ll.PEMBAHASAN
2.1. Pengertian konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.
2.2Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
 Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
 Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
 Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
 Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
 Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
 Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
2.3. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen.Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang- undang;
 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri dll
hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang- undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
2.4. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
2.4.1. Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
 Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
 Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
 Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
 Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
 Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
Negara menjamin kepastian hukum.
2.4.2. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
 Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
 mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
 Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
 Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
 Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
 Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.5.Hak dan Kewajiban Konsumen 2.5.1.Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.
Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
 Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
 Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
 Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
 Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
 Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
 Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
 Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
 Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X, dan XI).
2.5.2.Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
• Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
• Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
• Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
• Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2.6.Prinsip-Prinsip perlindungan konsumen
Prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam hukum bisnis adalah dasar- dasar yang mengatur bagaimana pelaku usaha harus berperilaku dalam transaksi dengan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut misalnya, Prinsip Edukasi memadai yang Meningkatkan kemampuan konsumen dalam mengambil keputusan dan pengelolaan keuangan melalui edukasi yang memadai, sehingga meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi keuangan, dan prinsip Keterbukaan dan transparansi informasi yang memberikan informasi tentang produk keuangan yang dipilih sejelas-jelasnya, serta mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan untuk memberikan informasi yang akurat, jujur dan tidak menyesatkan.
2.6.1.prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
 Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
 Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
 Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen)
Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
a. Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak.
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen.
b. Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
c. Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan.
2.6.2. Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak.
Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen
telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
 Pembatasan waktu gugatan.
 Persyaratan pemberitahuan.
 Kemungkinan adanya bantahan.
 Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
2.6.4 Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen adalah proses yang dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen. Dalam konteks hukum Indonesia, penyelesaian sengketa konsumen dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang memiliki tugas dan wewenang untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. BPSK menawarkan tiga cara penyelesaian sengketa, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Dalam konsiliasi, para pihak yang bersengketa berupaya mencapai kesepakatan melalui diskusi dan negosiasi. Dalam mediasi, seorang mediator yang netral membantu para pihak mencapai kesepakatan.
Sedangkan dalam arbitrase, seorang arbitrator yang ditunjuk oleh para pihak membuat keputusan yang mengikat.
Jika pelaku usaha tidak hadir atau menolak memenuhi panggilan BPSK, maka majelis akan mengabulkan gugatan konsumen meski tanpa kehadiran pelaku usaha. Namun, pelaku usaha masih memiliki beberapa opsi hukum yang dapat dilakukan, seperti mengajukan banding ke pengadilan negeri atau mengajukan permohonan ulang ke BPSK. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK memiliki beberapa kelebihan, seperti prosedur yang cepat dan efisien, serta biaya yang relatif murah. Selain itu, BPSK juga memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar hukum.
Dalam beberapa konteks, seperti dalam hukum Islam, penyelesaian sengketa konsumen juga dapat dilakukan melalui jalur alternatif, seperti penyelesaian sengketa secara al-shulhuh, yang berfokus pada kesepakatan para pihak dan tidak melibatkan lembaga peradilan.
2.6.5 Sanski
Sanksi dalam hukum perlindungan konsumen adalah bentuk hukuman yang diberikan oleh badan peradilan atau lembaga yang berwenang untuk menghukum pelaku usaha yang melanggar hukum perlindungan konsumen. Sanksi ini dapat berupa pidana penjara, denda, atau sanksi administratif, dan tujuan utamanya adalah untuk mencegah dan menghentikan pelanggaran hukum perlindungan konsumen, serta untuk memberikan keadilan kepada konsumen yang dirugikan. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, sanksi yang dikenakan terhadap pelaku usaha yang melakukan wanprestasi (melakukan
tindak pidana) dapat berupa sanksi administratif, sanksi pidana penjara dan denda, serta sanksi pidana tambahan. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Sanksi pidana penjara yang dikenakan dapat paling lama 5 tahun, dan denda dapat dikenakan dalam bentuk uang. Sanksi pidana tambahan dapat dikenakan jika pelaku usaha melalaikan tanggung jawabnya dan melakukan larangan-larangan yang disebutkan dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 18, serta Pasal 62 ayat (1) dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sanksi terhadap pelaku usaha yang melakukan wanprestasi juga dapat berupa sanksi perdata, seperti dikenakan dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Sanksi ini ditujukan untuk memperoleh keadilan bagi konsumen yang dirugikan dan untuk mencegah pelanggaran hukum perlindungan konsumen.
Dalam beberapa konteks, seperti dalam hukum Islam, sanksi terhadap pelaku usaha yang melakukan wanprestasi dapat berupa sanksi ta’zir yang hukumannya ditentukan sepenuhnya oleh ulil Amri, seperti dikenakan dalam beberapa contoh, seperti tindak pidana kepemilikan barang haram.
Dalam beberapa penelitian, sanksi terhadap pelaku usaha yang melakukan wanprestasi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan keberhasilan perlindungan konsumen. Sanksi yang tegas dan efektif dapat membantu mencegah dan menghentikan pelanggaran hukum perlindungan konsumen, serta memberikan keadilan kepada konsumen yang dirugikan.
Dalam beberapa analisis, sanksi terhadap pelaku usaha yang melakukan wanprestasi juga ditemukan memiliki keterkaitan dengan larangan-larangan yang disebutkan dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen, seperti larangan iklan yang mengandung informasi yang
tidak benar atau menyesatkan, serta larangan iklan yang menawarkan barang dan/atau jasa dengan tarif khusus.
2.6.6. Prisip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya.
Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
 Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
 Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
2.6.7 Kelebihan dan Kekurangan Perlindungan Hukum Konsumen
a). Kelebihan Perlindungan Hukum Konsumen
Adapun beberapa kelebihan dari perlindungan hukum konsumen tersebut yaitu;
 Hukum perlindungan konsumen memberikan landasan hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak konsumen dari praktik bisnis yang tidak adil dan merugikan.
 Adanya hukum yang jelas meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap pasar dan produk yang mereka beli, karena konsumen merasa lebih aman dan terlindungi sedikit.
 Bisnis terdorong untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan mereka untuk mematuhi standar yang ditetapkan, sehingga konsumen mendapatkan barang dan jasa yang lebih baik
 Hukum perlindungan konsumen seringkali menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan adil, seperti melalui mediasi atau pengadilan khusus konsumen, sehingga konsumen dapat menyelesaikan masalah tanpa harus melalui proses hukum yang panjang dan mahal.
 Dengan melindungi konsumen dari praktik bisnis yang merugikan, hukum ini membantu menciptakan lingkungan bisnis yang stabil dan sehat, yang mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
b). Kekurangan Perlindungan Hukum Konsumen
Dari beberapa kekurangan dari Perlindungan Hukum Konsumen yaitu sebagai berikut;
 Kurangnya Kesadaran dan Pendidikan Konsumen
 Penegakan Hukum yang Lemah
 Proses Hukum yang Rumit dan Panjang
 Keterbatasan Sanksi
 Pengawasan yang Tidak Efektif
lll.KESIMPULAN
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang
terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Kesadaran produsen akan hak-hak konsumen juga sangat dibutuhkan agar tercipta harmonisasi tujuan antara produsen yang ingin memperoleh laba tanpa membahayakan konsumen yang ingin memiliki kepuasan maksimum,
lV.PENUTUP
Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberi penjelasan dan dapat mengingatkan para pembaca bahwa kita sebagai konsumen memiliki hak-hak serta kewajiban yang harus kita laksanakan, dan kita juga memiliki perlindungan penuh atas hukum dan UU yang berlaku yang bisa digunakan kapan saja ketika diri kita endapat perlakuakuan yang tidak sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan bagi konsumen.
Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi para mahasiswa/mahasiswi, dan bisa dijadikan referensi dalam melakukan kajian-kajian ilmiah tentang hukum perlindungan konsumen.