Kapsaisin
Kapsaisin (trans-8-metil-N-vanillyl-6-nonenamide) merupakan alkaloid alami yang diekstrak dari buah tanaman famili capsicum. Buah ini merupakan anggota dari famili vanilloid yang memiliki senyawa vanilloid seperti eugenol dari daun salam dan cengkeh, zingerone dari jahe, dan kapsaisin dari cabai.(Fattori et al., 2016)
Gambar 1.1 Strukrur Kimia Kapsaisin
A. Mekanisme Kerja
Kapsaisin merupakan anggota famili vanilloid, sebuah kelompok yang memiliki gugus vanillil. Kapsaisin mengikat dan mengaktivasi transient receptor potential cation channel subfamily V member 1 receptor (TRPV1), sebuah transient receptor potential (TRP). Reseptor TRPV1 terutama ditemukan pada neuron yang bertanggung jawab untuk merasakan nosisepsi (nyeri) dan termoresepsi (panas). Aktivasi neuron ini menyebabkan pelepasan neuropeptida yang tersimpan seperti zat P dan peptida terkait gen kalsitonin (CGRP), yang berperan dalam menyebabkan seseorang merasa nyeri dan/atau gatal. Setelah neuron telah berulang kali diaktivasi melalui reseptor TRPV1, neuropeptida akan berkurang (deplesi), dan neuron akan terdesntisisasi untuk stimulasi berikutnya via reseptor. Pemakaian awal kapsaisin menyebabkan sensasi terbakar/menyakitkan karena pelepasan awal neuropeptida. Setelah neuropeptida ini berkurang, kapabilitas neuron akan berkurang untuk membentuk rasa sakit. Dengan mekanimse ini kapsaisin dapat dimanfaatkan efek farmakologi postif nya dalam penggunaan dermatologi.(Nandar and Handoko, 2018)
B. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi
Kapsaisin umumnya digunakan secara topikal dalam dermatologi untuk pengobatan pruritus kronik (gatal) dan nyeri neuropatik kronik. Saah satu penggunaan yang umum dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) yaitu untuk neuralgia pasca- herpetika. Secara umum, untuk penggunaannya dalam neuralgia pasca-herpetika,
kapsaisin digunakan sebagai terapi tambahan bersamaan dengan terapi lainnya, seperti antikonvulsan, antidepresan trisiklik, dan medikasi opiat.(Ilie et al., 2019)
Adapaun indikasi lainnya dari kapsaisin, meliputi:(Chang A, Rosani A, 2023) 1. Kondisi nyeri kronik , seperti nyeri neuropati non-diabetika
2. Nyeri kronik pada muskuloskeletal 3. Osteoarthritis
4. Hipereaktif neurogenic vesika urinaria
5. Gastroprotektif pada penggunaan NSAID dan etanol 6. Gastropati
7. Nausea dan vomitus pasca operasi 8. Pruritus
9. Pruritus ani
10. Nyeri tenggorokan pasca operasi
11. Mukositis pasca kemoterapi dan radioterapi
Penting untuk dicatat bahwa produsen manufaktur telah mensponsori banyak penelitian yang meneliti manfaat kapsaisin. Mereka sering meresepkan agen untuk banyak gangguan lain dengan sedikit atau tanpa bukti pendukung. Terdaoat sedikit bukti ilmiah bahwa kapsasin bekerja sebagai agen penurun berat badan atau menurunkan gula darah, meskipun penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengevaluasi efek totalnya pada penundaan sindrom metabolik terkait obesitas.(Chang A, Rosani A, 2023)
Kontraindikasi
Beberapa studi telah melaporkan kontraindikasi relatif pada pasien dengan asma, karena mereka memiliki sensitivitas yang lebih besar terhadap kapsaisin. Diduga terdapat peningkatan aktivitas reseptir TRPV1 pada penderita asma dengan adanya peningkatan endovaniloid di saluran udara. Namun, tidak ada kontraindikasi absolut yang dilaporkan untuk penggunaan kaspsaisin.(Chang A, Rosani A, 2023)
C. Teknik Aplikasi
Kapsaisin tersedia dalam berbagai bentuk seperti krim konsentrasi rendah, lotion, patch, suntikan intradermal, formulasi oral, suntikan subkutan, intravena, film, mikroemulsi, liposom, dan nanoteknologi. Kapsaisin yang banyak digunakan dalam bidang dermatologi yaitu dalam sediaan topikal krim dengan konsentrasi 0.025% atau 0.075%. Dosis pengaplikasian yang direkomendasikan adalah pemakaian 2 – 4 kali
sehari pada area yang terkena. Preparat parenteral kasaisin saat ini belum tersedia.
(Chang A, Rosani A, 2023) D. Komplikasi
Aplikasi topikal kapsaisin dilaporkan dapat menyebabkan iritasi, eritema lokal, pruritus lokal, edema atau pembengkakakn lokal, kulit kering secara lokal, dan rasa terbakar. Beberapa efek lain yang Studi oleh Sawynok dkk melaporkan efek samping dari penggunaan kapsaisin pada sekitar 54% pasien (dibandingkan plasebo yang hanya sebesar 15%) berupa rasa terbakar yang tidak nyaman. Rasa terbakar saat aplikasi awal kapsaisin ini tidak dpaat dicegah dengan penggunaan anestesi lokal topikal dan hal ini menjadi keterbatasan utama penggunaan kapsaisin sebagai terapi topikal.(Chang A, Rosani A, 2023)
Batuk merupakan efek samping lain penggunaan kapsaisin dan dilaporkan terjadi pada 8% pasien yang menggunakan krim kapsaisin preparat 0.075%, sedangkan pada krim kapsaisin peraparat 0.025% tidak ditemukan efek samping ini. Kapsaisin telah banyak digunakan dalam pengujian batuk karena menghasilkan respons batuk yang tergantung dosi. Reseptor TRPV1 juga terdapat pada neuron sensorik di saluran napas sehingga berperan dalam mekanisme refleks batuk. Studi oleh Jia dkk melaporkan bahwa asma memiliki sensitivitas yang lebih besar terhadap kapsaisin dibandingkan batuk dan bronkokonstriksi, yang menyebabkan risiko peningkatkan aktivitas pada TRPV1 pada penderita asma. Hal ini konsisten dengan temuan adanya peningkatan endovaniloid pada saluran nafas pasien asma.(Chang A, Rosani A, 2023)
Kapsaisin dalam bentuk spray digunakan sebagai pengendali hama dan agen pertahanan. Dalam hal ini, kapsaisin bersifat sangat iritan karena dapat menyebabkan rasa terbakar atau seperti tersetrum pada kulit. Paparan pada mara dapat menyebabkan mata berair, nyeri, konjungtivitis, dan blefarospasme. Jika termakan dalam jumlah yang besar, maka dapat menyebabkan mual, muntah, nyeri abdomen, dan diare yang panas.
Selain itu, beberapa komplikasi jarang yang dilaporkan termasuk bau kulit abnormal, pusing, dysgeusia, sakit kepala, hipestesia, edema perifer, neuropati sensorik perifer, dan iritasi tenggorokan.(Huang et al., 2013; Chang A, Rosani A, 2023)
Referensi
1. Chang A, Rosani A, Q.J. (2023) ‘Capsaicin’, in StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing. Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29083760/
2. Fattori, V. et al. (2016) ‘Capsaicin: Current Understanding of Its Mechanisms and Therapy of Pain and Other Pre-Clinical and Clinical Uses.’, Molecules (Basel, Switzerland), 21(7). Available at: https://doi.org/10.3390/molecules21070844.
3. Huang, X.-F. et al. (2013) ‘Capsaicin and its analogues: structure-activity relationship study.’, Current medicinal chemistry, 20(21), pp. 2661–2672.
Available at: https://doi.org/10.2174/0929867311320210004.
4. Ilie, M.A. et al. (2019) ‘Capsaicin: Physicochemical properties, cutaneous reactions and potential applications in painful and inflammatory conditions.’, Experimental and therapeutic medicine, 18(2), pp. 916–925. Available at:
https://doi.org/10.3892/etm.2019.7513.
5. Nandar, S. and Handoko, E. (2018) Mekanisme Molekular Analgesik (Molecular Mechanism of Analgesic) dalam Continuing Neurological Education (CNE-7), Comprehensive Approach To Pain Management, UB Media, Universitas Brawijaya, Malang. p29-49. ISBN 978-602-462-103-2