Silvia Sukirman, lahir di Payakumbuh, pada tanggal 18 Februari 1949. Pendidikan sampai dengan SMP diselesaikannya di tempat kelahirannya, SMA di Padang, lalu melanjutkan studi di Bandung. Program Sarjana Teknik Sipil diperolehnya melalui pendidikan di Universitas Katolik Parahyangan, dan pada tahun 1977 lulus program Pasca Sarjana Jalan Raya PUTL-ITB.
Pengalaman kerja di bidang profesional dimulai sejak tahun 1974 dengan bekerja pada PT Sangkuriang, Bandung. Sejak 1975 sampai dengan 1991 bekerja pada Indec & Ass Ltd, di Bandung, yang bergerak di bidang jasa konstruksi terutama pekerjaan jalan dan jembatan.
Pengalaman kerja di bidang pendidikan dimulai sejak tahun 1973 dengan menjadi asisten dosen di Universitas Katolik Parahyangan, sejak tahun 1979 menjadi dosen tidak tetap di Universitas Kristen Maranatha dan sejak tahun 1984 sampai saat ini menjadi dosen di Institut Teknologi Nasional, Bandung.
Di samping bekerja sesuai bidang ilmunya, bidang manajemen pendidikan diperolehnya di Institut Teknologi Nasional, Bandung, dengan pernah menduduki jabatan sebagai Sekretaris Jurusan Teknik Sipil, Pem- bantu Dekan Bidang Akademik dan Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Pembantu Rektor Bidang Akademik, dan terakhir sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis P3AI.
Selain itu, ia juga aktif di Himpunan Pengembang Jalan Indonesia dan dipercaya sebagai anggota tim ahli Badan Sertifikasi Asosiasi Daerah DPD HPJI Jawa Barat periode 2003 - 2006.
Buku Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur ini meru- pakan edisi revisi dari Buku Perkerasan Lentur Jalan Raya yang diterbitkan pertama kali pada Tahun 1991 dan telah mengalami cetak ulang sebanyak tujuh kali. Buku ini membahas secara menyeluruh tentang perencanaan tebal perkerasan lentur, oleh karena itu Bab yang membahas tentang material perkerasan jalan pada buku terdahulu, dalam buku ini ditiadakan.
Buku ini bertujuan membantu Anda untuk memahami prinsip- prinsip tentang perencanaan tebal perkerasan lentur dan metode peren- canaan berbasiskan pengamatan langsung dilapangan (metode empiris).
Tema pokok bahasan antara lain:
- bagaimana menentukan beban lalulintas untuk perencanaan tebal perkerasan jalan
- bagaimana menentukan daya dukung tanah dasar - uraian tentang jalan percobaan AASHTO
- metode perencanaan tebal perkerasan AASHTO 1972, dan 1993 - metode perencanaan tebal perkerasan Sesuai SNI 1732-1989-F,
dan Pt T-01-2002-B
- metode perencanaan tebal lapis tambah menggunakan metode analisis komponen dan lendutan balik.
Penerbit Nova
Sukirman, Silvia
Perencanaan Tebal Struktur Perkerasan Lentur
x +244 hlm. 16 x 23 cm.
ISBN: 978-602-96141-0-7
Cetakan pertama, Februari 2010
Copyright © 2010 Silvia Sukirman Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Desain Cover: Sofyan Triana
Penerbit NOVA
Kotak Pos 469, Bandung
Email: [email protected]
KATA PENGANTAR
Perencanaan tebal struktur perkerasan jalan merupakan salah satu bagian dari rekayasa jalan yang bertujuan memberikan pelayanan terhadap arus lalulintas sehingga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.
Kesesuaian dan ketepatan dalam menentukan parameter pendu- kung dan metode perencanaan tebal perkerasan yang digunakan, sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penggunaan biaya konstruksi dan pemeliharaan jalan.
Buku ini memberikan pengetahuan dasar bagi para mahasiswa dan praktisi pemula untuk memahami konsep dasar perencanaan tebal perkerasan lentur. Metode perencanaan yang diuraikan secara rinci hanyalah metode AASHTO dan Bina Marga. Pemahaman kedua metode ini diharapkan dapat menjadi dasar pengetahuan untuk mempelajari metode lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Deny Zuzan, Rina Rosdiana ST., dan Sofyan Triana ST., MT., yang telah banyak membantu dalam proses penulisan dan penyelesaian buku ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang perencanaan tebal struktur perkerasan jalan dan masukan serta saran dari berbagai pihak untuk penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan.
Bandung, Februari 2010 Penulis
Halaman ini sengaja dikosongkan
Daftar Isi
halaman
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
1. Sejarah dan Kinerja Perkerasan Jalan 1 1.1 Sejarah Perkerasan Jalan ... 1
1.1.1 Telford dan Macadam ... 2
1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air ... 4
1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia ... 5
1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan ... 6
2. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan 9 2.1 Lapis Permukaan (Surface Course) ... 14
2.2 Lapis Pondasi (Base Course) ... 22
2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course) ... 26
2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed) ... 27
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Tebal Perkerasan 31
3.1. Beban Lalulintas ... 31
3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan ... 32
3.1.2 Beban Roda Kendaraan ... 37
3.1.3 Beban sumbu ... 37
3.1.4 Volume Lalulintas ... 46
3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas ... 47
3.1.6 Beban Lalulintas Pada Lajur Rencana ... 53
3.2.1 Pengujian California Bearing Ratio (CBR) ... 56
3.2.2 Nilai CBR Dari Satu Titik Pengamatan ... 61
3.2.3 CBR Segmen Jalan ... 62
3.2.4 Penetrometer Konus Dinamis (Dynamic Cone Penetrometer (DCP) ... 69
3.2.5 Modulus resilient (MR) ... 74
3.2.6 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Pada Penetapan Daya Dukung Tanah Dasar ... 78
3.3 Fungsi Jalan ... 80
3.3.1 Sistem Jaringan Jalan Umum ... 80
3.3.2 Fungsi Jalan Umum ... 81
3.3.3 Status Jalan Umum ... 84
3.4 Kondisi Lingkungan ... 86
3.5 Mutu Struktur Perkerasan Jalan ... 89
3.5.1 Kekasaran Muka Jalan (Roughness) ... 89
3.5.2 Indeks Permukaan (Serviceability Index) ... 92
3.5.3 Tahanan Gelincir (Skid Resistance) ... 95
4. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode AASHTO 97
4.1 Jalan Percobaan AASHTO ... 98
4.1.1 Struktur Jalan Percobaan ... 98
4.1.2 Penelitian di Jalan Percobaan ... 102
4.1.3 Perkembangan Metode AASHTO ... 103
4.2 Metode AASHTO 1972 ... 105
4.3 Metode AASHTO 1993 ... 109
4.3.1 Beban Lalu Lintas Sesuai AASHTO 1993 ... 109
4.3.2 Reliabilitas ... 125
4.3.4 Rumus Dasar Metode AASHTO 1993 ... 132
4.3.5 Tebal Minimum Setiap Lapisan ... 138
5. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisis Komponen SNI 1732-1989-F 141
5.1 Beban Lalu lintas Berdasarkan SNI 1732-1989-F ... 141
5.2 Daya Dukung Tanah Dasar Berdasarkan SNI 1732-1989-F . 146 5.3 Parameter Penunjuk Kondisi Lingkungan Sesuai SNI 1732-1989-F ... 148
5.4 Indeks Permukaan Sesuai SNI 1732-1989-F ... 148
5.5 Rumus Dasar Metode SNI 1732-1989-F... 151
5.6 Tebal Minimum Lapis Perkerasan... 162
5.7 Konstruksi Bertahap ... 162
5.8 Prosedur Perencanaan Tebal Perkerasan Metode SNI 1732-1989-F ... 168
6. Perencanaan Tebal Perkerasan Metode Pt T-01-2002-B 171
6.1 Langkah-langkah Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan Metode Pt T-01-2002-B ... 171
6.2 Konstruksi Bertahap Sesuai Metode Pt T-01-2002-B ... 176
6.3 Tinjauan Metode Pt T-01-2002-B Terhadap Metode AASHTO 1993 ... 177
7. Perencanaan Tebal Lapis Tambah 179 7.1 Survei Kondisi Perkerasan Jalan ... 181
7.1.1 Kerusakan Jalan ... 182
7.1.2 Kondisi Struktur Perkerasan Jalan Lama ... 188
7.2 Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat Benkelman Beam ... 190
7.2.2 Lendutan Balik Segmen ... 198 7.3 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode SNI 1732-1989-F ... 200 7.4 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pt T-01-2002-B ... 201 7.5 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode No.01/MN/B/1983 ... 206 7.6 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Road Design System (RDS) ... 209 7.7 Perencanaan Tebal Lapis Tambah Berdasarkan
Metode Pd T-05-2005-B ... 212 Daftar Pustaka ... 217 Lampiran 1 Tabel Angka Ekivalen Berdasarkan AASHTO’93 ... 221 Lampiran 2 Tabel Angka ekivalen Berdasarkan SNI 1732-
1989-F Dan Pd.T-05-2005-B ... 209 Lampiran 3 Daftar Rumus ... 212 Lampiran 4 Daftar Tabel ... 241
BAB 1 Sejarah dan Kinerja
Perkerasan Jalan
1.1 Sejarah Perkerasan Jalan
Sejarah perkerasan jalan dimulai bersamaan dengan sejarah umat manusia itu sendiri dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup dan berkomunikasi dengan sesama. Perkembangan sistem struktur perkeras- an jalan saling terkait dengan peningkatan mutu kehidupan dan teknologi yang ditemukan umat manusia. Pada awalnya jalan hanyalah berupa jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup, termasuk sumber air.
Setelah manusia mulai hidup berkelompok, jejak-jejak itu berubah menjadi jalan setapak. Dengan digunakannya hewan sebagai alat trans- portasi, permukaan jalan dibuat rata dan diperkeras dengan batu.
Teknologi perkerasan jalan berkembang pesat sejak ditemukannya roda sekitar 3500 tahun sebelum Masehi di Mesopotamia dan pada zaman keemasan Romawi. Pada saat itu jalan dibangun dalam beberapa lapisan perkerasan terutama dari pasangan batu, yang secara keseluruhan lebih tebal dari struktur perkerasan jalan saat ini, walaupun belum mengguna- kan aspal ataupun semen sebagai bahan pengikat.
1.1.1 Telford dan Macadam
Beberapa orang yang namanya diabadikan sebagai bapak perkerasan jalan antara lain Thomas Telford dan John Lauden Macadam. Jalan-jalan di Indonesia peninggalan tempo dulu banyak menggunakan perkerasan Telford atau Makadam ini.
Thomas Telford (1757 – 1834) dari Skotlandia, seorang ahli tentang batu, membangun jalan di atas lapisan tanah dasar dengan kemiringan tidak lebih dari 1:30. Struktur perkerasan di atas tanah dasar terdiri dari 3 lapis dengan tebal total antara 35 – 45 cm. Ciri khas Telford adalah lapisan batu dibangun di atas tanah dasar dimana lapis pertama terdiri dari batu besar dengan lebar 10 cm dan tinggi 7,5 -18 cm, lapis kedua dan ketiga terdiri dari batu dengan ukuran maksimum 6,5 cm (tinggi lapis kedua dan ketiga sekitar 15- 25 cm), dan paling atas diberi lapisan aus dari kerikil dengan ukuran 4 cm. Lapisan perkerasan ini diperkirakan mampu memikul beban 88 N/mm lebar[WSDOT].
Sumber:WSDOT
Gambar 1.1 Struktur perkerasan Telford
Batu berukuran lebar 10 cm, dan tinggi antara 7,5 – 18 cm Kerikil 4 cm
Batu pecah dan kerikil 4 cm
2 lapis dengan ukuran maksimum 6,5 cm
Lapisan tanah dasar
tebal total
John L. Macadam (1756 – 1836) orang Skotlandia, mengamati bahwa pada saat itu kebanyakan perkerasan jalan dibangun dengan menggu- nakan batu bulat [WSDOT]. Oleh karena itu dia memperkenalkan stuktur perkerasan yang dibangun dari batu pecah. Di samping itu, Macadam memperhatikan juga kebutuhan drainase dengan membuat struktur perkerasan di atas lapisan tanah dasar yang memiliki kemiringan (lapisan Telford dibangun di atas lapisan tanah dasar yang hampir rata). Keisti- mewaan lain dari perkerasan Macadam adalah memperkenalkan peng- gunaan batu pecah ukuran kecil (maksimum 2,5 cm) untuk membuat permukaan perkerasan rata.
Batu pecah dengan ukuran maksimum 7,5 cm diletakkan di atas lapisan tanah dasar dalam dua lapis. Tebal total kedua lapis adalah 20 cm.
Lapisan aus dibangun dengan ketebalan sekitar 5 cm terdiri dari agregat berukuran maksimum 2,5 cm. Jadi tebal total struktur perkerasan Macadam adalah 25 cm, lebih tipis dari perkerasan Telford. Lapisan perkerasan Macadam diperkirakan mampu memikul beban 158 N/mm lebar[WSDOT].
Sumber:WSDOT
Gambar 1.2 Struktur perkerasan Macadam
25 cm
Lapisan tanah dasar berlandai
2 lapis (masing-masing tebal 10 cm) 5 cm dan agregat berukuran maksimum 2,5 cm
Struktur perkerasan Macadam yang dikenal sebagai lapisan Macadam, digunakan di sebagian besar dunia termasuk Indonesia. Lapisan Maca- dam di Indonesia telah mengalami beberapa kali modifikasi antara lain jenis lapisan Macadam basah (waterbound Macadam) dan penetrasi Macadam. Macadam basah menggunakan tanah berbutir halus sebagai lapisan penutup pori lapisan paling atas, sedangkan lapisan penetrasi Macadam menggunakan aspal yang dilabur sebagai bahan pengikat lapisan paling atas dan diberi pasir kasar sebagai batu penutup. Gambar 1.3 menggambarkan lapisan penetrasi Macadam yang sampai saat ini masih banyak digunakan di Indonesia.
Gambar 1.3 Lapisan penetrasi Macadam
1.1.2 Permulaan Perkerasan Kedap Air
Struktur perkerasan jalan cepat menjadi rusak akibat beban lalulintas dan air. Oleh karena itu ahli teknik jalan raya berusaha untuk menghasilkan perkerasan yang kedap air agar tahan dalam menghadapi perubahan cuaca dan hujan. Saat ini aspal dan semen banyak digunakan sebagai bahan pembuat perkerasan kedap air.
Pasir kasar Aspal
Batu pecah ≤ 2,5 cm
Batu pecah
≤ 7,5 cm Pasir urug 10- 20 cm
Lapis aus
Batu pinggir batu pecah
Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat tercatat ditemukan pertama kali di Babylon pada 625 tahun sebelum Masehi, tetapi perkerasan jenis ini tidak berkembang sampai ditemu- kannya kendaraan bermotor bensin oleh Godlieb Daimler dan Karl Benz pada tahun 1880. Di Amerika Serikat, Warren melalui berbagai hak patennya, mulai mengembangkan beton aspal pada awal 1900.
Sejak Portland Bill menemukan semen artifisial yang dikenal sebagai semen portland, penggunaan semen sebagai bahan pembentuk lapisan perkerasan jalan berkembang dengan pesat.
Perkerasan beton semen telah ditemukan pada tahun 1828 di London.
Penggunaan semen sebelum abad 20 umumnya digunakan hanya sebagai pembentuk lapisan pondasi, dan sejak awal abad 20 semen mulai digunakan sebagai material pengikat lapisan aus perkerasan jalan.
1.1.3 Sejarah Jalan di Indonesia
Catatan tentang sejarah jalan di Indonesia tak banyak ditemukan.
Pembangunan jalan yang tercatat dalam sejarah Bangsa Indonesia adalah pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Pos Weg) yang dilakukan melalui kerja paksa, pada pemerintahan HW Daendels. Jalan Raya Pos tersebut dibangun mulai Mei 1808 sampai dengan Juni 1809, terbentang dari Anyer di ujung Barat sampai dengan Panarukan di ujung Timur Pulau Jawa, sepanjang lebih kurang 1000 km. Tujuan pembangunan jalan saat itu diutamakan untuk kepentingan strategi pertahanan daripada transpor- tasi masyarakat. Jalan-jalan cabang dari jalan pos dibangun di zaman tanaman paksa sebagai prasarana mengangkut hasil tanaman.
Di luar pulau Jawa pembangunan jalan hampir tidak berarti, kecuali di sekitar daerah tanaman paksa di Sumatera Tengah dan Utara pada saat itu.
Jalan tol Jagorawi sepanjang 53 km menghubungkan Jakarta – Bogor – Ciawi yang diresmikan pada tanggal 9 Maret 1978, merupakan awal dimulainya era baru peningkatan pembangunan konstruksi jalan di Indonesia. Peningkatan mutu konstruksi perkerasan jalan menggunakan beton aspal dan beton semen meningkat pesat sejak saat itu.
Perkembangan teknologi konstruksi perkerasan jalan di dunia dan dam- pak dari dibangunnya jalan di suatu daerah telah mengubah paradigma dari jalan hanya sebagai prasarana transportasi menjadi jalan sebagai prasarana transportasi dan juga struktur bangunan sipil yang membawa dampak lingkungan dan perlu mendapat perhatian yang serius.
1.2 Kinerja Struktur Perkerasan Jalan
Struktur perkerasan jalan sebagai komponen dari prasarana transportasi berfungsi sebagai:
1. penerima beban lalulintas yang dilimpahkan melalui roda kendaraan.
Oleh karena itu struktur perkerasan perlu memiliki stabilitas yang tinggi, kokoh selama masa pelayanan jalan dan tahan terhadap pengaruh lingkungan dan atau cuaca. Kelelahan (fatigue resistance), kerusakan perkerasan akibat berkurangnya kekokohan jalan seperti retak (craking), lendutan sepanjang lintasan kendaraan (rutting), bergelombang, dan atau berlubang, tidak dikehendaki terjadi pada perkerasan jalan.
2. pemberi rasa nyaman dan aman kepada pengguna jalan. Oleh karena itu permukaan perkerasan perlu kesat sehingga mampu memberikan
gesekan yang baik antara muka jalan dan ban kendaraan, tidak mudah selip ketika permukaan basah akibat hujan atau menikung pada kecepatan tinggi. Di samping itu permukaan perkerasan harus tidak mengkilap, sehingga pengemudi tidak merasa silau jika permukaan jalan kena sinar matahari.
Agar struktur perkerasan jalan kokoh selama masa pelayanan, aman dan nyaman bagi pengguna jalan, maka:
1. Pemilihan jenis perkerasan dan perencanaan tebal lapisan perke- rasan perlu memperhatikan daya dukung tanah dasar, beban lalu- lintas, keadaan lingkungan, masa pelayanan atau umur rencana, ketersediaan dan karakteristik material pembentuk perkerasan jalan di sekitar lokasi.
2. Analisis dan rancangan campuran dari bahan yang tersedia perlu memperhatikan mutu dan jumlah bahan setempat sehingga sesuai dengan spesifikasi pekerjaan dari jenis lapisan perkerasan yang dipilih.
3. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan sesuai prosedur pengawasan yang ada, dengan memperhatikan sistem penjaminan mutu pelaksa- naan jalan sesuai spesifikasi pekerjaan. Pemilihan jenis lapisan perkerasan dan perencanaan tebal perkerasan, analisis campuran yang baik, belum menjamin dihasilkannya perkerasan yang meme- nuhi apa yang diinginkan, jika pelaksanaan dan pengawasan tidak dilakukan dengan cermat, sesuai prosedur dan spesifikasi pekerjaan.
4. Pemeliharaan jalan selama masa pelayanan perlu dilakukan secara periodik sehingga umur rencana dapat tercapai. Pemeliharaan meli- puti tidak saja struktur perkerasan jalan, tetapi juga sistem drainase di sekitar lokasi jalan tersebut.
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB 2 Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan Jalan
Air yang menggenangi atau masuk ke dalam pori perkerasan jalan merupakan salah satu faktor penyebab rusaknya jalan. Oleh karena itu bagian atas jalan diusahakan memiliki sifat kedap air di samping adanya sistem drainase jalan yang memadai. Sifat kedap air diperoleh dengan menggunakan bahan pengikat dan pengisi pori antar agregat seperti aspal atau semen portland. Berdasarkan bahan pengikat yang digunakan untuk membentuk lapisan atas, perkerasan jalan dibedakan menjadi perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan yang menggu- nakan aspal sebagai bahan pengikat, perkerasan kaku (rigid pavement) yaitu perkerasan yang menggunakan semen portland, dan perkerasan komposit (composite pavement) yaitu perkerasan kaku yang dikombi- nasikan dengan perkerasan lentur, dapat perkerasan lentur di atas perke- rasan kaku atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur. Di samping pengelompokkan di atas, saat ini ada pula yang mengelompokkan menjadi perkerasan lentur (flexible pavement), perkerasan kaku (rigid pavement), dan perkerasan semi kaku (semi -rigid pavement).
Beban kendaraan yang dilimpahkan keperkerasan jalan melalui kontak roda kendaraan dengan muka jalan terdiri atas berat kendaraan sebagai
gaya vertikal, gaya rem kendaraan sebagai gaya horizontal, dan gerakan roda kendaraan sebagai getaran. Beban tersebut dilimpahkan melalui bidang kontak antara roda dan permukaan jalan lalu didistribusikan ke lapisan di bawahnya. Model pendistribusian beban dipengaruhi oleh sifat kekakuan lapisan penerima beban. Pelat beton dengan nilai kekakuan tinggi, mendistribusikan beban kendaraan pada bidang seluas pelat beton, sehingga beban persatuan luas yang dilimpahkan ke lapisan di bawah pelat beton menjadi kecil. Perkerasan lentur memiliki kekakuan yang lebih rendah sehingga beban yang dilimpahkan ke lapisan dibawah- nya didistribusikan pada luas yang lebih sempit. Gambar 2.1 mengilus- trasikan perbedaan pendistribusian beban kendaraan pada perkerasan kaku dan perkerasan lentur.
Gambar 2.1 Distribusi beban pada perkerasan kaku dan perkerasan lentur
Pada Gambar 2.1a beban kendaraan didistribusikan oleh pelat beton pada bidang yang luas sehingga beban merata yang dilimpahkan ke lapisan dibawahnya, P0, menjadi kecil, sedangkan pada Gambar 2.1b beban
Beban roda
Distribusi beban
(a) Perkerasan kaku (b) Perkerasan lentur P0
P1
P2
kendaraan didistribusikan pada luas yang lebih sempit daripada perkerasan kaku, sehingga P1 lebih besar dari Po. P1 selanjutnya didistribusikan ke lapisan dibawahnya lagi, demikian seterusnya. Karena P2<P1, maka lapisan perkerasan lentur dibuat berlapis-lapis, dengan lapisan paling atas memiliki sifat yang lebih baik dari lapisan di bawahnya. Akibat tidak samanya kekakuan setiap lapis perkerasan, maka distribusi beban lalulintas ke lapis dibawahnya seperti garis pada Gambar 2.2, bukan seperti garis .
Gambar 2.2 Distribusi beban roda pada lapisan perkerasan lentur Perkerasan lentur
Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan yang mela- yani beban lalulintas ringan sampai dengan sedang, seperti jalan perkota- an, jalan dengan sistem utilitas terletak di bawah perkerasan jalan, perkerasan bahu jalan, atau perkerasan dengan konstruksi bertahap.
Keuntungan menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differen- tial settlement) terbatas;
Beban roda
2. mudah diperbaiki;
3. tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja;
4. memiliki tahanan geser yang baik;
5. warna perkerasan memberikan kesan tidak silau bagi pemakai jalan;
6. dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pemba- ngunan terbatas atau kurangnya data untuk perencanaan.
Kerugian menggunakan perkerasan lentur adalah:
1. tebal total struktur perkerasan lebih tebal dari pada perkerasan kaku;
2. kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan;
3. frekwensi pemeliharaan lebih sering daripada menggunakan perke- rasan kaku;
4. tidak baik digunakan jika sering digenangi air;
5. membutuhkan agregat lebih banyak.
Struktur perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapis yang makin ke bawah memiliki daya dukung yang semakin jelek. Gambar 2.3 menun- jukkan jenis lapis perkerasan dan letaknya, yaitu:
1. lapis permukaan (surface course);
2. lapis pondasi (base course);
3. lapis pondasi bawah (subbase course);
4. lapis tanah dasar (subgrade).
Perkerasan kaku
Perkerasan kaku cocok digunakan untuk jalan dengan volume lalulintas tinggi yang didominasi oleh kendaraan berat, di sekitar pintu tol, jalan yang melayani kendaraan berat yang melintas dengan kecepatan rendah,
atau di daerah jalan keluar atau jalan masuk ke jalan berkecepatan tinggi yang didominasi oleh kendaraan berat.
Gambar 2.3 Struktur perkerasan lentur Keuntungan menggunakan perkerasan kaku adalah:
1. umur pelayanan panjang dengan pemeliharaan yang sederhana;
2. durabilitas baik;
3. mampu bertahan pada banjir yang berulang, atau genangan air tanpa terjadinya kerusakan yang berarti.
Kerugian menggunakan perkerasan kaku adalah:
1. kekesatan jalan kurang baik dan sifat kekasaran permukaan dipenga- ruhi oleh proses pelaksanaan;
2. memberikan kesan silau bagi pemakai jalan;
3. membutuhkan lapisan tanah dasar yang memiliki penurunan (settle- ment) yang homogen agar pelat beton tidak retak. Untuk mengatasi hal ini seringkali di atas permukaan tanah dasar diberi lapis pondasi bawah sebagai pembentuk lapisan homogen.
Lapis permukaan Lapis pondasi Lapis pondasi bawah
(optional) Subgrade (Tanah dasar)
Struktur perkerasan kaku terdiri dari pelat beton sebagai lapis permukaan, lapis pondasi bawah sebagai lapis bantalan yang homogen, dan lapis tanah dasar tempat struktur perkerasan diletakkan. Pelat beton memiliki sambungan memanjang dan sambungan melintang seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur perkerasan kaku
Struktur perkerasan lentur atau kaku, keduanya memiliki keuntungan dan kerugian. Oleh karena itu desainer perlu mempertimbangkan berbagai faktor dalam pemilihan struktur perkerasan yang sesuai untuk satu proyek jalan. Uraian selanjutnya dalam buku ini hanya membahas ten- tang perencanaan tebal perkerasan lentur saja.
2.1 Lapis Permukaan (Surface Course)
Lapis permukaan merupakan lapis paling atas dari struktur perkerasan jalan, yang fungsi utamanya sebagai:
Lapis pondasi Lapis pondasi bawah
(optional) Subgrade (Tanah Dasar)
Pelat beton sambungan
melintang
sambungan memanjang
1. lapis penahan beban vertikal dari kendaraan, oleh karena itu lapisan harus memiliki stabilitas tinggi selama masa pelayanan;
2. lapis aus (wearing course) karena menerima gesekan dan getaran roda dari kendaraan yang mengerem;
3. lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atas lapis permukaan tidak meresap ke lapis di bawahnya yang berakibat rusaknya struktur perkerasan jalan;
4. lapis yang menyebarkan beban ke lapis pondasi.
Lapis permukaan perkerasan lentur menggunakan bahan pengikat aspal, sehingga menghasilkan lapis yang kedap air, berstabilitas tinggi, dan memiliki daya tahan selama masa pelayanan. Namun demikian, akibat kontak langsung dengan roda kendaraan, hujan, dingin, dan panas, lapis paling atas cepat menjadi aus dan rusak, sehingga disebut lapis aus.
Lapisan di bawah lapis aus yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat, disebut lapis permukaan antara (binder course), berfungsi memikul beban lalulintas dan mendistribusikannya ke lapis pondasi.
Dengan demikian lapis permukaan dapat dibedakan menjadi:
1. lapis aus (wearing course), merupakan lapis permukaan yang kontak dengan roda kendaraan dan perubahan cuaca.
2. lapis permukaan antara (binder course), merupakan lapis permukaan yang terletak di bawah lapis aus dan di atas lapis pondasi.
Berbagai jenis lapis permukaan yang umum digunakan di Indonesia adalah:
1. Laburan aspal, merupakan lapis penutup yang tidak memiliki nilai struktural, terdiri dari:
a. Laburan Aspal Satu Lapis (burtu = surface dressing), terdiri dari la- pis aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi sera-
gam dengan ukuran nominal maksimum 13 mm. Burtu memiliki ketebalan maksimum 2 cm.
b. Laburan Aspal Dua Lapis (burda = surface dressing), terdiri dari lapis aspal ditaburi agregat, dikerjakan dua kali secara berurutan, dengan tebal padat maksimum 3,5 cm. Lapis pertama burda adalah lapis burtu dan lapis keduanya menggunakan agregat penutup dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).
2. Lapis Tipis Aspal Pasir (Latasir = Sand Sheet = SS), merupakan lapis penutup permukaan jalan yang menggunakan agregat halus atau pasir atau campuran keduanya, dicampur dengan aspal, dihampar dan dipadatkan pada suhu tertentu. Ada dua jenis latasir yaitu latasir kelas A dan latasir kelas B. Latasir kelas A dengan tebal nominal minimum 15 mm, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum No.4, sedangkan latasir kelas B dengan tebal nominal minimum 20 mm, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 9,5 mm (3/8 inci).
Latasir digunakan untuk lalulintas ringan yaitu kurang dari 0,5 juta lintas sumbu standar (lss). Ketentuan sifat campuran latasir seperti pada Tabel 2.1.
3. Lapis Tipis Beton Aspal (Lataston = Hot Rolled Sheet = HRS), merupakan lapis permukaan yang menggunakan agregat bergradasi senjang dengan ukuran agregat maksimum 19 mm (3/4 inci).
Ada dua jenis lataston yang digunakan yaitu:
a. Lataston Lapis Aus, atau Hot Rolled Sheet Wearing Course = HRS-WC, tebal nominal minimum 30 mm dengan tebal toleransi ± 4 mm.
b. Lataston Lapis Permukaan Antara, atau Hot Rolled Sheet Base Course = HRS-BC, tebal nominal minimum 35 mm dengan tebal toleransi ± 4 mm.
Tabel 2.1 Ketentuan Sifat Campuran Latasir
Latasir Indikator Sifat Campuran
Kelas A & B
Jumlah tumbukan per bidang 50
Min 3,0 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0 Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 20
Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 75
Stabilitas Marshall (kg) Min 200
Min 2 Kelelehan (mm)
Mak 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 80
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60°C pada
VIM ±7% Min 80
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
HRS-WC memiliki agregat halus dan bahan pengisi (filler) lebih banyak dari HRS-BC.
Lataston sebaiknya digunakan untuk lalulintas kurang dari 1 juta lss selama umur rencana. Ketentuan sifat campuran lataston seperti pada Tabel 2.2.
4. Lapis Beton Aspal (Laston = Asphalt Concrete = AC), merupakan lapis permukaan yang menggunakan agregat bergradasi baik. Laston sesuai digunakan untuk lalulintas berat.
Tabel 2.2 Ketentuan Sifat Campuran Lataston
Lataston Sifat-sifat Campuran
WC BC
Jumlah tumbukan per bidang 75
Min 3,0 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 6,0 Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 18 17 Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 68
Stabilitas Marshall (kg) Min 800
Kelelehan (mm) Min 3
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60°C pada VIM ±7%
Min 80
Rongga dalam campuran (%) pada
kepadatan membal (refusal) Min 2
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Ada dua jenis Laston yang digunakan sebagai lapis permukaan, yaitu:
a. Laston Lapis Aus, atau Asphalt Concrete Wearing Course = AC-WC, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 19 mm (3/4 inci).
Lapis AC-WC bertebal nominal minimum 40 mm dengan tebal tole- ransi ± 3 mm.
b. Laston Lapis Permukaan Antara, atau Asphalt Concrete Binder Course = AC-BC, menggunakan agregat dengan ukuran maksimum 25 mm (1 inci). Lapis AC-BC bertebal nominal minimum 50 mm de- ngan tebal toleransi ± 4 mm.
Jika aspal yang digunakan untuk membuat AC menggunakan bahan aspal polimer, aspal dimodifikasi dengan asbuton, aspal multigrade atau aspal padat Pen 60 atau Pen 40 yang dicampur dengan asbuton butir maka lapis tersebut dinamakan Laston Modifikasi.
Ketentuan sifat campuran laston seperti pada Tabel 2.3 dan untuk campuran laston modifikasi seperti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.3 Ketentuan Sifat Campuran Laston
Laston Sifat-sifat Campuran
WC BC Base
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13 Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 800 1500
Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Kelelehan (mm) Min 3 5
Marshall Quotient (kg/mm) Min 250 300
Stabilitas Marshall sisa (%) setelah perendaman selama 24 jam, 60°C pada VIM 7%
Min 80 Rongga dalam campuran (%) pada
kepadatan membal (refusal) Min 2,5
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Tabel 2.4 Ketentuan Sifat Campuran Laston Modifikasi Laston Sifat-sifat Campuran WC
Mod
BC Mod
Base Mod
Jumlah tumbukan per bidang 75 112
Min 3,5 Rongga dalam campuran (VIM) (%)
Mak 5,5
Rongga antara agregat (VMA) (%) Min 15 14 13 Rongga terisi aspal (VFA) (%) Min 65 63 60
Min 1000 1800 Stabilitas Marshall (kg)
Mak - -
Min 3 5
Kelelehan (mm)
Mak - -
Marshall Quotient (kg/mm) Min 300 350 Stabilitas Marshall sisa (%) setelah
perendaman selama 24 jam, 60°C pada VIM ±7%
Min 80 Rongga dalam campuran (%) pada
kepadatan membal (refusal) Min 2,5
Stabilitas Dinamis, lintasan / mm Min 2500 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
5. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) adalah lapis perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi seragam.
Setelah agregat pengunci dipadatkan disemprotkan aspal kemudian diberi agregat penutup dan dipadatkan. Lapen sesuai digunakan untuk lalulintas ringan sampai dengan sedang.
Ukuran maksimum agregat pokok membedakan ketebalan yang dapat dipilih, yaitu:
a. tebal 7 – 10 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran maksimum 75 mm (3 inci).
b. tebal 5 – 8 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran maksimum 62,5 mm (2,5 inci).
c. tebal 4 – 5 cm, jika digunakan agregat pokok dengan ukuran maksimum 50 mm (2 inci).
6. Lapis Asbuton Agregat (Lasbutag) adalah campuran antara agregat asbuton dan peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Lapis Lasbutag bertebal nominal minimum 40 mm dengan ukuran agregat maksimum adalah 19 mm (3/4 inci). Keten- tuan sifat campuran lasbutag seperti pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Ketentuan Sifat Campuran Lasbutag
Sifat Campuran Persyaratan
Derajat penguapan fraksi ringan:
- Campuran untuk pemeliharaan, % - Campuran untuk pelapis, %
25 50
Jumlah tumbukan 2 x 75
Rongga dalam campuran (VIM), % 3,0 - 6,0 Rongga antara agregat (VMA), % Min. 16 Stabilitas pada temperatur ruang 25 oC, kg Min. 500
Kelelehan, mm 2- 4
Stabilitas sisa, setelah 4 hari direndam dalam
air 25 oC, % Min. 75
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Ketika menentukan tebal setiap lapisan, perencana perlu memper- hatikan tebal nominal minimum dari jenis lapis permukaan yang dipilih.
Tabel 2.6 menunjukkan tebal nominal minimum dari berbagai jenis lapis permukaan.
Tabel 2.6 Tebal Nominal Minimum Lapis Permukaan
Jenis Campuran Simbol
Tebal Nominal Minimum
(mm)
Toleransi Tebal (mm)
Latasir Kelas A SS-A 15
Latasir Kelas B SS-B 20 -
Lapis Aus HRS-WC 30
Lataston Lapis Permukaan
Antara HRS-BC 35 ± 4
Lapis Aus AC-WC 40 ± 3
Lapis Permukaan
Antara AC-BC 50 ± 4
Laston
Lapis Pondasi AC-Base 60 ± 5 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
2.2 Lapis Pondasi (Base Course)
Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan dinamakan lapis pondasi (base course). Jika tidak digunakan lapis pondasi bawah, maka lapis pondasi diletakkan langsung di atas permukaan tanah dasar.
Lapis pondasi berfungsi sebagai:
1. bagian struktur perkerasan yang menahan gaya vertikal dari beban kendaraan dan disebarkan ke lapis dibawahnya;
2. lapis peresap untuk lapis pondasi bawah;
3. bantalan atau perletakkan lapis permukaan.
Material yang digunakan untuk lapis pondasi adalah material yang cukup kuat dan awet sesuai syarat teknik dalam spesifikasi pekerjaan. Lapis pondasi dapat dipilih lapis berbutir tanpa pengikat atau lapis dengan aspal sebagai pengikat.
Berbagai jenis lapis pondasi yang umum digunakan di Indonesia adalah:
1. Laston Lapis Pondasi (Asphalt Concrete Base = AC-Base), adalah laston yang digunakan untuk lapis pondasi, tebal nominal minimum 60 mm dengan tebal toleransi ± 5 mm. Agregat yang digunakan berukuran maksimum 37,5 mm (1,5 inci). Ketentuan sifat campuran AC-Base seperti pada Tabel 2.3 dan untuk AC-Base modifikasi seperti pada Tabel 2.4.
2. Lasbutag Lapis Pondasi adalah campuran antara agregat asbuton dan peremaja yang dicampur, dihampar dan dipadatkan secara dingin.
Lapis Lasbutag Lapis Pondasi bertebal nominal minimum 50 mm dengan ukuran agregat maksimum adalah 25 mm (1 inci). Ketentuan sifat campuran Lasbutag seperti pada Tabel 2.5.
3. Lapis Penetrasi Macadam (Lapen) seperti yang diuraikan pada Bab 2.1 dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi, hanya saja tidak menggu- nakan agregat penutup.
4. Lapis Pondasi Agregat adalah Lapis pondasi dari butir agregat. Berda- sarkan gradasinya lapis pondasi agregat dibedakan atas agregat Kelas A dan agregat Kelas B. Tebal minimum setiap lapis minimal 2 kali
ukuran agregat maksimum. Gradasi yang digunakan untuk lapis pondasi Kelas A dan B dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan ketentuan sifat lapis pondasi agregat dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.7 Gradasi Lapis Pondasi Agregat
Ukuran saringan Persen berat yang lolos, % lolos
ASTM (mm) Kelas A Kelas B
3” 75
2” 50 100
1½” 37,5 100 88 –100
1“ 25,0 77 –100 70 – 85
3/8” 9,50 44 – 60 40 – 65
No.4 4,75 27 – 44 25 – 52
No.10 2,0 17 – 30 15 – 40
No.40 0,425 7 – 17 8 – 20
No.200 0,075 2 – 8 2 – 8
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
5. Lapis Pondasi Tanah Semen adalah lapisan yang dibuat dengan menggunakan tanah pilihan yang diperoleh dari daerah setempat, yaitu tanah lempung dan tanah berbutir seperti pasir dan kerikil kepasiran dengan plastisitas rendah. Bahan dicampur dengan perban- dingan semen dan air tertentu di lokasi atau terpusat hingga merata dan memiliki daya dukung yang cukup sebagai lapis pondasi.
Ketentuan sifat campuran setelah perawatan 7 hari di laboratorium seperti pada Tabel 2.9.
Tabel 2.8 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat
Sifat Kelas A Kelas B
Abrasi dari agregat kasar
(SNI 03-2417-1990) mak. 40% mak. 40%
Indek plastis
(SNI-03-1966-1990 dan SNI-03-1967-1990) mak. 6 mak. 6 Hasil kali indek plastisitas dengan % lolos
saringan No.200 mak. 25 --
Batas cair
(SNI 03-1967-1990) mak. 25 mak. 25
Gumpalan lempung dan butir-butir mudah pecah dalam agregat
(SNI- 03-4141-1996)
0% mak. 1%
CBR
(SNI 03-1744-1989) min. 90% min. 65%
Perbandingan persen lolos # 200 dan #40 mak. 2/3 mak. 2/3 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Tabel 2.9 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Tanah Semen
Pengujian
Batas-batas sifat (setelah perawatan 7
hari)
Metode pengujian
Kuat tekan bebas (UCS),
kg/cm2 min. 20 SNI 03-6887-2002
CBR Laboratorium, % min. 180 SNI 03-1744-1989 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
6. Lapis Pondasi Agregat Semen (LFAS) adalah agregat kelas A, agregat kelas B, atau agregat kelas C yang diberi campuran semen dan berfungsi sebagai lapis pondasi. Lapis ini harus diletakkan di atas
lapis pondasi bawah agregat Kelas C. Ketentuan sifat campuran setelah perawatan 7 hari di laboratorium seperti pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Semen Kuat Tekan Bebas Umur 7 Hari (kg/cm2) Lapis Pondasi
Agregat
Semen Silinder
(diameter 70 mm x tinggi 140 mm)
Silinder
(diameter 150 mm x tinggi 300 mm)
Kelas A 45 75
Kelas B 35 55
Kelas C 30 35
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
2.3 Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapis perkerasan yang terletak di antara lapis pondasi dan tanah dasar dinamakan lapis pondasi bawah (subbase).
Lapis pondasi bawah berfungsi sebagai :
1. bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban kendaraan ke lapis tanah dasar. Lapis ini harus cukup stabil dan mempunyai CBR sama atau lebih besar dari 20%, serta Indeks Plastis (IP) sama atau lebih kecil dari 10%;
2. effisiensi penggunaan material yang relatif murah, agar lapis dia- tasnya dapat dikurangi tebalnya;
3. lapis peresap, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi;
4. lapis pertama, agar pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan lancar, sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera
menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda alat berat;
5. lapis filter untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi. Untuk itu lapis pondasi bawah haruslah memenuhi syarat:
tanahdasar 5 D
pondasi D
15
15 ≥ ... (2.1)
dasar 5 tanah D
pondasi D
85
15 < ... (2.2) dengan:
D15 = diameter butir pada persen lolos = 15%.
D85 = diameter butir pada persen lolos = 85%.
Jenis lapis pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah lapis pondasi agregat Kelas C dengan gradasi seperti pada Tabel 2.11, dan ketentuan sifat campuran seperti pada Tabel 2.12. Lapis pondasi agregat kelas C ini dapat pula digunakan sebagai lapis pondasi tanpa penutup aspal.
2.4 Lapis Tanah Dasar (Subgrade/Roadbed)
Lapis tanah setebal 50 – 100 cm di atas mana diletakkan lapis pondasi bawah dan atau lapis pondasi dinamakan lapis tanah dasar atau subgrade. Mutu persiapan lapis tanah dasar sebagai perletakan struktur perkerasan jalan sangat menentukan ketahanan struktur dalam meneri- ma beban lalulintas selama masa pelayanan.
Tabel 2.11 Gradasi Lapis Pondasi Agregat Kelas C
Ukuran saringan Persen berat yang lolos, % lolos
ASTM (mm) Kelas C
3” 75 100
2” 50 75 – 100
1½” 37,5 60 – 90
1“ 25,0 45 – 78
3/8” 9,50 25 – 55
No.4 4,75 13 - 45
No.10 2,0 8 - 36
No.40 0,425 7 - 23
No.200 0,075 5 - 15
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Tabel 2.12 Ketentuan Sifat Lapis Pondasi Agregat Kelas C
Sifat Kelas C
Abrasi dari agregat kasar (SNI 03-2417-1990) mak. 40%
Indek Plastis (SNI-03-1966-1990 dan
SNI-03-1967-1990). 4 – 9
Batas Cair (SNI 03-1967-1990) mak. 35
Gumpalan lempung dan butir - butir mudah pecah
dalam agregat (SNI- 03-4141-1996) mak. 1%
CBR (SNI 03-1744-1989) min. 35%
Perbandingan persen lolos #200 dan #40 Mak. 2/3 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007
Berdasarkan elevasi muka tanah dimana struktur perkerasan jalan dile- takkan, lapis tanah dasar dibedakan seperti pada Gambar 2.5, yaitu:
1. Lapis tanah dasar tanah asli adalah tanah dasar yang merupakan muka tanah asli di lokasi jalan tersebut. Pada umumnya lapis tanah dasar ini disiapkan hanya dengan membersihkan, dan memadatkan lapis atas setebal 30 – 50 cm dari muka tanah dimana struktur perkerasan direncanakan akan diletakkan. Benda uji untuk menentu- kan daya dukung tanah dasar diambil dari lokasi tersebut, setelah akar tanaman atau kotoran lain disingkirkan.
2. Lapis tanah dasar tanah urug atau tanah timbunan adalah lapis tanah dasar yang lokasinya terletak di atas muka tanah asli. Pada pelaksana-an membuat lapis tanah dasar tanah urug perlu diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan. Benda uji untuk menentukan daya du-kung tanah dasar diambil dari lokasi tanah untuk urugan.
Gambar 2.5 Jenis lapis tanah dasar dilihat dari elevasi muka tanah asli
3. Lapis tanah dasar tanah galian adalah lapis tanah dasar yang lokasinya terletak di bawah muka tanah asli. Dalam kelompok ini termasuk pula penggantian tanah asli setebal 50 – 100 cm akibat daya dukung tanah asli yang kurang baik. Pada pelaksanaan membuat lapis tanah dasar tanah galian perlu diperhatikan tingkat kepadatan yang diharapkan.
Tanah Dasar Tanah Galian
Tanah Dasar Tanah Urug/Timbunan
Tanah Dasar Tanah Asli
Benda uji untuk menentukan daya dukung tanah dasar diambil dari elevasi lapis tanah dasar.
Daya dukung dan ketahanan struktur perkerasan jalan sangat ditentukan oleh daya dukung tanah dasar. Masalah-masalah yang sering ditemui terkait dengan lapis tanah dasar adalah:
1. perubahan bentuk tetap dan rusaknya struktur perkerasan jalan secara menyeluruh;
2. sifat mengembang dan menyusut pada jenis tanah yang memiliki sifat plastisitas tinggi. Perubahan kadar air tanah dasar dapat berakibat terjadinya retak dan atau perubahan bentuk. Faktor drainase dan kadar air pada proses pemadatan tanah dasar sangat menentukan kecepatan kerusakan yang mungkin terjadi.
3. perbedaan daya dukung tanah akibat perbedaan jenis tanah.
Penelitian yang seksama akan jenis dan sifat tanah dasar di sepan- jang jalan dapat mengurangi dampak akibat tidak meratanya daya dukung tanah dasar.
4. perbedaan penurunan (diffrential settlement) akibat terdapatnya lapis tanah lunak di bawah lapisan tanah dasar. Penyelidikan jenis dan karakteristik lapisan tanah yang terletak di bawah lapisan tanah dasar sangat membantu mengatasi masalah ini.
5. kondisi geologi yang dapat berakibat terjadinya patahan, geseran dari lempeng bumi perlu diteliti dengan seksama terutama pada tahap penentuan trase jalan.
6. kondisi geologi di sekitar trase pada lapisan tanah dasar di atas tanah galian perlu diteliti dengan seksama, termasuk kestabilan lereng dan rembesan air yang mungkin terjadi akibat dilakukannya galian.
BAB 3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perencanaan Tebal Perkerasan
Dalam proses perencanaan tebal perkerasan lentur terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan ikut mempengaruhi hasil perencanaan, yaitu:
1. Beban lalulintas 2. Sifat tanah dasar 3. Fungsi Jalan 4. Kondisi lingkungan
5. Kinerja struktur perkerasan (pavement performance) 6. Umur rencana atau masa pelayanan
7. Sifat dan jumlah bahan baku yang tersedia 8. Bentuk geometrik jalan
9. Kondisi perkerasan saat ini (khusus untuk peningkatan jalan lama)
3.1 Beban Lalulintas
Beban lalulintas adalah beban kendaraan yang dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui kontak antara ban dan muka jalan. Beban lalulintas merupakan beban dinamis yang terjadi secara berulang selama masa pelayanan jalan. Besarnya beban lalulintas dipengaruhi oleh berbagai faktor kendaraan seperti:
1. konfigurasi sumbu dan roda kendaraan 2. beban sumbu dan roda kendaraan 3. tekanan ban
4. volume lalulintas 5. repetisi sumbu
6. distribusi arus lalulintas pada perkerasan jalan 7. kecepatan kendaraan
Pemahaman komprehensif tentang beban kendaraan yang merupakan beban dinamis pada perkerasan jalan, sangat mempengaruhi hasil perencanaan tebal perkerasan jalan dan kekokohan struktur perkerasan jalan selama masa pelayanan.
3.1.1 Konfigurasi Sumbu Dan Roda Kendaraan
Setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan disebut juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan beban. Masing-masing ujung sumbu dilengkapi dengan satu atau dua roda.
Saat ini terdapat berbagai jenis kendaraan berat yang memiliki jumlah sumbu lebih dari dua. Berdasarkan konfigurasi sumbu dan jumlah roda yang dimiliki di ujung-ujung sumbu, maka sumbu kendaraan dibedakan atas:
1. sumbu tunggal roda tunggal 2. sumbu tunggal roda ganda
3. sumbu ganda atau sumbu tandem roda tunggal 4. sumbu ganda atau sumbu tandem roda ganda 5. sumbu tripel roda ganda
Gambar 3.1 menggambarkan kendaraan dengan konfigurasi sumbu tunggal, sumbu tandem, dan sumbu tripel. Sebagai usaha memper- mudah membedakan berbagai jenis kendaraan maka dalam proses perencanaan digunakan kode angka dan simbol.
Gambar 3.1 Berbagai konfigurasi sumbu kendaraan
Kode angka dengan pengertian sebagai berikut:
1 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda tunggal 2 : menunjukkan sumbu tunggal dengan roda ganda
11 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda tunggal 111 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda tunggal
22 : menunjukkan sumbu ganda atau tandem dengan roda ganda 222 : menunjukkan sumbu tripel dengan roda ganda
Kode simbol dengan pengertian sebagai berikut:
• : menunjukkan pemisahan antara sumbu depan dan sumbu belakang kendaraan
- : menunjukkan kendaraan dirangkai dengan sistem hidraulik + : menunjukkan kendaraan digandeng dengan kereta tambahan
Sumbu
tunggal Sumbu
tandem Sumbu tripel
Berbagai jenis kendaraan memiliki konfigurasi sumbu dan roda kendaraan yang berbeda-beda, sehingga mengakibatkan terdapat berbagai kode angka kendaraan, sebagai contoh:
Kendaraan memiliki sistem hidraulik (-) bersumbu tandem roda ganda (22), dan digandeng (+) dengan kereta tambahan bersumbu depan dan belakang sumbu tunggal roda ganda (2.2).
Berbagai kode kendaraan sesuai dengan konfigurasi sumbu dan rodanya dapat dilihat pada Gambar 3.2, sedangkan Gambar 3.3 menunjukkan berbagai jenis kendaraan berdasarkan jumlah sumbu.
Kode konfigurasi sumbu 1.1, yaitu kendaraan dengan sumbu depan dan sumbu belakang berupa sumbu tunggal roda tunggal (1).
Kode konfigurasi sumbu 1.22, yaitu kendaraan dengan sumbu depan sumbu tunggal roda tunggal (1) dan sumbu belakang berupa sum- bu tandem roda ganda (22).
Kode konfigurasi sumbu 1.22-22, yaitu kendaraan dengan konfigurasi sumbu terdiri dari sumbu depan sumbu tunggal roda tunggal (1) dan sumbu belakang berupa sumbu tandem roda ganda (22), memiliki sistem hidraulik (-) tambahan bersumbu tan- dem roda ganda (22).
Kode konfigurasi sumbu 1.22-22+2.2, yaitu kendaraan dengan konfigurasi sumbu terdiri dari sumbu depan sumbu tunggal roda tunggal (1) dan sumbu be- lakang berupa sumbu tandem roda roda ganda (22).
Kendaraan komersial
bersumbu kaku Kendaraan komersial gandengan/trailer
1.1 1.1-1
1.2 1.1-11
1.11 1.1-22
1.22 1.2-1
11.11 1.2-11
11.2 1.2-2
11.22 1.2-22
+1.1 1.22-2
+1.2 1.22-22
+2.2 1.22-111
Sumber: Croney,D. & Croney,P.
Gambar 3.2 Berbagai konfigurasi sumbu dan kodenya.
Gambar 3.3 Klasifikasi jenis kendaraan berdasarkan jumlah sumbu
MotorcyclesPassenger CarsTwo Axle, 4 Tire Single UnitsBuses
Two Axle, 6 Tire Single UnitsThree Axle Single UnitsFour or More Axle Single UnitsFour or Less Axle Single Trailers
Five Axle Single TrailersSix or More Axle Single TrailersFive or Less Axle Multi-Trailers
Six Axle Multi-TrailersSeven or More Axle Multi-Trailers 1234
5678
91011
1213
Sumber: AASHTO, 2004
3.1.2 Beban Roda Kendaraan
Beban kendaraan dilimpahkan keperkerasan jalan melalui bidang kontak antara ban dan muka jalan. Untuk keperluan perencanaan tebal perkerasan jalan, bidang kontak antara roda kendaraan dan perkerasan jalan diasumsikan berbentuk lingkaran dengan radius sama dengan lebar ban. Radius bidang kontak ditentukan oleh ukuran dan tekanan ban.
P = πpa2 atau
pπ
a= P ... (3.1) dengan:
a = radius bidang kontak P = beban roda
p = tekanan ban
Dari Rumus 3.1 dapat dilihat bahwa ukuran ban dan tekanan ban mempengaruhi besarnya beban roda yang akan dilimpahkan keperke- rasan jalan.
3.1.3 Beban Sumbu
Beban kendaraan dilimpahkan melalui roda kendaraan yang terjadi berulang kali selama masa pelayanan jalan akibat repetisi kendaraan yang melintasi jalan tersebut. Titik A pada Gambar 3.4 menerima beban kendaraan melalui bidang kontaknya sebanyak 2 kali, yaitu akibat lintasan roda depan dan roda belakang. Titik A terletak pada lajur lintasan kendaraan bersamaan dengan titik A’. Pada saat yang bersamaan titik A dan A’ akan menerima beban yang sama. Beban tersebut berupa
beban roda yang besarnya setengah dari beban sumbu kendaraan.
Perkerasan jalan pada penampang I-I menerima beban berulang sebanyak lintasan sumbu kendaraan. Jika kendaraan memiliki dua sumbu maka repetisi beban pada penampang I-I adalah dua kali, dan jika memiliki 3 sumbu maka repetisi beban adalah 3 kali. Dengan kata lain, repetisi beban yang diakibatkan oleh satu kendaraan sama dengan jumlah sumbunya. Oleh karena itu repetisi beban pada perencanaan tebal perkerasan dinyatakan dengan repetisi lintasan sumbu, bukan lintasan roda ataupun lintasan kendaraan.
Gambar 3.4 Pelimpahan beban kendaraan ke perkerasan jalan
Setiap kendaraan memiliki letak titik berat sesuai dengan desain kendaraannya. Besarnya beban kendaraan yang didistribusikan ke sumbu-sumbunya dipengaruhi oleh letak titik berat kendaraan tersebut.
Dengan demikian setiap jenis kendaraan mempunyai distribusi beban Lajur lalulintas
I
I
A AA’
A A’
yang berbeda-beda. Berat total kendaraan G pada Gambar 3.5 didistri- busikan ke sumbu depan seberat F1 dan sumbu belakang seberat F2.
Gambar 3.5 Distribusi beban kendaraan ke setiap sumbu
F1 = G l2/l ... (3.2) F2 = G l1/l ... (3.3) dengan:
G = berat kendaraan F1 = beban sumbu depan F2 = beban sumbu belakang l = jarak antara kedua sumbu
l1 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu depan l2 = jarak antara titik berat kendaraan dan sumbu belakang
Jika l2/l = A% dan l1/l = B%, berarti berat kendaraan terdistribusi A% ke sumbu depan dan B% ke sumbu belakang, maka:
F1 = 0,0A G dan F2 = 0,0B G ...(3.4) dengan:
A = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu depan B = persen distribusi berat kendaraan ke sumbu belakang
Tabel 3.1 menunjukkan distribusi beban sumbu dari berbagai jenis kendaraan sebagaimana yang diberikan oleh Bina Marga pada Buku Manual Pemeriksaan Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam No.
01/MN/BM/83.
Tabel 3.1 Distribusi Beban Sumbu Untuk Berbagai Jenis Kendaraan
Konfigurasi Sumbu & Tipe Berat Kosong (ton) Beban Muatan Maksimum (ton) Berat Total Maksimum (ton)
1.1 Mobil
Penumpang 1,5 0,5 2,0
1.2
Bus 3 6 9
1.2L
Truk 2,3 6 8,3
1.2H
Truk 4,2 14 18,2
1.22
Truk 5 20 25
1.2 + 2.2
Trailer 6,4 25 31,4
1.2+ 2
Trailer 6,2 20 26,2
1.2+ 22
Trailer 10 32 42
Sumber : Bina Marga, No. 01/MN/BM/83
S D
34% 66%
S D
18% 28%
D 54%
D 27% 27%
S D
18% 41%
D 41%
S D
18% 28%
D 27%
D 27%
S D
25% 75%
D 37,5%
37,5%
S D
34% 66%
S D
34% 66%
50% 50%
S D
Roda Tunggal Pada Ujung Sumbu Roda Ganda Pada Ujung Sumbu
L = truk ringan H = truk berat
Perkembangan pesat jenis kendaraan, konfigurasi sumbu, dan muatan yang dapat diangkut kendaraan sejak 1983 sampai saat ini, mengakibat- kan banyak jenis kendaraan yang tidak terdapat pada Tabel 3.1.
Distribusi beban sumbu untuk jenis kendaraan yang belum ada dalam Tabel 3.1 dapat diperoleh melalui survei timbang, atau mempelajari brosur dari jenis kendaraan tersebut.
Setiap jenis kendaraan yang sama dapat saja mempunyai beban sumbu yang berbeda, karena kendaraan selalu mengangkut muatan dengan berat yang tidak selalu sama. Sebagai contoh, truk ringan dengan berat kosong 2,5 ton dapat dimuati sampai mencapai berat maksimum yang diizinkan sebesar 8,0 ton. Setiap kali truk tersebut melintasi suatu ruas jalan, berat truk dapat bervariasi dari 2,5 ton sampai dengan 8,0 ton, yang tentu saja menghasilkan beban sumbu yang berbeda-beda.
Untuk perencanaan tebal perkerasan jalan sepantasnyalah beban yang diperhitungkan adalah beban yang mungkin terjadi selama umur rencana atau masa pelayanan jalan. Beban lalulintas rencana tidak selalu sama dengan beban maksimum. Perencanaan berdasarkan beban maksimum akan menghasilkan tebal perkerasan yang tidak ekonomis, tetapi peren- canaan berdasarkan beban yang lebih kecil dari beban rata-rata yang digunakan akan menyebabkan struktur perkerasan mengalami kerusakan sebelum masa pelayanan habis. Pertimbangan yang bijaksana berdasar- kan data beban kendaraan di lokasi atau sekitar lokasi, dan pertimbangan faktor pertumbuhan beban dan volume lalulintas yang mungkin terjadi, sangat tepat untuk dilakukan. Oleh karena itu dalam rangka perencanaan tebal perkerasan perlu dilakukan survei beban kendaraan, kajian lalu- lintas, serta analisis dan prediksi pertumbuhan sosio ekonomi.
Survei beban kendaraan
Survei beban kendaraan adalah survei yang diperlukan sehubungan dengan kebutuhan data tentang berat kendaraan dan distribusi beban kesumbunya.
Hasil survei beban kendaraan berguna untuk mendapatkan data tentang:
1. berat setiap jenis kendaraan;
2. fluktuasi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
3. distribusi beban sumbu setiap jenis kendaraan;
4. mengawasi beban sumbu maksimum.
Alat timbang yang digunakan pada survei beban kendaraan biasanya tipe portable yang dapat dipindah-pindah sesuai lokasi yang diinginkan. Jenis alat timbang ada dua, yaitu:
1. Static Weighing, penimbangan dilakukan dengan kendaraan berhenti di atas alat timbang;
2. Weight-in-Motion (WIM), penimbangan dilakukan dengan kendaraan melintasi alat timbang dengan kecepatan tertentu.
Sumber:Traffic Monitoring Guide
Gambar 3.6 Contoh alat timbang statis
Keuntungan alat statis yaitu penimbangan akurat, tetapi memiliki kerugi- an karena perlu lokasi yang aman dan membutuhkan waktu serta sejum- lah petugas yang bekerja intensif dalam waktu yang pendek.
Keuntungan WIM yaitu alat bekerja menggunakan sensor, sehingga lebih banyak kendaraan yang dapat ditimbang dalam waktu survei yang sama sehingga hasil pengujian tidak bias. Kerugian penggunaan WIM adalah biaya instalasi mahal, dan biaya pemeliharaan alat lebih mahal daripada alat statis.
Lokasi tempat penimbangan jika digunakan alat timbang statis ditentukan berdasarkan volume kendaraan berat yang melewati jalan tersebut.
Gambar 3.7 sampai dengan Gambar 3.10 menunjukkan berbagai tipe lokasi survei timbang. Berdasarkan volume kendaraan berat, ditentukan tipe lokasi pos timbang dan jumlah sampel yang dibutuhkan seperti pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Jenis Lokasi Pos Timbang Dan Jumlah Sampel Volume maksimum
kendaraan berat/jam Tipe lokasi pos timbang Jumlah sampel kendaraan berat
yang ditimbang 0 – 30 Pos timbang C atau D Semua
31 – 60 Pos timbang A atau B Semua 61 – 120 Pos timbang A atau B Alternatif 121 – 180 Pos timbang A atau B 1 dari 3 180 - 240 Pos timbang A atau B 1 dari 4 Sumber: TRRL
Penimbangan dilakukan sebaiknya 7 X 24 jam sehingga diperoleh fluktu- asi rata-rata dari beban sumbu kendaraan yang melintasi jalan tersebut.
Jika keadaan lokasi tak memungkinkan, survei dapat dikurangi berdasar- kan pertimbangan setempat, tetapi sebaiknya tidak kurang dari 3 X 16 jam.
Sumber: TRRL
Gambar 3.7 Denah lokasi Pos Timbang A
Sumber: TRRL
Gambar 3.8 Denah lokasi Pos Timbang B
Jalur Utama Kendaraan ringan
Kendaraan ringan Kendaraan berat
Kendaraan berat
Bahu jalan Pos Timbang
Pos Timbang Pengawas
Lalulintas
Pengawas Lalulintas Pos Timbang
Jalur Utama Pengawas
Lalulintas
Pos Timbang
Kendaraan ringan Pengawas
Lalulintas Kendaraan ringan
Sumber: TRRL
Gambar 3.9 Denah lokasi Pos Timbang C
Sumber: TRRL
Gambar 3.10 Denah lokasi Pos Timbang D
Hasil yang diperoleh dari survei beban kendaraan adalah berat roda pada ujung sumbu yang ditimbang (Gambar 3.6). Dari berat roda diperoleh beban sumbu. Jika nilai A dan B dari Rumus 3.4 diketahui untuk setiap jenis kendaraan, maka penimbangan cukup dilakukan untuk satu beban roda atau satu kelompok roda di ujung sumbu saja (½ F1 atau ½ F2).
Dari hasil penimbangan diperoleh beban atau berat dari setiap jenis kendaraan (G). Jika tidak tersedia data dan ingin diperoleh nilai G, A, dan
Pos Timbang
Jalur Utama Pengawas
Lalulintas
Kendaraan ringan
Pengawas Lalulintas Kendaraan ringan
Jalur Utama Kendaraan ringan
Kendaraan ringan Kendaraan berat
Kendaraan berat
Bahu jalan Pos Timbang
Pengawas Lalulintas
Pengawas Lalulintas
B, maka penimbangan dilakukan untuk roda depan dan belakang kenda- raan (½ F1 dan ½ F2).
Sebagai contoh:
Dari hasil survei beban kendaraan diperoleh beban roda belakang dari sebuah kendaraan truk seberat 2100 kg. Truk tersebut merupakan truk 2 as dengan jenis sumbu tunggal (kode angka 1.1). Distribusi beban sumbu depan dan belakang adalah 34% dan 66%.
Jadi:
Beban sumbu belakang = 2 x 2100 kg = 4200 kg.
Beban sumbu depan = 34/66 x 4200 kg = 2200 kg Berat total truk adalah 6400 kg.
3.1.4 Volume Lalulintas
Volume lalulintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan selama satu satuan waktu (hari, jam, atau menit).
Lalulintas harian rata-rata adalah volume lalulintas rata-rata dalam satu hari. Dari lama waktu pengamatan untuk mendapatkan nilai lalulintas harian rata-rata, dikenal 2 jenis lalulintas harian rata-rata yaitu:
1. Lalulintas Harian Rata-Rata Tahunan (LHRT), yaitu volume lalulintas harian yang diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama satu tahun penuh.
LHRT =
365
1tahun dalam kendaraan
Jumlah ... (3.5)
LHRT dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan median.
2. Lalulintas Harian Rata-Rata (LHR), yaitu volume lalulintas harian yang diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama beberapa hari pengamatan.
LHR =
pengamatan hari
jumlah
pengamatan selama
kendaraan Jumlah
... (3.6) LHR dinyatakan dalam kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah tanpa median atau kendaraan/hari/arah untuk jalan 2 jalur dengan median.
Data LHR cukup akurat jika:
a. pengamatan dilakukan pada interval waktu yang dapat menggam- barkan fluktuasi arus lalulintas selama 1 tahun;
b. hasil LHR yang dipergunakan dalam perencanaan adalah harga rata-rata dari beberapa kali pengamatan atau telah melalui kajian lalulintas.
3.1.5 Repetisi Beban Lalulintas
Beban lalulintas berupa berat kendaraan yang dilimpahkan melalui kontak antara roda dan perkerasan jalan, merupakan beban berulang (repetisi beban) yang terjadi selama umur rencana atau masa pelayanan jalan.
Konfigurasi dan beban sumbu kendaraan bermacam-macam, sedangkan repetisi beban dinyatakan dalam lintasan sumbu kendaraan, oleh karena itu perlu ditentukan cara untuk menyatakan repetisi beban sehingga data yang diberikan tidak memberi peluang untuk salah menafsirkan besarnya beban lalulintas.
Saat ini terdapat 2 cara penentuan besarnya beban lalulintas untuk perencanaan, yaitu dinyatakan dalam:
1. repetisi lintasan sumbu standar;
2. spektra beban dimana beban lalulintas dinyatakan dalam repetisi beban sumbu sesuai beban dan konfigurasi kelompok sumbunya.
Repetisi Lintasan Sumbu Standar
Kendaraan yang memiliki berbagai konfigurasi sumbu, roda, dan bervari- asi dalam total beban yang diangkutnya, diseragamkan dengan meng- gunakan satuan lintasan sumbu standar (lss), dikenal juga dengan Equivalent Single Axle load (ESA). Sumbu standar adalah sumbu tunggal beroda ganda dengan kriteria sebagai berikut:
- beban sumbu 18.000 pon (80 kN);
- lebar bidang kontak ban 4,51 inci (11 cm);
- Jarak antara masing-masing sumbu roda ganda 13,57 inci (33 cm);
- Tekanan pada bidang kontak = 70 pon/inci2.
Sumbu tunggal 18.000 pon yang digunakan sebagai sumbu standar digambarkan pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11 Sumbu standar 18.000 pon 13,57
inci
4,51 inci 18.000
pon Tekanan angin
= 70 pon/inci2