REFERAT 2
FOOD NUTRITION MENJAGA KESEIMBAGAN ELEKTROLIT PASIEN KANKER
KASLAN C 175 221 013
Pembimbing/Penilai 1: Prof. Dr. dr. Nurpudji A. Taslim, MPH, Sp.GK(K) Penilai 2: Dr. Aminuddin, M.Nut, Diet, Ph.D, Sp.GK
Penilai 3: Dr. Nurbaya Syam, M.Kes, Sp.GK(K), AIFO-K
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS GIZI KLINIK DEPARTEMEN ILMU GIZI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2024
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI... 2
DAFTAR GAMBAR... 4
DAFTAR TABEL... 5
BAB I PENDAHULUAN...7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...9
2.1 Kanker...9
2.1.1 Definisi...9
2.2 Kemoterapi...12
2.2.1 Gangguan elektrolit pasien kanker...15
2.2.2 Natrium... 15
2.2.3 Hiponatremia...16
2.2.4 Hipernatremia...20
2.2.5 Kalsium...22
2.2.6 Hipokalsemia...24
2.2.7 Hiperkalsemia... 28
2.2.8 Kalium...31
2.2.9 Hipokalemia... 33
2.2.10 Hiperkalemia...37
2.2.11 Magnesium... 42
2.2.12 Hipomagnesemia...43
2.2.14 Sumber elektrolit pada Makanan...47
Contoh menu makanan dirumah...60
KESIMPULAN...62 DAFTAR PUSTAKA...63
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Tahapan perkembangan tumor...9
Gambar 2 Algoritma manajemen hyponatremia...18
Gambar 3 Algoritma penatalaksanaan hipernatremia...20
Gambar 4Algoritma penatalaksanaan hipokalsemia...26
Gambar 5 Algoritma penatalaksanaan hiperkalsemia...29
Gambar 6 Algoritma penatalaksanaan hipokalemia...37
Gambar 7 Algoritma penatalaksanaan hiperkalemia...40
Gambar 8 Algoritma penatalaksanaan hipomagnesemia...46
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Beberapa gen yang terlibat dalam kanker manusia...11
Tabel 2 Penyebab hipokalsemia... 23
Tabel 3 Penyebab Hipokalemia...34
Tabel 4 Penyebab hiperkalemia...38
Tabel 5 Penyebab hipomagnesemia...44
Tabel 6 AKG Kalium di Indonesi dan Amerika 13,14...48
Tabel 7 persentase kontribusi kategori makanan terhadap asupan kalium di Amerika 15...49
Tabel 8 10 kategori makanan berkonstribusi terhadap asupan kalium di Amerika1650 Tabel 9 10 kategori makanan berkonstribusi terhadap asupan kalium di Amerika 175 1 Tabel 10 Bahan makanan dengan kandungan elektrolit18...52
BAB I PENDAHULUAN
Kanker adalah salah satu penyakit kronis dengan angka kejadian yang terus meningkat di seluruh dunia. Berdasarkan estimasi terbaru dari Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC). Ada hampir 20 juta kasus kanker baru pada tahun 2022 (termasuk kanker kulit nonmelanoma) di samping 9,7 juta kematian akibat kanker. Estimasi tersebut menunjukkan bahwa sekitar satu dari lima pria atau wanita mengidap kanker seumur hidup, sedangkan sekitar satu dari sembilan pria dan satu dari 12 wanita meninggal karenanya. 1
Data demografi 10 jenis kanker di Indonesia tahun 2022 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien kanker berjenis kelamin perempuan (74,3%), usia rata-rata 51 tahun, dan sebagian besar terkonsentrasi di Jakarta (15,2%). Sebagian besar pasien kanker berobat ke rumah sakit umum (79,5%). Sayangnya, hanya 36,6% pasien yang menerima pengobatan radioterapi dan sisanya tidak disinari/tidak diketahui datanya. Di Indonesia, 10 jenis kanker yang paling banyak diderita adalah payudara (36,1%), serviks (17,3%), nasofaring (8,2%), paru (7,4%), rektum (6,9%), leukemia (6,7%), ovarium (6,3%), limfoma (5,3%), usus besar (4,0%), dan prostat (2,0%).2
Pengobatan kanker sering kali melibatkan kemoterapi, yang merupakan terapi menggunakan obat-obatan kimia untuk membunuh sel kanker. Meskipun efektif dalam memberantas sel kanker, kemoterapi dapat menyebabkan berbagai efek samping yang serius. Pasien kanker biasanya mengalami sejumlah masalah yang berbeda, salah satunya adalah ketidakseimbangan elektrolit. Penyebab lain ketidakseimbangan elektrolit termasuk sindrom para neoplastik atau yang terkait dengan pengobatan kemoterapi. Komplikasi yang mengancam jiwa telah didokumentasikan karena gangguan elektrolit spesifik ganas ini, yang mungkin memerlukan terapi dan koreksi segera. Oleh karena itu, waktu pengenalan yang tepat dan penanganan segera pada pasien tersebut secara keseluruhan sangat penting.3,4
Nutrisi memiliki peran penting dalam membantu menjaga keseimbangan elektrolit pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Asupan makanan yang tepat dapat membantu mencegah atau mengatasi ketidakseimbangan elektrolit yang disebabkan oleh efek samping kemoterapi. Dengan demikian, pengelolaan nutrisi yang baik menjadi bagian integral dari perawatan pasien kanker untuk meningkatkan kualitas hidup dan hasil pengobatan.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker 2.1.1 Definisi
Kanker adalah penyakit di mana satu sel tubuh normal mengalami transformasi genetik menjadi sel kanker. Sel ini dan keturunannya, yang berkembang biak selama bertahun-tahun, menghasilkan populasi sel yang kita kenal sebagai tumor, dan tumor menghasilkan gejala yang dialami seseorang sebagai kanker. Kanker pertama kali dikenali sebagai massa jaringan yang tumbuh.
Mereka dapat mengamati seperti apa bentuknya, seberapa cepat pertumbuhannya, dan seberapa sering tumor tampak "menggigit" tubuh. Tumor itu sendiri terkadang tampak menyebar ke bagian tubuh lain dan dikenali sebagai penyakit yang mematikan.6,7
Kanker adalah penyakit karena pertumbuhan, penyebaran, penggunaan sumber daya dan produksi metabolit sel kanker, gangguan jaringan, dan pengambilalihan sel normal nonkanker mengganggu fungsi tubuh normal, yang pada akhirnya menyebabkan nyeri, kegagalan organ, dan sindrom terkait kanker seperti cachexia. Kanker tidak hanya menghancurkan tubuh seseorang tetapi juga Gambar 1 Tahapan perkembangan tumor
sangat memengaruhi kesehatan mental seseorang dan berdampak negatif pada orang-orang di sekitar mereka, mengganggu keluarga dan persahabatan. Kanker sebagai penyakit membunuh 10 juta orang per tahun di seluruh dunia, mencerminkan betapa umum dan mematikannya penyakit ini.7
Tumor ganas berkembang seiring waktu, seperti yang ditunjukkan pada gambar diatas. Tumor ini berkembang sebagai akibat dari empat mutasi, tetapi jumlah mutasi yang terlibat dalam jenis tumor lainnya dapat bervariasi. Kita tidak tahu jumlah pasti mutasi yang diperlukan agar sel normal menjadi sel ganas sepenuhnya, tetapi jumlahnya mungkin kurang dari sepuluh,
A. Tumor mulai berkembang ketika sel mengalami mutasi yang membuat sel lebih mungkin membelah dari pada biasanya.
B. Sel yang berubah dan keturunannya tumbuh dan membelah terlalu sering, suatu kondisi yang disebut hiperplasia. Pada titik tertentu, salah satu sel ini mengalami mutasi lain yang selanjutnya meningkatkan kecenderungannya untuk membelah.
C. Keturunan sel ini membelah secara berlebihan dan tampak tidak normal, suatu kondisi yang disebut displasia. Seiring berjalannya waktu, salah satu sel mengalami mutasi lagi.
D. Sel ini dan keturunannya sangat tidak normal baik dalam pertumbuhan maupun penampilan. Jika tumor yang terbentuk dari sel-sel ini masih terkandung dalam jaringan asalnya, maka itu disebut kanker in situ. Kanker in situ dapat tetap terkandung tanpa batas waktu.
E. Jika beberapa sel mengalami mutasi tambahan yang memungkinkan tumor menyerang jaringan di sekitarnya dan melepaskan sel ke dalam darah atau getah bening, tumor tersebut dikatakan ganas. Sel yang lolos dapat membentuk tumor baru (metastasis) di lokasi lain di dalam tubuh. 6
Ciri utama dari pandangan molekuler tentang kanker saat ini adalah bahwa kanker tidak berkembang sekaligus, tetapi seiring waktu, sebagai rangkaian perubahan genetik yang panjang dan kompleks. Setiap perubahan memungkinkan sel prakanker memperoleh beberapa sifat yang bersama-sama menciptakan
pertumbuhan ganas sel kanker. Dua kategori gen memainkan peran utama dalam memicu kanker. Dalam bentuk normalnya, gen-gen ini mengendalikan siklus sel, rangkaian peristiwa yang menyebabkan sel membesar dan membelah. Salah satu kategori gen, disebut proto-onkogen, mendorong pembelahan sel. Kategori lainnya, disebut gen penekan tumor, menghambatnya. Bersama-sama, proto-onkogen dan gen penekan tumor mengoordinasikan pertumbuhan yang diatur yang biasanya memastikan bahwa setiap jaringan dan organ dalam tubuh mempertahankan ukuran dan struktur yang memenuhi kebutuhan tubuh. Proto-onkogen yang bermutasi menjadi onkogen, gen yang merangsang pembelahan berlebihan. Dan mutasi pada gen penekan tumor menonaktifkan gen-gen ini, menghilangkan penghambatan kritis pembelahan sel yang biasanya mencegah pertumbuhan berlebihan. Secara kolektif, mutasi pada kedua kategori gen ini merupakan penyebab sebagian besar pembelahan sel yang tidak terkendali yang terjadi pada kanker manusia.6
2.2 Kemoterapi
Kemoterapi dalam kanker telah mengubah perjalanan penyakit dari hasil yang fatal dalam semua kasus menjadi penyakit yang dapat diobati dan terkadang dapat disembuhkan melalui pendekatan yang tepat. Tujuan kemoterapi adalah untuk menghambat proliferasi sel dan multiplikasi tumor, sehingga mencegah invasi dan metastasis. 8
Tujuan kemoterapi adalah untuk menghambat proliferasi sel dan multiplikasi tumor, sehingga mencegah invasi dan metastasis. Namun, hal ini mengakibatkan efek toksik kemoterapi karena efeknya pada sel normal juga.
Penghambatan pertumbuhan tumor dapat terjadi pada beberapa tingkatan di dalam sel dan lingkungannya.8,9
Agen kemoterapi tradisional terutama memengaruhi sintesis makromolekul dan fungsi sel neoplastik dengan mengganggu sintesis DNA, RNA, atau protein atau memengaruhi fungsi molekul yang telah terbentuk sebelumnya. Ketika gangguan dalam sintesis atau fungsi makromolekul cukup, hal itu menyebabkan Tabel 1 Beberapa gen yang terlibat dalam kanker manusia
kematian sel karena efek langsung agen kemoterapi atau dengan memicu apoptosis.
Dengan agen tradisional, kematian sel dapat ditunda karena sebagian sel mati karena pengobatan tertentu. Jadi, pengobatan mungkin perlu diulang untuk mencapai respons. Toksisitas obat sitotoksik paling signifikan selama fase S, karena merupakan fase sintesis DNA dari siklus sel. Alkaloid vinca dan Taxanes bekerja pada fase M dan menghambat pembentukan spindel mitosis.
Kemoterapi kombinasi juga merupakan pilihan umum untuk menghasilkan respons yang memadai. 8,9
Kemoterapi kombinasi tampaknya mencegah perkembangan klon resistan dengan meningkatkan sitotoksisitas pada sel yang beristirahat dan membelah. Mekanisme seluler yang meningkatkan atau menekan proliferasi dan diferensiasi sel rumit, melibatkan beberapa gen, reseptor, dan transduksi sinyal.
Investigasi dalam biologi sel kanker telah menghasilkan wawasan signifikan tentang mekanisme apoptosis, angiogenesis, metastasis, transduksi sinyal sel, diferensiasi, dan modulasi faktor pertumbuhan. Para peneliti merancang terapi molekuler yang ditargetkan pada jalur ini, secara selektif menghambat pertumbuhan, misalnya, menargetkan pensinyalan sel atau angiogenesis, memblokir degradasi protein, dll.8
Kemoterapi dapat diberikan dalam bentuk neoadjuvan, adjuvan, gabungan, dan metastasis. Terapi neoadjuvan adalah pengobatan yang diberikan sebelum pengobatan primer. Terapi adjuvan adalah pengobatan yang diberikan sebagai tambahan terhadap terapi awal, yang dapat menekan atau menghilangkan pertumbuhan sel kanker yang tersembunyi. Terapi adjuvan sekarang menjadi standar untuk kanker payudara, paru-paru, kolorektal, dan ovarium. Modalitas gabungan seperti kemoterapi dan radiasi digunakan untuk mengecilkan tumor sebelum operasi atau tujuan kuratif pada kanker seperti kepala dan leher, paru-paru, anus.8
Kombinasi agen kemoterapi diberikan secara siklis berdasarkan tiga prinsip dasar.
1. Hipotesis pembunuhan fraksi: Dosis obat yang seragam membunuh fraksi sel tumor yang konstan, bukan jumlah yang konstan terlepas dari beban tumor.
2. Sel tumor neoplastik memiliki respons linear antara dosis yang diberikan dan kemanjurannya.
3. Hipotesis Goldie-Coldman: Sel kanker memperoleh mutasi spontan yang menyebabkan resistensi obat.
Oleh karena itu, terapi multitarget atau terapi kombinasi lebih unggul daripada terapi agen tunggal dalam sebagian besar pengobatan kanker. Selain itu, agen kemoterapi kombinasi dengan mekanisme kerja yang berbeda dan juga toksisitas yang tidak tumpang tindih dapat dipilih untuk mengurangi resistensi dan toksisitas.
Regimen kuratif seperti bleomycin/vinblastine/cisplatin untuk kanker testis adalah contoh kemoterapi kombinasi. Kemoterapi kombinasi merupakan pilihan umum untuk menghasilkan respons yang memadai juga. Kemoterapi kombinasi tampaknya mencegah perkembangan klon resistan dengan meningkatkan sitotoksisitas pada sel yang sedang istirahat dan membelah.8,10
Efek samping kemoterapi kanker dapat bersifat akut atau berkepanjangan, dan mungkin memerlukan pemantauan. Selain itu, diperlukan pemantauan multidisiplin karena populasi pasien tertentu mungkin berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi.8,9
Penanganan efek samping umum kemoterapi:
1. Reaksi infus, akibat reaksi hipersensitivitas: Pilihan penanganannya termasuk menggunakan premedikasi seperti difenhidramin, metilprednisolon, epinefrin.
2. Mual dan muntah akibat kemoterapi: Pilihan pengobatan meliputi proklorperazin, haloperidol, metoclopramide, lorazepam, deksametason, ondansetron, granisetron, dolasetron, palonosetron, dronabinol, aprepitant,
fosaprepitant. Palonosetron memiliki waktu paruh lebih panjang, efikasi lebih baik, dan afinitas pengikatan lebih tinggi daripada granisetron.
3. Mucositis: Menggunakan obat kumur ajaib, menghindari obat kumur komersial, dan penyeka gliserin lemon.
4. Kelelahan: Intervensi seperti olahraga, mengoptimalkan kualitas tidur, dan terapi perilaku seperti relaksasi dapat membantu mengatasi kelelahan.
5. Diare akibat kemoterapi: Menggunakan agen seperti loperamide, diphenoxylate, atropine, octreotide.
6. Konstipasi akibat kemoterapi: Menggunakan agen seperti docusate, senna, susu magnesia, bisacodyl, laktulosa, polietilen glikol, enema.
7. Neurotoksisitas: Menggunakan agen seperti vitamin B6, glutamin, gabapentin, pregabalin, karbamazepin, atau antidepresan trisiklik (amitriptilin).8
2.2.1 Gangguan elektrolit pasien kanker
Gangguan elektrolit merupakan komplikasi yang sangat umum pada pasien kanker. Gangguan ini dapat dikaitkan dengan memburuknya hasil, memengaruhi kualitas hidup, kemungkinan untuk menerima obat antikanker, dan memengaruhi kelangsungan hidup. Bahkan, gangguan ini dapat memicu morbiditas yang serius, dengan disfungsi beberapa organ dan menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa.
9
Gangguan elektrolit pada pasien kanker mungkin bergantung pada beberapa penyebab: fisiopatologi kanker, pengobatan antitumor, kondisi klinis yang menyertai, atau terapi. Namun, gangguan ini sering kali memiliki asal multifaktorial dan mungkin bersifat sekunder dan bertanggung jawab atas disfungsi beberapa sistem organ. Koreksi gangguan elektrolit yang cepat umumnya dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik.9
2.2.2 Natrium
Natrium merupakan kation utama cairan ekstraseluler (ECF) dan penyusun utama osmolalitas serum. Konsentrasinya dalam ECF sangat penting untuk
menjaga volume darah yang bersirkulasi dan sangat bergantung pada keberadaan air. Kadar natrium serum normal adalah 135-145 mmol/L dan ketidakseimbangannya dapat disebabkan oleh perubahan asupan zat terlarut dan air, deplesi, dan pengenceran.9,11
Beberapa sistem terpadu terlibat dalam menjaga konsentrasi natrium serum normal, seperti pengaturan asupan air oleh rasa haus, pengendalian ekskresi air bebas ginjal oleh sekresi hormon antidiuretik, ekskresi natrium ginjal oleh filtrasi glomerulus, kondisi peritubular, dan sekresi aldosteron adrenal.9,11
Secara khusus, jalur angiotensin II arginine vasopressin (AVP) - peptida natriuretik atrium merupakan mekanisme terpenting dalam keseimbangan natrium, dan sangat terkait dengan osmolalitas serum. Perubahan konsentrasi natrium serum termasuk hiponatremia dan hipernatremia. Saluran natrium telah dijelaskan dalam sel kanker dan dikaitkan dengan perilaku yang lebih agresif. Saluran natrium berpintu tegangan (VGSC) adalah sekelompok besar protein trans-membran yang memungkinkan aliran ion natrium menuruni gradien elektrokimia melalui membran sel.9,11
2.2.3 Hiponatremia
Hiponatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium serum/plasma lebih rendah dari 135 mmol/L. Penyakit ini dapat timbul dengan cepat dalam waktu 48 jam (hiponatremia akut) atau, lebih sering, perlahan (hiponatremia kronis).
Berdasarkan kadar serumnya, penyakit ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga tingkat keparahan: ringan (130-134 mEq/L), sedang (125-129 mEq/L), dan berat (<
125 mEq/L). 9
Ini mewakili kelainan elektrolit terkait tumor yang paling umum. Meskipun kejadian akuratnya masih belum diketahui karena perbedaan kadar natrium serum yang dipertimbangkan dalam beberapa penelitian, dilaporkan adanya variabel kejadian sebesar 4%-44%, tergantung pada jenis kanker dan kondisi klinis. Insiden yang lebih tinggi berhubungan dengan neoplasma toraks, dan, khususnya, lebih
sering terjadi pada pasien dengan kanker paru-paru, dengan perkiraan rata-rata sebesar 15%.9,11
Beberapa penelitian mengevaluasi dampak hiponatremia pada pasien kanker, menunjukkan bahwa, apa pun penyebabnya, hiponatremia berkorelasi negatif dengan hasil akhir pasien. Secara khusus, hiponatremia tampaknya berhubungan dengan status kinerja yang lebih buruk dan mengurangi kelangsungan hidup pada pasien dengan kanker paru-paru, karsinoma sel ginjal, mesothelioma pleura ganas, kanker lambung, kanker kolorektal, dan limfoma. Bukti terbaru menunjukkan peran prediksi negatif yang penting dari hiponatremia, pada pasien yang menerima kemoterapi dan terapi target, sementara koreksi segera terhadap gangguan elektrolit ini meningkatkan hasil akhir pasien, dengan mempertimbangkan waktu yang tepat untuk menghindari kerusakan neurologis.
Selain itu, hiponatremia tampaknya juga memiliki peran negatif pada pasien yang dirawat di rumah sakit, karena hal ini terbukti berhubungan dengan lama rawat inap yang lebih lama, menyebabkan dampak negatif pada kualitas hidup dan prognosis serta peningkatan biaya rawat inap.9
Penyebab hyponatremia
Pada pasien kanker, beberapa penyebab dapat menyebabkan hyponatremia:
1. Kanker: sindrom paraneoplastik seperti SIAD, metastasis otak, metastasis adrenal, dan metastasis ginjal dapat menyebabkan hiponatremia.
2. Pengobatan kanker: dapat menyebabkan hiponatremia sebagai efek langsung dari mekanisme kerjanya (alkaloid vinca dapat menyebabkan SIAD; turunan platinum sering dikaitkan dengan hiponatremia; dan terapi target, khususnya agen antiangiogenetik, tampaknya menyebabkan hiponatremia, meskipun mekanisme yang mendasarinya tidak diketahui) atau sebagai akibat dari efek samping seperti kehilangan gastrointestinal (muntah dan diare yang disebabkan oleh sebagian besar agen kemoterapi, terapi target, dan imunoterapi), kehilangan ginjal, dan gagal jantung (obat kardiotoksik seperti antrasiklin dan terapi target seperti anti HER-2, anti- ALK, dan anti-MEK). Agen imunoterapi dapat menyebabkan kerusakan
langsung pada kelenjar adrenal atau hipofisis, sehingga menyebabkan terjadinya hiponatremia.
3. Obat yang digunakan bersamaan: diuretik, antibiotik, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), opioid, antidepresan, dan neuroleptik dapat menyebabkan hiponatremia.
4. Penyakit penyerta: gagal jantung, gagal ginjal, tiroiditis, hiperkortisolisme, sirosis hati, pneumonia, dan penyakit radang paru-paru atau otak dapat menyebabkan hiponatremia. Namun, dalam banyak kasus, lebih dari satu faktor di atas dapat menyebabkan hiponatremia pada pasien kanker. 9
Penyebab-penyebab ini dapat ditelusuri kembali ke dua mekanisme dasar yang berbeda: air bebas yang berlebihan (untuk meningkatkan asupan atau mengurangi eliminasi) atau, jarang, kehilangan natrium (berkurangnya asupan atau peningkatan kehilangan). Pengetahuan Kedua mekanisme yang berbeda ini sangat penting untuk diagnosis banding antara penyebab potensial untuk menetapkan pendekatan terapeutik yang tepat. Status volume ekstraseluler (ECV) merupakan hal mendasar untuk membedakan mekanisme yang mendasari hyponatremia.9
Dalam kasus hiponatremia sekunder akibat SIAD, penggunaan Tolvaptan, antagonis reseptor V2 selektif, harus dipertimbangkan. Faktanya, obat ini telah menunjukkan kemanjuran yang penting dalam memperbaiki dan menstabilkan konsentrasi natrium serum, sehingga mendukung permulaan dan kelanjutan pengobatan antikanker tanpa penundaan. Selain itu, tampaknya mengurangi risiko terjadinya hiponatremia sebagai efek samping kemoterapi. Jadwal Tolvaptan memerlukan dosis awal 15 mg sekali sehari dan harus diberikan terlebih dahulu di departemen rumah sakit untuk memantau respons terapeutik dan efek samping apa pun. Dapat ditingkatkan dalam interval 24 jam, bila kadar natrium serum/plasma tidak membaik, hingga maksimum 60 mg sekali sehari.8,11
Agen terapeutik lain yang disetujui adalah urea dan Demeclocycline.
Namun, karena toksisitasnya dan kepatuhan pasien yang buruk, obat ini tidak lagi digunakan dalam praktik klinis. 8,9
Jika terdapat gejala neurologis yang parah atau kondisi yang mengancam jiwa, kadar natrium serum harus segera diperbaiki dan terapi yang tepat adalah pemberian larutan garam hipertonik 3%. 9
Gambar 2 Algoritma manajemen hyponatremia
Penting untuk memantau tingkat koreksi hiponatremia karena peningkatan kadar natrium yang berlebihan dapat menyebabkan berkembangnya mielinolisis pontine sentral, suatu kondisi ireversibel yang dapat menyebabkan kematian.
Tingkat koreksi tidak boleh melebihi 12 mmol/L/24 jam. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memantau kadar natrium plasma dalam 24 jam pertama secara berkala 4-6 jam, untuk mengontrol kecepatan koreksi. 9
2.2.4 Hipernatremia
Hipernatremia didefinisikan sebagai peningkatan kadar natrium serum lebih dari 145 mmol/L. Ini adalah gangguan elektrolit yang sering terjadi pada 1% -5%
pasien rawat inap. Hal ini merupakan faktor prognostik negatif, terkait dengan peningkatan angka kematian (40%-75%) dibandingkan dengan pasien eunatremia.
11
Pada pasien kanker, beberapa penyebab dapat menyebabkan hipernatremia:
1. Kanker: anoreksia dan cachexia kanker, kerusakan ginjal, metastasis otak yang menyebabkan diabetes insipidus, dan gangguan saluran cerna akibat infiltrasi kanker (misalnya fistula dan drainase nasogastrik akibat obstruksi usus) dapat menyebabkan hipernatremia.
2. Pengobatan kanker: efek samping seperti muntah dan diare yang umum terjadi pada sebagian besar obat antikanker (kemoterapi, TKI, dan imunoterapi) terkait dengan berkurangnya rangsangan rasa haus dapat menyebabkan hipernatremia. Peningkatan konsentrasi serum juga dapat disebabkan oleh kerusakan langsung natrium usus akibat agen antiangiogenetik atau imunoterapi. Selain itu, beberapa agen kemoterapi seperti ifosfamide dapat menyebabkan diabetes insipidus iatrogenik.
3. Obat bersamaan: diuretik osmotik, kortikosteroid, nutrisi enteral atau parenteral, dan infus garam hipertonik dapat menyebabkan hipernatremia.
4. Penyakit penyerta: sindrom cushing dapat menyebabkan hipernatremia.11
Dua mekanisme dasar yang berbeda mungkin terlibat dalam perkembangan hipernatremia: kehilangan air (karena berkurangnya pemasukan (hipernatremia euvolemik) atau peningkatan eliminasi (hipernatremia hipovolemik), atau, jarang, akumulasi natrium (seringkali karena iatrogenik, hipernatremia hipervolemik).
Memahami mekanisme ini adalah penting. penting untuk diagnosis banding yang benar di antara penyebab potensial hipernatremia. 11
Mekanisme paling umum yang mendasari hipernatremia adalah hilangnya total air tubuh akibat gangguan rangsangan haus. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan kondisi status mental, seperti usia yang lebih tua, tumor otak, kerusakan, atau pembedahan, yang menyebabkan kurangnya rasa haus dan osmoregulasi.
Kehilangan air juga bisa disebabkan oleh gangguan ginjal atau ekstra ginjal.11
Pada pasien kolaboratif dan tanpa gejala tanpa disfungsi gastrointestinal, hidrasi oral efektif dan harus lebih diutamakan. Pada pasien dengan hipernatremia berat atau tidak dapat menerima cairan secara oral (karena muntah atau perubahan neurologis), hidrasi intravena harus dipertimbangkan. 11
Infus air bebas (larutan dekstrosa 5%) harus dipertimbangkan jika hanya air bebas yang hilang. Diuretik loop harus dipertimbangkan dalam kasus natriuresis perolehan natrium murni. 11
Gambar 3 Algoritma penatalaksanaan hipernatremia
Pada pasien dengan hipernatremia akut (dalam waktu 24 jam) atau gejala berat, pengobatan dengan larutan isotonik atau hipotonik harus segera dimulai, karena telah ditunjukkan bahwa koreksi yang cepat (hingga 8-12 mmol/L per hari) meningkatkan prognosis pasien tanpa risiko kejang atau edema serebral. Koreksi 1 mEq/L/jam dianggap aman. 11
Pada pasien dengan hipernatremia kronis atau waktu timbulnya edema tidak diketahui, koreksi harus dilakukan dalam waktu 48 jam, dengan penurunan osmolalitas serum tidak lebih dari 0,5 mOsm/L/jam untuk menghindari timbulnya edema serebral. Penurunan konsentrasi natrium serum sebesar 8-10 mmol/L per hari dianggap aman. Pemantauan kadar natrium serum dengan interval teratur 4 jam sangat dianjurkan untuk mengontrol kecepatan koreksi.11
Pasien yang menderita diabetes insipidus sentral harus menerima desmopresin hidung atau oral. Diabetes insipidus nefrogenik harus diobati dengan kombinasi diuretik thiazide dan protein rendah natrium-rendah, untuk menghilangkan potensi faktor pengendapan.11
2.2.5 Kalsium
Kalsium adalah kation ekstraseluler dan kisaran konsentrasi kalsium serum normal adalah 2,1-2,5 mmol/L (8,5-10,5 mg/ dL) atau kalsium terionisasi 1,1-1,4 mmol/L (4,5-5,6 mg/dL). Sebagian besar kandungan kalsium disimpan dalam matriks organik oleh kristal hidroksiapatit tulang. Kalsium muncul dalam tiga bentuk berbeda: ion bebas (50%), terikat pada protein plasma, dan dalam kompleks difusi. Status asam basa mempengaruhi pengikatan antara kalsium dan protein serum. Secara khusus, alkalosis mendukung pengikatan sementara asidosis menginduksi bentuk kalsium terionisasi. Kalsium berasal dari makanan dan diekskresikan melalui ginjal.9,11
Reabsorpsi kalsium di ginjal terjadi terutama di tubulus proksimal, dan sebagian kecil di lengkung Henle asendens, sehingga diuretik loop menurunkan resorpsi kalsium tubulus, sedangkan diuretik thiazide meningkatkan resorpsinya.
Metabolisme kalsium memerlukan interaksi yang stabil antara tulang dan ECF.
Beberapa hormon terlibat dalam homeostasis kalsium. Hormon paratiroid (PTH), yang sekresinya dimediasi oleh penurunan kadar kalsium serum, bekerja pada tulang, mendukung resorpsi tulang yang dimediasi oleh osteoklastik dan mendorong kebocoran kalsium dan menginduksi sintesis vitamin D aktif dan penyerapan kalsium di usus. Sebaliknya, kalsitonin, yang sekresinya dimediasi oleh peningkatan kadar kalsium serum, mengurangi transfer kalsium dari kumpulan kalsium tulang ke CES, dan menurunkan resorpsi tulang yang menghambat aktivitas osteoklas dan meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal. Vitamin D juga memainkan peran penting dalam homeostasis kalsium serum, mendukung peningkatan penyerapan kalsium usus dan penyimpanan kalsium tulang.9
Tabel 2 Penyebab hipokalsemia Penyebab hipokalsemia Pengurangan serum kalsium
Kalsium tidak terionisasi: hipoalbuminemia, sindrom nefrotik, penyakit hati, malnutrisi Kalsium terionisasi: hiperlipidemia, nutrisi parenteral diperkaya asam lemak bebas Deposisi ekstravaskular: metastasis osteoblastik, pankreatitis.
Gagal ginjal Iatrogenik, obstruksi pasca ginjal, kompresi dan infiltrasi akibat keganasan, sindrom lisis tumor, hiperurisemia, sepsis, nefropati zat kontras.
Gangguan endokrin Defisiensi atau resistensi vitamin D: asupan makanan yang tidak memadai, berkurangnya penyerapan karena malabsorpsi hepatobilier atau usus, penyakit hati Defisiensi atau resistensi PTH:
paratiroidektomi, gangguan autoimun, sindrom
tulang lapar Gangguan elektrolit
yang terjadi bersamaan
Hipomagnesemia Hiperfosfatemia.
Obat-obatan Antiepilepsi: fenitoin, fenobarbital Agen antikanker: fluorouracil, leucovorin, nab- paclitaxel, estramustine, octreotide, imatinib, axitinib, panitumumab, cetuximab, cisplatin Lainnya: bifosfonat, denosumab, rifampisin, khelator kalsium, zat kontras radiografi, furosemide, foscarnet, EDTA, cinacalcet.
2.2.6 Hipokalsemia
Hipokalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum yang lebih rendah (kalsium serum total < 2,1 mmol/L atau < 8,5 mg/dL atau bentuk terionisasi
< 1,1 mmol/L atau > 4,5 mg/dL). 9
Beberapa penyebab hipokalsemia pada pasien kanker:
1. Kanker: malnutrisi akibat anoreksia, cachexia kanker atau obstruksi usus, malabsorpsi berhubungan dengan infiltrasi tumor usus atau pembedahan usus sebelumnya, fungsi hati abnormal akibat metastasis hati dapat mendorong perkembangan hipoalbuminemia dan hipokalsemia berikutnya.
Selain itu, malabsorpsi dan malnutrisi sering kali menyebabkan kekurangan vitamin D dan kemudian hipokalsemia pada pasien kanker. Kondisi lain yang menyebabkan hipokalsemia adalah defisiensi PTH. Ini adalah kondisi umum pasien yang menjalani tiroidektomi total dengan paratiroidektomi subtotal atau total untuk kanker. Gangguan paraneoplastik juga terlibat dalam hipokalsemia pada sindrom kanker. Seperti sindrom lisis tumor atau sindrom tulang lapar. “Sindrom tulang lapar” sering terjadi pada kanker paratiroid dan prostat metastatik dan ditandai dengan metastasis
osteoblastik yang menyebabkan peningkatan pengendapan kalsium dan fosfat dalam tulang dan penurunan konsentrasi kalsium dan fosfat serum.
2. Pengobatan kanker: hipokalsemia juga dilaporkan pada pasien kanker yang menerima bifosfonat atau denosumab, suatu antibodi monoklonal anti- RANKL (penggerak reseptor ligan faktor nuklir kappa B), yang digunakan pada pasien kanker dengan metastasis tulang untuk menunda atau mencegah kerusakan tulang. peristiwa terkait. Di dalam faktanya, mereka meningkatkan pengendapan kalsium di tulang, mengurangi konsentrasi kalsium darah. Oleh karena itu, disarankan untuk memeriksa kadar kalsium serum sebelum perawatan ini dan menerapkan asupan kalsium dan vitamin D secara oral. Selain itu, beberapa obat, seperti agen kemoterapi, terapi target, imunoterapi dapat menyebabkan hipokalsemia pada pasien kanker, melalui mekanisme yang berbeda: cedera ginjal, defisiensi magnesium iatrogenik, kerusakan saluran cerna, pankreatitis. Secara khusus, antibodi anti EGFR monoklonal dapat menyebabkan hipomagnesemia yang mengakibatkan hipokalsemia.
3. Obat bersamaan: diuretik dan nutrisi parenteral dapat menyebabkan hipokalsemia.
4. Penyakit penyerta: gagal ginjal, kelainan autoimun yang menyebabkan defisiensi PTH, sepsis, dan pankreatitis dapat menyebabkan hipokalsemia.
Manifestasi klinis hipokalsemia berkaitan erat dengan tingkat keparahan dan waktu timbulnya. Gejala dan tanda dipengaruhi oleh faktor lain seperti status asam basa, hipomagnesemia, dan aktivitas sistem simpatis yang berlebihan.9
Gangguan klinis akibat hipokalsemia bergantung pada perubahan potensial listrik membran sel, dan tampak sebagai ketidakseimbangan rangsangan neuromuskular. Hipokalsemia kronis dan ringan seringkali tidak menunjukkan gejala atau dapat muncul dengan kram otot, kalsifikasi ektopik, parkinsonisme, demensia, depresi, psikosis, kulit kering, dan katarak.9
Hipokalsemia berat atau akut dapat menyebabkan kejang tetanik, laringospasme hingga kejang umum, dan koma. Hipokalsemia berat juga dapat memicu perubahan jantung seperti aritmia atau blok jantung. EKG menunjukkan perubahan khas seperti pemanjangan interval QTc dan ST, perubahan repolarisasi, bentuk gelombang T yang runcing, atau inversi.9
Diagnosis hipokalsemia ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan perlu dipastikan melalui pemeriksaan laboratorium. Karena kalsium serum sebagian terikat pada protein, disarankan untuk mengoreksi konsentrasi kalsium serum total dengan kadar albumin [misalnya, kalsium serum (mg/dL) + 0,8 × (4-albumin pasien)]. Sebagai alternatif, kalsium terionisasi dapat dievaluasi. Untuk diagnosis banding yang benar, albumin serum, protein total, kalsium urin, fosfat, vitamin D, PTH plasma, dan fungsi paratiroid, ginjal, dan hati harus dievaluasi.9
Pengobatan hipokalsemia bergantung pada tingkat keparahan, manifestasi klinis, dan penyebab yang mendasari. Jika memungkinkan, selalu disarankan untuk memperbaiki penyebab hipokalsemia.9
Gambar 4Algoritma penatalaksanaan hipokalsemia
Dalam kasus hipokalsemia akut dan/atau simtomatik, pasien harus menerima kalsium intravena. Untuk menghindari efek samping, kalsium glukonat harus diinfuskan secara perlahan (misalnya, 10 mL formulasi kalsium glukonat 10% harus diencerkan dalam 50-100 mL dekstrosa 5% dan diinfuskan selama 5-10 menit), dan diberikan melalui infus sentral. kateter vena untuk mencegah komplikasi ekstravasasi. Faktanya, koreksi hipokalsemia yang cepat dapat meningkatkan risiko aritmia jantung, terutama pada pasien yang menerima digoksin, sehingga aktivitas jantung harus dipantau dengan EKG dan tingkat koreksi hipokalsemia harus diperiksa setiap 1-2 jam selama infus kalsium glukonat intravena.9
Dalam kasus tanda-tanda tetanik karena hipokalsemia berat dan/atau akut, pengobatan awalnya memerlukan bolus infus intravena kalsium glukonat selama 10 menit (10 mL larutan 10%) diikuti dengan formulasi yang disebutkan di atas. Selain itu, hipomagnesemia atau alkalosis yang terjadi bersamaan harus dikoreksi.9
Dalam kasus hipoparatiroidisme, pengobatan bertujuan untuk mengendalikan gejala, menjaga kadar kalsium serum yang memadai (2,00-2,12 mmol/L), dan rasio kalsium-fosfat di bawah 4,4 mmol/L, untuk mencegah hiperkalsiuria dan pengendapan garam kalsium di dalam tubuh. jaringan lunak.
Kalsitriol, suatu analog vitamin D, biasanya digunakan dengan dosis awal 0,5 mcg/hari, yang dapat ditingkatkan hingga konsentrasi kalsium serum yang memadai tercapai. Diuretik tiazid yang berhubungan dengan diet rendah fosfat dapat dipertimbangkan.9
Dianjurkan untuk memantau kalsium serum, konsentrasi fosfor, dan kreatinin mingguan selama pemberian awal untuk mendapatkan stabilisasi dosis yang benar.
Dalam kasus hipokalsemia kronis, dianjurkan suplementasi kalsium oral (kalsium karbonat atau kalsium sitrat) dan vitamin D. Dalam kasus hipomagnesemia, hal ini harus diperbaiki. Kekurangan vitamin D memerlukan suplementasi dengan ergokalsiferol oral atau intramuskular (vitamin D2) atau kolekalsiferol oral (vitamin D3). Jika hipokalsemia terjadi akibat malabsorpsi vitamin D, penting untuk memperbaiki penyebab yang mendasarinya (misalnya, pasien celiac harus
menerima diet bebas gluten). Pasien yang menerima bifosfonat atau anti-RANKL harus menerima suplemen kalsium dan vitamin D oral untuk mencegah hipokalsemia.9
2.2.7 Hiperkalsemia
Hiperkalsemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalsium serum yang lebih tinggi (kalsium serum total lebih dari 10,5 mg/dL). Ini adalah kelainan elektrolit yang umum terjadi pada pasien dengan keganasan stadium lanjut dan berkorelasi dengan prognosis buruk. Beberapa penyebab mungkin berkontribusi terhadap perkembangan hiperkalsemia pada pasien kanker yaitu:
1. Kanker: penyebab utama hiperkalsemia pada pasien kanker adalah hiperparatiroidisme. Itu bisa dibagi menjadi hiperparatiroidisme primer dan sekunder. Hiperparatiroidisme primer, penyebab hiperkalsemia paling umum pada populasi umum, ditandai dengan sekresi PTH yang tidak tepat yang menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium serum. Karsinoma paratiroid tunggal sering menjadi penyebab hiperparatiroidisme primer, terkadang menyebabkan kondisi yang jarang namun mengancam jiwa, krisis hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi PTH (3-10 kali lebih tinggi dari nilai normal) dan kadar kalsium serum. Sebaliknya, hiperparatiroidisme sekunder ditandai dengan peningkatan jumlah PTH yang disekresikan oleh paratiroid.
Beberapa penyebab mungkin berkontribusi terhadap mekanisme ini, khususnya malnutrisi dan anoreksia kanker adalah penyebab paling umum terkait kanker.
2. Pengobatan kanker: obat antineoplastik secara tidak langsung dapat menyebabkan hiperkalsemia, misalnya melalui kerusakan ginjal.
3. Obat bersamaan: beberapa obat dapat menyebabkan hiperkalsemia. Diuretik tiazid, keracunan vitamin D, dan nutrisi parenteral adalah agen paling umum yang terlibat dalam gangguan elektrolit pada pasien kanker.
4. Penyakit penyerta: beberapa kondisi patologis dapat menyebabkan hiperkalsemia. Hal ini mungkin bergantung pada kelebihan PTH (hiperparatiroidisme primer akibat adenoma paratiroid, hiperkalsemia hipokalsiurik familial, hiperparatiroidisme familial terisolasi, atau hiperparatiroidisme sekunder yang paling umum.9
Untuk meningkatkan hasil pasien, pemantauan berkala terhadap kadar kalsium serum dan koreksi segera terhadap potensi hiperkalsemia harus dilakukan. Untuk menentukan hiperkalsemia yang efektif, penting untuk menghindari adanya faktor- faktor bersamaan yang dapat mempengaruhi bagian kalsium terikat dan bebas (misalnya, hiperglobulinemia dapat meningkatkan kadar kalsium total tanpa mengubah konsentrasi terionisasi; asidemia dan penurunan afinitas albumin- kalsium dapat meningkatkan kadar kalsium. tingkat bentuk terionisasi, tanpa mengubah kadar kalsium total). Diagnosis sering kali ditegakkan secara kebetulan selama pemeriksaan laboratorium rutin, karena sebagian besar pasien dengan hiperkalsemia ringan tidak menunjukkan gejala. Hiperkalsemia kronis akibat Gambar 5 Algoritma penatalaksanaan hiperkalsemia
hiperparatiroidisme seringkali tidak menunjukkan gejala; Namun, dalam beberapa kasus, gangguan elektrolit jangka panjang ini dapat menyebabkan nefrolitiasis.
Sebaliknya, hiperparatiroidisme kronis akibat gagal ginjal dan dialisis dapat menyebabkan nyeri tulang yang berhubungan dengan proses remodeling tulang, degenerasi fibrosa, dan pembentukan kista dan nodul fibrosis.9
Gambaran klinis tergantung pada derajat dan waktu timbulnya. Gejala yang paling umum adalah rasa tidak enak badan, haus, lesu, dan sembelit yang sering dikaitkan dengan sakit perut. Gejala dan tanda ginjal seperti poliuria, polidipsia, nycturia, nefrolitiasis, dan jarang gagal ginjal serta nefrokalsinosis juga harus dipertimbangkan.9
Gangguan neuromuskular, mulai dari kelemahan otot, ketidakstabilan emosi, dan kebingungan, hingga berkembangnya delirium, psikosis, stupor, dan koma, dapat diamati pada hiperkalsemia akut atau berat (kadar kalsium serum > 12 mg/ dL). Selain itu, hiperkalsemia dapat menyebabkan aritmia jantung. Perubahan elektrokardiografi yang paling umum adalah tidak adanya atau memendeknya segmen ST, memendeknya interval QT, melebarnya kompleks QRS, membesarnya gelombang T, dan memanjangnya interval PR. Jarang terjadi, hal ini dapat menyebabkan blok cabang dan aritmia hingga serangan jantung jika kadar kalsium serum lebih dari 15 mg/dL.9
Dalam kasus hiperkalsemia berat (kalsium serum total lebih dari 15 mg/dL) atau gejala atau tanda yang parah, dianjurkan pengobatan yang ditujukan untuk mengurangi kadar kalsium serum, untuk memulihkan volume intravaskular yang memadai dan meningkatkan laju filtrasi glomerulus. Karena hiperkalsemia menyebabkan poliuria, sebagian besar pasien mengalami dehidrasi. Oleh karena itu, larutan garam isotonik intravena (NaCl 0,9%) harus diberikan dengan kecepatan infus 100/120 mL/jam, untuk mendapatkan keluaran urin 100-150 mL/jam dan penurunan konsentrasi kalsium serum. Dianjurkan dua hingga tiga liter larutan garam isotonik/hari dengan pemantauan ketat terhadap kadar elektrolit serum dan volume urin. Pada pasien dengan sindrom edematogenik (misalnya gagal jantung kongestif) atau anuria, larutan isotonik harus diberikan dengan hati-hati untuk
menghindari kelebihan cairan. Namun, hanya 30% pasien yang mencapai normokalsemia hanya dengan minum cairan. Diuretik loop (misalnya, furosemide) mungkin dipertimbangkan terutama pada pasien dengan sindrom edematogenik, yang memerlukan peningkatan diuresis. Penggunaan furosemide harus dibatasi pada pasien dehidrasi atau pada pasien dengan kelainan elektrolit lainnya (magnesium dan kalium).9
Pada pasien dengan hiperkalsemia maligna, pemberian kalsitonin salmon (4-8 IU/kg sc atau im setiap 12 jam) terbukti dapat mengontrol kadar kalsium serum (diperkirakan penurunan kalsium serum maksimal 2 mg/dL dalam 4 jam setelah pemberian), dan dapat digunakan juga pada pasien dengan cedera ginjal, dimana pemberian saline intravena tidak dianjurkan. Selain itu, kalsitonin lebih efektif dan lebih cepat dibandingkan bifosfonat dalam menormalkan kalsium dan dapat digunakan dengan bifosfonat atau dalam kasus resistensi bifosfonat. Namun, karena risiko takifilaksis, durasi pengobatan dengan kalsitonin tidak boleh melebihi 48 jam.9
Penambahan kortikosteroid (misalnya prednison 20-40 mg/hari) berguna untuk mengendalikan hiperkalsemia maligna terutama akibat tumor hematologi, melalui peningkatan ekskresi kalsium ginjal dan penghambatan reabsorpsi tulang.
Namun, karena kurang dari 50% pasien dengan hiperkalsemia maligna berespon terhadap glukokortikoid setelah beberapa hari, dalam praktik klinis. pengobatan alternatif biasanya lebih disukai. Kortikosteroid juga digunakan untuk pengobatan keracunan vitamin D, hiperkalsemia idiopatik, dan sarcoidosis.9
2.2.8 Kalium
Kalium adalah kation terbanyak kedua dalam organisme manusia. Ini adalah kation intraseluler utama; faktanya, hanya 2%-5% dari total kalium tubuh yang tertahan dalam cairan ekstraseluler, termasuk darah. Konsentrasi kalium serum normal berkisar antara 3,5 dan 5,0 mEq/L. Pemeliharaan konsentrasi ini sangat penting untuk beberapa proses fisiologis (pemeliharaan potensial membran sel, volume sel, dan transmisi potensial aksi dalam sel saraf). Banyak mekanisme yang
berperan untuk menjaga homeostasis kalium: asupan oral, eliminasi ginjal, dan keseimbangan antara konsentrasi intraseluler dan ekstraseluler.9,11
Ekskresi aktif kalium ginjal pada saluran pengumpul kortikal diatur oleh aldosteron, melalui modifikasi saluran natrium epitel menjadi konfigurasi terbuka dan peningkatan jumlah saluran natrium epitel. Modifikasi ini mendukung reabsorpsi natrium dan meningkatkan sekresi kalium.9
Transit kalium antara kompartemen cairan intraseluler dan ekstraseluler bergantung pada Na+-K+-ATPase, pompa membran yang ada di semua sel. Saluran ionik ini menciptakan gradien konsentrasi melintasi membran sel, menjaga potensi membran sel. Beberapa faktor mempengaruhi transit kalium melalui membran sel:
pH darah, khususnya, alkalosis menginduksi masukan kalium dari kompartemen cairan ekstraseluler ke intraseluler, sedangkan asidosis menyebabkan kebocoran kalium dari sel. Selain itu, insulin dan katekolamin β-adrenergik mendukung masukan kalium ke dalam sel.9
Beberapa saluran kalium terlibat dalam proliferasi kanker. Saluran kalium (KCN) adalah sekelompok besar protein yang terlibat dalam transfer kalium. Pada kanker payudara, KCNMA1, KCNJ3, KCNN4, dan KCNK9 berhubungan dengan ekspresi reseptor estrogen dan metastasis otak dan kelenjar getah bening. Pada kanker prostat, beberapa saluran kalium terlibat. Secara khusus, KCNMA1 mewakili biomarker diagnostik kanker prostat yang menjanjikan. Faktanya, ekspresi berlebihnya terjadi pada sel kanker dengan skor Gleason 5-6, dan pada fase sensitif hormon. KCNK2 tampaknya terlibat dalam regulasi proliferasi sel.
KCNQ1, pada pori K+ saluran, diekspresikan secara berlebihan pada lebih dari 35%
tumor paru-paru dan mendukung perkembangan tumor, proliferasi dan migrasi sel, serta resistensi terhadap hipoksia. K+ dengan gerbang tegangan + saluran tampaknya memiliki peran penting dalam kanker kolorektal. Secara khusus, ekspresi KCNH2 yang berlebihan mengatur invasi sel, memberikan fenotip invasif pada tumor, dan ini merupakan faktor prognostik negatif pada tahap awal bila dikaitkan dengan tidak adanya Glut-1. Hal ini juga tampaknya memberikan kemosensitivitas yang berbeda terhadap obat yang berbeda; khususnya, sel dengan
ekspresi KCNH2 yang berlebihan dihambat oleh paclitaxel, vincristine, dan hydroxy-camptothecin, sementara sel tersebut tampaknya memiliki resistensi terhadap doxorubin. 9
2.2.9 Hipokalemia
Hipokalemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalium serum yang rendah (<3,5 mEq/L). Hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar kalium yang lebih rendah dari 2,5 mEq/L yang menunjukan potensi gangguan yang mengancam jiwa.9
Hipokalemia adalah kelainan elektrolit yang umum terjadi pada pasien kanker.
Beberapa penyebab dapat menyebabkan hipokalemia pada pasien kanker yaitu:
1. Kanker: beberapa kondisi yang berhubungan dengan kanker dapat menyebabkan berkurangnya asupan kalium (malnutrisi, anoreksia, dan malabsorpsi akibat infiltrasi usus akibat kanker atau obstruksi usus).
Beberapa tumor neuroendokrin mungkin menyebabkan hipokalemia melalui diare rahasia, sehingga menyebabkan hilangnya kalium. Tumor lain menyebabkan kehilangan kalium ginjal melalui produksi hormon seperti hormon adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, dan mineralokortikoid, atau melalui kerusakan ginjal, seperti multiple myeloma.
2. Pengobatan kanker: agen kemoterapi, terapi target, dan imunoterapi dapat menyebabkan hipokalemia sekunder akibat diare atau muntah.
3. Obat bersamaan: diuretik thiazide, insulin, faktor pertumbuhan granulosit, agonis beta-2, dan glukokortikoid dapat menyebabkan hipokalemia.
4. Penyakit penyerta: disfungsi endokrin yang menyebabkan kelebihan glukokortikoid atau mineralokortikoid, nekrolisis epidermal toksik, dan penyakit radang usus dapat menyebabkan hipokalemia.9
Penyebab hipokalemia dapat disebabkan oleh tiga mekanisme: asupan kalium yang tidak adekuat, redistribusi kalium antar kompartemen intra dan ekstraseluler, dan kehilangan kalium.11
Tabel 3 Penyebab Hipokalemia Penyebab hipokalemia
Mengurangi asupan kalium Malnutrisi, anoreksia, sindrom refeeding Cedera gastrointestinal Muntah (disebabkan oleh terapi antikanker, obstruksi usus,dll) Diare (disebabkan oleh terapi antikanker, kanker, pembedahan).
Redistribusi kalium ke dalam kompartemen intraseluler
Obat-obatan (katekolamin, dekongestan hidung, insulin, faktor pertumbuhan granulosit, agonis beta-2, intoksikasi barium, teofilin, bikarbonat, verapamil) Alkalosis Hipotermia
Peningkatan kehilangan kalium
Kerugian non-ginjal: Kerugian (diare, muntah, fistula, penyalahgunaan obat pencahar, adenoma vili) Berkeringat banyak Luka bakar yang meluas Nekrolisis epidermal toksik Kerugian ginjal:
Alkalosis metabolik Penggunaan diuretik Diuresis osmotik Penyakit tubulus ginjal (asidosis tubulus, sindrom Liddle) Disfungsi endokrin (kelebihan glukokortikoid atau mineralokortikoid, hiperaldosteronisme primer akibat adenoma atau karsinoma adrenal, neoplasma yang mensekresi renin, sekresi ACTH ektopik) Gangguan elektrolit yang menyertai (hiperkalsemia, hipomagnesemia) Obat-obatan (amfoterisin B, cisplatin, ifosfamide, glukokortikoid, agen anti-EGFR, penghambat mTOR, eribulin, abiraterone)
Pengelolaan
Gambaran klinis tergantung pada beratnya hipokalemia. Pasien seringkali tidak menunjukkan gejala, terutama mereka yang mengalami hipokalemia ringan.
Gejala dan tanda hipokalemia tidak spesifik dan disebabkan oleh disfungsi otot, neurologis, atau jantung. Manifestasi klinis yang paling umum ditandai dengan kelemahan, kelelahan, mialgia, kram otot, dan sembelit. Dalam kasus hipokalemia sedang atau berat, gejala neurologis dan psikiatris (misalnya psikosis, delirium, halusinasi, dan depresi), atau tanda-tanda jantung (bradikardia) hingga gagal napas akut dengan kolaps kardiovaskular, akibat kelumpuhan otot, dapat terjadi. Secara khusus, aritmia jantung merupakan komplikasi yang mengancam jiwa yang memerlukan diagnosis segera dan pengobatan yang memadai. Oleh karena itu, pemantauan EKG harus dilakukan pada pasien dengan hipokalemia (perubahan khasnya adalah gelombang T terbalik, munculnya gelombang U, depresi ST, dan interval PR yang membesar).9
Diagnosis hipokalemia didasarkan pada deteksi kadar kalium serum yang rendah. Untuk penanganan hipokalemia yang benar, penting untuk memahami penyebab yang mendasarinya. Untuk diagnosis banding yang benar, penting untuk menyelidiki riwayat kesehatan pasien, mengevaluasi terapi yang bersamaan dan kondisi klinis yang mungkin menyebabkan kehilangan kalium atau redistribusi intraseluler (insulin, diuretik, agen nefrotoksik, agen antikanker, diare, dan muntah). Kehadiran pseudo-hipokalemia harus disingkirkan pada pasien dengan leukositosis berat.9
Selain itu, pemeriksaan laboratorium lainnya harus dilakukan untuk diagnosis banding yang benar. Gula darah, keseimbangan asam basa, kreatinin, kadar magnesium, dan konsentrasi elektrolit urin harus dievaluasi. Secara khusus, konsentrasi kalium ginjal 24 jam berguna untuk menentukan kehilangan kalium ginjal atau ekstra ginjal.9
Pengobatan hipokalemia bergantung pada gejala dan tingkat keparahannya.
Hal ini difokuskan pada pencegahan komplikasi yang mengancam jiwa dan menghilangkan penyebab yang mendasarinya.9
Pada pasien dengan hipokalemia ringan atau sedang (kadar kalium serum 3,0-3,5 mEq/L), suplementasi kalium oral sebaiknya lebih diutamakan daripada intravena, untuk menghindari hiperkalemia iatrogenik. Dosis harian 60-80 mEq
kalium klorida dianjurkan. Namun, penting untuk memantau konsentrasi kalium serum untuk menyesuaikan dosis pengobatan. Dalam kasus hipokalemia kronis yang sulit disembuhkan dengan suplementasi oral, penambahan diuretik hemat kalium (amilorida dan spironolakton) harus dipertimbangkan. 9
Pada pasien tanpa gejala dengan hipokalemia berat (kadar kalium serum
<3,0 mEq/L), suplementasi kalium oral dengan kalium klorida 40 mEq setiap 3-4 jam harus dipertimbangkan. Jika tidak, pada pasien bergejala dengan komplikasi yang mengancam jiwa, atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat oral, dianjurkan pemberian kalium intravena (10-20 mEq/jam, mampu meningkatkan kadar kalium serum rata-rata 0,25 mEq/jam). Pemantauan EKG terus menerus dianjurkan pada pasien dengan aritmia, toksisitas digitalis, dan riwayat iskemia jantung. Pada pasien dengan gagal ginjal, dosis harus dikurangi dan kadar kalium serum harus sering dipantau. Hipokalemia refrakter mungkin bergantung pada adanya gangguan elektrolit yang terjadi bersamaan, seperti hipomagnesemia, yang harus diselidiki dan diobati bila ada.9
Jika hipokalemia disebabkan oleh aktivitas tumor, pengobatan kanker diperlukan, selain terapi simtomatik untuk hipokalemia, untuk mencegah terulangnya gejala. Pasien dengan sindrom karsinoid harus menerima analog somatostatin untuk menghambat hipersekresi hormonal dan memperbaiki gejala.
Ketika hipokalemia bergantung pada aldosteronisme primer, adrenalektomi unilateral lebih disukai daripada antagonis reseptor mineralokortikoid.9
2.2.10 Hiperkalemia
Hiperkalemia didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi kalium serum (> 5,5 mEq/L). Berdasarkan kadar kalium, dijelaskan tiga tingkat keparahan yang berbeda: hiperkalemia ringan (5,1-6,0 mEq/L), hiperkalemia sedang (6,1-7,0 mEq/L), dan hiperkalemia berat (> 7,0 mEq/L), yang merupakan kondisi yang mengancam jiwa.9,11
Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan hipokalemia pada pasien kanker yaitu:
1. Kanker: beberapa kondisi yang berhubungan dengan kanker dapat menyebabkan hiperkalemia. Tumor dengan indeks proliferasi tinggi seperti leukemia dan karsinoma paru sel kecil dapat menyebabkan sindrom lisis setelah pengobatan antikanker spesifik, sehingga menyebabkan hiperkalemia.
2. Pengobatan kanker: agen kemoterapi, seperti turunan platinum, dapat menyebabkan cedera ginjal, yang dapat menyebabkan hiperkalemia.
3. Obat yang digunakan bersamaan: diuretik, diuretik hemat kalium, enzim pengubah angiotensin, inhibitor, dan NSAID dapat menyebabkan hipokalemia.
Gambar 6 Algoritma penatalaksanaan hipokalemia
4. Penyakit penyerta: gagal ginjal, diabetes melitus, sepsis, dan nutrisi parenteral dapat menyebabkan hiperkalemia.
Tabel 4 Penyebab hiperkalemia Penyebab hiperkalemia
Peningkatan asupan Iatrogenik (infus kalium berlebihan, nutrisi parenteral,dll)
Redistribusi ke
kompartemen ekstraseluler
Katabolisme jaringan masif (hemolisis, sepsis, trauma difus, rhabdomyolysis, kemoterapi, sindrom lisis)
Obat-obatan (beta-blocker, arginine, digital) Asidosis metabolik
Defisiensi insulin dan hiperglikemia Latihan otot yang parah
Pseudo-hiperkalemia (secara in vitrohemolisis, leukositosis, trombositosis)
Pengurangan ekskresi kalium ginjal
Cedera ginjal:
Gagal ginjal akut atau kronis Penipisan volume sirkulasi efektif Tubulopati
Perubahan selektif ekskresi kalium (penolakan transplantasi akut, nefritis lupus, siklosporin, nefropati analgesik, keracunan timbal)
Obat nefrotoksik (cisplatin, ifosphamide, mitomycin C, gemcitabine, methotrexate, bifosfonat, interferon, analog somatostatin)
Insufisiensi kortikoadrenal:
Hipoaldosteronisme hiporeninemik (nefropati diabetik, nefritis interstisial kronis, nefropati obat) Hipoaldosteronisme primitif (M. Addison)
Penggunaan diuretik hemat kalium
Pengelolaan
Diagnosis hiperkalemia terjadi ketika terdeteksi peningkatan konsentrasi kalium serum. Diagnosis sering kali merupakan temuan laboratorium yang tidak disengaja, karena pasien sering kali tidak menunjukkan gejala, terutama pada kasus
konsentrasi kalium plasma < 5,5 mEq/L. Jika ada, gejala dan tanda berhubungan dengan perubahan potensial membran istirahat seluler, menyebabkan disfungsi otot, neurologis dan jantung, hingga aritmia jantung yang mengancam jiwa. Pasien mungkin mengalami, menurut tingkat hiperkalemia, kelelahan dan kelemahan, fasikulasi, kram, dan tanda kurung, serta kelumpuhan otot dan jantung berdebar pada kasus yang serius. Kadang-kadang, satu-satunya tanda hiperkalemia adalah perubahan spesifik elektrokardiografi atau aritmia jantung seperti gelombang T runcing, penurunan atau tidak adanya gelombang P, pemanjangan interval PR, pembesaran kompleks QRS, penurunan interval QT, fibrilasi ventrikel, atau asistol.
9
Untuk diagnosis banding yang benar, riwayat klinis yang mengevaluasi asupan kalium dan obat-obatan yang menyertainya harus dikumpulkan[Gambar 6].
Selain itu, pemeriksaan laboratorium lainnya harus dilakukan: hitung darah lengkap, kalium urin, natrium dan osmolalitas, gradien kalium transtubular (TTKG), fungsi ginjal, laktat dehidrogenase, dan uricemia. Peningkatan kreatinin serum dan ureum yang berhubungan dengan hiperkalemia mencurigakan pada gagal ginjal. Hiperkalemia, bersamaan dengan adanya hiperurisemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia, mungkin menandakan TLS. Pada kasus TTKG
> 10, hiperkalemia mungkin bergantung pada asupan kalium yang berlebihan.
Sebaliknya, TTKG < 10 umumnya disebabkan oleh mineralkortikoid insufisiensi dan konsentrasi serum renin dan mineralokortikoid harus dievaluasi untuk memastikan diagnosis.9
Untuk penatalaksanaan yang tepat pada pasien kanker dengan hiperkalemia, penting untuk mempertimbangkan adanya perubahan EKG, gejala, dan derajat hiperkalemia. Pengobatan hiperkalemia pertama-tama memerlukan eliminasi semua sumber kalium eksogen dan, jika memungkinkan, hentikan pengobatan dengan obat yang mendukung hiperkalemia.9
Dalam kasus hiperkalemia parah dan perubahan elektrokardiografi, pengobatan segera harus dilakukan. Untuk mendapatkan penurunan kadar kalium serum secara cepat, pemberian obat yang mampu membawa kalium ke dalam
kompartemen intraseluler harus dilakukan. Beberapa pilihan pengobatan dapat dipertimbangkan:
1. Insulin (misalnya, 10 unit insulin cepat dihubungkan dengan 500 mL larutan glukosa 10% atau 250 mL larutan glukosa yang diinfuskan dalam 30-60 menit).
2. Natrium bikarbonat (misalnya Natrium bikarbonat 1 mEq/kg dalam 10-20 menit), yang harus dihindari pada pasien gagal jantung atau ginjal, karena dapat memperburuk retensi cairan.
3. Agonis beta-2 (misalnya salbutamol 10-20 mg untuk dihirup dalam 10 menit), yang harus dihindari pada pasien dengan kardiomiopati iskemik atau aritmia jantung.
Meskipun pilihan pengobatan ini efektif dalam mengoreksi hiperkalemia dengan cepat, redistribusi kalium ke dalam kompartemen intraseluler bersifat sementara. Selain itu, natrium bikarbonat dan agonis beta-2 harus digunakan sebagai pengobatan tambahan, dikombinasikan dengan terapi lain. 9
Pasien dengan hiperkalemia sedang dan tanpa gejala tidak memerlukan pengurangan kalium serum segera dan dapat diobati dengan obat yang menghilangkan kelebihan kalium tetapi memerlukan beberapa jam. Beberapa pilihan pengobatan dapat dipertimbangkan. Resin penukar kation (Kayexalate) sebaiknya lebih disukai. Namun, karena kandungan natriumnya yang tinggi, obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gagal jantung atau ginjal, untuk menghindari retensi cairan.9
Hidrasi intravena yang melimpah terkait dengan diuretik (furosemide 40-80 mg) dapat dianggap sebagai pilihan pengobatan yang valid; namun, hal ini harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung karena risiko kelebihan cairan. Selain itu, diuretik telah terbukti mengontrol kadar kalium serum hanya pada hiperkalemia kronis, dan obat ini sebaiknya digunakan hanya untuk pengelolaan bentuk-bentuk ini. Dialisis dapat dipertimbangkan dalam kasus gagal ginjal ketika resin dan diuretik gagal.9
Pada pasien dengan hiperkalemia berat, kadar kalium plasma dan EKG harus sering dipantau selama pengobatan (setiap 1-6 jam) hingga gejala membaik, diikuti dengan pemantauan setiap 4-12 jam hingga tercapai normakalemia.9
2.2.11 Magnesium
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting, nomor dua setelah kalium dalam hal prevalensi. Ia bertindak sebagai kofaktor penting untuk beberapa enzim intraseluler yang terlibat dalam replikasi sel dan proses metabolisme energi, termasuk transfer fosfat. Selain itu, ia memiliki peran penting dalam kontraktilitas otot dan transmisi saraf. Hampir seluruh jumlah magnesium (sekitar 99%) ditempatkan di kompartemen intraseluler: sekitar 50%-60% berada di tulang dan 38% di jaringan lunak, sedangkan hanya 1% dari total magnesium tubuh berada di ekstraseluler. Konsentrasi magnesium serum normal adalah antara 1,5 dan 1,9 mEq/L (1,7-2,2 mg/dL). Penyerapan magnesium dari makanan terjadi di saluran usus, dan hal ini dipengaruhi secara negatif oleh tingginya protein, fosfat, dan lemak. Penghapusan magnesium terutama dikendalikan oleh ginjal. Beberapa faktor (hormonal: PTH, kalsitonin, glukagon, dan vasopresin; dan non-hormonal:
keseimbangan asam-basa, reduksi kalium, dan konsentrasi magnesium plasma) terlibat dalam eliminasi ginjal.11
2.2.12 Hipomagnesemia
Hipomagnesemia adalah kelainan elektrolit yang ditandai dengan penurunan kadar magnesium serum (< 1,5 mEq/L). Konsentrasi magnesium serum yang lebih rendah dari 1 mg/dL didefinisikan sebagai hipomagnesemia berat. Hal ini sering terjadi (7%-12%) pada pasien rawat inap, dan berkorelasi dengan peningkatan risiko kematian.11
Penyebab
Hipomagnesemia pada pasien kanker mungkin disebabkan oleh berbagai penyebab:
1. Kanker: beberapa kondisi yang berhubungan dengan kanker dapat menyebabkan hipomagnesemia. Anoreksia, malnutrisi, muntah, cedera usus, drainase/fistula usus, diare, dan sindrom malabsorpsi merupakan kondisi yang sering terjadi pada pasien kanker yang menyebabkan berkurangnya asupan magnesium.
2. Pengobatan kanker: beberapa obat yang biasa digunakan pada pasien kanker menyebabkan kerusakan ginjal dan hipomagnesemia sekunder. Cisplatin mungkin menyebabkan hipomagnesemia melalui kerusakan tubulus ginjal distal, dan hal ini menetap setelah penghentian pengobatan. Oleh karena itu, suplementasi magnesium intravena diindikasikan untuk mencegah hipomagnesemia dan menurunkan risiko nefrotoksisitas. Hipomagnesemia juga dijelaskan pada pasien yang menerima inhibitor EGFR dengan kejadian 34% pada pasien yang diobati dengan antibodi anti-EGFR monoklonal. Faktanya, aktivasi EGFR sangat penting untuk reabsorpsi magnesium ginjal melalui saluran TRPM-6.
3. Obat yang diberikan bersamaan: diuretik, antibiotik agonis beta-adrenergik, foscarnet, dan amfoterisin B dapat menyebabkan hipomagnesemia.
4. Penyakit penyerta: hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, diabetes mellitus, dialisis, gagal ginjal, dan kelainan keturunan (misalnya sindrom Bartter dan sindrom Gitelman) dapat menyebabkan hipomagnesemia.
Tiga mekanisme utama yang terlibat: penurunan asupan, redistribusi ke kompartemen intraseluler, dan peningkatan kehilangan ginjal yaitu:9
Tabel 5 Penyebab hipomagnesemia Penyebab hipomagnesemia
Pengurangan asupan Pendapatan tidak mencukupi (anoreksia, malnutrisi, muntah-muntah)
Perubahan penyerapan usus (cedera usus, drainase usus/fistula, diare, sindrom malabsorpsi)
Alkoholisme Redistribusi dari
kompartemen ekstraseluler
Koreksi asidosis
Sindrom pemberian makan kembali Katekolamin Ontogenesis yang dipercepat
Gangguan endokrin (hiperparatiroidisme, hiperkalsemia maligna, hipertiroidisme, aldosteronisme, diabetes melitus)
Kerusakan ginjal Mengurangi reabsorpsi natrium, SIADH Infus diuretik saline Transplantasi ginjal
nefropati pasca obstruktif Dialisis
Fase diuretik gagal ginjal akut
Kelainan keturunan (misalnya sindrom Bartter, sindrom Gitelman)
Yang lain Pankreatitis, luka bakar, keringat berlebih
Obat-obatan [diuretik, kemoterapi sitotoksik (cisplatin), inhibitor EGFR, antibiotik agonis beta adrenergik, foscarnet, amfoterisin B]
Aritmia jantung, disorientasi, mudah tersinggung, gemetar, tetani, athetosis, menyentak, dan kebingungan, serta akhirnya halusinasi, depresi, dan krisis epilepsi.
Selain itu, hipomagnesemia sering dikaitkan dengan beberapa perubahan biokimia, seperti hipokalemia, hipokalsemia, dan asidosis metabolik yang mungkin membingungkan manifestasi klinis. Hipomagnesemia mungkin bermanifestasi dengan perubahan elektrokardiografi seperti pemanjangan interval PR dan QT,
inversi gelombang T, dan ST elevasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan deteksi kadar magnesium serum yang lebih rendah. Untuk diagnosis banding yang benar, data tentang potensi kehilangan gastrointestinal atau ginjal dan obat-obatan yang menyertainya harus dikumpulkan. Untuk membedakan antara kehilangan ginjal dan ekstra ginjal, ekskresi fraksi magnesium, serta kalsium dan kreatinin urin harus dinilai. Konsentrasi magnesium urin > 2 mmol/hari disebabkan oleh pengecilan ginjal.9
Perawatan untuk hipomagnesemia tergantung pada tingkat keparahan dan gambaran klinis. Gangguan yang mendasari menyebabkan hipomagnesemia harus diperbaiki. Pasien dengan riwayat kekurangan magnesium berisiko; tes laboratorium dan gejala klinis harus dipantau dan, bila diindikasikan, pengobatan profilaksis harus dipertimbangkan. Misalnya, pada pasien yang menerima kemoterapi berbasis cisplatin, suplementasi magnesium intravena pada hari pemberian cisplatin dan 2-3 hari setelah terapi diindikasikan. Pada pasien tanpa gejala, suplementasi garam magnesium oral sebaiknya diutamakan (40-60 mEq/hari); namun, diare mungkin menunjukkan efek samping yang membatasi dosis. Pada pasien yang bergejala, infus magnesium sulfat intravena harus lebih diutamakan. Sebanyak 1-4 g harus diberikan dengan infus rendah dalam 12-24 jam (1 mg/jam), sampai kadar magnesium meningkat menjadi 1,2 mg/dL. Dalam kasus hipomagnesemia berat, pasien harus segera menerima terapi pengganti, untuk mencegah aritmia jantung dan kematian. Dosis total 4-6 g magnesium sulfat
biasanya diperlukan dalam kasus ini. Kecepatan infus maksimum harus 8 mEq/jam pada pasien tanpa gejala, karena pemberian magnesium sulfat intravena yang cepat menginduksi peningkatan kadar magnesium serum, yang mendukung ekskresi magnesium melalui ginjal. Oleh karena itu, infus yang lambat sangat penting untuk mendapatkan koreksi hipomagnesemia yang memadai. Gangguan elektrolit dan defisiensi vitamin D yang terjadi bersamaan harus diperbaiki.9
Gambar 8 Algoritma penatalaksanaan hipomagnesemia
2.2.13 Hipermagnesemia
Hipermagnesemia didefinisikan sebagai kadar magnesium plasma > 2,2 mEq/L. Ini adalah kelainan elektrolit yang jarang terjadi dan biasanya bersifat iatrogenik (magnesium intravena, obat pencahar yang mengandung magnesium, atau antiasam). Pasien dengan hipomagnesemia mungkin mengeluh hipotensi, depresi pernapasan, kebingungan, dan perubahan EKG seperti bradikardia dan blok AV total hingga asistol. Perawatan memerlukan penghentian asupan magnesium.
Pada pasien bergejala yang menunjukkan aritmia jantung, depresi pernafasan, dan hipotensi, disarankan infus kalsium glukonat 10% intravena. Dalam kasus yang parah, hemodialisis mungkin diperlukan.9
2.2.14 Sumber elektrolit pada Makanan
Berbagai siklus data NHANES telah digunakan untuk mengkarakterisasi kontributor utama asupan kalium dan natrium. Analisis stratifikasi usia memberikan bukti bahwa ada makanan tertentu yang umumnya menyumbang proporsi asupan kalium yang cukup besar dalam pola makan anak-anak, remaja, dan orang dewasa, termasuk susu, kentang putih, dan buah. Analisis stratifikasi usia juga memberikan bukti variasi dalam kontribusi relatif dan beberapa perbedaan dalam kontributor makanan teratas di seluruh kelompok usia. Lebih jauh. Buah-buahan, misalnya, dikelompokkan secara luas dalam dua analisis dan muncul di antara kontributor teratas di seluruh analisis stratifikasi usia.12
Berikut ini adalah tabel angka kebutuhan gizi harian kalium dan natrium berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin di Indonesia dan Amerika.
Tabel 6 AKG eletrolit di Indonesi dan Amerika 13,14 Kelompok
Umur (Indonesia)
Kalium (mg)
Natrium (mg)
Kalsium (mg)
Magnesium (mg)
Kelompok umur (Amerika)
Kalium (mg)
Natrium (mg)
Laki-laki
19-29 tahun 4.700 1.500 1000 360 19-30 tahun 3.400 1.500
30-49 tahun 4.700 1.500 1000 360 31-50 tahun 3.400 1.500
50-64 tahun 4.700 1.300 1200 360 51-70 tahun 3.4000 1.500
65-80 tahun 4.700 1.100 1200 350 >70 tahun 3.400 1.500
80+ tahun 4.700 1.000 1200 350
Perempuan
19-29 tahun 4.700 1.500 1000 330 19-30 tahun 2.600 1.500
30-49 tahun 4.700 1.500 1000 240 31-50 tahun 2.600 1.500
50-64 tahun 4.700 1.400 1200 340 51-70 tahu 2.600 1.500
65-80 tahun 4.700 1.200 1200 320 >70 tahun 2.600 1.500
80+ tahun 4.700 1.000 1200 320 Hamil (+an)
Trimester 1 +0 +0 +200 +0 14-18 tahun 2.600 1.5