Pengaruh Perbandingan Arang Limbah Pelepah dan Kulit Pinang (Areca catechu L.) Terhadap Mutu Biobriket
Comparative Effect of Betel Nut Waste Charcoal and Betel Nut Husk (Areca catechu L) On Biobriquet Quality
G. Saputra1,Sahrial2, R. Prihantoro3
Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Kampus Pondok Meja Jl. Tribrata Km 11, Jambi 36364, Indonesia
Email: [email protected]
ABSTRAK – Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan yang tepat antara arang pelepah dan kulit pinang terhadap mutu biobriket, dan untuk mengetahui pengaruh perbandingan arang pelepah dan kulit pinang terhadap mutu biobriket yang dihasilkan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Metode penelitian ini adalah metode eksperimen skala laboratorium. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan, dengan berat 1 biobriket 30 g. Perlakuan yang digunakan berupa pencampuran arang pelepah dan kulit pinang dengan perbandingan konsentrasi yang berbeda (30%:70%, 40%:60%, 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%). Hasil penelitian ini menunjukan perbandingan arang pelepah dan kulit pinang (Areca catechu L.) terhadap mutu biobriket berpengaruh nyata pada kadar air, kadar abu dan kadar karbon, tetapi tidak berpengaruh nyata pada kadar zat menguap dan nilai kalor. Perbandingan arang pelepah dan kulit pinang yang tepat terhadap mutu biobriket yaitu pada perlakuan P1 (Pelepah Pinang 30% : Kulit Pinang 70%) yang memiliki nilai kadar air 11,67%, kadar zat menguap 5,00%, kadar abu 1,44%, kadar karbon 81,87% dan nilai kalor 300,33 cal/g.
Kata Kunci: Arang, Biobriket, Kulit Pinang, Pelepah Pinang
ABSTRACT – This study was conducted to determine the right comparison between areca nut waste charcoal and betel nut husk charcoal on the quality of charcoal briquettes and to determine the effect of the comparison of areca nut waste charcoal and betel nut husk charcoal on the quality of charcoal briquettes produced based on Indonesian National Standards. The method in this study is a laboratory-scale experimental method. This study used a complete randomized design (RAL) with one factor, namely the treatment of mixing raw materials with 5 treatments and 3 tests, so as to obtain 15 experimental materials weighing 1 biobriquette of 30 gr. The mixing treatment of raw materials areca nut waste and betel nut husk by comparison different concentration (30%:70%, 40%:60%, 50%:50%, 60%:40%, 70%:30%). The results of this study show that the proper comparison of midrib charcoal and areca nut shell (Areca catechu L.) on the quality of biobriquettes significantly affected the moisture content, ash content and carbon content, but had no significant effect on the volatile matter content and calorific value. comparison of areca nut bark and skin to the quality of biobriquettes is in treatment P1 (30% Areca nut bark: 70% Areca nut shell) which has a moisture content of 11.67%, volatile matter content of 5.00%, ash content of 1 .44%, carbon content 81.87% and calorific value 300.33 cal/g.
Keywords: areca nut waste, betel nut husk, biobriquettes, charcoal
I. PENDAHULUAN
Kulit dan pelepah pinang adalah salah satu limbah perkebunan pinang yang belum banyak dimanfaatkan. Tanaman pinang (Areca catechu L.) merupakan tanaman monokotil yang mengandung berbagai zat kimia dengan berbagai manfaat.
Pinang merupakan salah satu dari tujuh komoditas unggulan Provinsi Jambi. Pada Tahun 2019, ekspor pinang Provinsi Jambi mencapai 320.260 Ton (Kementan, 2019). Dari setiap pohon pinang dihasilkan 6 pelepah per Tahun. Dalam satu Ha perkebunan pinang terdapat 1.600 pohon, yang berarti dapat menghasilkan 9.600 Pelepah/Ha/ Tahun). Selama ini, para petani pinang di Provinsi Jambi hanya memanfaatkan bijinya untuk di ekspor dan di jual ke pedagang pengepul dalam bentuk biji kering atau belah dua sehingga bagian tanaman lain yang berupa kulit pinang belum termanfaatkan secara optimal. Pengolahan pelepah pinang sudah dilakukan oleh salah satu kelompok masyarakat yang memanfaatkannya menjadi produk piring pelepah pinang dengan metode pengepresan. Dari hasil pengolahan tersebut masih menghasilkan limbah yang belum termanfaatkan yang dibiarkan begitu saja.
Kandungan kulit pinang mengandung beberapa komposisi senyawa kimia yaitu, lignin (31.64%) dan selulosa (34,18%) (Chandra, 2016). Pelepah pinang mengandung senyawa larut air (0,72%), lemak dan wax (5,06%), pektin (1,15%), lignin (19,59%), α-selulosa (66,08%), dan hemiselulosa (7,4%) (Poddar et al., 2016). Selulosa merupakan komponen penyusun karbon pada pelepah dan kulit pinang. Semakin besar kandungan selulosa menyebabkan kadar karbon terikat semakin bessar sehingga nilai kalor yang dihasilkan semakin tinggi.
Kandungan selulosa yang cukup tinggi tersebut merupakan suatu potensi agar kulit dan pelepah pinang dapat diolah lebih lanjut sehingga hasil yang diperoleh mempunyai manfaat dengan aplikasi dan nilai ekonomi yang tinggi. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan manfaat kulit dan pelepah pinang adalah dengan mengolahnya menjadi biobriket.
Energi berbasis biomassa menjadi salah satu alternatif yang tepat dalam pengolahan hasil samping pohon pinang. Salah satu energi berbasis biomassa adalah biobriket. Biobriket merupakan bahan bakar briket yang dibuat dari arang biomassa hasil pertanian (bagian tumbuhan), baik berupa bagian yang memang sengaja dijadikan bahan baku briket maupun sisa atau limbah proses/pengolahan agroindustri (Jamilatun, 2008).
Biobriket merupakan bahan bakar yang berwujud padat yang berasal dari sisa-sisa bahan organik, yang telah mengalami proses karbonisasi dengan daya tekan tertentu. Pembiobriketan bertujuan untuk memperoleh suatu bahan bakar yang berkualitas dan dapat digunakan untuk semua sektor sebagai sumber energi pengganti. Mutu biobriket yang baik adalah biobriket yang memenuhi standar mutu agar dapat diigunakan sesuai keperluan (Budiman et al., 2012). Biobriket yang bermutu adalah biobriket yang memenihi standar SNI. Karakteristik biobriket menurut SNI 01- 6235-2000, antara lain kadar air maksimal 8%, kadar abu maksimal 8%, kadar zat terbang maksimal 15% dan nilai kalor minimal 5.000 kal/g (Sundari, 2009).
II. METODE PENELITIAN
a. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pirolisis, sarung tangan, stopwatch, baskom, sendok pengaduk, kompor, panci, alat tulis, timbangan digital ketelitian 0,01, lumbung, alat press briket tipe kempa ulir, cawan porselen, cawan platina, ayakan ukuran 80 mesh, oven, tanur, plastik, bomb calorimeter, dan desikator.
Bahan yang digunakan ialah arang pelepah dan kulit pinang, tepung tapioka, serta air.
b. Pelaksanaan Penelitian Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan alat pirolisis dengan suhu 250°C dan konsentrasi perekat tepung tapioka 5%. Metode pada penelitian ini adalah metode eksperimen skala laboratorium. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu perlakuan pencampuran bahan baku dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan, sehingga memperoleh 15 bahan percobaan dengan berat 1 biobriket 30 g. Perlakuan pencampuran bahan baku arang pelepah dan kulit pinang, yaitu:
P1 (Pelepah Pinang 30% : Kulit Pinang 70%) P2 (Pelepah Pinang 40% : Kulit Pinang 60%) P3 (Pelepah Pinang 50% : Kulit Pinang 50%) P4 (Pelepah Pinang 60% : Kulit Pinang 40%) P5 (Pelepah Pinang 70% : Kulit Pinang 30%)
Pengolahan Pelepah dan Kulit Pinang Menjadi Arang dengan Proses Karbonisasi (Modifikasi Ristianingsih, Y. et al., 2015)
Prosedur penelitian kulit dan pelepah pinang dibersihkan dengan cara dicuci kemudian diperkecil ukurannya dikeringkan dibawah sinar matahari hingga kering selama 32 jam, setelah kering di karbonisasi di dalam reaktor pirolisis dengan karbonisasi pelepah pinang menggunakan suhu 250°C waktu karbonsasi 4 jam . sedangkan untuk karbonisasi kulit pinang menggunakan suhu 250°
waktu karbonisasi 2,5 jam.
Pembuatan Biobriket (Modifikasi Ristianingsih, Y. et al., 2015)
Arang yang didapat dari hasil pirolisis kemudian ditumbuk menggunkan lumbung setelah itu di ayak dengan ukuran 80 mesh untuk menyeragamkan ukuran arang sebelum dicampur perekat. Untuk
menghasilkan perekat, tepung tapioca di larutkan dengan air. Rasio pencampuran 1:16 dengan air.
Setelah tercampur, larutan di didihkan sampai kental, warnanya menjadi hampir bening dan didapat adonan yang menjadi lem kanji. Arang hasil pirolisis yang sudah dilakukan penumbukan sampai halus, dilakukan pencampuran bahan baku antara arang kulit dan pelepah pinang. Kemudian dilakukan pencampuran antara arang dan perekat sesuai dengan konsentrasi perekat yang akan digunakan dalam pembuatan briket yaitu 95%:5%. Arang yang telah tercampur dengan perekat selanjutnya dicetak dengan alat pencetakan briket.
c. Analisis Parameter Penelitian
Pengujian yang diamati pada mutu biobriket limbah pelepah dan kulit pinang yaitu kadar air, kadar zat menguap, kadar abu, kadar karbon, dan nilai kalor.
Kadar Air (AOAC, 2005)
Pengujian kadar air dapat dilakukan dengan cara cawan di keringkan selama 30 menit pada suhu 105°C, dan di dinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian di timbang berat cawan tersebut. Uji kadar air dilakukan dengan cara menimbang sampel sebanyak 2 g dan di letakan ke dalam cawan tersebut. Lalu cawan + sampel di masukan ke dalam oven dengan suhu 105°C selama 3 jam. Setelah 3 jam, cawan + sampel di keluarkan dari oven dan di dinginkan di dalam desikator selama 15 menit setelah itu di timbang. Perlakuan dilakukan berulang yaitu cawan + sampel di masukan ke dalam oven selama 30 menit setelah itu di dinginkan ke dalam desikator selama 15 menit sampai berat cawan + sampel konstan. Kadar air dapat dilakukan perhitungan dengan persamaan berikut:
M = m2+ m3
m2+ m1× 100%
Keterangan:
M=kadar air (%)
m1=masa cawan kosong (g)
m2=masa cawan di tambah masa sampel sebelum di panaskan (g) m3=masa cawan di tambah masa sampel setelah di panaskan (g) Kadar Zat Menguap (Shobar et al., 2020)
Pengujian kadar zat mudah menguap dapat dilakukan dengan cara menguapkan bahan secara anaerob pada suhu 900°C. Selisih berat kadar zat mudah menguap dapat dihitung sebagai zat yang hilang atau menguap. Penetapan kadar zat mudah menguap dapat dilakukan dengan cara meletakkan sampel ke dalam cawan porselen yang diketahui beratnya. Sampel yang di letakan pada cawan porselen berasal dari perhitungan kadar air sebelumnya dan di tempatkan dalam tanur. Panaskan sampel tersebut ke dalam tanur dengan suhu 900°C pada waktu 7 menit, kemudian di dinginkan dalam desikator selama 15 menit dan selanjutnya dilakukan penimbangan. Perhitungan kadar zat mudah menguap dapat dilakukan dengan cara:
% Kadar Zat Menguap = W1− W2 W1
× 100%
Keterangan:
W1=berat cawan di tambah sampel setelah di panaskan pada suhu 100-105°C (g).
W2=berat cawan di tambah sampel setelah di panaskan pada suhu 900°C (g).
Kadar Abu (Shobar et al., 2020)
Pengujian pada kadar abu dapat dilakukan dengan cara menimbang cawan porselen dengan sampel yang berasal dari pengujian kadar zat menguap, di tempatkan dalam tanur dan di panaskan dalam suhu 600℃ selama 5 jam. Kemudian cawan porselen pada tanur di pindahkan, dan di dinginkan dalam desikator, serta dilakukan penimbangan. Penentuan pada kadar abu dilakukan dengan cara sebanyak dua kali ulangan. Kadar abu dapat dihitung dengan cara:
%Kadar Abu = C − A
B × 100%
Keterangan:
A=cawan kosong (g)
B=berat cawan ditambah sampel setelah di panaskan pada suhu 900°C (g) C=berat cawan ditambah sampel setelah di panaskan pada suhu 600°C (g) Kadar Karbon (Shobar et al., 2020)
Pengujian kadar karbon dilakukan dengan mengukur kadar air, kadar zat menguap dan kadar abu. Kadar karbon terikat dapat dihitung dengan cara:
%Kadar Karbon = 100% ‒ (%kadar air + %kadar zat terbang + %kadar abu) Nilai Kalor (Nanda, 2016)
Pengukuran nilai kalor bakar dapat dilakukan dengan cara menghidupkan boom calorimeter, water handling system dan cooler, lalu dibiarkan beberapa saat sampai suhu jaket mencapai 30-35%.
Mengisi bucket dengan aquadest sebanyak 2 L, kemudian sampel di timbang sebanyak ± 0,5000 g menggunakan cawan khusus. Tempatkan cawan di dalam gantungan yang sudah dipasang kawat (fuse wire) yang menghubungkan kedua kutub bomb head. Pasangkan 10 cm benang pembakar dari katun pada kawat yang menghubungkan kedua kutub bomb head, pelintir benang sampai continue ujungnya menyentuh contoh sampel. Masukan ke dalam bomb calorimeter, kemudian putar sampai tertutup dan terkunci. Tekan tombol start, lalu tekan, masukan nama atau kode ID sampel kemudian tekan enter lihat ID bomb sesuaikan dengan kode bomb head nya lalu tekan enter dan ketik berat contoh kemudian tekan enter kembali, secara otomatis alat akan menganalisa contoh dan menghitungnya. Biarkan analisa selesai dan data keluar. Setelah analisis, bomb calorimeter di bersihkan dan di keringkan. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai kalor:
Nilai Kalor (cal g⁄ ) =(E × t) − e1− e2− e3) M
Keterangan:
M=berat contoh (g)
E=nilai ekuivalen energi (Kal/°C) t=kenaikan suhu (°C)
e1=koreksi asam nitrat
e2=koreksi kawat penghantar dan benang pembakar e3=koreksi asam sulfat dari penetapan kadar sulfur d. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan software spss dengan uji Analisis of Variance (ANOVA) dan menggunakan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf 5%
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil Analisis Biobriket dari Arang Limbah Pelepah dan Kulit Pinang Pada Setiap Perbandingan
Perlakuan Kadar
Air (%)
Zat Menguap
(%)
Kadar Abu (%)
Kadar Karbon
(%)
Nilai Kalor
(%) Pelepah Pinang 30% : Kulit Pinang 70% 11,67 a 5,00 1,44 a 81,87 a 3005,33 Pelepah Pinang 40% : Kulit Pinang 60% 13,27 ab 5,62 1,54 a 79,57 ab 3173,67 Pelepah Pinang 50% : Kulit Pinang 50% 15,76 bc 4,95 1,48 a 77,81 ab 2581,67 Pelepah Pinang 60% : Kulit Pinang 40% 14,48 abc 5,17 1,80 ab 78,43 b 2534 Pelepah Pinang 70% : Kulit Pinang 30% 18,11 c 5,22 2,19 b 74,49 b 2563,33 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5% menurut uji DNMRT
a. Kadar Air
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran pelepah pinang dengan kulit pinang terhadap mutu biobriket berpengaruh nyata pada kadar air dari pembuatan biobriket yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar air dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1. pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 30%:70% berbeda nyata dengan perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 50%:50% dan 70%:30% tetapi tidak berbeda nyata dengan perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 40%:60% dan 60%:40%. Pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 40%:60% dan 60%:40% tidak berbeda nyata dengan perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 50%:50% dan 70%:30%. Hal ini diduga karena penambahan serbuk arang pelepah pinang memberikan pengaruh nyata terhadap kenaikan kadar air biobriket, karena pelepah pinang mempunyai kerapatan yang rendah dan memiliki kadar air yang tinggi. Triono (2006), menyatakan bahwa briket yang berasal dari bahan baku yang berkerapatan rendah memiliki kadar air yang lebih tinggi dari pada briket arang dengan bahan baku yang berkerapatan tinggi. Kadar air pelepah pinang 12,78%, sedangkan kadar air kulit pinang 9,7%.
Kadar air merupakan parameter penting untuk menentukan kualitas pada biobriket. Kadar air dapat berpengaruh secara langsung terhadap parameter dari nilai kalor biobriket. Haygreen dan Bowyer (1989), menjelaskan bahwa semakin tinggi kadar air semakin rendah nilai kalor. Hal ini disebabkan karena panas yang tersimpan dalam biobriket terlebih dahulu digunakan untuk mengeluarkan air yang ada sebelum kemudian menghasilkan panas yang dapat dipergunakan sebagai panas pembakaran, dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi kadar air briket maka akan semakin sulit dibakar demikian juga sebaliknya.
Standar kadar air biobriket sesuai dengan SNI yaitu maksimal 8% berdasarkan SNI tersebut kadar air pada biobriket dari perlakuan tersebut tidak ada yang memenuhi SNI. Biobriket yang memiliki kadar air terendah terdapat pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 30%:70%
yaitu 11,67% sedangkan kadar air tertinggi pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 70%:30% yaitu 18,11%.
b. Kadar Zat Menguap
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran pelepah dengan kulit pinang terhadap mutu biobriket tidak berpengaruh nyata pada kadar zat menguap dari pembuatan biobriket yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar zat menguap dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1. pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang semua perlakuan tidak berbeda nyata pada kadar zat menguap. Hal ini diduga pencampuran serbuk arang pelepah dan kulit pinang tidak berpengaruh nyata terhadap naik turunnya kadar zat menguap karena kadar lignin dari bahan baku tersebut terurai pada saat karbonisasi. Kadar lignin dan selulosa dari pelepah pinang yaitu 19,59% dan 66,08% (Poddar et al., 2016) sedangkan kulit pinang 31,64% dan 34,18%
(Chandra, 2016). Pada saat proses pemanasan, terjadi penguraian lignin dan selulosa sehingga menghasilkan gas-gas seperti CO, CO2, CH4, dan H2 (Kuriyama, 1961 yang dikutip oleh Sudratjat, 1983). Menurut Hendra (2007), menyatakan faktor bahan baku sangat mempengaruhi kualitas briket arang yang dihasilkan. Kandungan zat menguap yang rendah didalam biobriket menimbulkan asap yang lebih sedikit saat dinyalakan. Hal ini disebabkan karena adanya reaksi antara karbon monoksida (CO) dengan turunan alkohol (Ariyanto et al., 2014).
Standar kadar zat menguap biobriket sesuai dengan SNI yaitu maksimal 12% berdasarkan SNI kadar zat menguap pada biobriket dari perbandingan arang pelepah dan kulit pinang semua perlakuan memenuhi SNI.
Biobriket yang memiliki kadar zat menguap terendah terdapat pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 50%:50% yaitu 4,95% sedangkan kadar zat menguap tertinggi pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 40%:60% yaitu 5,62%.
c. Kadar Abu
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran pelepah dengan kulit pinang terhadap mutu biobriket berpengaruh nyata pada kadar abu dari pembuatan biobriket yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar abu dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1. Pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 30%:70% tidak berbeda nyata dengan perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 40%:60%, 50%:50% dan 60%:40%, tetapi berbeda nyata dengan perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang 70%:30%. Pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 60%:40% tidak berbeda nyata dengan perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 70%:30%. Hal ini diduga karena penambahan serbuk
arang pelepah pinang memberikan pengaruh nyata terhadap naik dan turunnya kadar abu biobriket, karena senyawa kimia yang terdapat pada bahan baku berupa lignin dan selulosa. Triono (2006), menyatakan kadar abu yang dihasilkan sangat erat hubungannya dengan jenis bahan penyusun briket seperti selulosa, lignin, slika dan mineral yang terkandung didalamnya. Semakin tinggi kandungan lignin dan selulosa pada biobriket maka semakin bermutu biobriket yang dihasilkan dan dapat menurunkan kadar abu. Salji (2017), menyatakan bahwa lignin dan selulosa yang tinggi menghasilkan arang yang baik sehingga dapat menurunkan kadar abu. Kadar liginin dan selulosa dari pelepah pinang yaitu 19,59% dan 66,08% (Poddar et al., 2016) sedangkan kulit pinang 31,64%
dan 34,18% (Chandra, 2016).
Menurut Hendra (2007), menyatakan faktor bahan baku sangat mempengaruhi kualitas briket arang yang dihasilkan. Semakin tinggi kandungan kadar abu maka semakin rendah kualitas biobriket. Kandungan kadar abu yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor pada briket sehingga kualitas briket tersebut rendah (Masturin, 2002). Abu merupakan residu yang tersisa setelah proses pembakaran. Abu dapat menurunkan nilai kalor dan meninggalkan sisa kerak pada peralatan sehingga persentase abu tidak boleh tinggi (Thoha dan Fajrin, 2010).
Kualitas biobriket dapat juga dipengaruhi oleh pengujian terhadap kadar abu yang terdapat dalam pembuatan biobriket (Basuki
et al., 2020). Kandungan kadar abu padabiobriket yang rendah merupakan kualitas biobriket yang bermutu. Semakin lama proses biobriket yang terbakar maka semakin rendah dari kadar abu yang dihasilkan, kadar abu juga berpengaruh terhadap sisa pembakaran .
Standar kadar abu biobriket sesuai dengan SNI yaitu maksimal 8%, berdasarkan SNI tersebut kadar abu pada biobriket dari perbandingan arang pelepah dan kulit pinang semua perlakuan memenuhi SNI.
Biobriket yang memiliki abu terendah terdapat pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 30%:70% yaitu 1,44% sedangkan kadar zat menguap tertinggi pada perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang 70%:30% yaitu 2,19%.
d. Kadar Karbon
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa pencampuran pelepah pinang dengan kulit pinang terhadap mutu biobriket berpengaruh nyata pada karbon terikat dari pembuatan biobriket yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar karbon terikat dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1. pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 30%:70% tidak berbeda nyata pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 40%:60%, 50%:50% dan 60%:40%, tetapi berbeda nyata pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 70%:30%. Pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 40%:60%, 50%:50% dan 60%:40% tidak berbeda nyata pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 70%:30%. Hal ini diduga pencampuran serbuk arang pelepah pinang dan kulit pinang berpengaruh nyata terhadap naik turunnya kadar karbon terikat, karena tingginya kadar karbon sisa pada kulit pinang karena memiliki kandungan karbon berasal dari lignin yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pelepah pinang. Kadar lignin dan selulosa dari pelepah pinang yaitu 19,59% dan 66,08% (Poddar et al., 2016) sedangkan kulit pinang 31,64% dan 34,18% (Chandra, 2016). Menurut Wijayanti (2009), menyatakan bahwa kadar karbon sangat erat hubungannya dengan kandungan kimia seperti lignin dan selulosa, bila lignin dan selulosa tinggi maka menghasilkan kadar karbon yang baik.
Kandungan kadar karbon terikat yang terdapat dalam arang merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas arang, dimana semakin tinggi nilai kadar karbon terikat maka semakin baik pula kualitas arang yang dihasilkan (Frida et al., 2019).
Berdasarkan hasil penelitian,kadar air, kadar abu dan zat terbang mempengaruhi kadar karbon sisa. Semakin rendah kadar air, zat terbang dan kadar abu, maka nilai karbon sisa semakin tinggi.
Sebaliknya, semakin tinggi kadar air, zat terbang dan kadar abu, maka nilai karbon sisa semakin rendah. Tinggi rendahnya kadar karbon sisa akan mempengaruhi nilai kalor yang dihasilkan.
Menurut Kurnia (2018), menyatakan besar kecilnya kadar karbon terikat tetap bergantung pada jumlah kadar air, kadar abu dan kadar zat menguap.
Standar kadar karbon biobriket sesuai dengan SNI yaitu minimal 80% berdasarkan SNI tersebut kadar karbon pada biobriket dari perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang 30%:70%
memenuhi SNI sedangkan perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang 40%:60%, 50%:50%, 60%:40% dan 70%:30% tidak memenuhi SNI. Biobriket yang memiliki karbon terendah
terdapat pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 70%:30% yaitu 74,49% sedangkan kadar karbon tertinggi pada perbandingan arang pelepah dan kulit pinang 30%:70% yaitu 81,87%.
e. Nilai Kalor
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pencampuran pelepah pinang dengan kulit pinang terhadap mutu biobriket tidak berpengaruh nyata pada nilai kalor dari pembuatan biobriket yang dihasilkan. Nilai rata-rata nilai kalor dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1. Pada perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang semua perlakuan tidak berbeda nyata pada pengujian nilai kalor.Hal ini diduga pencampuran serbuk arang pelepah pinang dan kulit pinang tidak berpengaruh nyata terhadap naik turunnya nilai kalor karena dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi pada Tabel 1. Sesuai pernyataan Lusyiani (2011), menyatakan kadar air yang tinggi menyebabkan adanya panas yang terbuang dalam penguapan air sehingga menurunkan nilai kalor. Artinya semakin tinggi kadar air maka semakin rendah nilai kalor.
nilai karbon terikat juga mempengaruhi nilai kalor. Pernyataan Sudrajat (1983), yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai kalor briket arang dipengaruhi oleh kadar karbon terikat briket arang.
Senyawa kimia bahan yang digunakan seperti lignin dan selulosa dapat mempengaruhi nilai kalor yang dihasilkan. Tingginya nilai kalor dipengaruhi oleh kandungan penyusun bahan baku seperti lignin dan selulosa (Hendra dan Winarni, 2003). Semakin tinggi kandungan lignin dan selulosa pada bahan baku semakin tinggi kalor yang dihasilkan. Kadar lignin dan selulosa dari pelepah pinang yaitu 19,59% dan 66,08% (Poddar et al., 2016) sedangkan kulit pinang 31,64% dan 34,18% (Chandra, 2016).
Menurut Samsinar (2014), menyatakan nilai kalor menjadi parameter mutu paling penting bagi briket sebagai bahan bakar karena menentukan kualitas briket. Semakin tinggi nilai kalor yang dihasilkan semakin bermutu biobriket tersebut, begitu pula sebaliknya semakin rendah nilai kalor yang dihasilkan semakin kurang dari mutu biobriket tersebut.
Standar nilai kalor biobriket sesuai dengan SNI yaitu minimal 5000 cal/g berdasarkan SNI nilai kalor pada biobriket dari perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang tidak ada yang memenuhi SNI. Biobriket yang memiliki nilai terendah terdapat pada perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang 60%:40% yaitu 2534,00 cal/g sedangkan nilai kalor tertinggi terdapat pada perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang 40%:60% yaitu 3173,66 cal/g.
IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Perbandingan arang pelepah pinang dan kulit pinang (Areca catechu L.) terhadap mutu biobriket berpengaruh nyata pada kadar air, kadar abu dan kadar karbon, tetapi tidak berpengaruh nyata pada kadar zat menguap dan nilai kalor.
2. Perbandingan pelepah dan kulit pinang yang tepat terhadap mutu biobriket yaitu pada perlakuan P1 (Pelepah Pinang 30% : Kulit Pinang 70%) yang memiliki nilai kadar air 11,67%, kadar zat menguap 5,00%, kadar abu 1,44%, kadar karbon 81,87% dan nilai kalor 300,33 cal/g.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. (2005). Official of Analiysis of The Association of Official Analytical Chemistry. Arlington: AOAC Inc.
Basuki, H. W., Yuniarti, Y., dan Fatriani, F. 2020. Analisa sifat fisik dan kimia briket arang dari campuran tandan kosong aren (arenga pinnata merr) dan cangkang kemiri (Aleurites trisperma). Jurnal sylva scienteae, 3(4), 626- 636.
Budiman, S., Sukrido, A., dan Harliana. 2012. Pembuatan Biobriket dari Campuran Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatroca curcas L.) dengan Sekam Padi Sebagai Bahan Bakar Alternatif. Jurnal. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang.
Chandra, J., George, N., and Narayanankutty, S. 2016. Isolation and Characterization of Cellulose Nanofibrils from Arecanut Husk Fibre. Journal Carbohydrate Polimers. 142: 158-166.
Frida, E., Darniati, D., dan Pandia, J. 2019. Preparasi dan Karakterisasi Biomassa Kulit Pinang dan Tempurung Kelapa Menjadi Briket dengan Menggunakan Tepung Tapioka Sebagai Perekat. Juitech. 3(2).
Hartoyo. 1983. Pembuatan Arang dan Briket Arang Secara Sedehana dari Serbuk Gergaji dan Limbah Industri Perkayuan. Seminar Pemanfaatan Limbah Seminar Pemanfaatan Limbah Pertanian/Kehutanan Sebagai Sumber Energi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. 42-43.
Haygreen, J. G., dan J. L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Terjemahan Oleh Sutijipto A.
Hadikusumo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hendra, D. 2007. Pembuatan Briket Arang dari Campuran Kayu, Bambu, Sabut Kelapa dan Tempurung Kelapa Sebagai Sumber Energi Alternatif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 25(3): 242-255.
Jamilatun, S. 2008. Sifat-Sifat Penyalaan dan Pembakaran Briket Biomassa, Briket Batu Bara dan Arang Kayu.
Jurnal Rekayasa Proses. 2(2): 37-40.
Kementan. 2019. Kementan Lepas Ekspor Ratusan Ribu Ton Biji Asal Jambi.
Kurnia. R. 2018. Karakteristik Briket Arang dari Campuran Tandan Kosong dan Daun Kelapa Sawit. [Skripsi]
Fakultas Pertanian Universitas Riau. Riau.
Lusyiani, L. 2011. Analisis Sifat Fisik Dan Kimia Briket Arang Dari Campuran Kayu Galam (Melaleuca leucadendron Linn) dan Tempurung Kemiri (Aleurites moluceana Wild). Jurnal Hutan Tropis.
12(32).
Maryono, Sudding, dan Rahmawati. 2013. Pembuatan dan Analisis Mutu Briket Arang Tempurung Kelapa Ditinjau dari Kadar Kanji. Jurnal Chemica. 14(1): 74- 83.
Masturin, A. 2002. Sifat Fisik dan Kimia Briket Arang dari Campuran Arang Limbah Gergajian Kayu.
[Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Nanda, W. 2016. Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jacq) Sebagai Bahan Pembuatan Briket Arang [Skripsi]. Unversitas Muhammadiyah. Palembang.
Poddar, P., M. A. Asad, M. S. Islam, S. Sultana, H. Parvin, and A. M. S. Chowdhury. 2016. Mechanical and Morphological Study of Arecanut Leaf Sheath (ALS), Coconut leaf Sheath (CLS) and Coconut Stem Fiber (CSF). Adv Mater Sci. 1(2): 1-4.
Ristianingsih, Y., Ulfa, A., dan KS, R. S. 2015. Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Perekat Terhadap Karakteristik Briket Bioarang Berbahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Proses Pirolisis. Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. 4(2): 45-51.
Salim, R. 2016. Karakteristik dan Mutu Arang Kayu Jati (Tectona Grandis) dengan Sistem Pengarangan Campuran Pada Metode Tungku Drum. Balai Riset dan Standarisasi Industry Banjar Baru.
Kalimantan selatan.
Salji, A. 2017. Variasi konsentrasi bahan, molase, dan tekanan pada pembuatan briket tempurung kelapa dan sekam padi. [Skripsi]. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Samsinar, S. 2014. Penentuan Nilai Kalor Briket dengan Memvariasikan Berbagai Bahan Baku. [Skripsi].
Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (Uin) Alauddin. Makassar.
Shobar, S., Sribudiani, E., dan Somadona, S. 2020. Karakteristik Briket Arang dari Limbah Kulit Buah Pinang dengan Berbagai Komposisi Jenis Perekat. Jurnal Sylva Lestari. 8(2): 189-196.
Sudradjat, R. 1983. Pengaruh Bahan Baku, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap Kualitas Briket Arang.
Laporan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. (165).
Sundari, D. 2009. Karakteristik Briket Arang dari Serbuk Gergaji dengan Penambahan Arang Cangkang Kelapa Sawit. [Skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Triono, A. 2006. Karakteristik Briket Arang dari Campuran Serbuk Gergajian Kayu Afrika (Maesopis eminii, Engl.) dan Sengon (Paraserianthes falcataria, L. Nielsen) dengan Penambahan Tempurung Kelapa (Cocos nucifera, L.). Departemen Hasil Hutan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wijayanti, H. 2009. Karbon Aktif dari Sekam Padi: Pembuatan dan Kapasitasnya Untuk Adsorpsi Larutan Asam Asetat. Jurnal info-Teknik. 10(1): 61-6.