan aplikasi internet, pengertian ini tampak bahwa cybercrime mencakup semua jenis kejahatan beserta modus operandinya yang dilakukan sebagai dampak negatif aplikasi internet. Dalam definisi ini tidak menyebutkan secara spesifik dari karakteristik cybercrime.
Definisi ini mencakup segala kejahatan yang dalam modus operandinya menggunakan fasilitas internet.21
Menurut Widodo dalam buku Rulli Nasrullah, kejahatan di dunia siber atau cybercrime merupakan bentuk kejahatan baru berbasis teknologi informasi dengan memanfaatkan perangkat keras maupun perangkat lunak komputer. Adapun menurut Maskun cybercrime merupakan perbuatan melawan yang dilakukan dengan komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan maupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Adapun menurut Chin kejahatan siber merupakan tindakan criminal atau melawan hukum yang menggunakan computer dan jaringan internet. 22
Menurut Kepolisian Inggris, cybercrime adalah segala macam penggunaan jaringan komputer untuk tujuan kriminal dan/atau kriminal berteknologi tinggi dengan menyalahgunakan kemudahan teknologi digital. Sedangkan dalam laporan Kongres PBB X/2000 dinyatakan cybercrime atau computer-related crime,
20Ibid, hlm. 26.
21Abdul Wahid dan M. Labib, Kejahatan Mayantara (cybercrime), (Bandung: Refika aditama, 2005), hlm. 39-40.
22Rulli Nasrullah, Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia), Edisi Pertama, (Jakarta:
Kencana, 2014), hlm. 128.
17 mencakup keseluruhan bentuk-bentuk baru dari kejahatan yang ditujukan pada komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang sekarang dilakukan dengan menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.23 Sedangkan Pengertian cybercrime menurut Widodo adalah:24
“Setiap aktivitas seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang menggunakan komputer sebagai sarana melakukan kejahatan, atau menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan. Semua kejahatan tersebut adalah bentuk-bentuk perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan baik dalam arti melawan hukum secara material maupun melawan hukum secara formal”.
Meskipun belum ada kesepahaman mengenai definisi kejahatan teknologi informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejahatan komputer. Hal ini dapat dimengerti karena kehadiran komputer yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalisasi aksi dan akibat yang dirasakan dari kejahatan komputer tersebut.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sudut metode yang dipakai maka penelitian ini dapat digolongkan dalam Jenis penelitian yaitu Hukum Sosiologis, dimana peneliti mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat. Menjelaskan terhadap objek yang di pelajari dan yang akan diteliti, karena dalam penelitian ini penulis langsung
23 Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Op. Cit, hlm. 41.
24 Widodo, Aspek Hukum Kejahatan Mayantara, (Yogyakarta: Aswindo, 2011), hlm. 7.
18 kepada lokasi penelitian guna memberikan gambaran secara lengkap dan jelas tentang permasalahan dari hasil observasi.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang menjadi tujuan dalam penelitian adalah di wilyah Hukum Polda Riau Ditreskrimsus sebagai pihak instansi yang memiliki kewenangan terhadap penanganan suatu kasus hukum yang menjadi pelengkap objek penelitian yang ditinjau dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
3. Populasi Dan Sampel a. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah merupakan pihak yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini, adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Kasubdit 5 Ditreskrimsus Polda Riau sebanyak 1 (satu) orang.
2. Panit Subdit 5 Ditreskrimsus Polda Riau sebanyak 2 (dua) orang.
3. Penyidik Pembantu Subdit 5 Ditreskrimsus Polda Riau sebanyak 7 (tujuh) orang.
4. Pelaku Tindak Pidana sebanyak 4 (empat) orang.
5. Korban sebanyak 4 (empat) orang b. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dapat mewakili keseluruhan objek penelitian untuk mempermudah peneliti dalam menjawab permasalahan. Dalam
19 pengambilan sampel pada penelitian ini penulis memakai metode sampling yakni
“Purposive Sampling”, yaitu menetapkan jumlah populasi yang ada, yang kategori sampelnya ditetapkan secara acak oleh peneliti.
Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
Kasubdit 5 Ditreskrimsus Polda Riau sebanyak 1 (satu) orang, Panit Subdit 5 Ditreskrimsus Polda Riau sebanyak 1 (satu) orang, Penyidik Pembantu Subdit 5 Ditreskrimsus Polda Riau sebanyak 2 (dua) orang, Pelaku Tindak Pidana sebanyak 2 (dua) orang, Korban sebanyak 2 (dua) orang. Dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel I. 1
Jumlah Populasi dan Sampel
No Keterangan Populasi Sampel (%)
1. Kasubdit 5 Ditreskrimsus 1 1 100%
2. Panit Subdit 5 Ditreskrimsus 2 1 50%
3. Penyidik Pembantu Subdit 5 Ditreskrimsus
7 2 35%
4. Pelaku 4 2 50%
5. Korban 4 2 50%
Jumlah 18 8 -
Sumber Data: Olahan Peneliti, Tahun 2020.
4. Sumber Data
Data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder, dan data tertier. Adapun uraian sumber data tersebut sebagai berikut :
20 a. Data Primer, yaitu data yang penulis peroleh secara langsung di lapangan dengan menggunakan alat pengumpulan data, yaitu wawancara dan kuisioner yang didapat dari responden penelitian ini.
b. Data Sekunder, yaitu dana yang diperoleh melalui buku-buku kepustakaan, peraturan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan yang relevan dengan penelitian ini, media cetak dan elektronik serta data yang diperoleh dari lingkungan tempat penelitian.
c. Data Tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun menjelaskan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus-kamus hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai kelengkapan data primer maka alat pengumpulan datanya dengan cara :
a. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan penelitian langsung di tempat penelitian, dalam hal ini dilakukan di wilayah hukum Kepolisian Daerah Riau.
b. Wawancara yaitu metode pengumpulan data dengan cara wawancara langsung melalui tanya jawab dengan responden yang bersangkutan.
c. Kajian Kepustakaan yaitu metode pengumpulan data melalui literatur yang ada pada kajian kepustakaan yang ada korelasinya dengan permasalahan yang diteliti.
21 6. Analisa Data
Dalam penelitian hukum sosiologis ini data dianalisis secara deskriptif kualitatif, sedangkan dalam menarik kesimpulan, penulis menerapkan metode berfikir induktif yaitu suatu pernyataan atau dalil yang bersifat khusus menjadi suatu pernyataan atau perkara yang bersifat umum (deduktif) dengan tujuan agar seorang peneliti dapat mengerti atau memahami gejala yang diteliti.25
25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2007), hlm. 32.
76
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Aswan. 2019. Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik, Makasar:
Guepedia.
Andi Hamzah. 1990. Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer. Jakarta: Sinar Grafika.
---. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Andi Sofyan & Nur Azisa. 2016. Hukum Pidana. Makasar: Pustaka Pena.
Aroma Elmina Martha. 2006. Diktat Hukum Pidana dan PerkembanganTeknologi Informasi. Yogyakarta: Pasca Sarjana Ilmu Hukum UII.
Abdul Wahid dan M. Labib. 2005. Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Bandung:
Refika Aditama.
Barda Nawawi Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cetakan Pertarna.
Bandung: Citra Aditiya Bakti.
Budi Suhariyanto. 2013. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime).
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Rafika Aditama.
Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya. Bandung: Alumni.
Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
77 Laurensius Arliman. 2015. Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat.
Yogyakarta: Deepublish.
Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya. Bandung: Alumni.
Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bogor: Ghalia Indonesia.
Milda Marlia. 2007. Marital Rape : Kekerasan seksual terhadap Isteri.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Mudzakkir. 2016. Laporan Akhir Penulisan Karya Ilmiah tentang :Analisis Atas Mekanisme Penanganan Hukum Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan.
Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM Badan Pembinaan Hukum Nasional .
Roni Wiyanto. 2012. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju.
Rulli Nasrullah. 2014. Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Edisi Pertama.
Jakarta: Kencana.
Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing.
Sofjan Sastrawidjaja. 1990. Hukum Pidana. Cimahi: Amrico.
Soerjono Soekanto. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
78 ---. 1989. Seri Pengenalan Sosiologi 10 K Merton, Analisa
Fungsional. Jakarta: Rajawali Press.
Sunarji. 1982. Hukum dan Pembangunan. Jakarta: Balai Pustaka.
Sulityowati Irianto. 2006. Perempuan dan Hukum : Menuju hukum yang perspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soejono Soekanto. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: Rajawali.
Widodo. 2011. Aspek Hukum Kejahatan Mayantara. Yogyakarta: Aswindo.
JURNAL/ARTIKEL
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Himpunan Juklak Dan Juknis Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana”. Jakarta. 1987.
Muhammad Danuri & Suharnawi. “Trend Cyber crime dan Teknologi Informasi di Indonesia”. Jurnal Infokom Nomor 2 Th. XIII/SEPTEMBER 2017.
M. Zaenal Arifin. "Modus Operandi Cyber Crime di Indonesia Makin Canggih".
Artikel Dalam Analisis Hukum. 2002. Jakarta, hukurnonline.corn.
Mukhlis. "Pergeseran Kedudukan Dan Tugas Penyidik POLRI Dengan Perkembangan Delik-Delik Di Luar KUHP". Artikel pada Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Riau. Vol. 3. No 1 Agustus 2012.