• Tidak ada hasil yang ditemukan

perihal peninjauan kembali

N/A
N/A
WADOKAI BANTEN

Academic year: 2025

Membagikan "perihal peninjauan kembali"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FARANGGA HARKI ARDIANSYAH NIM : 11150480000016

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

(2)

i

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

FARANGGA HARKI ARDIANSYAH NIM : 11150480000016

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

(3)
(4)
(5)

iv ABSTRAK

Farangga Harki Ardiansyah. NIM 11150480000016. UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018) Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Praktisi Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. 64 halaman.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum dari upaya hukum peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa. Upaya hukum peninjauan kembali adalah upaya hukum terakhir yang dapat diajukan dalam sistem peradilan di Indomensia dan tentunya sifatnya yang luar biasa perlu adanya pengawasan khusus dalam soal aturan.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan statute approach atau pendekatan undang-undang untuk memahami konsep tentang upaya hukum peninjauan kembali dalam perkara perdata yang seagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai usaha untuk mendekatkan masalah yang diteliti berdasarkan aturan, norma, dan kaidah yang sesuai dengan obyek yang dikaji.

Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dalam prosesnya memerlukan pembatasan yang jelas khususnya dalam perkara perdata masih memerlukan peraturan yang tegas dan jelas terkait prosedurnya dan berapa kali dapat diajukan.

Kata Kunci: Peninjauan Kembali, Perdata, Upaya Hukum, PK, Peninjauan Kembali Kedua.

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum.

2. Tresia Elda, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1985 Sampai Tahun 2017.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Perdata (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018). Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi oleh Allah SWT.

Dalam penyelesaian skripsi ini banyak rintangan dan hambatan yang datang silih berganti. Namun, berkat bantuan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak maka peneliti dapat menyelesaikan semuanya. Oleh karena itu peneliti merasa perlu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penguji Skripsi yang telah memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Alfitra, S.H., M.Hum., dan Tresia Elda, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kedua orang tua saya, Aslam Daraini dan Ratih Kirana Ida Agustina, S.Sos.

yang tidak pernah lelah mendoakan serta memberikan motivasi kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Pasangan hidup saya Ersa Nayla Ansari yang telah tidak ada hentinya memberikan motivasi kepada peneliti sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini.

6. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menfasilitasi peneliti dalam hal mencari sumber rujukan untuk skripsi ini.

(7)
(8)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembahasan, dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian... 7

E. Sistematika Penelitian ... 10

BAB II PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA ... 12

A. Kerangka Konseptual ... 12

1. Definisi Hukum Acara Perdata ... 12

2. Upaya Hukum Dalam Hukum Acara Perdata ... 15

3. Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa ... 22

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ... 23

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ... 25

6. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali ... 26

7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 tentang Peninjauan Kembali ... 27

8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali ... 29

B. Kerangka Teori... 32

1. Teori Kepastian Hukum ... 32

(9)

viii

2. Teori Kebenaran Hukum ... 34

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 34

BAB III DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018 ... 37

A. Putusan Mahkamah Agung Nomor 629/PK/Pdt/2015 ... 37

B. Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018 ... 40

BAB IV PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA DAN MEMUTUS PENINJAUAN KEMBALI YANG KEDUA KALINYA ... 44

A. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 629 PK/Pdt/2015 ... 44

B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 118 PK/Pdt/2018 ... 52

BAB V PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Rekomendasi ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 66

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum dan kehidupan manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait, dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum.

Setiap manusia pasti mempunyai kepentingan masing-masing yang diharapkan untuk dapat dipenuhi. Berdasarkan kepentingan-kepentingan itulah maka bukan tidak mungkin muncul pertentangan antara satu dengan yang lainya.

Atas dasar tersebutlah dibutuhkan hukum guna mengakomodir segala permasalahan dalam kehidupan masyarakat untuk mengontrol kepentingan masyarakat (tools of social engineering). Proses demikian merupakan bagian dari fungsi hukum untuk memperjuangkan kepentingan agar tercapainya keadilan substantif.

Pembahasan terkait dengan pencarian keadilan dapat diajukan dengan cara mengajukan di pengadilan (litigation) dengan harapan terciptanya putusan yang seadil-adilnya dari hakim. Putusan hakim juga tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan, bahkan tidak mustahil adanya putusan yang bersifat memihak.

Oleh karena itu demi keadilan dan kebenaran maka dapat dimungkinkan untuk dapat diperiksa ulang melalui upaya hukum.

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim.1 Secara yuridis upaya hukum terbagi menjadi dua bagian yaitu upaya hukum biasa seperti upaya Perlawanan (verzet), Banding (Kasasi), dll.

Sedangkan upaya hukum luar biasa merupakan upaya melawan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam hal ini adalah Peninjauan Kembali.

Upaya hukum Peninjauan Kembali (request civil) adalah suatu upaya hukum yang dapat diajukan untuk dapat membuat suatu putusan yang telah

1 Rento Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Bandung: CV Mandar Maju, 2009), h.108

(11)

2

berkekuatan hukum tetap (inkracht van gwijsde) mentah kembali. Proses pembatalan terhadap putusan yang telah berekuatan hukum tetap, merupakan salah satu syarat formil dari permohonan peninjauan kembali. Rasio logis adanya Peninjauan kembali adalah untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan (justice seekers) untuk membuka kembali perkara yang sudah diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana peninjauan kembali dinyatakan sebagai upaya hukum luar biasa. Menurut Yahya Harahap atas dasar sifatnya yang luar biasa, upaya hukum peninjauan kembali harus dibatasi. Bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dengan tujuan untuk menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainty).1

Pembatasan peninjauan kembali yang hanya boleh dilakukan sekali sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pasal a quo menyatakan bahwa “permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”. Pasal tersebut menimbulkan multitafsir terkait mekanisme peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali. Bahwa terdapat dua tafsir yang dominan diantaranya adalah terkait frasa “1 (satu) kali” dalam satu perkara hanya dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali oleh salah satu pihak atau masing-masing pihak dapat 1 (satu) kali kesempatan mengajukan peninjauan kembali.

Pembatasan pengajuan peninjauan kembali menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat dan praktisi hukum. Diskursus terkait batas pengajuan peninjauan kembali salah satunya disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan bahwa esensi dari lembaga peradilan adalah proses penciptaan untuk keadilan. Demi keadilan peninjauan kembali tidak selayaknya dibatasi dengan jumlah maksimal. Permasalahan tersebut berujung diajukan uji materil di Makhamah Konstitusi. 2

1 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.445

2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang- undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 35

(12)

Pengajuan permohonan uji materil kemudian teregistrasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 atas uji materil Pasal 268 ayat (3) KUHAP atas frasa “permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja”. Pengajuan uji materil tersebut terregistrasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa terdapat inkonstitusional dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP dan menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam perkara pidana boleh dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.3 Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut karena Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tidak dapat membatasi aturan dalam peninjauan kembali hanya 1 (satu) kali. Hal tersebut dikarenakan pengajuan peninjauan kembali dalam perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia.

Mahkamah Konstitusi menyatakan pertimbanganya dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, bahwa upaya hukum peninjauan kembali untuk perkara diluar pidana, termasuk perkara perdata tetap perlu dibatasi hanya 1 (satu) kali. Hal tersebut berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi dari Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010. Dalam hal ini objek yang diajukan uji materil adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 66 ayat (1) yang bunyi pasalnya adalah “permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya (satu) 1 kali”, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat (2) yang bunyinya “terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”.

Putusan Mahakamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa “jika ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali akan dilakukan”.4

3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang- undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 89

4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Pasal 66 Ayat (1), h. 68

(13)

4

Pasca putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terkait pengujian tentang peninjauan kembali yang dapat dilakukan lebih dari sekali, hal itu menyebabkan adanya dualisme dalam peraturan yang mengatur mengenai peninjauan kembali. Kerancuan yang terjadi di kalangan praktisi hukum ialah Mahkamah Konstitusi memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali dan hal itu berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010, sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang peninjuauan kembali melarang peninjauan kembali dilakukan lebih dari sekali atas dasar perlindungan negara terhadap kepastian hukum.

Adanya dualisme terkait peraturan peninjauan kembali, berdampak pada permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung yang diajukan lebih dari sekali. Sebagaimana terjadi pada kasus PT. Suzuki Indomobil yang mengajukan peninjauan kembali dengan putusan Nomor 118 PK/Pdt/2018 terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015. Pokok perkara dalam hal ini ialah adanya sengketa tanah antara PT. Suzuki Indomobil melawan para ahli waris dari pemilik tanah. Proses hukum tersebut telah mencapai putusan berkekuatan hukum tetap (inckrah van gewisdje) Kasasi dan dimenangkan oleh PT. Suzuki Indomobil.

Terhadap putusan kasasi tersebut pihak ahli waris mengajukan upaya hukum peninjauan kembali yang terregistrasi dalam putusan Nomor 629 PK/Pdt/2015. Putusan peninjauan kembali tersebut menghasilkan kemenangan bagi pihak ahli waris. Terhadap putusan tersebut PT. Suzuki Indomobil mengajukan permohonan peninjauan kembali untuk kedua kalinya, dan pada akhirnya Mahkamah Agung memberikan putusan yang memenangkan pihak PT Suzuki Indomobil. Berdasarkan permasalahan yang telah peneliti paparkan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018).

(14)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Ada berbagai hal yang dijadikan pokok permasalahan dalam penelitian yang dilakukan. Pokok permasalah ini berhubungan upaya hukum peninjauan kemballi terhadap putusan Peninjauan Kembali, antara lain :

a. Terdapat ketidakjelasan dalam pembatasan pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam peraturan perundang-undangan.

b. Terdapat perbedaan pendapat antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait upaya hukum peninjauan kembali.

c. Kepastian hukum dalam upaya hukum peninjauan kembali menjadi terancam jika tidak dbatasi.

d. Timbulnya perdebatan mana yang harus didahulukan antara kepastian hukum dan keadilan terkait peninjauan kembali.

e. Terdapat dualisme aturan yang mengatur terkait peninjauan kembali antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi .

f. Terdapat ketidaktegasan kata dalam frasa ‘satu kali’ dalam pasal yang mengatur tentang upaya hukum peninjauan kembali.

2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih fokus dan tidak keluar dari topik pembahasan yang dimaksud, maka dalam penulisan ini peneliti membatasi dan memfokuskan pada ruang lingkup penelitian mengenai upaya hukum peninjauan kembali dalam Putusan Nomor 118/PK/Pdt/2018 yang diajukan terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015.

Putusan Mahkamah Agung tersebut menimbulkan problematika pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang mengatur peninjauan kembali terbatas 1 (satu) kali.

Alasan pembatasan masalah terjadi karena pembatasan ini sesuai dengan konsentrasi peneliti yakni praktisi hukum. Dalam hal ini berfokus pada wewenang aparatur sipil negara dalam bingkai praktisi hukum.

(15)

6

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifkasi, dan pembatasan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti merumuskan masalah yaitu sebagai berikut: Pengajuan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Perdata.

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka pertanyaan penelitianya sebagai berikut :

a. Apa yang menjadi alasan dan dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam menerima dan memutus perkara peninjauan kembali yang kedua (Nomor 118/PK/Pdt/2018 terhadap putusan Mahkamah Agung peninjauan kembali Nomor 629 PK/Pdt/2015) ?

b. Apakah putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018 sudah memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui alasan dan dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam menerima dan memutus perkara peninjauan kembali yang kedua (118/PK/Pdt/2018).

b. Untuk mengetahui unsur keadilan dan kepastian hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 118/PK/Pdt/2018.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dibidang upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perdata dan membuktikan bahwa pengajuan upaya hukum Peninjauan kembali dalam perkara perdata tetap dibatasi hanya satu kali yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat

(16)

menjadi bahan evaluasi dibidang upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perdata, menganalisis dan mencegah terjadinya ketidakpastian hukum.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat mengurangi proses penanganan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara perdata yang berlarut-larut agar dapat terciptanya kepastian hukum untuk mewujudkan keadilan di dalam sistem hukum Indonesia.

D. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis yuridis normatif. Mengacu kepada penerapan hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan yang didapatkan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.5

Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang- undangan (statue approach) yakni pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi, mengingat peneliti berusaha menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan sebagai fokus penelitian.

2. Data Penelitian

Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian yang kelak akan digunakan untuk kesimpulan penelitian. Oleh karena itu, data yang peneliti gunakan untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

5 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2006), h. 46

(17)

8

dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim yang berkaitan.6

b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi Tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi Tentang hukum dalam bidang upaya hukum Peninjauan Kembali meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma hukum yang diberikan atas kepentingan penelitian.7

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

3. Sumber Data a. Data Primer

Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer ialah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Reglemen Acara Perdata (Reglement op Rechtsvordering), Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

b. Data Sekunder

Dalam hal ini berupa semua publikasi Tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi Tentang hukum dalam Peninujauan Kembali meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma hukum dan lain-lain.

Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan yaitu

6 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 11

7 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 40

(18)

pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan Hukum Tersier

Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari bahan sekunder dan bahan primer di anataranya, kamus, dan sumber- sumber sejenis yang diakses melalui internet.

d. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik penelusuran bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka baik berupa buku-buku, karya tulis ilmiah, informasi maupun dokumen hukum. Dalam menyusun dan menganalisis data, peneliti menggunakan penalaran deduktif dengan metode deskriptif. Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penelitian untuk kemudian dielaborasi dalam struktur pembahasan yang analitis. Berikutnya ditarik simpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan yang diakhiri dengan kesimpulan analisis pemberian gagasan dalam sebuah kesimpulan serta rekomendasi untuk dijadikan akhir dan jawaban dari penelitian yang sedang peneliti kaji.

e. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan bahan hukum yang terdiri dari hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penelitian yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan

(19)

10

secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.

Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui permasalahan dalam pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata.

f. Metode Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk dapat mempermudah dalam pembuatan dan pemaparan gambaran umum skripsi ini, maka penulis memaparkan sistematika pembahasan skripsi yang dibagi menjadi beberapa bab sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Membahas mengenai latar belakang penelitian yang melatarbelakangi masalah penulisan, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA Dalam bab ini akan membahas kajian pustaka yang berisi teori- teori yang digunakan untuk menganalisis dan menginterprestasikan data penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan kerangka konsep yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari kerangka teori. Kajian Pustaka yang baik akan membantu peneliti dalam merumuskan hipotesis dari penelitian tersebut. Selain itu, juga terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi terdahulu pada sub bab kedua dari Bab II.

(20)

BAB III DUDUK PERKARA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 629/PK/Pdt/2015 DAN 118/PK/Pdt/2018

Bab ini berisi data-data yang hendak digunakan, dalam hal ini data tersebut meliputi substansi dan kronologis perkara dalam putusan peninjauan kembali Nomor 629/PK/Pdt/2015 dan 118/PK/Pdt/2018.

BAB IV PERTIMBANGAN MAHAKAMAH AGUNG DALAM

MENERIMA DAN MEMUTUS PININJAUAN KEMBALI YANG KEDUA KALINYA

Bab IV atau bab analisis ini akan berisi tentang apa pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam menerima dan memutus perkara peninjauan kembali yang diajukan terhadap putusan Peninjauan Kembali.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik beberapa kesimpulan penelitian untuk menjawab perumusan masalah.

(21)

12 BAB II

PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PERDATA

A. Kerangka Konseptual

1. Definisi Hukum Acara Perdata

Hukum acara merupakan kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur mengenai tata cara untuk mengajukan suatu perkara dalam pengadilan. Hukum acara perdata yang disebut juga hukum perdata formil merupakan peraturan yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan hukum perdata materil di pengadilan.1 Dengan perkataan lain bahwa hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta memutusan dan melaksanakan putusan perdata yang ranahnya merupakan hukum privat yang dalam arti sengketa antar individu. Tuntutan Hak dalam hal ini ditujukan untuk melindungi individu dalam perkara perdata untuk menghakimi sendiri perkara yang dihadapinya. Tindakan menghakimi sendiri yang sewenang-wenang tanpa adanya persetujuan dari pihak lain atau hakim dapat menimbulkan kerugian dan ketidakadilan. Tindakan itu tidak dibenarkan jika ingin memperjuangkan hak masing-masing antar individu.2

Penuntutan hak antar sengketa individu dalam perkara perdata dapat diajukan melalui persidangan di pengadilan. Dalam memenuhi hak- hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa dalam perkara perdata dibutuhkan pihak lain yang netral dalam hal ini adalah hakim pengadilan.

Dalam proses berperkara perdata di pengadilan terdapat berbagai cara yang di atur sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Hukum acara perdata berawal dari Undang-Undang Darurat Tahun 1951 yang dikenal

1 Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 197

2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:

Liberty, 1993), h. 2

(22)

dengan nama H.I.R (Het Herziene Indonesisch Reglement). H.I.R ini hanya berlaku untuk masyarakat di wilayah pulau Jawa dan Madura, sedangkan untuk diluar daerah Jawa dan Madura diatur dalam RB.g (Rechtsglement voor de Buitengwesten) atau reglemen daerah sebrang.

Hukum acara perdata yang berlaku hingga saat ini adalah H.I.R. Khusus untuk golongan eropa, hukum acara perdata yang digunakan adalah BR.v (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) atau Reglement Acara Perdata.3

a. Sifat dan Karakteristik Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata pada saat ini memiliki sifat yang terbuka dan sederhana. Para hakim dalam perkara perdata memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk menggunakan hukum sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hukum acara perdata, orang yang merasa haknya dilanggar berhak untuk mengajukan tuntutan di pengadilan, begitu juga dengan orang yang dirasa melanggar hak juga dapat dapat kesempatan pembuktian di pengadilan. Dengan kata lain hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut belum tentu dilanggar haknya dan orang lain melanggar haknya. Orang yang merasa haknya dilanggar dan mengajukan ke pengadilan disebut sebagai Penggugat, sedangkan orang yang dirasa melanggar hak orang lain yang dituntutkan di pengadilan disebut sebagai Tergugat.4

Apabila dalam suatu perkara terdapat banyak pihak Penggugat, maka akan disebut sebgai Penggugat I, Penggugat II, dan seterusnya yang seluruhnya disebut Para Penggugat, demikan pula dengan Tergugat. Dalam perkara perdata apabila terdapat pihak yang tidak menguasai barang sengketa namun harus diikutsertakan untuk

3 Djaja Meliala, HukumPerdata Dalam Prespektif BW Edisi Revisi, (Bandung:

Nuansa Aulia, 2014), h. 3

4 Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 2

(23)

14

melengkapi gugatan dan mematuhi isi putusan disebut juga sebagai Turut Tergugat.

Dalam perkara perdata, berdasarkan pasal 118 H.I.R dan 142 RBg, hakim memiliki sifat menunggu (judex no procedat ex officio), yang artinya inisiatif di dalam persidangan berada di tangan para pihak yang berperkara, jika tidak ada tuntutan maka tidak ada hakim. Hal ini berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada dasarnya hakim tidak menunggu dari inisiatif para pihak untuk menyelesaikan sengketa.5

Hakim dalam perkara perdata juga memiliki sifat pasif, yang artinya bahwa dalam ruang lingkup atau luasnya pokok perkara yang diajukan kepda hakim untuk diperiksa dan dalam menentukan pokok perkara secara kebenaran formil dan tidak boleh ditambahkan maupun di kurangi oleh hakim.6 Dalam perkara perdata terdapat perbedaan mengenai unsur dan nilai yang dikejar dalam suatu perkara antara hakim dengan perkara pidana. Hakim dalam perkara pidana memiliki peran yang aktif, yang mana hakim dalam hukum acara pidana harus bersifat aktif untuk membuktikan dan mencari kebenaran materiil dari suatu perkara.

Dalam pemeriksaan perkara perdata terdapat dua tingkatan pemeriksaan, yaitu pengadilan dalam tingkat pertama (original jurisdiction) dan tingkat banding (appellate jurisdiction). Pengadilan tingkat banding ini berujuan untuk mengulangi pemeriksaan perkara dalam pengadilan tingkat pertama.7 Upaya hukum Banding dapat dilakukan di Pengadilan Tinggi dengan hakim yang tingkatanya lebih tinggi. Dengan demikian para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa keperdataanya dapat mengajukan upaya-upaya hukum dalam acara perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Upaya Hukum Dalam Hukum Acara Perdata

5 Laila Rasyid, dan Herinawati, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Sulawesi:

Unimal Press, 2015), h. 16

6 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata Edisi Ke-2, (Jakarta: Literata, 2010), h. 6

7 Elfrida Gultom, Hukum Acara Perdata Edisi Ke-2,…h. 7

(24)

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim dengan cara mengajukan perlawanan terhadap putusan pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari yang terhitung sejak dikeluarkanya putusan tersebut.8 Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan terkait upaya hukum dalam acara perdata maupun dalam acara pidana. Dalam hukum acara perdata terbagi menjadi dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.

a. Upaya Hukum Biasa

Upaya hukum biasa adalah upaya yang diajukan untuk melawan putusan hakim dengan tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat menghentikan atau menangguhkan pelaksanaan putusan untuk sementara waktu. Upaya hukum biasa dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu:

1) Perlawanan (verzet)

Upaya hukum verzet atau perlawanan merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat di ajukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk melawan suatu putusan verstek. Menurut Pasal 125 H.I.R, putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan tanpa kehadian dari tergugat atau orang yang mewakilinya tanpa alasan yang sah dan dapat dibenarkan.9 Pihak tergugat yang tidak hadir dalam putusan verstek dapat mengajukan upaya hukum perlawanan atau verzet kepada pengadilan. Dalam hal ini pihak terlawan yang dahulu sebagai penggugat, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang dapat mengajukan upaya hukum Banding.

Upaya hukum verzet dapat diajukan dalam tenggang waktu 14

8 Rento Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Bandung: CV Mandar Maju, 2009), h. 106

9 https://www.awambicara.id/2018/04/upaya-hukum-verzet-perkara-perdata.html, Diakses pada tanggal 7 Oktober 2019, 11.05 WIB

(25)

16

(empat belas) hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat.

2) Banding

Upaya hukum Banding merupakan hak terdakwa dan hak dari Jaksa Penuntut Umum. Menurut P. Van Bemmelen, upaya hukum Banding adalah suatu pengujian terhadap ketepatan dari putusan tingkat pertama untuk disangkal kebenaranya.10 Andi Hamzah mengatakan bahwa upaya hukum Banding adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk menolak putusan pengadilan dengan tujuan untuk meminta ulang dengan pengadilan yang lebih tinggi, serta untuk memeriksa ketepatan substansi penerapan hukum dalam putusan pengadilan tingkat pertama.11

Berdasarkan Pasal 67 KUHAP, terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah ketepatan penerapan hukum dalam putusan pengadilan.

Seiring dengan berkembangnya waktu pada saat ini terhadap putusan bebas pun dapat diajukan banding. Terhadap putusan bebas tersebut dapat dimintakan upaya banding oleh Jaksa Penuntut Umum dengan alasan bahwa putusan bebas atau vrijspraak tersebut bukanlah merupakan bebas murni.12 Permohonan banding terhadap putusan bebas akan dapat diterima oleh Pengadilan Tinggi jika Jaksa Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa terdapat ketidaktepatan dalam putusan yang dijatuhkan di pengadilan tingkat pertama.

10 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 248

11 Rendi Renaldi Mumbunan, Upaya Hukum Biasa dan Luar Biasa Terhadap Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, (Lex Crimen, Vol. 8, No. 10, Desember 2008, h. 41

12 Andi Hamzah dan Indra Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 59

(26)

Menurut Yahya Harahap, tujuan dari upaya hukum banding adalah untuk memeriksa dan memperbaiki kekeliruan yang terjadi pada putusan tingkat pertama, mencegah penyalahgunaan wewenang jabatan, dan untuk pengawasan terhadap keseragaman dan keadilan dalam penegakkan hukum.13 Permohonan banding yang biasanya diajukan oleh terpidana dan penuntut umum apabila terjadi kekeliruan dalam putusan tingkat pertama yang tidak sesuai dengan rasa keadilan, maka dari itu diperlukan lembaga banding yang dipegang oleh Pengadilan Tinggi untuk dapat memeriksa kekeliruan tersebut.

Permohonan banding yang diajukan ke Pengadilan Tinggi dapat menimbulkan berbagai akibat hukum, diantaranya adalah:

a) Putusan menjadi mentah kembali. Maksud dari putusan yang mentah kembali adalah putusan tersebut menjadi tidak memiliki arti dan kekuatan hukum yang mengikat, formalitas dari putusan tersebut tetap ada, tetapi nilai dari isi putusan tersebut lenyap.

b) Seluruhnya menjadi tanggung jawab yuridis dari Pengadilan Tingkat Banding. Pengadilan Tinggi bertanggungjawab sejak tanggal permohonan banding diajukan, sepanjang permohonan banding tidak dicabut kembali. Peralihan tanggungjawab tersebut meliputi barang bukti dan penahanan, maka setelah itu pengadilan tingkat pertama tidak memiliki wewenang apapun.

c) Putusan pengadilan yang di banding tidak memiliki kekuatan eksekusi. Hilangnya daya eksekusi dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut karena putusan tersebut sudah tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak.

Pada dasarnya proses dan tenggang waktu pengajuan banding sama dengan kasasi. Menurut Pasal 46 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tenggang waktu untuk

13 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2006), h. 454

(27)

18

mengajukan banding dan kasasi adalah 14 (empat belas) hari setelah putusan yang dimaksud disampaikan kepada pemohon. Dalam memutus perkara banding, pengadilan harus mempertimbangkan apakah ada kelalaian atau kekeliruan dalam penerapan hukum acara pada pengadilan tingkat pertama.

Pengadilan Tinggi dengan keputusan dapat memerintahkan pengadilan tingkat pertama untuk memperbaiki atau Pengadilan tinggi dapat memperbaikinya sendiri. Jika perlu Pengadilan Tinggi dapat membatalkan penetapan dari pengadilan tingkat pertama sebelum putusan dari Pengadilan Tinggi dijatuhkan.

Setelah mempertimbangkan pertimbangan tersebut maka Pengadilan tinggi dapat memutuskan untuk menguatkan putusan tingkat pertama, mengubah atau membatalkan putusan tingkat pertama dan megadakan putusan sendiri.

3) Kasasi

Perkataan Kasasi berhasal dari bahasa Prancis “cassation” yang artinya adalah memecah atau membatalkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 kasasi merupakan alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung. Kasasi bertujuan untuk memeriksa kembali dari putusan putusan terdahulu. Putusan terdahulu yang dimaksud adalah putusan yang telah menempuh jalur banding maupun putusan tingkat akhir dari semua lingkup peradilan.

Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, alasan mengajukan untuk mengajukan upaya hukum kasasi adalah sebagai berikut14:

a) Tidak berwenang dan melampaui batas. Yang dimaksud adalah terkait kewenangan kompetensi relatif dan absolut pengadilan yang memeriksa perkara yang diajukan, dan pengadilan melampaui batas mengabulkan gugatan melebihi daripada surat gugatan.

14 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.233

(28)

b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Maksudnya adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim pengadilan tingkat pertama dan banding Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti. Mahkamah Agung adalah judex juris sebagai pemeriksa penerapan hukum dari judex factie.

c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah.

Upaya hukum kasasi merupakan upaya hukum tingkat akhir yang dalam wewenangnya di kuasai oleh Mahkamah Agung. Tujuan dan fungsi dari peradilan kasasi adalah untuk mengoreksi kesalahan dari peradilan dibawahnya yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terkait kesalahan prosedur (procedural error), kesalahan mengenai fakta (factual error), serta kesalahan penerapan hukum (error in the application of law).

Upaya hukum kasasi juga berfungsi sebagai pencegahan terhadap penyalahgunaan wewenang.

b. Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum luar biasa merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan-putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat diubah lagi. Karena sifatnya yang luar biasa menjadikan upaya hukum peninjauan kembali memiliki tata cara dan regulasi yang sangat ketat dan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang.15 Upaya hukum luar biasa pada dasarnya tidak menunda eksekusi yang dimana dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

15 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), h. 98

(29)

20

1) Upaya Hukum Peninjauan Kembali (Request Civil)

Upaya hukum Peninjauan Kembali adalah suatu upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk membuka kembali putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.16

Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa upaya hukum peninjauan kembali merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung. Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat kasasi dan putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat (verstek) serta yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan, dapat ditinjau kembali atas permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah diputus dapat dimintakan peninjauan kembali untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung (Pasal 385 RV). Untuk itu request civil yang diatur dalam Pasal 385-401 RV, tidak lain adalah peninjauan kembali suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Upaya hukum Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sifatnya tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi atau pelaksanaan putusan.

Permohonan Peninjauan Kembali dapat dicabut selama belum diputus, tetapi apabila sudah dicabut maka tidak dapat diajukan kembali.

Terkait frasa satu (1) kali dalam permohonan Peninjauan Kembali diperkuat oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mana berbunyi: “Terhadap putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali”. Diperkuat lagi oleh Reglement op de Rechtvordering (RV) atau Reglemen Acara Perdata Bab XI Tentang Peninjaun Kembali Pasal 400 yang berbunyi “Setelah mengajukan peninjauan kembali, entah itu

16 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 47

(30)

diterima atau tidak, maka tidak dapat diajukan peninjauan kembali yang kedua, baik terhadap putusan yang diberikan dalam peninjauan kembali maupun terhadap putusan sesudah putusan peninjauan kembali itu diterima dalam pokok perkaranya”.

Alasan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diantaranya adalah:

a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidanan dinyatakan palsu.

b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.

d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.

e) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.

f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Pengajuan permohonan peninjauan kembali dengan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan atau ahli warisnya dan dapat juga diajukan oleh kuasa hukum yang diberi surat kuasa khusus untuk mengajukan gugatan atau permohonan secara tertulis dengan menyebutkan alasan-alasannya yang sah yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum permohonan peninjauan kembali.17 Proses pengajuan peninjauan kembali selambat-lambatnya 180 (seratus delapan puluh) hari dan dapat juga diajukan secara lisan di hadapan ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan.

17 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), h. 2

(31)

22

2) Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet)

Berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata, pada dasarnya Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga, akan tetapi berdasarkan Pasal 378 Rv, apabila pihak ketiga merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Perlawanan ini diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Jika perlawanan tersebut dikabulkan, maka putusan yang bertentangan itu diperbaiki jika putusan tersebut benar-benar merugikan pihak ketiga tersebut.18 3. Peninjauan Kembali Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa

Upaya hukum Peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum luar biasa yang dalam proses pengajuannya sangat ketat diawasi dan dibatasi oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang membatasi pengajuan peninjauan kembali hanya 1 (satu) kali merupakan bentuk sifat upaya hukum peninjauan kembali sebagai upaya hukum yang luar biasa. Prinsip ini bertujuan untuk menekankan dan menegakkan kepastian hukum (to enforce legal certainty).

Maksud dari dibatasinya peninjauan kembali 1 (satu) kali ialah, apabila berdasarkan permohonan peninjauan kembali oleh salah satu pihak yang berperkara telah di dijatuhkan putusan oleh Mahkamah Agung, maka terhadap putusan tersebut tidak dapat diajukan peninjauan kembali sekali lagi oleh para pihak. Misalnya A berperkara dengan B dan putusan sudah berkekuatan hukum tetap inkrah, terhadap putusan inkrah tersebut A mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan permohonan dibenarkan dan memenangkan A, maka terhadap selanjutnya tertutuplah hak B untuk

18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2010), h. 3

(32)

mengajukan peninjauan kembali yang kedua. Atau sekiranya permohonan A ditolak maka tertutuplah hak A untuk mengajukan peninjauan kembali sekali lagi.19

Prinsip ini sama dengan prinsip yang diterapkan dalam upaya hukum kasasi. Sekiranya undang-undang memperbolehkan pengajuan kasasi dan peninjauan kembali lebih dari sekali maka akan terjadi kekacauan yang berlanjut, dan akan tidak mungkin kepastian hukum ditegakkan, hal ini sesuai dengan asas litis finiri oportet, yaitu setiap perkara harus ada akhirnya. Menurut Yahya Harahap jika putusan peninjauan kembali telah dijatuhkan, kemudian diajukan peninjauan kembali lagi terhadap perkara tersebut, maka yang terjadi adalah peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali. Tindakan tersebut melanggar Pasal 24 ayat (2) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tindakan tersebut dapat merusak dan menghancurkan tatanan penegakkan kepastian hukum dan ketertiban umum dalam penegakkan hukum di Indonesia.

Perbedaan pendapat terkait masalah pembatasan peninjauan kembali juga marak terjadi dikalangan praktisi hukum. Menurut Swantoro jika peninjauan kembali dibatasi maka akan berimplikasi terhadap prinsip keadilan, karna sesungguhnya tujuan utama hukum adalah keadilan.20

4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-undang tentang Mahkamah Agung ini merupakan undang- undang pelaksana dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertujuan untuk mengatur secara khusus tentang Mahkamah Agung.

Undang-undang ini juga menegaskan tentang peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dalam prosesnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Undang-undang ini juga membahas terkait

19 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksa Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 445

20 Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 10

(33)

24

pembatasan upaya hukum peninjauan kembali yang terdapat dalam bagian keempat tentang pemeriksaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum peninjauan kembali dalam undang-undang ini hanya tercantum dalam Pasal 66, yang isinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan, Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.

Berdasarkan Pasal 67, tenggang waktu untuk mengajukan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari. Berdasarkan Pasal 74, Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa serta memutus sendiri perkaranya. Selain menerima, Mahkamah Agung dapat menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan, dalam hal menerima maupun menolak perkara peninjauan kembali, semuanya harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang jelas.

Undang-undang Mahkamah Agung ini masih digunakan hingga saat ini terkait pengaturan mengenai upaya hukum peninjauan kembali.

Undang-undang ini sering sekali dijadikan sumber terkait peninjauan kembali, walaupun terkait pasal yang mengatur pembatasan peninjauan kembali sering kali menjadi pro kontra di kalangan para praktisi hukum dan para pencari keadilan (justice seekers). Kejanggalan menjadi masalah dari pembatasan peninjauan kembali yang meimbulkan kebingungan dikalangan praktisi hukum maupun di kalangan masyarakat umum dan kerap beberapa kali diajukan untuk uji materil di Mahkamah Konsitusi. Bukan hanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diajukan uji materiil, tetapi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga turut di uji.

(34)

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang ini merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-undang ini dibuat lebih rinci dan detail mengikuti perkembangan zaman dan sistem peradilan di Indonesia. Mengenai aturan upaya hukum peninjauan kembali di dalam undang-undang ini hanya diatur dalam 1 (satu) pasal saja, yaitu Pasal 24 yang bunyinya:

1. Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.

2. Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Pembatasan upaya hukum peninjauan kembali di dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ini di atur dalam Pasal 24 ayat (2). Pasal ini juga kerap dijadikan bahan untuk diajukan uji materil di Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) ini terkait pembatasan bahwa peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali di uji dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010. Para pemohon merupakan para pencari keadilan yang menginginkan peninjauan kembali yang adil.

6. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Permohonnan Pengajuan Peninjauan Kembali

SEMA ini merupakan surat perintah dan petunjuk khusus yang dikeluarkan oleh Mahakamah Agung untuk digunakan oleh setiap pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding untuk melaksanakan aturan mengenai upaya hukum peninjauan kembali sesuai dengan undang-undang yang berlaku. SEMA Nomor 10 Tahun 2009 ini menegaskan bahwa

(35)

26

lembaga hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang hanya dapat dilakukan hanya 1 (satu) kali sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut pemantauan Mahkamah Agung, hingga saat ini masih ada permohonan peninjauan kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali, sehingga demi kepastian hukum serta untuk mencegak penumpukan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung memenadang perlu memberikan petunjuk sebagai berikut:

1. Permohonan Peninjauan Kembali dalam suatu perkara yang sama yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dinyatakan bertentangan dengan undang- undang. Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan tingkat pertama dengan mengacu secara analog kepada ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, agar dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama, permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung

2. Apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun pidana, dan diantaranya ada yang diajukan peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.

Dikeluarkanya SEMA Nomor 10 Tahun 2009 ini menimbulkan pertentangan dikalangan praktisi hukum. SEMA ini dinyatakan tidak sesuai dengan tujuan hukum yaitu keadilan. Pembatasan peninjauan kembali yang ditegaskan Mahkamah Agung dalam SEMA ini dirasa hanya mementingkan

(36)

kepastian hukum dalam hal formil, tetapi mengabaikan inti dari tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan.

7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010

Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan awal dari permasalahan terkait pembatasan upaya hukum peninjauan kembali, dimana para pencari keadilan menginginkan upaya hukum peninjauan kembali memberikan hak yang sama bagi para pihak yang berperkara. Dalam putusan ini yang mengajukan permohonan adalah para pemohon dari PT.

Haranggajang yang memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji materiil yang ada para Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang keduanya memilki frasa membatasi bahwa peninjauan kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.

Dalam proses uji materill ini terdapat pendapat dan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga Legislatif. Keterangan DPR terdapat pada bagian C [2.9] dari putusan ini yang mengatakan:

“Bahwa dengan pengajuan peninjauan kembali yang tidak dibatasi, justru dapat menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan dalam proses pencarian keadilan. Karena apabila dibuka peluang untuk pengajuan peninjauan kembali lebih dari sekali, hal ini melanggar undang-undang., dan juga mengakibatkan penyelesaian perkara menjadi panjang yang tidak berakhir tanpa ujung, yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan.”21

Dalam putusan ini pernyataan dari pemerintah dan DPR yang merupakan satu kesatuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi ini menegaskan dan menyatakan bahwa memang upaya hukum peninjauan kembali merupakan upaya hukum yang sifatnya luar biasa, yang dalam prosesnya harus dibatasi dan diatur secara jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur agar tercapainya kepastian hukum

21 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VII/2010, h. 64

(37)

28

yang adil. Pernyataan tersebut sesuai dengan asas “Litis Finiri Oportet”

yang artinya setiap perkara harus ada akhirnya. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan adagium yang menyatakan “Justice Delayed is Justice Denied” yang artinya bahwa keadilan yang tertunda-tunda atau di perlambat prosesnya merupakan keadilan yang tertolak, atau tidak benar.

Dalam putusan ini terlihat juga pandangan Mahkamah dan pemerintah bahwa memang benar Upaya Hukum “Peninjauan Kembali”

adalah bentuk upaya hukum yang bersifat luar biasa atau istimewa, yang penggunaannya pun dilakukan secara selektif dan hanya digunakan dalam situasi khusus, karena sudah tidak akan ada upaya hukum lain. Oleh karenanya, penggunaannya pun dibatasi dengan syarat khusus yaitu “(jika) ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya” [vide penjelasan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman]. Sehingga, upaya hukum “Peninjauan Kembali” ini sudah tepat apabila dibatasi hanya dapat diajukan satu kali [vide Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana], mengingat harus dipenuhinya azas keadilan hukum dan azas kepastian hukum.

Bahwa menurut Mahkamah pembatasan permohonan peninjauan kembali hanya untuk satu kali tidak ada relevansinya dengan jaminan persamaan di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Pembatasan peninjauan kembali hanya untuk satu kali adalah pembatasan yang berlaku umum bagi setiap orang dan tidak ada pembedaan antara seseorang dengan seseorang yang lain in casu Pemohon. Dari pendapat DPR dan Pemerintah maka disimpulkan bahwa permohonan pemohon terkait uji materil pasal yang membatasi soal peninjauan kembali tidak beralasan.

(38)

Menurut Mahkamah jika ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak dibatasi, maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang.

8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013

Putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan putusan yang memeriksa terkait pengajuan uji materiil pasal yang mengatur terkait pembatasan peninjauan kembali, namun dalam putusan kali ini ranah yang di uji merupakan ranah perkara pidana. Para pemohon yang terdiri dari Antasari Azhar, S.H., M.H., Ida Laksmiwaty S.H., Ajeng Oktarifka Antasariputri, memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi “Permintaan peninjauan kembali atas suatu pemutusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.” Pasal tersebut di benturkan atau diuji dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Menurut pemohon bahwa larangan terhadap peninjauan kembali untuk kedua kalinya setidak-tidaknya mengabaikan prinsip dan nilai keadilan materil, prinsip negara hukum yang menjamin hak asasi warga negara untuk memperjuangkan keadilan, dan bertolak belakang dengan hukum responsif dan progresif, sehingga untuk pencarian keadilan tidak boleh ada pembatasan. Bahwa hal tersebut menyatakan bahwa tujuan utama dari adanya hukum adalah untuk menciptakan keadilan.

(39)

30

Bahwa dalam doktrin hukum pidana letak keadilan lebih tinggi daripada kepastian hukum, sehingga apabila harus memilih maka keadilan mengeyampingkan kepastian hukum. Dengan demikian pengajuan Peninjauan Kembali oleh korban atau ahli warisnya dan dapat diajukan lebih dari sekali adalah dalam rangka mencari dan memperoleh keadilan harus diberi peluang walaupun mengeyampingkan kepastian hukum. Di sisi lain peninjauan kembali jelas-jelas tidak menghalangi eksekusi putusan pidana, sehingga sebenarnya tidak ada relevansinya dengan kepastian hukum.

Menurut pemohon bahwa permohonan pengujian undang-undang ini berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU- VIII/2010 dan Nomor 64/PUU-VIII/2010 di mana pengujian judicial review ditolak karena bersifat umum karena juga menguji UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya termasuk Peninjauan Kembali terhadap perkara perdata . Sementara judicial review yang diajukan ini khusus terhadap Peninjauan Kembali pada Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menganut pembuktian materil sehingga untuk mendapatkkan kebenaran berdasarkan novum tidak boleh hanya dibatasi satu kali pengajuannya.

Peninjauan Kembali yang diatur dalam KUHAP bersifat lex spesialis terhadap peninjauan kembali yang diatur Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Menurut mahkamah, apabila tidak diatur mengenai pembatasan berapa kali upaya hukum (dalam hal ini peninjauan kembali) dapat dilakukan maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali peninjauan kembali dapat dilakukan yang mengakibatkan penanganan perkara tidak pernah selesai. Selain itu juga dapat membuat menunda tegaknya keadilan bagi pencari keadilan itu sendiri hingga jangka waktu yang tidak dapat ditentukan mengingat potensi akan timbulnya fakta hukum baru (novum) yang bisa mengubah putusan Peninjauan Kembali yang telah ada sebelumnya. Selain itu, sistem

(40)

peradilan pidana (criminal justice system) yang adil akan menjadi sistem peradilan pidana yang berkepanjangan, melelahkan, serta kepastian hukum dan keadilan hukum juga tidak akan kunjung diperoleh.

Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penyelesaian suatu perkara, sehingga seseorang tidak dengan mudahnya melakukan upaya hukum peninjauan kembali secara berulang- ulang. Lagi pula, pembatasan tersebut sejalan dengan proses peradilan yang menghendaki diterapkannya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya proses peradilan berkepanjangan dan mengakibatkan berlarut larutnya pula upaya memperoleh 81 (delapan puluh satu) keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri sebagaimana dilukiskan dalam adagium "justice delayed justice denied."

Mahkamah berpendapat bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum, sedangkan untuk keadilan dalam perkara pidana asas tersebut tidak secara detail dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum). Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam hal ini mahkamah menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan pemohon terkait pembatasan peninjauan kembali dalam perkara pidana. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa terdapat inkonstitusional dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP dan menyatakan bahwa peninjauan kembali dalam perkara pidana boleh dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.22 Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara tersebut karena pasal 28J ayat (2)

22 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34?PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-undang Pasal 268 Ayat (3) KUHAP, h. 89

(41)

32

UUD 1945 tidak dapat membatasi aturan dalam peninjauan kembali hanya satu kali. Hal tersebut dikarenakan upaya hukum pengajuan peninjauan kembali dalam perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia.

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan pertimbanganya dalam putusan Nomor 34/PUU-XI/2013, bahwa upaya hukum peninjauan kembali untuk perkara diluar pidana, termasuk perkara perdata tetap perlu dibatasi hanya 1 (satu) kali. Hal tersebut berdasarkan pendapat Mahkamah Konstitusi dari Putusan Nomor 16/PUU-VIII/2010 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-VIII/2010, karena dalam perkara perdata yang dikejar adalah kebenaran formil bukan kebenaran materil seperti perkara pidana.

B. Kerangka Teoritis

1. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa

Referensi

Dokumen terkait

Namun dalam sejarah perkembangan hukum Indonesia, lembaga peninjauan kembali pernah dihebohkan oleh suatu kasus di dunia hukum pidana, yaitu "terobosan

Penulis berpendapat bahwa Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht) sehingga tidak dapat lagi

Asas Keseimbangan yang merupakan bagian dari prinsip keadilan yang mana untuk mencapai nilai keadilan itu harus terdapat persamaan (equality), Upaya Hukum Peninjauan kembali

KAJIAN YURIDIS PENERAPAN ASAS NEBIS IN IDEM DALAM PERKARA GUGATAN CERAI PADA UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DI MAHKAMAH AGUNG (STUDI PUTUSAN NOMOR:567

Oleh karena itu apabila suatu perkara diajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan mengacu secara

Ketika upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung, secara faktual sesungguhnya terpidana atau ahli warisnya belum pernah

12Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pada putusan upaya hukum peninjauan kembali dengan nomor 134 PK/Pdt.Sus-Pailit/2016, upaya hukum yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali

Rangkuman keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai peninjauan kembali perkara pajak PT Makmur Anugerah