Volume 19
Number 1 Januari Article 4
1-2019
Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan Ketergantungan Spasial
Ketergantungan Spasial
Aspiansyah Aspiansyah
Badan Pusat Statistik, [email protected] Arie Damayanti
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, [email protected]
Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jepi Part of the Economics Commons
Recommended Citation Recommended Citation
Aspiansyah, Aspiansyah and Damayanti, Arie (2019) "Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan Ketergantungan Spasial," Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia: Vol. 19: No. 1, Article 4.
DOI: 10.21002/jepi.2019.04
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jepi/vol19/iss1/4
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Economics & Business at UI Scholars Hub.
It has been accepted for inclusion in Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia by an authorized editor of UI Scholars Hub.
p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280
62
Model Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peranan Ketergantungan Spasial
Indonesia’s Economic Growth Model: The Role of Spatial Dependence
Aspiansyaha,∗, & Arie Damayantib
aBadan Pusat Statistik
bDepartemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
[diterima: 12 Januari 2018 — disetujui: 31 Juli 2018 — terbit daring: 12 Maret 2019]
Abstract
This study aims to examine the role of spatial dependence on Indonesia’s regional economic growth based on panel data of all provinces in Indonesia during 1990–2015. By using spatial durbin model, the authors found that spatial dependence plays an important role in achieving regional economic growth in Indonesia. Indonesia’s regional economic growth model that controls spatial dependence, yields better estimates than growth model that does not control spatial dependence. The researchers also found positive spatial spillover to Indonesia’s regional economic growth sourced from other region’s economic growth and initial per capita incomes, as well as population growth in other regions.
Keywords:regional economic growth; spatial dependence; Spatial Durbin Model; spatial spillover
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peranan ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia berdasarkan data panel seluruh provinsi di Indonesia selama tahun 1990–2015. Dengan menggunakan model durbin spasial, penulis menemukan bahwa ketergantungan spasial berperan penting dalam pencapaian pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia. Model pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang mengontrol ketergantungan spasial menghasilkan estimasi yang lebih baik daripada model pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang tidak mengontrol ketergantungan spasial. Peneliti juga menemukan terjadinyaspatial spilloveryang positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang bersumber dari pertumbuhan ekonomi wilayah lain, pendapatan per kapita awal dari wilayah lain dan pertumbuhan penduduk wilayah lain.
Kata kunci:ketergantungan spasial; pertumbuhan ekonomi regional;Spatial Durbin Model;spatial spillover Kode Klasifikasi JEL:C31; R11
Pendahuluan
Ketergantungan spasial (spatial dependence) meru- pakan salah satu faktor penting yang perlu diper- timbangkan dalam menganalisa pertumbuhan eko- nomi suatu wilayah. Hal tersebut berdasarkan pada pandangan bahwa suatu wilayah tidak dapat di- perlakukan sebagai unit yang berdiri sendiri, yang
∗Alamat Korespondensi: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupa- ten Tabalong, Kalimantan Selatan. Jln. Jaksa Agung Soeprapto No.82, Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.E- mail: [email protected].
disebabkan oleh adanya interaksi sosial ekonomi an- tarwilayah di antaranya melalui perdagangan, alir- an modal, migrasi, difusi teknologi, dan pertukaran informasi (Nijkamp dan Poot, 1998). Interaksi sosial ekonomi antarwilayah itu akan memunculkan ke- tergantungan spasial pada pertumbuhan ekonomi yang disebut juga oleh Lesage (1999) sebagai terja- dinyaspatial spillover. Tselios (2009) menambahkan bahwa ketergantungan spasial tersebut akan se- makin kuat pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah yang bertetanggaan, ka- rena interaksi sosial ekonomi antarwilayah yang
bertetanggaan tersebut relatif tidak ada hambatan.
Dengan demikian, suatu model yang menjelas- kan tentang pertumbuhan ekonomi suatu wilayah harus memasukkan aspek ketergantungan spasial.
Adanya interaksi sosial ekonomi antarwilayah yang mengakibatkan terjadinya ketergantungan spasial perlu dipertimbangkan dalam model pertumbuhan ekonomi untuk menghindari kemungkinan terja- dinyavariable omitted bias(Goetzke dan Andrade, 2010). Pengabaian terhadap peranan ketergantung- an spasial dalam model pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan estimasi parameter dari mo- del pertumbuhan ekonomi menjadi tidak efisien bahkan menjadi bias, sehingga mengakibatkan terja- dinyamissleadingdalam menganalisis pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Anselin, 1988).
Meskipun aspek ketergantungan spasial sudah dipertimbangkan dalam penelitian pertumbuhan ekonomi, namun kebanyakan berbagai penelitian tersebut hanya berlandaskan pada teknik ekonome- trika semata. Le Gallo dan Fingleton (2014) menya- takan bahwa adanya saling ketergantungan antar- wilayah membuat sebagian besar penelitian regio- nal menggunakan teknik ekonometrika spasial un- tuk menganalisis pertumbuhan ekonomi regional.
Secara spesifik, Abreuet al. (2004) telah mengum- pulkan informasi lebih dari 50 penelitian tentang pertumbuhan ekonomi yang menggunakan tek- nik ekonometrika spasial yang 92% di antaranya memasukkan peranan ketergantungan spasial. Na- mun, berbagai penelitian terkait dengan pengaruh ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan eko- nomi masih banyak yang belum berlandaskan teori ekonomi, sehingga mengakibatkan mis-spesifikasi model yang digunakan (Behrens dan Thisse, 2007).
Model pertumbuhan neoklasik dapat dikem- bangkan menjadi model pertumbuhan ekonomi yang mempertimbangkan peranan ketergantungan spasial. Ertur dan Koch (2007) telah memulainya dengan mengembangkan model Solow. Menurut Ertur dan Koch (2007), keterkaitan teknologi an-
tarwilayah merupakan fenomena yang tidak bisa diabaikan dalam mengkaji pertumbuhan ekono- mi, karena adanyaspilloverstok pengetahuan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Dengan adanya keterkaitan teknologi antarwilayah tersebut, yang mana teknologi tersebut melekat pada determinan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, maka me- nurut Ertur dan Koch (2007), model pertumbuhan ekonomi harus memasukkan secara eksplisit ke- tergantungan spasial. Hampir sama dengan yang dilakukan oleh Ertur dan Koch (2007), Fischer (2011) mengembangkan modelMankiw Romer Weil(MRW) dengan memperhatikan adanya keterkaitan tekno- logi antarwilayah, dan menyebutnya sebagai model MRW spasial. Kesimpulannya, pertumbuhan eko- nomi suatu wilayah tidak hanya dipengaruhi oleh determinan di wilayah itu sendiri, tapi juga oleh determinan dari wilayah lain serta pertumbuhan ekonomi wilayah lain (Ertur dan Koch, 2007; Fischer, 2011).
Beberapa penelitian pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di dunia telah menggunakan lan- dasan model pertumbuhan neoklasik dengan mem- pertimbangkan peranan ketergantungan spasial.
Dall’erba dan Llamosas-Rosas (2014) serta ´Alvarez dan Barbero (2016) menggunakan model MRW spa- sial untuk melakukan penelitian empiris terhadap pengaruh ketergantungan spasial pada pertumbuh- an ekonomi regional masing-masing di Amerika Serikat dan Spanyol. Sementara itu, Sunet al. (2017) menggunakan model pertumbuhan ekonomi yang diinisiasi oleh Ertur dan Koch (2007) untuk mela- kukan penelitian pertumbuhan ekonomi regional di Cina. Secara umum, penelitian-penelitian yang dila- kukan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah lain serta determinan pertumbuh- an ekonomi dari wilayah lain berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yang mem- buktikan bahwa ketergantungan spasial berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu wila- yah.
Adapun penelitian terpublikasi tentang penga- ruh ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia masih jarang dilaku- kan. Sepengetahuan penulis, penelitian terpublikasi tentang pengaruh ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia hanya di- lakukan oleh Takeda (2013) dan Vidyattama (2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Takeda (2013) tidak menemukan adanya ketergantungan spasial pada pertumbuhan ekonomi regional Indonesia. Semen- tara penelitian yang dilakukan oleh Vidyattama (2014) menghasilkan kesimpulan bahwa pertum- buhan ekonomi wilayah lain berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia, yang menurut Vidyattama (2014) sendi- ri, hal tersebut mengindikasikan terjadi kekeliruan pada estimasi.
Terdapatgapyang akan penulis isi dari peneliti- an Takeda (2013) dan Vidyattama (2014) tersebut.
Penelitian Takeda (2013) dan Vidyattama (2014) menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor (karakteristik) di wi- layah itu sendiri, pertumbuhan ekonomi wilayah lain, danshockdari wilayah lain. Penelitian Takeda (2013) dan Vidyattama (2014) belum melihat secara eksplisit pengaruh dari determinan pertumbuhan ekonomi dari wilayah lain. Padahal sebagaimana Ertur dan Koch (2007), determinan pertumbuhan ekonomi dari wilayah lain seperti pendapatan per kapita awal, investasi modal fisik, investasi modal manusia, dan pertumbuhan penduduk dari wilayah lain, juga diduga berpengaruh terhadap pertum- buhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia. Untuk mengisigaptersebut, penulis akan menggunakan landasan teori pertumbuhan ekonomi MRW spasial yang dikembangkan oleh Fischer (2011), sehing- ga mengarahkan pada penggunaan model empiris yang tepat untuk melihat berbagai sumber keter- gantungan spasial pertumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengonfirmasi
penelitian sebelumnya terkait dengan ketiadaan pengaruh ketergantungan spasial terhadap pertum- buhan ekonomi regional di Indonesia, maupun yang terkait dengan adanya pengaruh negatif dari pertumbuhan ekonomi wilayah lain terhadap per- tumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia.
Dalam mencapai tujuan tersebut, penulis menggu- nakan teknik analisis ekonometrika spasial dengan memilih model spasial Durbin untuk mengakomo- dasi model teoretis MRW spasial. Penulis meng- hasilkan temuan bahwa ternyata ketergantungan spasial pertumbuhan ekonomi terbukti terjadi di Indonesia, dengan pertumbuhan ekonomi wilayah lain, pendapatan per kapita awal wilayah lain, dan pertumbuhan penduduk wilayah lain berpenga- ruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia.
Tinjauan Literatur
Landasan teori yang penulis gunakan sebagai ke- rangka konseptual pada penelitian ini adalah mo- del MRW spasial (spatial MRW model) yang dikem- bangkan oleh Fischer (2011) dari model MRW stan- dar. Diasumsikan setiap wilayah memiliki fungsi produksi berbentuk Cobb-Douglas. SejumlahNwi- layah diasumsikan mempunyai fungsi produksi Cobb-Douglas sepanjangTperiode:
Yit=AitKαitKHαitHL1it−αK−αH (1) denganYit adalahoutputdari wilayahisaat peri- ode t, sementara Kit,Hit, dan Lit masing-masing menyatakan level dari modal fisik, modal manusia, dan tenaga kerja untuk wilayah i saat periodet, sedangkanAit merupakan level daritechnological knowledge. Persamaan (1) tersebut dapat dirubah ke dalam bentuk persamaanoutputper pekerja dengan membagi kedua sisi denganLit:
yit =AitkαitKhαitH (2)
denganyit,kit, danhitmasing-masing adalahoutput per pekerja, modal fisik per pekerja, dan modal manusia per pekerja.
Mengikuti ´Alvarez dan Barbero (2016),techno- logical knowledge merupakan fungsi dari seluruh stok pengetahuan, faktor produksi di wilayah itu sendiri, dan faktor produksi dari wilayah lain yang dinyatakan dengan:
Ait= Ωkθithγit
N
Y
j=1
kθρjtwi jhγρjtwi j (3)
dengan Ω merefleksikan “the exogenous common knowledge”, sementaraθdanγmerefleksikan para- meter teknologi dengan 0< θ,γ <1. Adapunwi j
adalah struktur konektivitas antarwilayah danρ menunjukkan interdependensi teknologi antarwila- yah dengan 0< ρ <1.
Dengan memasukkan Persamaan (3) ke (2) dida- pat:
yit= ΩkαitK+θhαitH+γ
N
Y
j=1
kθρjtwi jhγρjtwi j (4) Persamaan (4) menyatakan bahwa output per pekerja suatu wilayah tergantung dari faktor pro- duksi di wilayah itu sendiri dan faktor produksi dari wilayah lain.
Model pertumbuhan ekonomi neoklasik menga- sumsikan bahwa tenaga kerja di wilayahitumbuh sebesarni. Sementara bagian dari pendapatan yang diinvestasikan untuk modal fisik dan modal manu-
sia diasumsikan konstan masing-masing sebesarsKi dansHi dengan tingkat pertumbuhan investasi yang eksogen, sedangkan modal diasumsikan terdepre- siasi pada tingkat yang sama sebesarδ. Perubahan modal fisik per pekerja dan modal manusia per pekerja dinyatakan sebagai:
k9it=sKi yit−(ni+δ)kit (5) h9it=sHi yit−(ni+δ)hit (6) Saatsteady state, modal fisik per pekerja dan mo- dal manusia per pekerja tumbuh pada tingkat kon- stang:
k9it
kit =g (7)
h9it
hit =g (8)
Dengan mensubstitusi Persamaan (5) ke (7) dan Persamaan (6) ke (8), didapatkan rasio kapital ter- hadapoutput:
k∗it
y∗it = sKi
ni+g+δ (9)
h∗it
y∗it = sHi
ni+g+δ (10)
dengan tanda (*) menunjukkan kondisi sa- at steady state. Persamaan (9) dan (10) di- masukkan ke dalam fungsi produksi per pekerja (Persamaan (4)), sehingga didapat:
y∗i = Ω1−1η
sKi ni+g+δ
αK+θ1−
η
sHi ni+g+δ
αH+γ1−
η N
Y
j=1
sKj nj+g+δy∗j
θρ1−wijη sHj nj+g+δy∗j
γρ1−wijη
(11)
denganη=αK+αH+θ+γ.
Persamaan (11) juga dapat ditulis menjadi:
y∗i = Ω1−1η
sKiαK+θ
sHi αH+γ (ni+g+δ)η
1 1−η N
Y
j=1
sKj θ
sHj γ (nj+g+δ)θ+γ(y∗j)θ+γ
ρwij 1−η
(12)
Persamaan (12) dibuat ke dalam bentuk ln:
lny∗i = 1
1−ηlnΩ +αK+θ
1−η lnsKi +αH+γ
1−η lnsHi − η
1−ηln(ni+g+δ)+ θ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jlnsKj
+ γ 1−ηρ
N
X
j=1
Wi jlnsHj −θ+γ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jln(nj+g+δ)+θ+γ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jlny∗j (13)
Sebagaimana karakteristik dari model pertum- buhan neoklasik konvensional, maka output per pekerja diprediksi akan konvergen menuju kondisi steady state. Jikay∗iadalah kondisisteady statedanyit
adalah nilai aktualoutputper pekerja pada tahunt, maka:
dlnyit
dt =−λ[lnyit−lny∗i] (14) denganλadalah kecepatan konvergensi. Dengan menyelesaikan Persamaan (14) dan mengurangi
kedua sisi dengan output per pekerja pada awal periode lnyit−T, maka didapat:
lnyit−lnyit−T
T =−1−e−λτ
T lnyit−T+1−e−λτ T lny∗i
(15) Kemudian dengan mensubstitusi pro- duksi per pekerja saat steady state, maka Persamaan (15) dapat dituliskan menjadi:
lnyit−lnyit−T
T =−(1−e−λτ)
T lnyit−T+(1−e−λτ) T
1
1−ηlnΩ +(1−e−λτ) T
αK+θ 1−η lnsKi +(1−e−λτ)
T
αH+γ
1−η lnsHi −(1−e−λτ) T
η
1−ηln(ni+g+δ)+ (1−e−λτ) T
θ+γ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jlnyjt−T
+(1−e−λτ) T
θ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jlnsKj +(1−e−λτ) T
γ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jlnsHj
−(1−e−λτ) T
θ+γ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jln(nj+g+δ)+θ+γ 1−ηρ
N
X
j=1
wi jlnyit−lnyit−TT (16)
Di dalam suatu perekonomian, keseluruhan jum- lahoutputyang diproduksi oleh suatu wilayah da- pat didekati dengan data Produk Domestik Regio- nal Bruto (PDRB) yang nilainya sama dengan ke- seluruhan jumlah pendapatan di wilayah tersebut (Mankiw, 2012). Dengan demikian, dari Persamaan (16) tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuh- an ekonomi suatu wilayah bukan saja dipengaruhi oleh pendapatan per kapita awal, investasi modal fisik, investasi modal manusia, dan pertumbuhan
penduduk di wilayah itu sendiri, tapi juga dipenga- ruhi oleh pendapatan per kapita awal dari wilayah lain, investasi modal fisik dan modal manusia dari wilayah lain, pertumbuhan penduduk dari wilayah lain, serta pertumbuhan ekonomi dari wilayah lain.
Analisis konvergensi pertumbuhan ekonomi me- rupakan implikasi dari analisis pertumbuhan eko- nomi neoklasik, tidak terkecuali untuk analisis per- tumbuhan ekonomi neoklasik yang melibatkan aspek ketergantungan spasial. Arbia et al. (2008)
menyatakan bahwa penelitian yang memasukkan autokorelasi spasial pada model konvergensi diini- siasi oleh L ´opez-Bazoet al. (2004), Vay´aet al. (2004), dan Ertur dan Koch (2007). Pada Persamaan (16) tersebut juga dapat diketahui seberapa besar laju konvergensi yang terjadi. Jika dimisalkanβ=1−Te−λτ, maka laju konvergensi (λ) adalah sebesar−ln(1T+τβ). Laju konvergensi (λ) menunjukkan seberapa cepat outputper kapita suatu perekonomian mendekati nilaisteady state, dan berimplikasi pada situasi di mana wilayah yang miskin akan mengalami per- tumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding- kan wilayah yang kaya (Barro dan Sala-I-Martin, 1992). Lebih lanjut, Barro dan Sala-I-Martin (2004) menunjukkanthe half-life of convergenceyaitu jum- lah waktu yang dibutuhkan dengan lnyit sudah mencapai setengah perjalanan antara lnyit−T dan lny∗iyang memenuhi kondisie−λτ=1/2, sehingga τ∗=ln 2λ = 0,69λ .
Untuk melihat peranan ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomi, berbagai peneli- tian empiris memerlukan penggunaan teknik eko- nometrika spasial. Dengan menggunakan teknik ekonometrika spasial, pengaruh interaksi suatu wi- layah dengan wilayah yang lain dapat ditangkap (Abreuet al., 2004). Menurut Lesage dan Fischer (2008), paling tidak ada tiga hal yang perlu diperha- tikan dalam melakukan penelitian empiris pertum- buhan ekonomi yang melibatkan aspek ketergan- tungan spasial, yaitu (a) pemilihan variabel-variabel penjelas, (b) pemilihan struktur konektivitas spasial, dan (c) pemilihan model regresi.
Pemilihan variabel-variabel penjelas dalam mo- del pertumbuhan ekonomi secara umum berpe- gang pada hasil penelitian Mankiw et al. (1992) yang menyimpulkan bahwa determinan pertum- buhan ekonomi adalah modal fisik, modal manusia, penduduk, dan teknologi. Determinan tersebut dija- dikan sebagai variabel kontrol oleh Ertur dan Koch (2007) dan Fischer (2011,2016) dalam meneliti penga- ruh ketergantungan spasial terhadap pertumbuhan
ekonomi. Selain dari alasan teoritis, pembatasan de- terminan pertumbuhan ekonomi tersebut bertujuan untuk mengurangi dispersi dari koefisien-koefisien yang diestimasi (Lesage dan Fischer, 2008).
Sementara struktur konektivitas spasial yang di- gunakan dalam model pertumbuhan ekonomi spa- sial tergambarkan darispatial weight matrix, yaitu matriks yang berdimensi sebanyak jumlah wilayah yang menjadi objek penelitian yang setiap elemen- nya menunjukkan konektivitas suatu wilayah. Seca- ra umum, ada dua pendekatan yang sering diguna- kan dalam menggambarkan konektivitas wilayah, yaitu jarak dancontiguity. Asumsi yang mendasari penggunaan data jarak sebagai dasar menentukan konektivitas wilayah adalah semakin dekat jarak antarwilayah, maka semakin kuat interaksi eko- nominya, sebagaimana pernyataan Tobler (1970):
“everything depends on everything else, but near things are more related than distant things”. Penelitian yang menggunakan data jarak sebagai dasar menentukan konektivitas antarwilayah dalam meneliti pengaruh ketergantungan spasial pada pertumbuhan ekono- mi di antaranya dilakukan oleh Fingleton (1999).
Ertur dan Koch (2007) menyatakan bahwa struk- tur konektivitas wilayah itu harus bersifat eksogen, sehingga Ertur dan Koch menggunakan data jarak sebagai dasar menggambarkan struktur konektivi- tas wilayah. Adapuncontiguitymenyatakan bahwa konektivitas terjadi pada wilayah-wilayah yang ber- singgungan batas wilayahnya. Asumsi penggunaan contiguitysebagai dasar menentukan konektivitas wilayah adalah interaksi ekonomi antara wilayah yang bersinggungan lebih kuat daripada wilayah yang tidak bersinggungan (Sunet al., 2017). Peneli- tian yang menggunakan dasarcontiguityuntuk me- nyatakan konektivitas antarwilayah dalam meneliti pengaruh ketergantungan spasial pada pertumbuh- an ekonomi di antaranya dilakukan oleh Rey dan Montouri (1999), L ´opez-Bazoet al. (2004), Vay´aet al.
(2004), dan Fischer (2016).
Kekuatan pengaruh ketergantungan spasial di-
gambarkan oleh besarnya parameter interaksi spasi- al yang dihasilkan oleh model regresi yang diguna- kan di antaranya:spatial lag model,spatial error model, danspatial cross regressive.Spatial lag modeldalam analisa pertumbuhan ekonomi menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah selain dipengaruhi oleh karakteristik wilayah itu sendi- ri juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah lain.Spatial error modelmenggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah selain dipengaruhi oleh karakteristik wilayah itu sendiri juga dipengaruhi olehrandom shockyang terjadi dari wilayah lain.Spatial cross regresivemenggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi selain dipengaruhi oleh karakteristik wilayah itu sendiri juga dipenga- ruhi oleh karakteristik wilayah lain. Namun selain ketiga model di atas, terdapat model umum yaitu spatial durbin modelyang memenuhi model teoretis pada Persamaan (16), yang menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dipengaruhi oleh karakteristik wilayah itu sendiri, pertumbuhan ekonomi wilayah lain, dan karakteristik wilayah lain. Rey dan Montouri (1999) menggunakanspatial lag model,spatial error model, danspatial cross regresive dalam meneliti pengaruh ketergantungan spasial pada pertumbuhan ekonomi. Sementara Ertur dan Koch (2007) menggunakanspatial durbin modelda- lam meneliti pengaruh ketergantungan spasial pada pertumbuhan ekonomi.
Ertur dan Koch (2007) yang menginisiasispatially- extended neoclassical Solow growth model pertama kali melakukan pengujian empiris dengan meng- gunakan sampel 91 negara di dunia selama periode 1960–1995. Ertur dan Koch (2007) menggunakan teknik ekonometrika spasial dengan menerapkan spatial durbin modeldan menggunakanspatial wei- ght matrixberdasarkan jarak antarnegara. Berdasar- kan hasil pengujian empirisnya, Ertur dan Koch (2007) menunjukkan bahwa ketergantungan spa- sial antarnegara berperan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, bahwa kebertetanggaan de-
ngan negara-negara yang kaya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan investasi yang dilakukan oleh negara-negara lain berdampak ne- gatif pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, pe- ningkatan pertumbuhan penduduk negara-negara lain berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, dan pertumbuhan ekonomi negara- negara lain berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pada pengujian empirisnya, Ertur dan Koch (2007) juga menunjukkan bahwa dengan mengontrol ketergantungan spasial antar- negara ke dalam model, konvergensi pertumbuhan ekonomi diprediksi akan terjadi dengan kecepatan konvergensi berkisar antara 1,5% sampai dengan 1,7% per tahun.
Sunet al. (2017) menggunakanspatially-extended neoclassical Solow growth modelyang diinisiasi oleh Ertur dan Koch (2007) untuk mengkaji pertumbuh- an ekonomi di Cina dalam periode 1992 sampai 2010. Sebagaimana Ertur dan Koch (2007) yang menggunakan variabel pendapatan per kapita awal, investasi modal fisik, dan pertumbuhan penduduk sebagai variabel independen, Sunet al. (2017) juga menggunakan variabel tersebut serta mengguna- kanspatial weight matrixberdasarkancontiguitydan distance. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa spatial spillover terjadi bukan hanya dari pertum- buhan ekonomi wilayah lain, tapi juga terjadi dari pendapatan per kapita awal wilayah lain. Menurut Sunet al. (2017),spatial durbin modelyang berbasis padaspatially-extended neoclassic growth model theory dapat menjelaskan dengan baik mekanisme penga- ruhspatial spilloverterhadap pertumbuhan ekonomi regional di Cina.
Sebagaimana model pertumbuhan Solow yang dikembangkan menjadi model MRW, spatially- extended neoclassical Solow growth modeljuga dapat dikembangkan lagi. Fischer (2011) mengembang- kanmodel spatially-extended neoclassical Solow growth model yang diinisiasi oleh Ertur dan Koch (2007) dengan menambahkan variabelhuman capitaldan
secara eksplisit menyebutnya sebagai model MRW spasial. Namun demikian, Fischer (2011) belum melakukan pengujian secara empiris model MRW spasial tersebut pada pertumbuhan ekonomi dan konvergensi. Fischer (2011) hanya menerapkan se- cara empiris model MRW spasial untuk melihat peranan ketergantungan spasial pada level penda- patan per kapita pada sampel 198 wilayah di 22 negara-negara Eropa selama periode 1995 sampai 2004. Hasil pengujian empirisnya menunjukkan bahwaoutputper kapita dari daerah lain, investasi modal fisik dari daerah lain, investasi modal manu- sia dari daerah lain, serta pertumbuhan penduduk dari daerah lain berpengaruh terhadap pendapatan per kapita suatu daerah.
Alvarez dan Barbero (2016) menggunakan mo-´ del MRW spasial untuk melihat peranan ketergan- tungan spasial terhadap pertumbuhan ekonomi dan konvergensi pertumbuhan ekonomi regional di Spanyol. ´Alvarez dan Barbero (2016) menggu- nakan data 47 provinsi di Spanyol dari tahun 1980 sampai 2011 denganspatial panel durbin modeldan spatial weight matrixberdasarkancontiguity. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah lain dan determinan pertumbuh- an ekonomi dari wilayah lain seperti pendapatan per kapita awal, investasi modal fisik, investasi modal manusia, dan pertumbuhan penduduk ber- pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah di Spanyol. Penelitian empiris yang dila- kukan oleh ´Alvarez dan Barbero (2016) juga me- nunjukkan bahwa ketika ketergantungan spasial dikontrol, konvergensi pertumbuhan ekonomi re- gional di Spanyol diprediksi akan terjadi dengan kecepatan sekitar 4% per tahun.
Adapun penelitian terpublikasi yang mengkaji ketergantungan spasial pada pertumbuhan ekono- mi regional Indonesia, sepengetahuan penulis ha- nya dilakukan oleh Takeda (2013) dan Vidyattama (2014) dengan kesimpulan bahwa ketergantung- an spasial tidak berpengaruh pada pertumbuhan
ekonomi regional Indonesia. Takeda (2013) meng- gunakan modelspatial autocorrelation(yang mana pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh karakteristik wilayah itu sendiri, pertumbuhan ekonomi wilayah lain, danrandom shockdari wila- yah lain) denganspatial weight matrixberdasarkan jarak antarprovinsi. Variabel kontrol yang diguna- kan adalah rata-rata lama sekolah untuk penduduk yang berumur 15 tahun ke atas dan rasio dari popu- lasi penduduk perkotaan. Berdasarkan spesifikasi tersebut dan dengan menggunakan data 26 pro- vinsi dari tahun 1990 sampai 2010, Takeda (2013) menyimpulkan bahwa ketergantungan spasial ti- dak memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional Indonesia.
Sementara itu, Vidyattama (2014) menggunakan spatial lag model(menganggapspatial spilloverterjadi bersumber dari variabel lag dependent) dan spati- al error model(menganggapspatial spilloverterjadi melalui variabelerror) denganspatial weight matrix berdasarkan jarak, biaya transportasi, dan migra- si. Data yang digunakan oleh Vidyattama (2014) adalah data 26 provinsi tahun 1985–2005 ditambah dengan variabel kontrol yaitu pendapatan per ka- pita awal, investasi fisik, populasi, rata-rata lama sekolah dari penduduk usia 10 tahun ke atas, pan- jang jalan per populasi, rasio ekspor dan impor terhadap PDRB, rasio total deposit dan kredit bank komersial terhadap PDRB, rasio nilai tambah sektor pertanian terhadap PDRB, rasio nilai tambah sektor industri terhadap PDRB, dan rasio nilai tambah sektor jasa terhadap PDRB. Berdasarkan spesifikasi tersebut, pengaruh ketergantungan spasial hanya terkonfirmasi pada spatial lag model berdasarkan jarak 1.000 km, namun dengan koefisien yang ber- nilai negatif yang mengindikasikan terjadi masalah pada estimasi, dan selebihnya dapat disimpulkan bahwa ketergantungan spasial tidak memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional Indonesia.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Takeda (2013) dan Vidyattama (2014), penulis meng-
gunakan landasan teori MRW spasial dalam pene- litian ini seperti yang telah diinisiasi oleh Fischer (2011). Menurut Fischer (2011), pengujian empiris MRW spasial harus dilakukan dengan mengguna- kanspatial durbin model. Hal ini senada dengan yang diklaim oleh Sunet al. (2017) bahwa kebanyakan penelitian empiris yang dilakukan terhadap per- tumbuhan ekonomi di Cina dengan menggunakan teknik ekonometrika spasial tidak berdasarkan pa- da formulasi teori ekonomi yang tepat. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Sunet al. (2017) tersebut belum memasukkan peranan modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi.
Padahal sebagaimana yang dijelaskan oleh Mankiw et al. (1992), jika peranan modal manusia diabai- kan, maka akan mengarahkan kepada kesimpulan
yang kurang tepat. Oleh sebab itu, penulis memi- lih MRW spasial sebagai landasan teori penelitian ini, yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan eko- nomi suatu wilayah dipengaruhi oleh determinan dari wilayah itu sendiri, determinan wilayah lain, dan pertumbuhan ekonomi wilayah lain, sehingga mengarahkan kepada penggunaanspatial durbin mo- deluntuk melihat peranan ketergantungan spasial dalam model pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Metode
Model ekonomi pada Persamaan (16) dapat ditrans- formasi ke dalam model ekonometrika, sehingga menjadi bentukspatial durbin modelsebagai berikut:
[lnyit−lnyit−T]
T = β0+β1lnyit−T+β2lnsKit +β3lnsHit +β4ln(nit+g+δ)+ρ1 N
X
j=1
wi jlnyjt−T+ρ2 N
X
j=1
wi jlnsKjt
+ρ3 N
X
j=1
wi jlnsHjt+ρ4 N
X
j=1
wi jln(njt+g+δ)+ρ5 N
X
j=1
wi j
[lnyjt−lnyjt−T]
T +εit (17)
dengan:
β0 = (1−eT−λτ)1−1ηlnω;
β1 =−(1−e
−λτ)
T ;
β2 = (1−eT−λτ)α1K−+θη; β3 = (1−eT−λτ)α1H−+γη; β4 =−(1−e
−λτ) T
η 1−η; ρ1= (1−eT−λτ)θ+γ1−ηρ;
ρ2= (1−eT−λτ)1θ−ηρ;
ρ3= (1−eT−λτ)1γ−ηρ;
ρ4=−(1−e
−λτ) T
θ+γ 1−ηρ;
ρ5= θ+γ1−ηρ.
yit adalah pendapatan per kapita wilayahipada saattatau akhir setiap periode;yit−T adalah penda- patan per kapita wilayahipada saat kondisi awal setiap periode;Tadalah jumlahinterval years;yjt
adalah pendapatan per kapita wilayah lain pada
saat akhir periodet;yjt−T adalah pendapatan per kapita wilayah lain pada awal periode (t−T);sKit adalah investasi modal fisik wilayah sendiri; sHit adalah investasi modal manusia wilayah sendiri;nit
adalah pertumbuhan penduduk wilayah sendiri;sKjt adalah investasi modal fisik wilayah lain;sHjtadalah investasi modal manusia wilayah lain;njt adalah pertumbuhan penduduk wilayah lain;g+δadalah pertumbuhan teknologi dan depresiasi;wi jadalah elemen spatial weight matrix yang menunjukkan struktur konektivitas spasial;β0adalah intersep;β1
adalah koefisien dari pendapatan per kapita awal wilayahi;β2adalah koefisien dari investasi modal fisik wilayahi;β3 adalah koefisien dari investasi modal manusia wilayahi;β4adalah koefisien dari pertumbuhan penduduk, teknologi, dan depresiasi wilayahi;ρ1adalah koefisien dari pendapatan per
kapita wilayah lain pada saat kondisi awal peneli- tian;ρ2adalah koefisien dari investasi modal fisik wilayah lain;ρ3adalah koefisien dari investasi mo- dal manusia wilayah lain;ρ4adalah koefisien dari pertumbuhan penduduk, teknologi dan depresiasi wilayah lain;ρ5adalah koefisien dari pertumbuhan ekonomi wilayah lain; danεitadalahrandom shock.
Variabel yang terdapat pada Persamaan (17) ter- sebut didefinisikan secara operasional sebagai beri- kut:
• yit adalah variabel yang mewakili pendapat- an per kapita wilayahipada saattatau akhir setiap periode. Pendapatan per kapita diprok- si menggunakan data PDRB atas dasar har- ga konstan dibagi dengan jumlah penduduk.
Menurut Mankiw (2012), di dalam suatu per- ekonomian, keseluruhan jumlahoutputyang diproduksi oleh suatu wilayah dapat didekati dengan data PDRB yang nilainya sama dengan keseluruhan jumlah pendapatan di wilayah tersebut.
• yit−Tadalah variabel yang mewakili pendapat- an per kapita awal wilayahi yang diproksi menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan dibagi dengan jumlah penduduk pada awal periode.
• sKit adalah variabel yang mewakili tingkat in- vestasi modal fisik wilayah i yang diproksi menggunakan data rasio Pembentukan Mo- dal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) terhadap PDRB sebagaimana Mankiwet al. (1992) dan Islam (1995). Menurut Solow (1956), tabungan merupakan sumber dari investasi yang menun- jukkan besaran akumulasi kapital. Semakin tinggi tingkat tabungan, maka semakin besar akumulasi kapital. Besaran akumulasi kapital tersebut digambarkan oleh PMTDB (gross capi- tal formation) yang merupakan fraksi dari total outputdan diukur dalam periode tahunan.
• sHit adalah variabel yang mewakili investasi modal manusia wilayahiyang diproksi meng-
gunakan data tingkat partisipasi sekolah. Seba- gaimana penelitian Mankiwet al. (1992) yang menggunakan data tingkat partisipasi seko- lah untuk mendapatkan rasio jumlah pendu- duk yang sedang bersekolah disecondary scho- ol sebagai proksi untuk mengukur investasi modal manusiasHit, penulis akan mengguna- kan data rasio jumlah penduduk yang sedang sekolah SMA/sederajat. Tingkat pendidikan SMA/sederajat penulis anggap relatif sama de- ngan tingkatsecondary schoolyang digunakan Mankiwet al. (1992). Di samping itu, adanya wajib belajar sembilan tahun di Indonesia mem- buat tingkat pendidikan mulai SMA/sederajat lebih bervariasi yang menunjukkan perbeda- an investasi antarprovinsi. Menurut Benhabib dan Spiegel (1994), enrollment ratio tersebut merepresentasikan investasi pada modal ma- nusia. Konsep bahwa investasi modal manu- sia penting bagi proses produksi pertama kali diperkenalkan oleh Schultz (1961) yang me- nyatakan bahwa pengetahuan dan keahlian merupakan modal bagi proses produksi yang nantinya tambahan ilmu dan keahlian dapat mengubah cara berproduksi, sehingga akan meningkatkanoutput.
• nitadalah variabel yang mewakili pertumbuh- an populasi wilayahi. Penulis menggunakan data jumlah penduduk untuk memperoleh ang- ka pertumbuhan populasi sebagaimana yang digunakan oleh Islam (1995).
• g+δadalah variabel yang mewakili tingkat pertumbuhan teknologi dan tingkat depresiasi kapital yang diasumsikan bernilai konstan dan sama untuk seluruh wilayah yaitu sebesar 0,05 sebagaimana Mankiwet al. (1992) dan Islam (1995).
Penelitian ini menggunakan metode analisis pa- nel spasial. Penulis menggunakan analisis data pa- nel karena menurut Baltagi (2005) analisis data panel memiliki beberapa kelebihan yaitu (a) dapat
mengontrol heterogenitas individu, (b) memberi- kan informasi yang lebih lengkap dengan derajat bebas yang lebih besar, dan (c) lebih handal da- lam mengidentifikasi efek individu dan efek waktu yang tidak dapat dilakukan oleh analisistime series dancross section. Dengan demikian, model panel spasial mempunyai kelebihan karena dapat meng- ontrol heterogenitas individu danspatial dependence secara bersamaan (Arbiaet al., 2005).
Analisis pertumbuhan ekonomi bersifat jangka panjang, sehingga menurut Islam (1995), minimal panjang data yang dibutuhkan adalah 25 tahun.
Berdasarkan model empiris pada Persamaan (17), data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data seluruh provinsi di Indonesia dari tahun 1990 sampai 2015 yang bersumber dari BPS, yakni (a) PDRB atas dasar harga konstan; (b) Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB); (c) Jum- lah penduduk; (d) Jumlah penduduk yang sedang sekolah SMA/sederajat. Selain itu, penulis meng- gunakan peta Indonesia untuk membentukspatial weight matrixberdasarkancontiguitydandistance.
Jumlah provinsi di Indonesia tahun 2015 seba- nyak 34 provinsi, sementara pada 1990 sebanyak 26 provinsi (setelah dikurangi dengan Provinsi Timor Timur). Dengan demikian, sejak 1990 ada sebanyak 7 provinsi baru yang terbentuk sampai tahun 2015.
Dalam analisis penelitian ini, sebanyak 7 provin- si tambahan tersebut akan digabungkan datanya dengan provinsi induknya sesuai dengan kondisi tahun 1990 untuk menjaga konsistensi dan keter- bandingan data.
Mengikuti Islam (1995) yang melakukan analisis pertumbuhan ekonomi dengan mengelompokkan data menjadi periode 5 tahunan untuk memper- halus pengaruh dari siklus jangka pendek dalam perekonomian, maka penulis juga akan mengelom- pokkan data tahunan setiap provinsi menjadi data 5 tahunan. Menurut Barro (1991), model pertum- buhan ekonomi tidak dirancang untuk fluktuasi bisnis jangka pendek (short run business fluctuation)
tetapi untuk jangka panjang. Periode lima tahunan merupakan interval yang umum dipakai dalam penelitian empiris pertumbuhan, misalnya dalam Islam (1995), Easterly dan Levine (1998), Krueger dan Lindahl (2001), dan Barro (2003). Dengan de- mikian, periode dalam penelitian ini terdiri dari 5 kelompok yaitu 1990–1995, 1995–2000, 2000–2005, 2005–2010, dan 2010–2015.
Untuk menunjukkan ada atau tidaknya penga- ruh ketergantungan spasial pada model pertum- buhan ekonomi regional Indonesia, penulis akan menunjukkan terlebih dahulu hasil regresi model pertumbuhan ekonomi tanpa aspek ketergantung- an spasial. Kemudian model tersebut akan penulis bandingkan dengan model pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang melibatkan aspek keter- gantungan spasial. Dari kedua model tersebut akan dilihat dampak dari masing-masing determinan ter- hadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia dan implikasinya.
Model regresi spasial tidak bisa terlepas dari penggunaan matriks penimbang spasial (spatial we- ight matrix) di dalamnya.Spatial weight matrixpada dasarnya merupakan matriks yang menggambar- kan kedekatan hubungan antarwilayah. Untuk ob- servasi sebanyakN, ukuran matriksWadalahNxN dengan elemen diagonalnya bernilai 0 dan elemen lainnyawi jyang merepresentasikan intensitas efek antara dua daerahidan j(Anselin dan Bera, 1998).
Terdapat berbagai jenisspatial weight matrixyang dapat digunakan di dalam model regresi spasial di antaranyaspatial weight matrixberdasarkancontigu- ity,spatial weight matrixberdasarkan jarak (distance), spatial weight matrixberdasarkan biaya transporta- si,spatial weight matrixberdasarkan arus migrasi, dan sebagainya (Lesage dan Fischer, 2008). Namun demikian, penelitian ini membatasi penggunaan spatial weight matrixhanya berdasarkancontiguity dan distance dengan alasan bahwa spatial weight matrix yang digunakan untuk menganalisis per- tumbuhan ekonomi harus bersifat eksogen yang
tidak bervariasi antarwaktu atau harus bersifattime invariant(Ertur dan Koch, 2007).
Spatial weight matrixberdasarkancontiguityme- rupakan matriks pembobot spasial berdasarkan persinggungan batas wilayah (contiguity). Matriks ini menggambarkan bahwa interaksi spasial terjadi antarwilayah yang bertetangga yaitu yang memi- liki persentuhan batas wilayah (common boundary).
Anselin (1988) menyatakan persinggungan antarwi- layah yang berdekatan digambarkan dengan kode biner dalam matriks untuk menyatakan hubungan keterkaitan antar-unit spasial. Jika berbatasan lang- sung diberi nilai 1 dan 0 untuk lainnya. Menurut Lesage (1999), terdapat berbagai tipe interaksi dari matrikscontiguityyaitu:
• Linear contiguity(persinggungan tepi),spatial weight matrixini mendefinisikan kode 1 untuk suatu wilayah yang berada di tepi (edge) kiri maupun kanan wilayah tetangga, dan kode 0 untuk wilayah lainnya.
• Rook contiguity(persinggungan sisi),spatial we- ight matrixini mendefinisikan kode 1 untuk suatu wilayah yang bersisian (common side) dengan wilayah tetangga dan kode 0 untuk wilayah lainnya.
• Bishop contiguity(persinggungan sudut),spatial weight matrixini mendefinisikan kode 1 untuk daerah yang titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan sudut wilayah tetangganya dan kode 0 untuk wilayah lainnya.
• Queen contiguity(persinggungan sisi sudut), spatial weight matrixini mendefinisikan kode 1 untuk wilayah yang bersisian atau titik sudut- nya bertemu dengan wilayah tetangganya dan kode 0 untuk wilayah lainnya.
Dalam penelitian ini, tipecontiguityyang akan penulis pilih adalahqueen contiguitykarena lebih masuk akal dalam menjelaskan interaksi spasial antarwilayah dalam konteks pertumbuhan ekono- mi, sebagaimana yang digunakan oleh berbagai penelitian pertumbuhan ekonomi yang melibatkan
aspek ketergantungan spasial di antaranya oleh Ertur dan Koch (2007), ´Alvarez dan Barbero (2016), dan Sun et al. (2017). Spatial weight matrix akan dinormalisasikan, sehingga setiap barisnya akan berjumlah 1 (row-normalized). Elemen padaspatial weight matrix tipe contiguityyang penulis gunakan dalam penelitian ini akan bernilai 0 ketika suatu wilayah berbatasan dengan laut.
Sementara itu,spatial weight matrixberdasarkan jarak (distance) merupakan matriks yang mendefi- nisikan interaksi kebertetanggaan ditentukan oleh jarak antar-dua wilayah. Hal ini sesuai dengan hukum gravitasi bahwa pendekatan jarak menga- sumsikan semakin dekat jarak antar-observasi, akan memiliki hubungan yang lebih kuat dan sebaliknya, semakin jauh jarak antar-dua wilayah, maka sema- kin lemah interaksinya (Arbiaet al., 2005).Spatial weight matrixberdasarkan jarak (distance) ini dapat menggunakan penghitungan di antaranya:
• inverse distance matrix, yaitu:wi j= d1i j dengan di j adalah jarak antara titik tengah (centroid) suatu wilayahidengan j.
• k-nearest neighbors, metode ini menentukan se- banyak n wilayah di sekitar suatu wilayah yang terdekat dengan wilayah tetangga. Ma- trikswi j(k) didefinisikan sebagai elemen dari matriks W dalam barisi dan kolom j, yaitu:
Wi j(k)= w
∗ i j(k) P
jw∗i j(k) dengan:
◦ w∗i j(k)=0 jikai= jdan jikadi j≥di(k)
◦ w∗i j(k)=1 jikadi j≤di(k)
dengandi jadalah jarak antara titik tengah (cen- troid) antara wilayahidenganj. Peneliti dapat menentukan sendiriklokasijyang merupakan lokasi di sekitari. Lokasijdihitung sebagaik lokasi yang terdekat dari lokasii.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan spatial weight matrixbertipeinverse distance matrixse- bagaimana yang dilakukan di antaranya oleh Ertur dan Koch (2007), ´Alvarez dan Barbero (2016), Sun et al. (2017), atau Vidyattama (2014) untuk kasus penelitian pertumbuhan ekonomi regional Indone-
sia.Spatial weight matrixtersebut akan dinormalisa- sikan, sehingga setiap barisnya akan berjumlah 1 (row-normalized).
Penulis menggunakan teknik estimasi data pa- nel dengan metodeMaximum Likelihood Estimation (MLE). MLE lebih dipilih daripada Instrumental Variable/Generalized Method of Moments(IV/GMM) karena metode IV/GMM memasukkanspatially lag- ged independent variableyang tidak diizinkan untuk menguji pengaruhspatial spillovers (Ramoset al., 2010). Dengan demikian untuk keterbandingan an- tara model spasial dan non-spasial, modelrandom effectdipilih untuk dianalisis. Modelrandom effect berbeda dengancommon effectdanfixed effect, kare- na model ini tidak menggunakan prinsipOrdinary Least Square(OLS), melainkan menggunakan prin- sip MLE atauGeneral Least Square(GLS). Selain itu, pemilihan modelrandom effectdidasarkan pada ke- mampuannya dalam menggeneralisir kesimpulan (Bell dan Jones, 2015). Sebagaimana Baltagi (2005) yang menyatakan bahwa modelrandom effectmeng- asumsikanerror termtidak berkorelasi dengan vari- abel independen, sehingga memungkinkan untuk time-invariant variablesberperan sebagai variabel penjelas, maka variabel seperticontiguitydandis- tanceyang lazim digunakan dalam analisis spasial dapat digunakan dalam modelrandom effect.
Hasil dan Analisis
Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh determinan pertumbuhan ekono- mi yang berasal dari wilayah itu sendiri yaitu pen- dapatan per kapita awal, investasi fisik, investasi manusia, dan pertumbuhan penduduk menunjuk- kan arah yang sesuai ekspektasi. Determinan per- tumbuhan ekonomi yang berasal dari wilayah sen- diri tersebut merupakan determinan yang menjadi penelitian pertumbuhan ekonomi berbagai negara di dunia di antaranya oleh Mankiwet al. (1992), Islam (1995), dan Caselliet al. (1996) yang meng-
hasilkan estimasi dengan arah yang sama seperti dalam penelitian ini. Secara teori sebagaimana Man- kiwet al. (1992) yang juga dibuktikan secara empiris dalam penelitian ini, determinan dari wilayah itu sendiri yang berpengaruh positif terhadap pertum- buhan ekonomi adalah investasi fisik dan investasi manusia, sementara yang berpengaruh negatif ada- lah pendapatan per kapita awal dan pertumbuhan penduduk.
Model pertumbuhan ekonomi regional Indonesia yang mempertimbangkan aspek ketergantungan spasial menghasilkan estimasi yang lebih baik dari- pada model pertumbuhan ekonomi konvensional (model non-spasial). Hal ini ditunjukkan dari hasil ujiLikelihood-Ratioyang menunjukkan penolakan H0 dengan H0: Model Non-Spasial, baik untuk mo- del spasial yang menggunakanspatial weight matrix berdasarkancontiguitymaupun pada model spasial yang menggunakanspatial weight matrixberdasar- kan jarak. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek ketergantungan spasial berperan penting dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi regional Indo- nesia. Sebagaimana Fischer (2011, 2016) dan Sunet al. (2017) yang menggunakan metode MLE untuk mengestimasi model pertumbuhan ekonomi spasi- al, penelitian ini juga menggunakan metode MLE dan menghasilkan nilailog-likehoodyang lebih besar serta nilaiAkaike Information Criterion(AIC) yang lebih kecil daripada model pertumbuhan ekonomi konvensional. MLE adalah metode estimasi para- meter yang memaksimumkan fungsilikelihoodyang juga akan memaksimumkan fungsi log-likelihood, sehingga model yang paling baik adalah model yang menghasilkanlog-likehoodyang paling besar (Burnham dan Anderson, 2002; Greene, 2003), se- dangkan AIC adalah ukuran yang menunjukkan kualitas suatu model secara relatif dibandingkan dengan model yang lain, bahwa semakin kecil nilai AIC suatu model akan semakin baik dibandingkan model lainnya (Burnham dan Anderson, 2002).
Adapun hasil estimasi model pertumbuhan eko-
Tabel 1:Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia Tahun 1990–2015
[lnyit−lnyit−T]
T Standard MRW Model MRW Spatial Model with
Contiguity Spatial Weight Matrix Distance Spatial Weight Matrix
(1) (2) (3) (4)
Konstanta 0,3522*** 0,2724*** 0,2606**
(0,105) (0,105) (0,106)
lnyit−T -0,0183*** -0,0172*** -0,0169***
(0,004) (0,003) (0,003)
lnsKit 0,0084 0,005 0,0064*
(0,005) (0,004) (0,004)
lnsHit 0,0263*** 0,0178*** 0,0155**
(0,009) (0,007) (0,007)
ln(nit+g+δ) -0,0307* -0,0397** -0,0388*
(0,018) (0,019) (0,022)
Wlnyt−T 0,0057*** 0,0070**
(0,002) (0,003)
WlnsKt 0,0011 -0,004
(0,005) (0,006)
WlnsHt -0,0027 -0,0017
(0,010) (0,012
Wln(nt+g+δ) 0,0421*** 0,0505**
(0,015) (0,023)
W[lnyt−Tlnyt−T] 0,4818*** 0,4942***
(0,061) (0,076)
speed of convergence(λ) 0,0192 0,0179 0,0176
the half-life of convergence 36 38 39
N 130 130 130
Log-Likelihood 316 331 330
AIC -618 -639 -637
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis Keterangan: * signifikan pada taraf 10%
** signifikan pada taraf 5%
*** signifikan pada taraf 1%
Angka dalam kurung ( ) menunjukkan nilaistandard error
nomi regional Indonesia tahun 1990 sampai 2015 di- tampilkan pada Tabel 1. Pengaruh investasi modal fisik menjadi signifikan pada pertumbuhan ekono- mi regional Indonesia ketika aspek ketergantungan spasial dikontrol. Hal ini ditunjukkan oleh hasil estimasi pada Tabel 1 terutama pada model yang menggunakan jarak sebagai matriks penimbang spasial (spatial weight matrix). Meskipun pengaruh investasi modal fisik yang ditunjukkan oleh model pertumbuhan non-spatial memiliki besaran (magni- tude) yang lebih besar daripada model pertumbuh- an spasial, namun pengaruhnya tidak signifikan.
Fenomena ini mirip dengan yang disampaikan oleh Mankiwet al. (1992) bahwa ketika investasi modal manusia yang sebelumnyaomitted, dimasukkan ke dalam model pertumbuhan Solow (1956), maka be- saran (magnitude) pengaruh investasi modal fisik
menjadi berkurang.
Wilayah-wilayah di Indonesia perlu meningkat- kan investasi modal fisik untuk meningkatkan per- tumbuhan ekonominya. Pentingnya peranan inves- tasi modal fisik terhadap pertumbuhan ekonomi telah diformulasikan sejak lama di antaranya oleh Harrod (1939), Domar (1946), dan Solow (1956) yang juga dibuktikan secara empiris di regional Indonesia oleh penelitian yang dilakukan oleh Re- sosudarmo dan Vidyattama (2006) dan dalam pe- nelitian ini. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan positif ketika jumlah investasi melebihi jum- lah kapital yang terdepresiasi, dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan stagnan bahkan ne- gatif ketika jumlah investasi tidak bisa menutupi jumlah kapital yang terdepresiasi. Menurut Harrod (1939), Domar (1946), dan Solow (1956), investa-
si merupakan manifestasi dari tabungan. Itulah yang menjelaskan mengapa jumlah tabungan dan investasi menjadi salah satu faktor penting yang me- mengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (Ray, 1998).
Investasi modal manusia berperan penting da- lam peningkatan pertumbuhan ekonomi regional Indonesia. Hal ini terlihat dari pengaruhnya yang senantiasa signifikan, baik pada saat aspek keterka- itan wilayah diabaikan maupun saat aspek keterka- itan wilayah dimasukkan ke dalam model pertum- buhan ekonomi (lihat Tabel 1). Hal ini juga sesuai dengan penelitian empiris yang dilakukan oleh Bar- ro (1991) dan Mankiwet al. (1992) yang membukti- kan pengaruh signifikan modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi. Penurunan besaran (magni- tude) pengaruh investasi modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi regional Indonesia dari mo- del konvensional (saat aspek keterkaitan wilayah diabaikan) ke model spasial (saat aspek keterkaitan wilayah diperhatikan) menunjukkan hal yang logis, sebagaimana Mankiwet al. (1992) memasukkan pe- ngaruh investasi modal manusia ke model Solow (1956). Saat aspek keterkaitan wilayah diabaikan (ti- dak dikontrol) pada model konvensional, pengaruh investasi modal manusia terlihat lebih besar karena masih mengandung pengaruh dari variabel lain yang omitted(dalam hal ini keterkaitan wilayah).
Namun ketika aspek keterkaitan wilayah dikontrol, maka pengaruh investasi modal manusia sudah bersih dari pengaruh ketergantungan wilayah.
Upaya untuk meningkatkan investasi modal ma- nusia perlu dilakukan oleh wilayah-wilayah di In- donesia agar pertumbuhan ekonominya dapat di- tingkatkan. Hal tersebut didasarkan pada temuan dalam penelitian ini yang menunjukkan arah yang positif pada estimasi parameter investasi modal manusia (lihat Tabel 1). Menurut Schultz (1961), peningkatan investasi modal manusia yang dila- kukan melalui pendidikan dan pelatihan akan me- ningkatkan cara berproduksi yang selanjutnya akan
meningkatkanoutputperekonomian. Sebenarnya investasi modal manusia tidak hanya terbatas pada aspek pendidikan saja, tapi juga pada aspek lain yang dapat meningkatkan produktivitas manusia seperti kesehatan (Mankiwet al., 1992; Knowles dan Owen, 1997). Menurut Nelson dan Phelps (1966), modal manusia yang tinggi dapat memberikan ke- mudahan dalam mengabsorbsi ide serta ilmu pe- ngetahuan dan teknologi yang ada, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih ting- gi.
Pertumbuhan populasi penduduk suatu wilayah di Indonesia juga memiliki pengaruh penting dalam pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, bahkan saat aspek keterkaitan wilayah dipertimbangkan.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien ln(nit+g+δ) yang signifikan pada Tabel 1. Pengaruh pertum- buhan populasi penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi yang signifikan ini juga dibuktikan seca- ra empiris di antaranya oleh Mankiwet al. (1992), Ertur dan Koch (2007), Ulas¸an (2011), ´Alvarez dan Barbero (2016), dan Sunet al. (2017).
Suatu wilayah di Indonesia harus mengendali- kan laju pertumbuhan penduduknya agar pertum- buhan ekonominya tidak stagnan atau negatif. Hal tersebut berdasarkan pada hasil empiris yang ditun- jukkan oleh tanda negatif pada koefisien ln(nit+g+δ) pada Tabel 1. Sebagaimana yang dikemukakan Mal- thus dalam Kuznets (1967) bahwa dengan jumlah modal yang tetap, maka produktivitas tenaga kerja dan suplaioutputper kapita akan berkurang seiring dengan pertumbuhan penduduk. Coale dan Hoover (1958) mengidentifikasi bahwa tingkat pertumbuh- an penduduk yang tinggi (terutama yang melebihi tingkat kematian) mengarahkan pada proporsi ang- katan kerja yang rendah (sehingga meningkatkan rasio ketergantungan/dependency ratio) yang pada akhirnya akan menurunkan pendapatan per kapi- ta (Headey dan Hodge, 2009). Lebih jauh Barlow (1994) menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekono-
mi disebabkan oleh (a) peningkatan langsung pada denominator dari rasio pendapatan per kapita, (b) pengurangan pada tingkat tabungan (yang mung- kin disebabkan oleh beban ketergantungan yang tinggi), dan (c) pengurangan pada tingkat partisi- pasi angkatan kerja wanita.
Pendapatan per kapita awal wilayah lain ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sua- tu wilayah di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh koefisienWlnyt−Tyang signifikan pada Tabel 1. Pe- nelitian empiris yang dilakukan terhadap berbagai negara di dunia oleh Ertur dan Koch (2007) juga menghasilkan temuan serupa bahwa pendapatan per kapita awal wilayah lain berpengaruh signifi- kan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wila- yah. Lebih khusus dalam skala regional, ´Alvarez dan Barbero (2016) yang meneliti kasus Spanyol dan Sunet al. (2017) yang meneliti kasus Cina juga menemukan hal yang sama akan adanya pengaruh yang signifkan dari pendapatan per kapita awal wilayah lain terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah di negara tersebut.
Pendapatan per kapita awal dari wilayah lain yang signifikan tersebut menunjukkan terjadinya spatial spilloverpendapatan per kapita terhadap per- tumbuhan ekonomi suatu wilayah di Indonesia.
Lebih khusus lagi,spatial spilloverpendapatan per kapita terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut bersifat positif (lihat Tabel 1). Moreno dan Trehan (1997) menganggap bahwa hal ini berhubungan dengan kedekatan dengan daerah yang kaya yang tergambarkan oleh level dari pendapatan per kapita awal. Hal ini memperkuat temuan Mossiet al. (2003) bahwa wilayah yang bertetangga dengan wilayah yang lebih kaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa ketika sua- tu wilayah bertetangga dengan wilayah lain yang lebih kaya, maka akan menguntungkan aktivitas perekonomian wilayah tersebut karena akan terjadi hubungan komersial yang intensif antarwilayah
tersebut ( ´Alvarez dan Barbero, 2016).
Pertumbuhan ekonomi regional Indonesia tidak mengalami dampak darispilloveryang bersumber dari investasi modal fisik wilayah lain. Hal ini di- tunjukkan oleh hasil estimasi yang tidak signifikan pada koefisienWlnsKt (lihat Tabel 1). Ertur dan Ko- ch (2007) juga menemukan ketiadaanspilloverdari investasi modal fisik yang dilakukan wilayah lain terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah de- ngan lingkup berbagai negara di dunia. Pada level regional, ´Alvarez dan Barbero (2016) juga mene- mukan ketiadaanspilloverdari investasi modal fisik yang dilakukan wilayah lain terhadap pertumbuh- an ekonomi regional di Spanyol. Namun demikian, Sun et al. (2017) menemukan adanyaspilloverin- vestasi model fisik dari wilayah lain yang bersifat positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Cina, yang bisa jadi menjadi salah satu alasan meng- apa pertumbuhan ekonomi Cina tumbuh sangat pesat.
Ketiadaanspatial spilloverinvestasi modal fisik pada pertumbuhan ekonomi regional Indonesia bo- leh jadi disebabkan oleh terbatasnya barang modal yang dapat disediakan oleh wilayah-wilayah di In- donesia atau hanya sedikit wilayah tertentu yang menyediakan barang modal untuk ditransaksikan kepada wilayah-wilayah lain. Peningkatan permin- taan akan barang modal yang diakibatkan oleh peningkatan investasi modal fisik suatu wilayah a- kan mendorong terjadinya impor barang modal jika barang modal tersebut tidak dapat disediakan oleh wilayah itu sendiri. Wilayah-wilayah lain hanya akan mendapatkan keuntungan dari permintaan barang modal suatu wilayah tersebut jika mam- pu menyediakan barang modal yang dibutuhkan (Capello, 2009). Dengan dugaan bahwa komposisi barang modal (selain tanah) di Indonesia masih didominasi oleh barang impor, dan dengan meli- hat dari besarnya persentase barang modal yang diimpor oleh Indonesia sebagaimana data dari BPS (2015), kemungkinan wilayah-wilayah Indonesia