• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kecerdasan Emosi, Kelekatan Teman Sebaya dan Harga Diri terhadap Self-Injury

N/A
N/A
Radien Alya Ammara

Academic year: 2025

Membagikan "Pengaruh Kecerdasan Emosi, Kelekatan Teman Sebaya dan Harga Diri terhadap Self-Injury"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

HALAMAN JUDUL Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :

Annisaa Dyah Muchdiarni NIM : 11150700000079

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2022 M

(2)

ii

PENGARUH KECERDASAN EMOSI, KELEKATAN TEMAN SEBAYA DAN SELF-ESTEEM TERHADAP

SELF-INJURY

HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Oleh :

Annisaa Dyah Muchdiarni NIM : 11150700000079

Pembimbing

Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 19561223 198303 2 001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2022 M

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

Keep smiling even though many trials. Don’t worry, because everything’s gonna be alright.

Don’t expect anything from anyone. Expectations always hurt. Life is short. So love your life. Be happy and

keep smiling. Just live for yourself and always remember; before you speak, listen. Before you write,

think. Before you spend, earn. Before you pray, forgive. Before you hurt, feel. Before you hate, love.

Before you quit, try. Before you die, live.

-William Shakespeare-

Kupersembahkan karya ini kepada : Kedua orang tuaku Bapak & Ibu

Mas Ardan, Mas Sena, Almh. Alifya, Attiina dan Siddiq tersayang.

(6)

vi

D) Pengaruh Kecerdasan Emosi, Kelekatan Teman Sebaya dan Self-Esteem terhadap Self-Injury

E) xvi + 107 halaman

F) Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membuktikan pengaruh dari kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya (trust, communication, alienation), self-esteem, dan faktor demografi (usia, jenis kelamin) terhadap self-injury.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel yang digunakan berjumlah 180 orang yang pernah melakukan self-injury, berusia 13-25 tahun serta berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Teknik pengambilan data menggunakan non- probability sampling, yakni purposive sampling. Dalam penelitian ini, penulis memodifikasi instrumen pengumpulan data, yaitu Inventory of Statements About Self-injury (ISAS) dan Inventory Parents and Peer Attachment (IPPA) serta mengadaptasi instrumen pengumpulan data, yaitu Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT) dan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self-esteem, usia dan jenis kelamin terhadap self- injury. Hasil uji hipotesis minor yang menguji pengaruh dari independen variabel menunjukkan bahwa hanya satu variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap self-injury, yaitu self-esteem sedangkan kecerdasan emosi, trust, communication, alienation, usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap self-injury.

Ada beberapa implikasi yang dapat dikaji kembali dan dikembangkan pada penelitian selanjutnya. Misalnya, menambah variabel-variabel lain yang terkait dengan self-injury yang dapat dianalisis sebagai variabel independen yang mungkin mempunyai pengaruh besar terhadap self-injury. Pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode kombinasi yaitu kualitatif dan kuantitatif serta memfokuskan pada kriteria responden yang lebih spesifik seperti melakukan self-injury dalam beberapa waktu terakhir dan intensitas melakukan self-injury dalam kurun waktu tertentu.

G) Kata kunci: self-injury, kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self-esteem H) Bahan bacaan : 64 (buku + jurnal + artikel + website)

(7)

vii C) Annisaa Dyah Muchdiarni

D) The Effect of Emotional Inteligence, Peer Attachment and Self-Esteem on Self- Injury

E) xvi + 107 pages

F) This study aims to examine and prove the effect of emotional intelligence, peer attachment (trust, communication, alienation), self-esteem, and demographic factor (age, gender) on self-injury. This study used a quantitative approach with multiple regression analysis. The sample used is 180 people who have done self- injury, aged 13-25 years and domiciled in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). The data collection technique used a non-probability sampling, namely purposive sampling. In this study, the authors modified the data collection instruments, namely the Inventory of Statements About Self-injury (ISAS) and the Inventory Parents and Peer Attachment (IPPA) and adapted the data collection instruments, namely the Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT) and Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES).

The results showed that there was a significant effect of emotional intelligence, peer attachment, self-esteem, and demographic factor on self-injury. The results of the minor hypothesis test that tested the effect of the independent variable,- showed that only one variable had a significant effect on self-injury, namely self- esteem, while emotional intelligence, trust, communication, alienation, age and gender had no significant effect on self-injury.

There are some implications that can be reviewed and developed in further research. For example, adding another variables related to self-injury that can be analyzed as independent variable which may have a major influence on self- injury. For the future research, a combination of qualitative and quantitative methods can be used and focusing on more specific respondent criteria such as self-injury in recent times and the intensity of self-injury within a certain period of time.

G) Keywords: self-injury, emotional intelligence, peer attachment, self-esteem G) Reading Material : 64 (books + journals + articles + website)

(8)

viii

Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kecerdasan Emosi, Kelekatan Teman Sebaya dan Self-Esteem terhadap Self-Injury” dengan baik.

Shalawat serta salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. serta sahabat, keluarga dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Zahrotun Nihayah M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2019-2024 sekaligus dosen pembimbing akademik yang tidak lelah membantu, memberi nasihat serta mendukung penulis dari awal hingga akhir perkuliahan ini.

2. Yufi Adriani, M.Psi., Ph.D., Wakil Dekan I bidang akademik, Dr. Gazi, M.Si., Wakil Dekan II bidang administrasi umum, Dr. Yunita Faela Nisa, Psi., Wakil Dekan III bidang kemahasiswaan, alumni dan kerjasama, serta jajaran yang telah memfasilitasi mahasiswa dalam rangka menciptakan sarjana yang berkualitas.

3. Dr. Fadhilah Suralaga, M.Si., dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran serta dukungan dengan

(9)

ix

telah banyak memberikan ilmu, wawasan, serta cerita pengalaman hidupnya kepada penulis selama perkuliahan.

5. Para staf Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan serta bantuan kepada penulis selama perkuliahan.

6. Seluruh pihak di media sosial penulis yang telah membantu dalam menyebarkan kuesioner dan bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

7. Keluarga yang penulis cintai dan sayangi, bapak, ibu, mas Ardan, mas Sena, almh. Alifya, Attiina, Siddiq, serta Shally, yang telah banyak memberikan cinta dan dukungan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi.

8. Teman-teman penulis yaitu, Anisa, Choi, Hana, Ica, Sharah, Suhfi, Vini, Yosi, khususnya Fahira yang telah banyak memberikan dukungan, bantuan, saran serta meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi. Terima kasih telah menemani hari perkuliahan penulis dengan penuh perhatian dan kasih sayang di dalam keadaan senang maupun susah. Semoga Allah SWT. selalu memberkahi dan melindungi kita semua.

9. Seluruh keluarga besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2015, khususnya kelas B, Forkat Az-Zukhruf LDK Syahid, grup

(10)

x

hingga penyusunan skripsi. Semoga Allah SWT. memudahkan segala urusan hidup kita baik di dunia maupun di akhirat.

10. Seluruh pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan, bantuan, doa, dan semangat yang telah diberikan untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangannya dalam penulisan maupun penyusunan karena adanya keterbatasan pengalaman, pengetahuan, serta analisis. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan berikutnya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, pihak yang berkepentingan dan pembaca.

Jakarta, 24 Juni 2022 Penulis

Annisaa Dyah Muchdiarni

(11)

xi

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian... 1

1.2. Pembatasan Masalah Penelitian ... 9

1.3. Rumusan Masalah Penelitian ... 10

1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 12

2.1. Self-Injury ... 12

2.1.1. Definisi self-injury ... 12

2.2.2. Tipe – tipe self-injury ... 15

2.1.3. Pengukuran self-injury ... 16

2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhi self-injury ... 19

2.2. Kecerdasan Emosi ... 22

2.2.1. Definisi kecerdasan emosi ... 22

2.2.2. Dimensi kecerdasan emosi ... 23

2.2.3. Pengukuran kecerdasan emosi ... 24

2.3. Kelekatan Teman Sebaya ... 26

2.3.1. Definisi kelekatan teman sebaya ... 26

(12)

xii

2.4.2. Dimensi self-esteem ... 31

2.4.3. Pengukuran self-esteem ... 32

2.5. Kerangka Pemikiran ... 34

2.6. Hipotesis ... 39

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 40

3.1. Populasi dan Sampel ... 40

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 40

3.3. Instrumen Pengumpulan Data ... 43

3.3.1. Skala self-injury ... 43

3.3.2. Skala kecerdasan emosi ... 44

3.3.3. Skala kelekatan teman sebaya ... 45

3.3.4. Skala self-esteem ... 46

3.4. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 47

3.4.1. Uji validitas konstruk self-injury ... 50

3.4.2. Uji validitas konstruk kecerdasan emosi ... 51

3.4.3. Uji validitas konstruk kelekatan teman sebaya... 54

3.4.4. Uji validitas konstruk self-esteem ... 58

3.5. Teknik Analisis Data ... 59

3.6. Prosedur Penelitian ... 61

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 63

4.1. Gambaran Subjek Penelitian... 63

4.2. Hasil Analisis Deskriptif ... 65

4.3 Kategori Skor Variabel Penelitian ... 66

4.4. Hasil Uji Hipotesis ... 68

4.4.1. Analisis regresi variabel penelitian ... 68

(13)

xiii

5.2. Diskusi ... 75

5.3. Saran ... 80

5.3.1. Saran teoritis ... 80

5.3.2. Saran praktis ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN ... 89

(14)

xiv

Tabel 3.2 Blue Print Skala Kecerdasan Emosi Tabel 3.3 Blue Print Skala Kelekatan Teman Sebaya Tabel 3.4 Blue Print Skala Self-Esteem

Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Self-Injury

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Kecerdasan Emosi Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Trust

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Communication Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Alienation Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Self-Esteem

Tabel 4.1 Gambaran Demografi Subjek Penelitian Tabel 4.2 Gambaran Self-Injury Subjek Penelitian Tabel 4.3 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian Tabel 4.4 Pedoman Interprestasi

Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Variabel Tabel 4.6 R Square

Tabel 4.7 Hasil Uji F Tabel 4.8 Koefisien Regresi Tabel 4.9 Proporsi Varian

(15)

xv

(16)

xvi

Lampiran 2. Syntax Lisrel dan Path Diagram Output CFA Lampiran 3. Output SPSS 17.0 Analisis Regresi Berganda

(17)

1 BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Dalam kehidupan sehari-hari seseorang bisa saja memiliki masa-masa di mana ia merasa terkekan, sedih, takut, marah, cemas dan lainnya. Seringkali perasaan itu hilang sejalan dengan selesainya permasalahan yang dihadapi. Namun, terkadang perasaan itu berkembang menjadi masalah yang lebih serius pada beberapa orang.

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Ada yang bisa bangkit kembali setelah beberapa kali terjatuh, namun ada orang yang mungkin merasa terbebani oleh masalah tertentu untuk waktu yang lama.

Permasalahan seperti kekerasan, kemiskinan, penghinaan dan perasaan direndahkan dapat meningkatkan risiko timbulnya masalah kesehatan mental.

Separuh dari semua gangguan kesehatan mental di masa dewasa dimulai pada usia 14 tahun, tetapi kebanyakan kasus tidak terdeteksi dan tidak diobati (World Health Organization, 2021). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas 2013 didapatkan hasil prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional adalah 6,0% dengan subyek yang dianalisis adalah 37.728 orang berusia 15 tahun ke atas (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2013).

Salah satu permasalahan mental yang bisa dialami oleh seseorang adalah self-injury. Self-injury merupakan pengrusakan pada jaringan tubuh secara

(18)

langsung dan sengaja tanpa adanya niat bunuh diri (Nock, 2010, p. 340). Survei yang dilakukan YouGov menemukan bahwa lebih dari sepertiga (36%) dari 1.108 orang Indonesia pernah melakukan self-injury dan hal ini banyak ditemukan di rentang usia 18 sampai 24 tahun (Ho, 2019).

Dalam penelitian Cutler et al. (2015) ditemukan bahwa dari 286.678 pasien trauma remaja, terdapat 3.664 (1,3%) di antaranya mengalami self-injury.

Penelitian ini menganalisis data pasien berusia 10 sampai 18 tahun dari National Trauma Data Bank (NTDB), yang mewakili pusat kumpulan pasien trauma terbesar di Amerika Serikat. Kunjungan UGD pasien yang melakukan self-injury tahun 2009 hingga 2012 meningkat dari 1,1% menjadi 1,6%. Mengiris atau menusuk adalah mekanisme yang paling umum dilakukan di semua tahun.

Pada penelitian Klonsky (2011) ditemukan bahwa 5,9% dari 439 orang dewasa pernah melakukan tindakan self-injury di beberapa titik dalam hidup mereka. Penelitian dari Hasking et al. (2010) dengan data 393 remaja (berusia 13- 18 tahun) didapatkan bahwa 33,3% atau 131 orang melaporkan terlibat dalam perilaku self-injury setidaknya sekali dalam 12 bulan terakhir.

Dalam BBC News (2010) terdapat 2.727 orang yang berusia di bawah 25 tahun yang dibawa ke rumah sakit di Inggris karena melakukan self-injury dengan benda-benda tajam. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan pada tahun 2004- 2005 dengan jumlah 1.758 orang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh De Leo dan Heller (2004) dengan partisipan yang terdiri dari 3.757 siswa (berusia 14-18 tahun), terdapat 233 siswa

(19)

(6,2%) memenuhi kriteria perilaku self-injury dalam 12 bulan terakhir. Cara utama yang digunakan siswa adalah self-cutting atau mengiris (138 responden;

59,2%) dan overdosis dengan obat-obatan (69 responden; 29,6%). Faktor-faktor yang terkait dengan self-injury termasuk memiliki teman atau keluarga yang melakukan perilaku serupa, mengatasi dengan menyalahkan diri sendiri, dan mencoba mengobati diri sendiri.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Klonsky et al. (2003) dari 1.986 anggota militer, sekitar 4% dari peserta melaporkan riwayat self-injury.

Dibandingkan dengan peserta yang tidak memiliki riwayat self-injury, orang yang melakukan self-injury mendapat skor lebih tinggi pada pengukuran gejala borderline, schizotypal, dependent, dan avoidant personality disorder dan dilaporkan lebih banyak gejala kecemasan dan depresi.

Untuk mengetahui gambaran umum tentang fenomena self-injury, penulis terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan dengan cara menyebarkan kuesioner melalui online google form secara accidental sampling di media sosial seperti Instagram (melalui story dan postingan dari penulis, teman serta kerabat penulis) dan WhatsApp (melalui pesan pribadi, grup WA, status) selama empat hari yaitu tanggal 4 sampai 7 Mei 2019. Dari penyebaran kuesioner di sosial media tersebut, terdapat 28 responden melaporkan pernah melakukan self-injury dengan usia 13 sampai 25 tahun.

Data mengenai alasan dan cara dalam melakukan self-injury, responden diberikan kebebasan untuk memilih lebih dari satu pernyataan. Hasil data tentang

(20)

alasan responden melakukan self-injury adalah 20 responden karena pelampiasan emosi, 14 responden karena menghukum diri, tiga responden karena ketidakharmonisan keluarga, satu responden karena mencari sensasi baru, satu responden karena mengikuti teman dan satu responden karena kesepian.

Kemudian data tentang cara responden melakukan self-injury. Dari 28 responden terdapat hasil bahwa 18 responden pernah melakukan item

“membenturkan/memukul”, delapan responden pernah melakukan item

“menggigit keras”, delapan responden pernah melakukan item “menggaruk parah”, tujuh responden pernah melakukan item “mengiris”, tujuh responden pernah melakukan item “mencubit keras”, tujuh responden pernah melakukan item “menarik rambut dengan keras”, tujuh responden pernah melakukan item

“mengganggu penyembuhan luka”, lima responden pernah melakukan item

“menggoreskan kulit pada permukaan kasar”, lima responden pernah melakukan item “menusukkan diri dengan jarum”, tiga responden pernah melakukan item

“menelan zat berbahaya”, dua responden pernah melakukan item “mengukir bagian tubuh”, satu responden pernah melakukan item “membakar diri”.

Self-injury atau disebut dengan Non-Suicidal Self-Injury (NSSI) didefinisikan sebagai pengrusakan yang disengaja dari jaringan tubuh seseorang tanpa niat untuk bunuh diri dan untuk tujuan yang tidak disetujui secara sosial (Klonsky & Glenn, 2008, p. 215). Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi empat (DSM-4), self-injury yang mengacu pada cedera diri yang disengaja dan langsung pada jaringan tubuh seseorang tanpa niat bunuh

(21)

diri terdaftar sebagai gejala borderline personality disorder (BPD), tetapi juga dapat ditemukan pada individu tanpa BPD (Klonsky & Olino, 2008).

Namun self-injury adalah masalah yang berkembang. Banyak orang yang terlibat dengan self-injury tidak mengalami BPD, meskipun mereka melaporkan mengalami gejala seperti depresi tingkat tinggi, anxiety dan suicidality. Mengenai hal ini, DSM-5 telah menambahkan self-injury sebagai nonsuicidal self-injury yang tercantum pada bagian ketiga sebagai kondisi yang membutuhkan studi lebih lanjut (Hooley et al., 2016).

Self-injury yang dilakukan sebelum perilaku bunuh diri berfungsi sebagai

"gerbang" perilaku bunuh diri dan pembiasaan terhadap self-injury dapat mengurangi keinginan yang tertahan tersebut (Whitlock et al., 2013). Faktor resiko dari perilaku self-injury termasuk kerugian dari aspek sosial ekonomi dan penyakit kejiwaan terutama depresi, penyalahgunaan zat, dan gangguan kecemasan. Resiko pengulangan perilaku ini di hari kedepannya pun tinggi (Skegg, 2005).

Terdapat berbagai alasan orang-orang terlibat dalam self-injury. Salah satu alasan yang paling sering dilaporkan adalah untuk mengatasi emosi negatif, seperti kesedihan atau kemarahan, atau pikiran negatif, seperti kritik diri.

Beberapa orang juga menggunakan self-injury sebagai cara untuk menghukum diri mereka sendiri, untuk mendapatkan rasa kontrol, untuk mengkomunikasikan rasa sakit mereka, untuk berhubungan kembali dengan diri mereka sendiri atau orang lain, atau untuk mengurangi mati rasa. Kebanyakan orang melaporkan

(22)

bahwa mereka terlibat dalam self-injury karena berbagai alasan, dan alasan ini dapat berubah seiring waktu (International Society for the Study of Self-Injury, 2018).

Fenomena dari self-injury akan berdampak lebih serius bila tidak ada penanganan yang tepat serta tidak diantisipasi faktor-faktor pengaruhnya.

Berbagai faktor yang dapat memengaruhi seseorang terlibat pada self-injury, salah satunya adalah rendahnya kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi merupakan sejumlah keterampilan untuk berkontribusi pada pengungkapan emosi dalam diri sendiri dan keakuratan penilaian persepsi emosi pada orang lain, adanya regulasi emosi yang efektif pada diri sendiri, dan menggunakan emosi untuk memotivasi, merencanakan, dan mencapai sesuatu dalam kehidupan (Salovey & Mayer, 1990, p. 185).

Kecerdasan emosi yang rendah memiliki pengaruh terhadap timbulnya self-injury. Individu yang melakukan self-injury menunjukkan rendahnya kecerdasan dalam mengatur emosi, terutama dengan tidak dapat menyalurkan emosinya dengan baik dan benar. Kesulitan dalam membaca dan mengekspresikan emosi juga dapat merugikan tingkah laku stres pada pendekatan emosional di situasi yang penuh tekanan (Kulikowska & Pokorski, 2008).

Faktor lain yang memengaruhi seseorang terlibat pada self-injury adalah peer attachment atau kelekatan teman sebaya. Kelekatan teman sebaya merupakan kepercayaan individu bahwa teman sebaya memahami dan menghormati kebutuhan dan keinginannya serta adanya persepsi individu bahwa teman sebaya

(23)

sensitif dan responsif terhadap keadaan emosionalnya dan membantu dengan baik (Armsden & Greenberg, 1987, p. 428).

Menurut Ghandi et al. (2015) komunikasi yang baik, adanya rasa percaya serta aman dengan teman sebaya dapat mengurangi kerentanan terhadap perilaku self-injury. Keintiman dengan teman sebaya meningkat selama masa remaja dan remaja cenderung lebih mengandalkan teman sebaya daripada keluarga mereka.

Namun jika terdapat masalah yang dialami dalam proses perkembangan, hal ini dapat meningkatkan kerentanan seseorang untuk melakukan self-injury. Penelitian dari Irvin (2008) yang menyebutkan bahwa kelekatan teman sebaya (yaitu, trust dan communication) secara signifikan dan negatif berkorelasi dengan frekuensi self-injury pada mahasiswa. Selain itu, alienation dari teman sebaya secara signifikan dan positif berkorelasi dengan frekuensi self-injury pada mahasiswa.

Faktor lain yang memengaruhi self-injury adalah rendahnya self-esteem.

Self-esteem merupakan sikap positif atau negatif terhadap objek tertentu, yaitu diri sendiri (Rosenberg, 1965, p. 30). Self-esteem berarti evaluasi diri secara global, dan biasanya diukur dengan sejauh mana orang tersebut mendukung berbagai pernyataan evaluatif tentang diri (Baumeister & Tice, 1985).

Seseorang dengan self-esteem yang tinggi memiliki pandangan bahwa dirinya layak dan berharga serta dapat melihat dirinya secara lebih positif.

Dibandingkan melakukan self-injury, dimana self-injury adalah strategi koping yang maladaptif, seseorang dengan self-esteem yang tinggi akan memilih kegiatan yang lebih positif dan produktif. Forrester et al. (2017) mengidentifikasi 17 studi

(24)

dan hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan self-injury. Meta-analisis menunjukkan self-esteem lebih rendah pada mereka yang memiliki pengalaman melakukan self-injury dibandingkan mereka yang tidak melakukan self-injury.

Faktor selanjutnya yang memengaruhi self-injury adalah faktor demografi seperti usia dan jenis kelamin. Hilt et al. (2008) mengatakan bahwa 7,5% dari remaja awal (kelas 6-8, n = 508) dilaporkan terlibat dalam self-injury. Kemudian Muehlenkamp & Gutierrez (2004) mengatakan bahwa dari 390 siswa remaja sekolah menengah (usia rata-rata 16 tahun) terdapat 15,9% terlibat self-injury.

Terakhir penelitian yang dilakukan oleh Rodham dan Hawton (dalam Barrocas et al., 2012) dengan sampel usia perguruan tinggi, tingkat self-injury dapat setinggi 38%.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Barrocas et al. (2012) terdapat hasil bahwa anak perempuan tampaknya paling berisiko, karena mereka terlibat dalam self-injury tiga kali lebih tinggi dari anak laki-laki. Metode self-injury berbeda berdasarkan gender. Anak perempuan melaporkan paling sering mengiris dan mengukir kulit, sedangkan anak laki-laki melaporkan paling sering memukul diri sendiri. Penelitian Bresin dan Schoenleber (2015) menujukkan hasil bahwa wanita secara signifikan lebih mungkin melaporkan riwayatnya melakukan self-injury daripada pria.

(25)

Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self-esteem dan faktor demografi terhadap self-injury.

1.2. Pembatasan Masalah Penelitian

Masalah yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah pengaruh kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self-esteem dan faktor demografi terhadap self- injury. Adapun pengertian-pengertian konstruknya sebagai berikut:

1. Self-injury yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Non-Suicidal Self- Injury (NSSI) yang didefinisikan sebagai pengrusakan yang disengaja dari jaringan tubuh seseorang tanpa niat untuk bunuh diri dan untuk tujuan yang tidak disetujui secara sosial (Klonsky & Glenn, 2008, p. 215).

2. Kecerdasan emosi merupakan sejumlah keterampilan untuk berkontribusi pada pengungkapan emosi dalam diri sendiri dan keakuratan penilaian persepsi emosi pada orang lain, adanya regulasi emosi yang efektif pada diri sendiri, dan menggunakan emosi untuk memotivasi, merencanakan, dan mencapai sesuatu dalam kehidupan (Salovey & Mayer, 1990, p. 185).

3. Kelekatan teman sebaya merupakan kepercayaan individu bahwa teman sebaya memahami dan menghormati kebutuhan dan keinginannya serta adanya persepsi individu bahwa teman sebaya sensitif dan responsif terhadap keadaan emosionalnya dan membantu dengan baik (Armsden &

Greenberg, 1987, p. 428).

4. Self-esteem merupakan sikap positif atau negatif terhadap objek tertentu, yaitu diri sendiri (Rosenberg, 1965, p. 30).

(26)

5. Faktor demografi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin.

6. Subjek yang diteliti adalah laki-laki dan perempuan berusia 13 sampai 25 tahun, pernah melakukan self-injury, berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) serta bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian.

1.3. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah ada pengaruh kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self- esteem dan faktor demografi terhadap self-injury?

2. Apakah ada pengaruh kecerdasan emosi terhadap self-injury?

3. Apakah ada pengaruh communication yang terdapat pada kelekatan teman sebaya terhadap self-injury?

4. Apakah ada pengaruh trust yang terdapat pada kelekatan teman sebaya terhadap self-injury?

5. Apakah ada pengaruh alienation yang terdapat pada kelekatan teman sebaya terhadap self-injury?

6. Apakah ada pengaruh self-esteem terhadap self-injury?

7. Apakah ada pengaruh usia yang terdapat pada faktor demografi terhadap self-injury?

8. Apakah ada pengaruh jenis kelamin yang terdapat pada faktor demografi terhadap self-injury?

(27)

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self-esteem dan faktor demografi terhadap self-injury.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua hal, yaitu secara teoritis dan praktis:

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam penelitian psikologi khususnya tentang self-injury yang terkait dengan variabel kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self-esteem dan faktor demografi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada aplikasi teori-teori yang telah ada guna memperluas wacana dalam bidang psikologi terutama bidang psikologi klinis serta dapat menjadi acuan untuk mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya khususnya terkait dengan self-injury.

b. Manfaat praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya self-injury kepada beberapa pihak seperti keluarga, sekolah, masyarakat, hingga pemerintah guna mencegah dan meminimalisir seseorang untuk terlibat dalam self-injury.

(28)

12 BAB 2

LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI

Dalam bab ini dijelaskan tentang landasan teori, kerangka berpikir dan hipotesis penelitian yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian, yaitu self-injury, kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, dan self-esteem.

2.1. Self-Injury

2.1.1. Definisi self-injury

Self-injury dari Klonsky dan Gleen (2008) disebut “Non-Suicidal Self-Injury (NSSI) didefinisikan sebagai pengrusakan yang disengaja dari jaringan tubuh seseorang tanpa niat untuk bunuh diri dan untuk tujuan yang tidak disetujui secara sosial”. Nama-nama lain telah digunakan untuk merujuk pada perilaku ini, termasuk deliberate self-harm (Pattison & Kahan, 1983; Hawton et al., 2002), self-mutilation (Favazza & Rosenthal, 1993; Briere & Gil, 1998; Nock &

Prinstein, 2005).

Deliberate self-injury didefinisikan sebagai melukai jaringan tubuh secara langsung dan disengaja tanpa niat bunuh diri (Klonsky, 2007). Dalam penelitian Klonsky (2009) perilaku yang dinilai dilakukan dengan maksud menyebabkan kerusakan fisik pada diri tanpa niat bunuh diri seperti:

1. membenturkan, 2. menggigit, 3. membakar, 4. mengiris,

5. mencabut rambut, 6. memukul diri sendiri,

7. mengganggu penyembuhan luka,

(29)

8. menusuk dengan jarum, 9. mencubit,

10. menggosok kulit pada permukaan kasar, 11. menggaruk parah,

12. menelan bahan kimia berbahaya.

Menurut Hawton et al. (2002, p. 1208) definisi dari deliberate self-harm adalah:

“tindakan dengan hasil yang tidak fatal di mana seseorang dengan sengaja melakukan satu atau lebih hal seperti; perilaku yang diinisiatif (misalnya, memotong sendiri, melompat dari ketinggian) yang mereka maksudkan untuk membahayakan diri sendiri;

menelan suatu zat yang melebihi dosis terapeutik yang ditentukan atau diakui secara umum; menelan obat rekreasional atau ilegal yang merupakan tindakan yang oleh orang tersebut dianggap merugikan diri sendiri; menelan zat atau benda yang tidak dapat tertelan.”

Self-mutilation secara patologis adalah perubahan yang disengaja atau penghancuran jaringan tubuh tanpa niat bunuh diri yang disengaja (Favazza &

Rosenthal, 1993). Self-mutilation behavior adalah perilaku yang mengacu pada penghancuran langsung dan sengaja dari jaringan tubuh seseorang tanpa niat bunuh diri (Nock & Prinstein, 2005).

International Society for the Study of Self-Injury atau biasa disebut ISSS (2018) mendefinisikan “self-injury sebagai kerusakan yang disengaja, yang disebabkan oleh diri sendiri dari jaringan tubuh tanpa niat bunuh diri dan untuk tujuan yang tidak disetujui secara sosial atau budaya”.

Definisi ini memiliki beberapa bagian penting:

1. Pertama, kerusakan yang diakibatkan oleh self-injury adalah konsekuensi yang disengaja atau diharapkan dari perilaku tersebut.

Perilaku berisiko yang dapat menyebabkan bahaya dikecualikan dalam definisi ini, seperti tidak mengenakan sabuk pengaman saat

(30)

mengemudi, atau cedera yang tidak disengaja, yang mungkin terjadi ketika bermain olahraga ekstrem.

2. Kedua, self-injury biasanya menghasilkan semacam cedera fisik langsung, termasuk luka, memar, goresan, atau bekas luka pada kulit.

Perilaku yang tidak secara langsung mengakibatkan cedera biasanya dikecualikan, meskipun mungkin berbahaya atau dengan kondisi gawat. Misalnya, pembatasan makanan biasanya tidak dianggap sebagai bentuk self-injury karena kerusakan fisik yang terkait cenderung menumpuk seiring waktu alih-alih terjadi sekaligus ketika perilaku terjadi.

3. Ketiga, self-injury terpisah dari pikiran atau perilaku bunuh diri, di mana individu ingin mengakhiri hidup mereka. Orang biasanya melaporkan bahwa mereka tidak memiliki niat untuk menyebabkan kematian ketika mereka mengalami self-injury. Bahkan, dalam beberapa kasus, self-injury dapat digunakan untuk mengelola tekanan intens yang mungkin terkait dengan pemikiran bunuh diri.

4. Terakhir, perilaku yang dapat menyebabkan kerusakan fisik tetapi dapat diterima di masyarakat kita, atau bagian dari ritual budaya, spiritual, atau agama yang diakui, tidak dianggap self-injury. Untuk alasan ini, modifikasi tubuh, tindik badan atau tato biasanya tidak dianggap sebagai bentuk self-injury.

Poin kunci dari self-injury pada umumnya bukan tentang bunuh diri.

Bentuk-bentuk self-injury yang paling umum terdiri dari mengiris, mencakar,

(31)

mengukir, memukul diri sendiri, membakar diri sendiri, eksoriasi luka, mencubit, dan mengelupas kulit (Walsh, 2007).

Berdasarkan beberapa definisi yang sudah dipaparkan oleh para ahli di atas, maka penulis memilih menggunakan definisi dari Klonsky dan Gleen (2008) yaitu Non-Suicidal Self-Injury (NSSI) yang didefinisikan sebagai pengrusakan yang disengaja dari jaringan tubuh seseorang tanpa niat untuk bunuh diri dan untuk tujuan yang tidak disetujui secara sosial.

2.2.2. Tipe – tipe self-injury

Menurut Klonsky dan Olino (2008) ada 12 perilaku dari self-injury yaitu mengiris, menggigit, membakar, mengukir, mencubit, menarik rambut, menggaruk parah, membenturkan/ memukul diri, mengganggu penyembuhan luka, menggoreskan kulit pada permukaan kasar, menusukkan diri dengan jarum, dan menelan zat berbahaya.

Penelitian Klonsky dan Olino (2008) mengidentifikasi empat sub- kelompok yang ditunjukkan seperti berikut:

a. Kelompok satu adalah individu dengan probabilitas rendah pada perilaku self-injury, kecuali kemungkinan sedang-tinggi untuk membenturkan/

memukul diri sendiri, dan tingkat yang relatif rendah dari fungsi penguatan sosial (interpersonal) dan penguatan otomatis (intrapersonal) ; b. Kelompok dua adalah individu dengan probabilitas tinggi pada menggigit,

mencubit, menarik rambut, dan membenturkan atau memukul diri sendiri;

probabilitas sedang untuk menggaruk parah, mengganggu penyembuhan

(32)

luka, dan menggoreskan kulit pada permukaan kasar; dan tingkat fungsi penguatan otomatis dan penguatan sosial yang relatif rendah;

c. Kelompok tiga adalah individu dengan probabilitas sedang-tinggi dari berbagai perilaku self-injury- termasuk membenturkan atau memukul diri sendiri, menggigit, mengiris, menarik rambut, mencubit, dan menggaruk parah- dan level tinggi dari fungsi penguatan sosial dan penguatan otomatis; dan

d. Kelompok empat adalah individu dengan probabilitas tinggi pada mengiris, dengan probabilitas sedang-tinggi untuk mengganggu penyembuhan luka dan menusukkan diri dengan jarum, dengan fungsi penguatan otomatis pada tingkat tinggi tetapi tidak pada penguatan secara sosial, dan yang hampir secara eksklusif melakukan self-injury ketika sendirian.

2.1.3. Pengukuran self-injury

Ada beberapa skala yang digunakan untuk mengukur self-injury, yaitu:

1. Non-Suicidal Self-Injury Assessment Tool (NSSI-AT)

Menurut Whitlock et al. (2014) NSSI-AT adalah pengukuran self-injury berbasis web, yang dirancang untuk digunakan dalam populasi komunitas anak muda dan dewasa untuk tujuan penelitian. NSSI-AT dikembangkan pada 2005 untuk menilai primer (seperti bentuk, frekuensi, dan fungsi) dan sekunder (termasuk tetapi tidak terbatas pada pembiasaan self-injury;

konteks di mana self-injury dipraktikkan, dan self-injury yang dirasakan

(33)

berupa gangguan kehidupan, perawatan, dan dampak) karakteristik self- injury untuk tujuan penelitian.

2. The Functional Assessment of Self-Mutilation (FASM)

Menurut Lloyd et al. (dalam Nock & Prinstein, 2004) FASM adalah pengukuran laporan diri tentang metode, frekuensi, dan fungsi dari Self- Mutilative Behavior (SMB). Item mengenai metode dan fungsi SMB awalnya dikembangkan melalui tinjauan luas literatur masa lalu tentang SMB di kedua populasi normatif dan psikiatrik. Selanjutnya, serangkaian kelompok fokus independen dilakukan dengan remaja rawat inap psikiatri yang telah terlibat dalam SMB untuk melengkapi daftar metode dan fungsi yang diambil dari penelitian sebelumnya. Dengan demikian, semua item pada FASM mencerminkan perilaku yang dihasilkan oleh remaja dengan sejarah SMB dan umumnya konsisten dengan penelitian sebelumnya.

3. Inventory of Statements About Self-injury (ISAS)

Menurut Klonsky dan Glenn (2008) ISAS adalah suatu ukuran yang dirancang untuk menilai secara komprehensif fungsi-fungsi Non-Suicidal Self-Injury (NSSI). ISAS menilai 13 fungsi NSSI, serta frekuensi 12 perilaku NSSI. Bagian pertama dari ISAS adalah menilai frekuensi seumur hidup dari 12 perilaku NSSI yang dilakukan “secara sengaja dan tanpa niat bunuh diri”. Perilaku yang dinilai adalah mengiris, menggigit, membakar, mengukir, mencubit, menarik rambut, menggaruk parah, membenturkan/

memukul diri, mengganggu penyembuhan luka, menggoreskan kulit pada permukaan kasar, menusukkan diri dengan jarum, dan menelan zat

(34)

berbahaya. Peserta diminta untuk memperkirakan berapa kali mereka melakukan setiap perilaku. Lima pertanyaan tambahan menilai faktor- faktor deskriptif dan kontekstual, termasuk usia onset, pengalaman sakit selama NSSI, apakah NSSI dilakukan sendiri atau di sekitar orang lain, waktu antara dorongan untuk melukai diri sendiri dan tindakan, dan apakah individu tersebut ingin berhenti melukai diri sendiri.

Mereka yang mendukung satu atau lebih perilaku NSSI diinstruksikan untuk menyelesaikan bagian kedua dari ISAS. Bagian kedua menilai 13 fungsi potensial NSSI:

1. affect-regulation (regulasi emosi), 2. anti-dissociation (anti disosiasi), 3. anti-suicide (anti bunuh diri), 4. autonomy (otonomi),

5. interpersonal boundaries (batasan antarpribadi), 6. interpersonal influence (pengaruh antarpribadi), 7. marking distress (menandai kesusahan),

8. peer-bonding (ikatan teman sebaya), 9. self-care (perawatan diri),

10. self-punishment (hukuman diri), 11. revenge (pembalasan dendam), 12. sensation seeking (pencari sensasi), 13. toughness (kekerasan).

Setiap fungsi dinilai oleh tiga item, dinilai sebagai "0-tidak relevan," "1- agak relevan," atau "2-sangat relevan" dengan "pengalaman merugikan diri sendiri (non-suicide)"; dengan demikian, skor untuk masing-masing dari 13 fungsi ISAS dapat berkisar dari 0 hingga 6.

Berdasarkan beberapa skala pengukuran self-injury diatas, penulis menggunakan skala Inventory of Statements About Self-injury (ISAS) dari

(35)

Klonsky dan Glenn (2008) sesuai dengan teori self-injury yang digunakan dalam penelitian ini.

2.1.4. Faktor-faktor yang memengaruhi self-injury

Terdapat beberapa penelitian yang telah meneliti mengenai faktor yang memengaruhi self-injury, seperti berikut:

1. Faktor demografis

Menurut Brown dan Plener (2017), self-injury paling sering terjadi pada awal hingga pertengahan masa remaja dan umumnya berhenti pada masa dewasa muda. Masa remaja adalah fase yang rentan untuk mengembangkan self-injury, karena peningkatan tingkat impulsif dan reaktivitas emosional hadir karena proses perkembangan otak.

Selain usia, jenis kelamin perempuan secara signifikan lebih mungkin melaporkan riwayat self-injury. Pada penelitian Bresin dan Schoenleber (2015) melaporkan bahwa remaja dan dewasa perempuan lebih mungkin terlibat dalam self-injury daripada laki-laki.

2. Kecerdasan emosi

Penelitian dari Mikolajczak et al. (2009) menunjukkan bahwa remaja yang terlibat dalam perilaku self-injury memiliki kecerdasan emosi yang lebih rendah daripada teman sebayanya. Penelitian ini menemukan korelasi negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan self-injury, menunjukkan bahwa kecerdasan emosi yang tinggi dapat membantu melindungi individu dari melakukan self-injury.

(36)

Kemudian penelitian dari Kulikowska dan Pokorski (2008) melaporkan bahwa individu yang melakukan self-injury menunjukkan rendahnya kecerdasan emosi, terutama dengan tidak dapat menyalurkan emosi negatif dengan baik.

3. Kelekatan teman sebaya

Permasalahan seperti pengaruh teman sebaya yang negatif melalui tindakan bullying menjadi salah satu faktor penyebab self-injury (Zakaria

& Theresa, 2020). Penelitian dari Viktor et al. (2019) menyebutkan bahwa anak muda yang mengalami peer victimization serta persepsi yang negatif tentang teman sebayanya berisiko lebih tinggi terhadap timbulnya self- injury.

Literatur menunjukkan bahwa teman sebaya mungkin secara bersamaan bertanggung jawab dalam meningkatkan dan menurunkan self- injury dengan mekanisme yang beragam. Namun, penelitian mengenai asosiasi antara dimensi spesifik dari kelekatan teman sebaya masih terbatas (Ghandi et al., 2015). Teman sebaya dapat berkontribusi pada inisiasi untuk melakukan self-injury melalui efek pengaruh buruk (Jarvi et al., 2013). Lebih lanjut, viktimisasi teman sebaya dalam bentuk bullying juga dapat meningkatkan risiko terlibat dalam self-injury (Claes et al., 2015). Kualitas komunikasi yang lebih tinggi dengan teman sebaya telah ditemukan terkait dengan kemungkinan yang lebih rendah untuk terlibat dalam self-injury, terutama pada remaja perempuan (Hilt et al., 2008).

4. Self-esteem

(37)

Pada penelitian Aizenman & Jensen (2007) ditemukan bahwa siswa yang melakukan self-injury dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi rasa sakit emosional sedangkan siswa yang menato dan menindik melakukannya sebagai bentuk ekspresi diri. Siswa yang melakukan self- injury mendapatkan skor lebih rendah secara signifikan pada self-esteem daripada siswa yang menato dan menindik.

Penelitian dari Cawood & Huprich (2011) ditemukan bahwa dari 302 mahasiswa usia 18 sampai 19 tahun terdapat 102 orang (34%) melaporkan pernah melakukan self-injury. Dari penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa self-esteem secara signifikan lebih rendah pada mahasiswa yang melakukan self-injury daripada mahasiswa yang tidak melakukannya.

Pada penelitian Davey et al. (2015) ditemukan bahwa dari 97 orang dewasa yang didiagnosis transeksualisme, terdapat 18 orang (19%) melaporkan melakukan self-injury saat itu. Dari penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa self-esteem secara signifikan lebih rendah pada peserta trans yang melakukan self-injury daripada peserta trans yang tidak melakukannya.

5. Loneliness

Penelitian dari Ronka et al. (2013) menunjukkan bahwa loneliness atau kesepian dikaitkan dengan self-injury, dan loneliness harus dianggap sebagai risiko bagi kesehatan dan kesejahteraan individu.

6. Self-punishment

(38)

Beberapa penelitian memberikan bukti kuat untuk fungsi self-punishment pada self-injury (Klonsky, 2007). Orang yang melakukan self-injury melaporkan bahwa mereka melakukan self-injury sebagai bentuk kemarahan yang diarahkan pada diri sendiri atau self-punishment (Klonsky et al., 2014).

Berdasarkan faktor-faktor yang memengaruhi self-injury diatas, variabel kecerdasan emosi, kelekatan teman sebaya, self-esteem, faktor demografi seperti usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang akan diteliti dalam penelitian ini.

2.2. Kecerdasan Emosi

2.2.1. Definisi kecerdasan emosi

Menurut Bar-On (dalam Weerdt & Rossi, 2012) inti dari kecerdasan emosi adalah memahami diri sendiri dan orang lain, mampu berhubungan dengan orang lain dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan mengatasi lingkungan seseorang yang pada gilirannya akan meningkatkan peluang keberhasilan seseorang ketika berhadapan dengan tuntutan lingkungan.

Goleman (dalam Cherniss & Goleman, 2001) menetapkan kerangka kecerdasan emosi yang mencerminkan bagaimana potensi individu untuk menguasai keterampilan self-awareness, self-management, social awareness, dan relationship management yang diterjemahkan pada keberhasilan dalam pekerjaan.

Salovey dan Mayer (1990) mengemukakan kecerdasan emosi adalah sejumlah keterampilan untuk berkontribusi pada pengungkapan emosi dalam diri sendiri dan keakuratan penilaian persepsi emosi pada orang lain, adanya regulasi

(39)

emosi yang efektif pada diri sendiri dan terhadap orang lain, dan menggunakan emosi untuk memotivasi, merencanakan, dan mencapai sesuatu dalam kehidupan.

Kecerdasan emosional sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi orang lain, untuk membedakan di antara mereka dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pemikiran dan tindakan seseorang. Setiap individu berbeda dalam kemampuan untuk memanfaatkan emosi mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah. Suasana hati dan emosi secara halus tetapi sistematis mempengaruhi beberapa komponen dan strategi yang terlibat dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan beberapa definisi yang sudah dipaparkan oleh para ahli di atas, maka penulis memilih menggunakan definisi dari Salovey dan Mayer (1990) yaitu kecerdasan emosi merupakan sejumlah keterampilan untuk berkontribusi pada pengungkapan emosi dalam diri sendiri dan keakuratan penilaian persepsi emosi pada orang lain, adanya regulasi emosi yang efektif pada diri sendiri, dan menggunakan emosi untuk memotivasi, merencanakan, dan mencapai sesuatu dalam kehidupan.

2.2.2. Dimensi kecerdasan emosi

Salovey and Mayer (1990) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi dari kecerdasan emosi yaitu:

1. Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion)

Individu mampu menilai dan mengekspresikan emosi pada diri sendiri dan menilai emosi pada orang lain. Keterampilan ini memungkinkan individu

(40)

untuk mengukur secara akurat tanggapan afektif orang lain dan untuk memilih perilaku adaptif sosial sebagai tanggapan. Hal ini terjadi karena mereka yang lebih akurat dapat lebih cepat memahami dan merespons emosi mereka sendiri dan mengekspresikan emosi tersebut dengan lebih baik kepada orang lain. Individu yang cerdas secara emosional seperti itu juga dapat merespons dengan lebih tepat perasaan mereka sendiri karena keakuratan yang mereka rasakan.

2. Regulasi emosi (regulation of emotion)

Individu mampu meregulasi emosi dalam diri sendiri dan orang lain.

Mereka dapat meningkatkan suasana hati mereka sendiri dan orang lain dan bahkan mengelola emosi untuk memotivasi orang lain secara karismatik menuju tujuan yang bermanfaat. Di sisi negatif, mereka yang keterampilannya disalurkan secara antisosial dapat membuat adegan manipulatif atau mengarahkan orang lain secara sosiopat ke tujuan jahat.

3. Pemanfaatan emosi dalam memecahkan masalah (utilization of emotions in solving problems)

Individu memiliki kemampuan untuk memanfaatkan emosi mereka sendiri untuk memecahkan masalah. Aspek ketiga ini mencakup komponen perencanaan yang fleksibel, pemikiran kreatif, perhatian yang dialihkan suasana hati, emosi yang memotivasi.

2.2.3. Pengukuran kecerdasan emosi

Ada beberapa skala yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi, yaitu:

1. Emotional Compentence Inventory (ECI)

(41)

ECI adalah alat 360 derajat yang dirancang untuk menilai kompetensi emosional individu dan organisasi. Ini didasarkan pada kompetensi emosional yang diidentifikasi oleh Goleman dalam Working with Emotional Intelligence, dalam kompetensi dari Hay/McBer pada Generic Competency Dictionary serta Self-Assessment Questionnaire (SAQ) dari Boyatzis. ECI mengukur 18 kompetensi yang diorganisasikan ke dalam empat kelompok: self-awareness, self-management, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan (Wolff, 2005).

2. Emotional Quotient Inventory (EQ-i)

Skala ini dikembangkan oleh Bar-On, (1997) (dalam Weerdt & Rossi, 2012). Skala ini memiliki 133-item, di mana responden menunjukkan pada skala Likert 5 poin (1="Sangat jarang atau tidak benar tentang saya";

5="Sangat sering benar bagi saya") seberapa representatif pernyataan itu untuk diri mereka sendiri. Selain itu, EQ-i juga memuat beberapa skala yang menilai gaya dan validitas respons: positive impression scale, negative impression scale, omission rate and inconsistency index.

3. Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT)

SSEIT merupakan metode untuk mengukur kecerdasan emosional umum yang menggunakan empat sub-skala: persepsi emosi, memanfaatkan emosi, mengelola emosi yang relevan dengan diri sendiri, dan mengelola emosi orang lain. SSEIT adalah alat ukur yang dibuat oleh Schutte et al.

(1998) yang disusun dari model kecerdasan emosi oleh Salovey dan Mayer. SSEIT mencakup 33-item laporan diri menggunakan skala 1

(42)

sampai 5, dimana 1 adalah sangat setuju sedangkan 5 adalah sangat tidak setuju. Setiap skor sub-tes dinilai dan kemudian ditambahkan bersama untuk memberikan skor total bagi peserta.

Pada penelitian ini pengukuran kecerdasan emosi akan menggunakan Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT) oleh Schutte et al. (1998) yang disusun dari model kecerdasan emosi oleh Salovey dan Mayer.

Berdasarkan beberapa skala pengukuran kecerdasan emosi diatas, penulis menggunakan skala Schutte Self-Report Emotional Intelligence Test (SSEIT) oleh Schutte et al. (1998) sesuai dengan teori kecerdasan emosi yang digunakan dalam penelitian ini karena disusun dari model kecerdasan emosi oleh Salovey dan Mayer (1990).

2.3. Kelekatan Teman Sebaya

2.3.1. Definisi kelekatan teman sebaya

Kelekatan teman sebaya merupakan kepercayaan individu bahwa teman sebaya memahami dan menghormati kebutuhan dan keinginannya serta adanya persepsi individu bahwa teman sebaya sensitif dan responsif terhadap keadaan emosionalnya dan membantu dengan baik. Rasa aman berasal dari pemeliharaan ikatan di mana kepercayaan pada ketersediaan (aksesibilitas dan daya tanggap) dari figur kelekatan mengatasi ketakutan tentang tidak tersedianya figur ini pada saat dibutuhkan. Sebaliknya, kecemasan, kesedihan, depresi, dan kemarahan dapat dihasilkan dari ancaman atau kehilangan yang nyata dari hubungan kelekatan,

(43)

atau dari hubungan kelekatan yang tidak responsif dan tidak dapat diprediksi (Armsden & Greenberg, 1987).

Weiss (dalam Armsden & Greenberg, 1987) menemukan bahwa kelekatan orang dewasa dengan teman sebaya dicirikan dengan mencari figur kelekatan ketika mereka berada di bawah tekanan, dimana mereka mengalami kecemasan ketika figur-figur ini tidak dapat diakses dan dengan perasaan nyaman di perusahaan mereka. Selama masa remaja, perilaku kelekatan sering diarahkan pada sosok yang non-parental.

Menurut Stern dan Cassidy (dalam Schoeps et al., 2020) keterikatan teman sebaya yang aman didefinisikan sebagai hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan, bersama dengan keyakinan bahwa orang lain akan menghormati kebutuhan dan keinginannya sendiri, dan dia akan dapat memahami dan merespons jika saat mengomunikasikan perasaan kita.

Neufeld (dalam Mahmudi et al., 2015) berpendapat bahwa kelekatan teman sebaya merupakan sebuah ikatan yang melekat yang terjadi antara seorang anak dengan teman-temannya, baik dengan seseorang maupun dengan kelompok sebayanya. Dari ikatan tersebut, seorang anak akan melihat dan meniru segala tindakan, gaya berpikir, dan akan memahami segala tingkah laku yang dilakukan oleh teman sebayanya. Teman sebaya akan menjadi penengah dari hal yang baik, yang terjadi, yang penting dan bahkan mereka memiliki persepsi mengenai dirinya.

(44)

Berdasarkan beberapa definisi yang sudah dipaparkan oleh para ahli di atas, maka penulis memilih menggunakan definisi dari Armsden dan Greenberg (1987) yaitu kelekatan teman sebaya merupakan kepercayaan individu bahwa teman sebaya memahami dan menghormati kebutuhan dan keinginannya serta adanya persepsi individu bahwa teman sebaya sensitif dan responsif terhadap keadaan emosionalnya dan membantu dengan baik.

2.3.2. Dimensi kelekatan teman sebaya

Armsden dan Greenberg (dalam Guarnier et al., 2010) mengemukakan bahwa ada tiga dimensi dari kelekatan teman sebaya yaitu:

1. Trust adalah aspek yang mengacu pada kepercayaan individu bahwa teman sebaya memahami dan menghormati kebutuhan dan keinginan mereka;

2. Communication adalah aspek yang mengacu pada persepsi individu bahwa teman sebayanya sensitif dan responsif terhadap keadaan emosional mereka dan menilai tingkatan, kualitas keterlibatan, dan komunikasi verbal dengan mereka; dan

3. Alienation adalah aspek yang mengacu pada individu yang merasakan isolasi, kemarahan, dan keterpisahan yang dialami dalam hubungan kelekatan dengan teman sebaya.

2.3.3. Pengukuran kelekatan teman sebaya

1. Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA)

(45)

IPPA dibuat oleh Armsden dan Greenberg (2009) dikembangkan untuk menilai persepsi remaja tentang dimensi afektif / kognitif positif dan negatif dari hubungan dengan orang tua dan teman dekat mereka-, terutama seberapa baik figur-figur ini berfungsi sebagai sumber keamanan psikologis. Skala ini menggunakan teori Bowlby mengenai attachment.

Tiga dimensi dinilai: tingkat rasa saling percaya (trust); kualitas komunikasi (communication); dan tingkat kemarahan dan keterasingan (alienation). Instrumen ini adalah kuesioner laporan diri dengan format respon skala likert lima poin. Versi asli terdiri dari 28 item orang tua dan 25 item teman sebaya, menghasilkan dua skor kelekatan.

2. Adolescent Friendship Attachment Scale (AFAS)

AFAS dikembangkan oleh Wilkinson (2006) yang berisi 30 item yang mengukur tiga dimensi dari kelekatan dengan sahabat yang mengukur tiga dimensi yaitu: secure, anxious/ambivalent dan avoidant.

Berdasarkan beberapa skala pengukuran kelekatan teman sebaya diatas, penulis menggunakan skala Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) oleh Armsden dan Greenberg (2009) sesuai dengan teori kelekatan teman sebaya yang digunakan dalam penelitian ini.

2.4. Self-Esteem

2.4.1. Definisi self-esteem

Self-esteem atau harga diri umumnya didefinisikan sebagai evaluasi seseorang terhadap diri mereka (Hatcher, 2007). Coopersmith (dalam Hatcher, 2007)

(46)

mendefinisikan self-esteem sebagai sejauh mana seorang individu percaya pada kemampuannya untuk menjadi mampu, sukses, dan layak.

Wells dan Marwell (dalam Murk, 2006) berusaha untuk mengatur definisi self-esteem berdasarkan dua proses psikologis: evaluation (yang menekankan peran kognisi) dan affect (yang memprioritaskan peran perasaan). Hasilnya adalah tipologi definisi yang terdiri dari empat cara mendefinisikan self-esteem. Definisi pertama dan yang paling mendasar adalah mencirikan self-esteem sebagai sikap (attitude) tertentu. Seperti halnya sikap lain yang dilakukan terhadap objek tertentu, ini dapat melibatkan reaksi kognitif, emosi, dan perilaku positif atau negatif. Jenis definisi kedua didasarkan pada gagasan kesenjangan (discrepancy).

Secara khusus, itu adalah perbedaan antara diri yang ingin menjadi ideal ("ideal self") dan diri yang saat ini melihat diri sebagai yang dirasakan atau nyata ("real self"). Semakin dekat kedua persepsi ini, semakin tinggi self-esteem individu dianggap. Kemudian semakin lebar kesenjangan antara keduanya, semakin menderita self-esteem-nya. Cara ketiga untuk mendefinisikan self-esteem berfokus pada respons psikologis yang dimiliki seseorang terhadap dirinya sendiri, daripada sikap saja. Respon-respon ini biasanya digambarkan sebagai perasaan atau afektif, seperti positif versus negatif atau menerima versus menolak. Terakhir, Wells dan Marwell berpendapat bahwa self-esteem dipahami sebagai fungsi atau komponen kepribadian. Dalam hal ini, self-esteem dipandang sebagai bagian dari sistem diri, biasanya yang berkaitan dengan motivasi atau self-regulation, atau keduanya.

Self-esteem merupakan sikap positif atau negatif terhadap diri sendiri. Self- esteem yang tinggi mengungkapkan perasaan bahwa orang tersebut "cukup baik".

(47)

Individu secara sederhana merasa bahwa dia adalah orang yang berharga, dia menghormati dirinya sendiri apa adanya, tetapi dia tidak mengagumi dirinya sendiri dan juga tidak mengharapkan orang lain untuk mengaguminya. Dia belum tentu menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain. Disisi lain, self-esteem yang rendah menyiratkan penolakan diri, ketidakpuasan diri, penghinaan diri.

Individu kurang menghormati diri yang dia amati (Rosenberg, 1965).

Berdasarkan beberapa definisi yang sudah dipaparkan oleh para ahli di atas, maka penulis memilih menggunakan definisi self-esteem dari Rosenberg (1965) yaitu self-esteem merupakan sikap positif atau negatif terhadap objek tertentu, yaitu diri sendiri.

2.4.2. Dimensi self-esteem

Menurut Coopersmith (dalam Syahidah, 2018) terdapat empat dimensi yang terkandung dalam self-esteem, yaitu:

1. Kekuasaan (Power)

Kekuasaan dalam arti kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain. Kemampuan ini ditandai oleh adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. Indikator kekuasaan terdiri dari besarnya sumbangan dari pikiran atau pendapat dan kebenarannya.

2. Keberartian (Significance)

Keberartian adalah adanya kepedulian dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. Hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari orang

(48)

lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya. Indikator keadaan tersebut ditandai oleh kehangatan, keikutsertaan, perhatian, dan kesukaan orang lain terhadapnya.

3. Kebajikan (Virtue)

Kebajikan adalah ketaatan atau mengikuti standar moral dan etika.

Kebajikan ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang harus dihindari. Kebajikan tersebut terdiri dari indikator yang berarti melakukan tingkah laku yang diperbolehkan atau diharuskan oleh moral atau etika dan agama.

4. Kemampuan (Competence)

Kemampuan, dalam arti sukses memenuhi tuntutan prestasi. Ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan beragam tugas. Selain itu juga ditandai dalam keberhasilan mengerjakan tugas pekerjaan dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang berbeda.

Terkait dimensi self-esteem, Rosenberg (1967) menjelaskan bahwa instrumen pengukuran self-esteem dalam penelitiannya, yaitu Rosenberg Self- Esteem Scale (RSE) bersifat unidimensional. Rosenberg (dalam Hatcher, 2007) menjelaskan bahwa skala ini adalah pengukuran yang unidimensional dengan skor total yang mewakili self-esteem global individu secara keseluruhan.

2.4.3. Pengukuran self-esteem

1. Rosenberg Self-Esteem Scale (RSE)

RSE adalah skala tipe Likert 10 item yang dirancang untuk mengukur harga diri global. Item dinilai pada skala 4 poin dari sangat tidak setuju (1)

(49)

hingga sangat setuju (4). Semakin tinggi skor, semakin tinggi self-esteem.

Skala ini merupakan pengukuran unidimensional dengan skor total yang mewakili self-esteem global individu secara keseluruhan (Hatcher, 2007).

2. State Self-Esteem Scale (SSES)

SESS terdiri dari 20 item yang dimodifikasi dari Janis-Field Feelings of Inadequacy Scale. Analisis psikometri mengungkapkan bahwa SSES memiliki tiga faktor yang berkorelasi: kinerja, sosial, dan harga diri penampilan. Skala ini memiliki banyak kegunaan potensial, yang mencakup berfungsi sebagai indeks pemeriksaan manipulasi yang valid, mengukur perubahan klinis dalam harga diri, dan menguraikan hubungan yang membingungkan antara suasana hati dan harga diri (Heatherton &

Polivy, 1991).

3. The Coopersmith Self-esteem Inventory (CSEI atau SEI)

CSEI atau SEI adalah salah satu kuesioner laporan diri yang paling umum digunakan yang dirancang untuk mengukur sikap terhadap diri sendiri dalam berbagai bidang (keluarga, teman sebaya, sekolah, dan kegiatan sosial umum) untuk remaja dan dewasa. CSEI terdiri dari 50 item, menghasilkan skor keseluruhan dan empat skor terpisah yang mewakili aspek spesifik self-esteem, yaitu, diri umum, teman sebaya sosial, orang tua rumah, dan akademik sekolah (atau profesional untuk bentuk dewasa).

Satu set item tambahan merupakan skala kebohongan (tanggapan defensif;

delapan item). CSEI hadir dalam tiga versi: Formulir Sekolah (untuk usia 8–15 tahun, Formulir A), Formulir Dewasa (untuk usia 16 tahun ke atas,

(50)

Formulir C), dan Formulir Singkat (Formulir B). Semua versi dapat digunakan sebagai alat skrining atau/dan diagnostik dalam pengaturan klinis dan penelitian (Coopersmith dalam Potard, 2017).

Berdasarkan beberapa skala pengukuran self-esteem diatas, penulis menggunakan skala Rosenberg Self-Esteem Scale (RSE) dari Rosenberg (1965) sesuai dengan teori self-esteem yang digunakan dalam penelitian ini.

2.5. Kerangka Pemikiran

Seolah sakit fisik masih lebih baik daripada sakit mental, self-injury menjadi jalan untuk melepaskan beban psikologis yang dialami oleh seseorang. Self-injury merupakan pengrusakan yang disengaja dari jaringan tubuh seseorang tanpa niat untuk bunuh diri dan untuk tujuan yang tidak disetujui secara sosial (Klonsky &

Glenn, 2008). Beberapa orang juga menggunakan self-injury sebagai cara untuk menghukum diri mereka sendiri, untuk mendapatkan rasa kontrol, untuk mengkomunikasikan rasa sakit mereka, untuk berhubungan kembali dengan diri mereka sendiri atau orang lain, atau untuk meringankan rasa kebas. Kebanyakan orang melaporkan bahwa mereka terlibat dalam self-injury karena berbagai alasan, dan alasan ini dapat berubah seiring waktu (ISSS, 2018).

Salah satu faktor yang memengaruhi self-injury adalah rendahnya kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi dikatakan memiliki pengaruh terhadap self- injury dengan ditemukannya penelitian terdahulu yang meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosi terhadap self-injury. Mikolajczak et al. (2009) menunjukkan bahwa remaja yang terlibat dalam perilaku self-injury memiliki kecerdasan emosi

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran
Tabel 4.6  R square
Tabel 4.7  Hasil uji F
Tabel 4.9  Proporsi varian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan tipe komunikasi positif menurut persepsi ayah, kelekatan teman sebaya dimensi pengasingan, dan kepuasan hidup

Memberikan informasi pada kepala sekolah tentang ada tidaknya pengaruh pola asuh orang tua dan interaksi teman sebaya terhadap kecerdasan emosi siswa, sehingga

PERILAKU PERUNDUNGAN SIBER REMAJA DITINJAU DARI KELEKATAN ANAK DENGAN IBU DAN KECERDASAN

et al , (2000) menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kualitas kelekatan dengan teman sebaya yang tinggi memiliki penyesuaian diri yang baik (agresi dan depresi yang

Oleh itu, tujuan kajian ini dijalankan untuk mengkaji tahap kecerdasan emosi pelajar Diploma Pendidikan Lepasan Ijazah (DPLI) Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)

Oleh itu, kajian ini ingin melihat bagaimana hubungan keluarga, pengaruh rakan sebaya dan kecerdasan emosi menyumbang kepada berlakunya tingkah laku delinkuen dalam kalangan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan kecerdasan emosi dan interaksi teman sebaya dengan penyesuaian sosial siswa SMA Negeri

Sementara kepribadian introvert dan kesepian dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan terhadap kelekatan teman sebaya.. Penelitian ini menunjukkan bahwa