• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia (Analisis Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia (Analisis Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Mercatoria

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria Dikirim: 12 Februari 2023; Ditinjau: 10 Mei 2023; Diterima: 13 Juni 2023

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia

(Analisis Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn) Legal Protection for Child Victims of Sexual Violence according to

Positive Law in Indonesia

(Analysis of Decision Number 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn) Wiwin Mawarni*, Rahmatul Hidayati & Abdul Rokhim Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang, Indonesia

*Coresponding Email: [email protected] Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji pengaturan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Indonesia dan untuk menganalisis dan mengkaji bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum kekerasan seksual secara represif di Indonesia. Masalah difokuskan pada perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Indonesia. Guna mendekati masalah ini dipergunakan acuan teori dari artikel atau karya yang sesuai dengan masalah penelitian. Data-data yang didapat dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi dokumentasi yang bersumber dari peraturan perundang- undangan yang terkait dengan masalah penelitian, buku-buku hukum yang mengandung konsep-konsep hukum, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian dan dianalisis secara kualitatif. Kajian ini menyimpulkan bahwa, Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual telah diatur secara spesifik dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang anak. Kasus kekerasan seksual di Indonesia sangat beragam dengan berbagai motif dan tindakan yang berbeda yang melibatkan berbagai pihak. Bentuk perlindungan hukum di Indonesia dalam praktek sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn yang memutus perkara tindak pidana melakukan ancaman kekerasan terhadap anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang tua secara berlanjut.

Kata Kunci: Perlindungan hukum; Anak Korban; Kekerasan Seksual.

Abstract

This article aims to analyze and examine legal protection arrangements for child victims of sexual violence in Indonesia and to analyze and examine how repressive legal protection for sexual violence is implemented in Indonesia. The problem is focused on legal protection for child victims of sexual violence in Indonesia. In order to approach this problem, theoretical references are used from articles or works that are appropriate to the research problem. The data obtained were collected through library research and documentation studies originating from laws and regulations related to research problems, legal books containing legal concepts, official documents, publications, and research results and analyzed qualitatively. This study concludes that legal protection for child victims of sexual violence has been specifically regulated in various laws and regulations concerning children.

Cases of sexual violence in Indonesia are very diverse with different motives and actions involving various parties.

The form of legal protection in Indonesia in practice is in accordance with applicable regulations. This can be seen in Decision Number 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn which decides on cases of criminal acts of threatening violence against children to commit obscene acts committed by parents continuously.

Keywords: Legal protection; Victim's Child; Sexual Violence.

How to cite: Mawarni, W., Hidayati, R., & Rokhim, A. (2023), Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia (Analisis Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn), Jurnal Mercatoria, 16 (1): 13-30.

(2)

PENDAHULUAN

Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari segala bentuk kejahatan. Perlindungan hukum menjadi salah satu perlindungan yang harus diberikan oleh negara agar memberikan keamanan dan kenyamanan serta keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara sehingga mampu menciptakan kehidupan sosial yang aman dan damai dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Perlindungan hukum harus diberikan kepada semua kalangan termasuk anak-anak yang secara kenyataan rawan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.

Anak adalah generasi yang akan meneruskan cita-cita bangsa dan sumber daya manusia yang akan menentukan kehidupan bernegara dimasa yang akan datang. Anak memiliki peranan yang penting sehingga untuk menjalankan peranannya di masa yang akan datang dan menjadikannya sebagai sumber daya manusia yang berkualitas maka anak perlu dipersiapkan dan memperoleh segala kebutuhannya baik fisik dan psikis, pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kejahatan atau perlindungan hukum terhadap segala kejahatan yang mengancam kehidupannya.

Sebelum dikategorikan sebagai orang dewasa, anak-anak terlebih dahulu mengalami masa-masa atau dunia anak- anak. Dalam masa atau dunia anak inilah yang akan menentukan, membentuk serta mempersiapkan anak dalam proses menuju pendewasaan. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial dan berakhlak mulia (Purnomo, Gunarto & Purnawan, 2018).

Pemberian jaminan terhadap pemenuhan hak-hak anak tanpa adanya pembeda atau diskriminasi menjadi salah satu upaya terhadap perlindungan dan pembinaan anak yang perlu dilakukan dengan sebaik- baiknya.

Seringkali anak dijadikan sebagai objek kekerasan dan tindak kriminal salah satunya yaitu kekerasan seksual.

Kekerasan seksual terhadap anak kian hari tak pernah usai. Anak seringkali menjadi korban kekerasan seksual dari keluarga terdekat, teman, maupun orang yang tak dikenal. Hal demikian terjadi lantaran anak dianggap sebagai objek yang lemah yang tidak mampu mempertahankan dirinya.

Pemikiran bahwa anak sebagai objek merupakan kesalahan fatal yang harus dirubah dan disadari oleh semua pihak maupun masyarakat umum secara luas.

Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari-19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual (Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2020). Sedangkan data SIMFONI PPA data yang diinput pada tanggal 1 Januari 2022 hingga saat ini (real time) terdiri dari data yang telah terverifikasi dan data yang belum terverifikasi (yaitu data yang diinput pada bulan berjalan bahwa terdapat 7. 458 Kasus Kekerasan 1.191 adalah korban laki-laki dan 6.865 adalah perempuan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2022). Peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia menjadi bukti bahwa anak masih sangat rentan mendapatkan kekerasan seksual. Perlindungan terhadap anak menjadi permasalahan yang penting untuk segera diatasi.

Salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang telah dijatuhi vonis oleh Pengadilan Negeri Kotabaru yang mengadili perkara pidana yang terjadi pada hari Senin tanggal 27 September 2021 pukul 12.00 wita di Desa Kerayan Utara Jl.

Lere Dalam RT 02 RW 01 Kecamatan Pulau Laut Kabupaten Kotabaru tepatnya di dalam sebuah Gudang kosong di belakang rumah Saksi dengan korban adalah Anak korban yang masih berumur 7 tahun dan

(3)

15 baru duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Kejadian tersebut bermula saat terdakwa sedang bermain handphone tiba- tiba Anak Korban mendatangi Terdakwa dan meminta uang, langsung saja Terdakwa memberikan uang senilai Rp. 2.000 (dua ribu rupiah) kepadanya, kemudian Terdakwa mengajak Anak Korban ke sebuah Gudang Kosong di belakang rumah Saksi, di tempat kejadian Terdakwa melakukan aksinya dengan duduk jongkok lalu meminjamkan handphone miliknya kepada Anak Korban sambil menonton video di aplikasi tiktok, Terdakwa kemudian memangku Anak Korban di atas pahanya lalu membuka paha Anak Korban hingga mengangkang dan selanjutnya Terdakwa memasukkan 1 jari tangannya ke dalam lubang vagina Anak Korban dengan cara memasukkan 1 jari tangan secara berulang-ulang. Pada saat kerjadian, Anak Korban sedang teralihkan perhatiannya karena asik menyaksikan tayangan video di handphone milik Terdakwa tanpa menghiraukan tangan Terdakwa yang sedang menusuk kemaluan Anak Korban, sesekali Anak Korban berontak karena kesakitan tetapi Terdakwa membujuknya dengan menunjukan video tiktok di handphone milik Terdakwa. Penyebab Terdakwa melakukan pelecehan kepada Anak Korban karena Terdakwa sering menonton film porno di handphone dan kemaluan Terdakwa yang sudah tidak bisa berdiri lagi. Sebelum maupun setelah melakukan pelecehan seksual Terdakwa tidak mengancam dengan kekerasan, namun dengan bujuk rayu meminjamkan handphone miliknya serta memberikan uang sejumlah Rp. 2.000 (dua ribu rupiah) kepada Anak Korban. Dalam Putusan Nomor 206/Pid.Sus/2021/PN ktb, memperhatikan Pasal 82 Ayat (1) Undang- undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana serta peraturan perundang- undangan lain yang bersangkutan atas perbuatannya Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tipu muslihat terhadap Anak untuk melakukan perbuatan cabul” dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda sejumlah Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan serta dibebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp. 2.5000,00 (dua ribu lima ratus rupiah).

Dari contoh kasus di atas dapat kita lihat bahwa Anak bukanlah objek yang menjadikan anak sebagai tempat untuk pelampiasan tindakan-tindakan buruk yang tidak betanggung jawab yang akan mengancam kehidupan anak, baik cara berpikir, tingkah laku, fisik maupun psikis bahkan mengancam nyawa seorang anak.

Anak dengan segala keterbatasanya dalam melindungi diri maupun bertindak perlu untuk dilindungi oleh semua pihak negara dalam perlindungan hukum dan penerapannya maupun masyarakat luas dalam menciptakan lingkungan terbaik untuk anak dalam tumbuh dan berkembang.

Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan di atas, terdapat beberapa hal yang menjadi tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menganalisis dan mengkaji dan pelaksanaan perlindungan hukum kekerasan seksual secara represif di Indonesia.

Penelitian yang pertama yaitu tesis yang ditulis oleh Salmah Novita Ishaq (2017) Konsentrasi Hukum Kepidanaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, memiliki kesamaan yaitu membahas bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan seksual dengan melihat dan mengkaji peraturan- peraturan yang secara khusus mengatur

(4)

tentang perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Penelitian dari Susiana Kifli dan Atika Ismail (2022) memiliki kesamaan yaitu membahas tentang hak korban kekerasan seksual sedangkan perbedaanya dengan Tesis yang ditulis oleh penulis terletak pada perlindungan korban dan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual serta kajiannya dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian Anggreany Haryani Putri (2021) Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya memiliki persamaan yaitu mengangkat perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual di Indonesia.

Teori yаng melаndаsi penulisаn ini diаntаrаnyа teori perlindungan hukum dаn Teori kebijakan penanggulangan kejahatan.

Teori tersebut аkаn digunаkаn sebаgаi pisаu аnаlisа dаlаm pembаhаsаn dаn untuk menjаwаb rumusаn mаsаlаh yаng аdа dаlаm penelitiаn, berikut ini аdаlаh pemаpаrаn dаri keduа teori tersebut antara lain: Teori Perlindungan Hukum dan Teori Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

Perlindungan hukum yaitu upaya atau bentuk pelayanan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum serta hal-hal yang menjadi objek yang dilindungi.

Sedangkan teori tentang perlindungan hukum menurut Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak (Raharjo, 2000).

Secara teoritis, menurut Philipus M. Hadjon bentuk perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: Perlindungan hukum preventif. Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah terjadinya

pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu- rambu dan batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Perlindungan hukum Represif. Perlindungan hukum Represif berfungsi untuk meyelesaikan apabila terjadi sengketa. Perlindungan hukum Represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi denda, penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum (Law enforcement policy). Pelaksanaan kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) terhadap penanggulangan kejahatan melibatkan semua komponen yang termuat dalam suatu sistem hukum (legal system) (Marlina, 2009). Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan. Kebijakan yang dilakukan termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (Marlina, 2009). Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan beberapa cara (Marlina, 2009), yaitu: Penerapan hukum pidana (criminal law application). Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment).

Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment). Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dibagi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “nonpenal” (bukan/di luar hukum

(5)

17 pidana). Menurut G. Pieter Hoefnagels, upaya pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Point 2 dan 3) termasuk upaya “nonpenal”. Penanggulangan kejahatan melalui jalur “penal”

menyangkut peradilan, tetapi bisa melalui nonperadilan. Bekerjanya fungsi aparatur penegak hukum sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan (Marlina, 2009).

Penanggulangan lewat jalur “penal”

lebih menitikberatkan pada sifat

repressive” (penindasan/pemberantasan /penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Jalur “nonpenal”

merupakan jalur penanggulangan dengan cara peningkatan nilai keagamaan, penyuluhan melalui pemuka masyarakat, dan kegiatan lainnya. Persoalan kejahatan tidak hanya diarahkan pada penyelesaian melalui proses peradilan, tetapi bisa melalui proses nonperadilan (Marlina, 2009).

Pendapat G. Pieter Hoefnagels tersebut secara tidak menunjukkan bahwa jalur penal atau jalur pidana bukan merupakan satu-satunya upaya penanggulangan kejahatan. G. Pieter Hoefnagels mengakui jalur nonpenal dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya penanggulangan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penilitian ini yaitu yuridis normatif.

Penelitian hukum normatif merupakan

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan Pustaka atau data sekunder (Soekanto & Mamudji, 2003).

Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip- prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Marzuki, 2010.). Pada penelitian jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas (Amiruddin dan Asikin, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan tentang kekerasan seksual terhadap anak dan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual menurut hukum positif di Indonesia.

Pendekatan Masalah yang digunakan meliputi 3 hal, yaitu Pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan konseptual (conceptual approach) dan Pendekatan kasus hukum (case approach)

Pada penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang- undangan (statute approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang- undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani (Marzuki, 2010), yaitu menggunakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap anak sebagai bahan acuan dasar dalam penelitian.

Pada penelitian ini menggunakan Pendekatan konseptual (conceptual approach) karena penelitian ini nantinya akan dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap prinsip-prinsip atau

(6)

pandangan doktrin yang sudah ada untuk kemudian memunculkan gagasan baru (Mulyadi, 2012). Penilitian ini menggunakan pendekatan dengan memberikan sudut pandang analisa penyelesaian permasalahan anak korban kekerasan seksual dilihat dari aspek konsep-konsep hukum yang melatarbelakangi dan dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan dalam undang-undang yaitu sebagai berikut:

Konsep anak; Konsep anak sebagai korban;

Konsep kekerasan seksual.

Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kasus hukum (case approach).

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Marzuki, 2015). Pendekatan ini digunakan untuk membangun argumentasi hukum dalam perspektif kasus kekerasan seksual terhadap anak secara konkrit yang terjadi dilapangan yang berkaitan erat dengan kasus atau peristiwa hukum yang terjadi di lapangan untuk mencari nilai kebenaran serta jalan keluar terbaik terhadap peristiwa hukum atau kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia.

Sumber bahan hukum didapatkan dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

Bahan hukum primer pada penulisan ini adalah kajian kepusatakaan peraturan perundang-undangan yang mengikat dan berkaitan dengan permasalahan serta putusan pengadi;an yang berkaitan dengan kekerasan seksual yaitu sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 7. Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-tndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang.

8. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

9. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

10. Putusan Nomor 8/Pid/Sus- Anak/2020/PN Mlg

11. Putusan Nomor

358/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Pst

12. Putusan Nomor

320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn

13. Putusan Nomor

290/Pid.Sus/2022/PN.Kpn

Bahan hukum sekunder yang digunakan pada penulisan ini yaitu buku tentang anak, artikel jurnal tentang anak, notulensi pembahasan peraturan perudang-undangan tentang anak, naskah akademik, doktrin, pendapat ahli, perjanjian, dan notulensi tentang anak yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Bahan hukum tersier yang digunakan adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus, dan artikel dari internet yang dapat dipertanggungjawabkan sumbernya untuk penelitian ini.

Teknik pengumpulan bahan hukum atau bahan pustaka dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan sumber bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian, kemudian menyeleksi bahan

(7)

19 hukum yang telah dikumpulkan untuk mendapatkan bahan hukum yang sesuai dengan penelitian. Bahan hukum yang telah lolos seleksi kemudian diklasifikasikan sesuai dengan bentuk bahan hukum yang ada. Setelah diklasifikasikan bahan hukum tersebut harus dianalisis sehingga dapat dicatat dan disimpulkan sesuai dengan isi dari bahan hukum yang ada.

Penelitian ini juga diperlukan data sekunder yakni data yang didapat dengan cara mempelajari buku-buku referensi kepustakaan berupa buku-buku hukum, berbagai macam peraturan perundang- undangan, dokumentasi dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, namun bahannya mempunyai relevansi kuat dengan masalah yang diteliti (Ali, 2010). Studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan.

Studi dokumentasi adalah salah satu metode yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi dalam bentuk buku, arsip, dokumen, tulisan angka dan gambar yang berupa laporan serta keterangan yang dapat mendukung penelitian dan dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data kemudian ditelaah.

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan yang telah dirumuskan (Soekanto, 2010). Metode deskriptif analistis berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap perlidungan hukum kepada anak korban kekerasan seksual di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaturan Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual di Indonesia

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai hak dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial dan ekonomi. Pemeliharaan kesejahteraaan anak tidak dapat dilaksanakan oleh anak sendiri maka demikian perlu kerjasama dan keterlibatan dari berbagai pihak. Pada Pasal 2 Undang- undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

(8)

Kesejahteraan Anak menyebutkan hak Anak yaitu; (1). Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; (2). Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.

Setiap orang juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan berhak untuk bebas dari segala penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia yang seutuhnya sebagaimana yang telah dijamin dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kekerasan seksual sangat bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta dapat mengganggu keamanan dan ketentraman kehidupan sosial masyarakat. Peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual harus optimal dalam memberikan pencegahan, perlindungan, akses keadilan, dan pemulihan, dan memenuhi kebutuhan hak korban tindak pidana kekerasan sesksual, serta dapat secara komprehensif dalam mengatur mengenai hukum acara tindak pidana kekerasan seksual.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum harus menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan hak asasi manusia.

Anak adalah amanah dan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita- cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa yang

akan datang. Setiap anak diharapkan mampu untuk memikul tanggung jawab besar tersebut, maka anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa adanya diskriminasi.

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menentukan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Gulton, 2014). Dalam kaitannya dengan persoalan perlindungan hukum bagi anak-anak maka dalam Undang-undang dasar 1945 pada pasal 34 telah ditegaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara”.

Hal ini menunjukan adanya perhatian serius dari dari pemerintah terhadap hak- hak anak dan perlindungannya.

Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menentukan bahwa: (1). Setiap anak selama dalam pengasuahan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi, b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, c.

penelantaran, d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, e. Ketidakadilan dan f.

perlakuan salah lainnya. (2). Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman (Gulton, 2014).

Adapun yang menjadi dasar dalam pelaksanaan perlindungan anak (Gulton,

(9)

21 2014) adalah: Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak;

Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak;

Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Pengaturan tindak pidana kekerasan seksual didasarkan pada asas yaitu: a).

penghargaan atas harkat dan martabat manusia, b). nondiskriminasi, c).

kepentingan terbaik bagi korban, d).

keadilan, e). kemanfaatan, dan f). kepastian hukum, (Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022). Sehingga dalam pelaksanaannya menjadi landasan dalam penanganan kekerasan seksual yang terjadi. Selain itu substansi dalam Undang- undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bertujuan untuk a). mencegah segala bentuk kekerasan seksual, b). menangani, melindungi, dan memulihkan korban, c).

melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, d). mewujudkan kekerasan seksual, dan e). menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual (Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022).

Adapun jenis kekerasan seksual yang termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual yang termuat dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 yaitu: Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas: Pelecehan seksual nonfisik;

Pelecehan seksual fisik; Pemaksaan kontrasepsi; Pemaksaan sterilisasi;

Pemaksaan perkawinan; Penyiksaan seksual; Eksploitasi seksual; Perbudakan seksual; dan Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: Perkosaan; Perbuatan cabul;

Persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan /atau eksploitasi seksual terhadap Anak; Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; Pornografi yang melibatkan Anak atau Pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; Pemaksaan pelacuran;

Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual;

Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu dalam Pasal 66 Undang- undang Nomor 12 Tahun 2022 juga mengatur hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual, sebagai berikut: Korban berhak atas Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Korban Penyandang Disabilitas berhak mendapat aksesibilitas dan akomodasi yang layak guna pemenuhan haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Proses Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan terhadap Korban diperoleh saat dilakukan pelaporan oleh Korban, Keluarga Korban, Wali Korban, atau Masyarakat kepada aparat penegak hukum,

(10)

lembaga pemerintah, atau lembaga nonpemerintah yang menangani Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pada Pasal 67 (1) berisi tentang hak korban yang mengalami kekerasan seksual yaitu meliputi; a) Hak atas penanganan; b) Hak atas perlindungan; dan c) Hak atas pemulihan. Pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara dan dillaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban (Pasal 67 (2)).

Pasal 68 menjelaskan hak korban atas Penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a meliputi: Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan; Hak mendapatkan dokumen hasil penanganan; Hak atas layanan hukum;

Hak atas penguatan psikologis; Hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis; Hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban; dan Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan dengan media elektronik.

Pasal 69 hak korban atas penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b meliputi: Penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan;

Penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan Perlindungan;

Perlindungan dari ancaman kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan; Perlindungan atas kerahasiaan indentitas; Perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban; Perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik; dan Perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan.

Korban kekerasan seksual harus mendapatkan pemulihan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 70 yaitu berisi tentang:

1) Hak korban atas pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat 1 huruf c meliputi: Rehabilitasi medis; Rehabilitasi mental dan sosial;

Pemberdayaan sosial; Restitusi dan/

atau kompensasi; Reintegrasi sosial.

2) Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan meliputi: Penyediaan layanan kesehatan untuk Pemulihan fisik;

Penguatan psikologis; Pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan; Pemberian informasi tentang layanan Pemulihan bagi korban; Pendampingan hukum;

pemberian aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas; Penyediaan bantuan transportasi, konsumsi, biaya hidup sementara, dan tempat kediaman sementara yang layak dan aman;

Penyediaan bimbingan rohani dan spiritual; Penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban; Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh korban; Hak atas informasi dalam hal narapidana telah selesai menjalani hukuman; dan Hak atas penghapusan konten bermuatan seksual dengan sarana elektronik.

3) Pemulihan setelah proses peradilan meliputi: Pemantauan, pemeriksaan, serta pelayanan Kesehatan fisik dan psikologis Korban secara berkala dan berkelanjutan; Penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban;

Pendampingan penggunaan restitusi dan/atau kompensasi; Penyediaan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lainnya yang dibutuhkan oleh korban; Penyediaan layanan jaminan sosial berupa jaminan kesehatan dan bantuan sosial lainnya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penilaian tim terpadu; Pemberdayaan ekonomi; dan Penyediaan kebutuhan lain berdasarkan hasil identifikasi UPTD PPA dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat.

(11)

23 Ketentuan lebih lanjut mengenai tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e diatur dengan Peraturan Presiden.

Selain hak korban kekerasan seksual, dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 juga mengatur hak keluarga korban yaitu yang terdapat dalam Pasal 71 yaitu:

1) Hak Keluarga Korban meliputi: Hak atas informasi tentang hak korban, hak keluarga korban, dan proses peradilan pidana sejak dimulai pelaporan hingga selesai masa pidana yang dijalani terpidana; Hak atas kerahasiaan identitas; Hak atas keamanan pribadi serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau diberikan; Hak untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata atas laporan tindak Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Hak asuh terhadap anak yang menjadi Korban, kecuali haknya dicabut melalui putusan pengadilan; Hak mendapatkan penguatan psikologis; Hak atas pemberdayaan ekonomi; dan Hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh keluarga korban.

2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak atau anggota Keluarga lain yang bergantung penghidupannya kepada korban atau orang tua yang bukan sebagai pelaku berhak atas:

Fasilitas Pendidikan; Layanan dan jaminan Kesehatan; dan Jaminan sosial.

Pemenuhan hak Keluarga Korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia serta diskriminasi terhadap perempuan, Anak, dan Penyandang Disabilitas melalui pengesahan beberapa konvensi internasional antara lain, Konvensi Internasional tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas; Protokol Opsional dan Konvensi Internasional tentang Hak- Hak Anak; dan Konvensi Internasional Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kekerasan seksual semakin marak terjadi di Masyarakat yang menimbulkan dampak luar biasa kepada korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, Kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan seksual juga sangat memengaruhi hidup korban. Dampak kekerasan seksual semakin menguat ketika korban merupakan bagian dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial, dan politik, atau mereka yang memiliki kebutuhan khusus, seperti Anak dan Penyandang Disabilitas (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur mengenai Pencegahan segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Penanganan;

Perlindungan; dan Pemulihan Hak Korban;

koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan kerja sama internasional agar Pencegahan dan Penanganan Korban kekerasan seksual dapat terlaksana dengan efektif. Selain itu diatur juga keterlibatan masyarakat dalam Pencegahan dan Pemulihan Korban agar

(12)

dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

Beberapa terobosan dalam Undang- undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual antara lain adalah: Selain pengualifikasian jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, juga terdapat tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; Terdapat pengaturan hukum acara yang komprehensif mulai tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tetap memerhatikan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, kehormatan, dan tanpa intimidasi; Hak Korban atas Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.

Selain itu, perhatian yang besar terhadap penderitaan korban juga terlihat dalam bentuk pemberian restitusi. Restitusi diberikan oleh Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai ganti kerugian bagi korban. Jika harta kekayaan terpidana disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan;

dan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual).

Berbagai terobosan baru yang digagas dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan seksual diharapkan akan mampu menekan angka kekerasan seksual yang dialami anak pada khusunya.

Kebijakan juga mengatur hukuman yang setimpal bagi para pelaku tindak pidana kekerasan seksual untuk memberikan efek jera dan keadilan bagi korban serta

menghindari adanya kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak sebagai korban.

Pengaturan perlindungan hukum yang kompleks perlu dibarengi dengan pengetahuan dan pemahaman berbagai lapisan masyarakat. Adanya sosialisasi dan penyuluhan tentang hak-hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual menjadi salah satu langkah efektif untuk melakukan antisipasi adanya kejahatan seksual terhadap anak serta dukungan dari orang tua maupun pihak terdekat anak sebagai orang yang mampu dipercaya dan bertanggung jawab terhadap diri anak.

Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual dalam Praktek di Indonesia

Berdasarkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban diberikan berbagai macam perlindungan hukum termasuk perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Menurut Undang- undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 15, Perlindungan adalah suatu bentuk yang diterima anak apabila ada keadaan dan kondisi tertentu untuk memperoleh jaminan keamanan dari bahaya yang membahayakan dirinya dan kehidupannya selama tumbuh kembang.

Kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun kian meningkat dan mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual dengan memberikan hukuman yang lebih tegas terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak serta anak yang menjadi korban dalam kekerasan seksual harus mendapatkan pemulihan atas hak-haknya yang dijamin oleh negara dalam perundang-undangan yang secara strategis mengatur dan melindungi anak dari kejahatan seksual.

(13)

25 Kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sangat beragam dengan berbagai motif dan tindakan yang berbeda yang melibatkan berbagai pihak seperti anak yang menjadi korban atau bahkan anak sekaligus menjadi pelaku.

Perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih memberikan berbagai kemudahan komunikasi antara satu sama lain serta akses informasi dengan mudah diperoleh melalui telepon genggam atau menggunakan sarana informasi lainnya.

Hal demikian seringkali disalahgunakan dan menimbulkan permasalahan yang serius dalam lingkungan kehidupan masyarakat. Penggunaan media internet dan sosial yang bebas dapat mempengaruhi pergaulan anak, apalagi jika penggunaannya tanpa dibarengi dengan tanggung jawab dan batasan serta pantauan dari orang tua.

Adapun pengaruh dampak buruk media sosial yang memberikan peluang lebih besar terjadinya kekerasan seksual terhadap anak dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Malang dengan putusan Nomor 8/Pid.Sus-Anak/2020/PN Mlg yang mengadili perkara pidana anak dan menjatuhkan putusan terhadap Tindak Pidana Persetubuhan terhadap Anak dengan bujuk rayu dan Tindak Pidana kekerasan terhadap anak.

Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa, Anak menjadi korban kekerasaan seksual dan mendapatkan kekerasan fisik sekaligus Anak yang menjadi pelaku. Hal demikian bisa terjadi lantaran karena berbagai faktor. Anak bisa dengan mudah untuk tertipu dan percaya dengan bujuk rayu. Perbedaan kekuatan fisik antara Anak Korban Perempuan dan Anak Korban laki- laki meyebabkan Anak Perempuan yang menjadi Korban tidak mampu melawan saat terjadinya kekerasan fisik dan permintaan persetubuhan dari Pelaku Anak.

Anak Korban dan Anak Pelaku yang menjalin hubungan pacaran meningkatkan

rasa saling percaya sehingga dengan tipu daya dari Anak Pelaku menyebabkan Anak Korban mengiyakan untuk melakukan hubungan suami istri dan terjadi berulang kali, tindak pidana lain pun terjadi seperti adanya kekerasan fisik dan tindakan Anak Pelaku menyuruh Anak Korban untuk menggugurkan kandungannya saat diketahui bahwa Anak Korban telah hamil.

Faktor lain yang menjadi pendukung terjadinya tindak pidana di atas terjadi karena kurangnya pengawasan dari orang tua Anak Korban dan orang tua Anak Pelaku, sehingga kejadian tersebut terjadi berulang kali dan tidak diketahui oleh keluarga, kerabat, maupun teman dari kedua belah pihak. Pergaulan yang cukup bebas untuk mengakses internet dan media sosial yang disalahgunakan untuk mengakses konten porno menyebabkan Anak Pelaku terpengaruh secara psikologis sehingga melakukan hubungan suami istri dengan Anak Korban.

Hal yang perlu diperhatikan dari kasus di atas adalah bahwa Anak yang masih dalam proses pertumbuhan harus terus mendapatkan pengawasan dan perhatian terutama dari keluarga. Seperti memperhatikan kebiasaan anak untuk bertemu orang lain maupun pergi ke tempat-tempat tertentu sehingga bisa diketahui tujuan dan kegiatan si Anak yang bersangkutan. Anak juga harus diberikan pemahaman dari dampak buruk dan resiko pergaulan dan hubungan yang melampaui batas seperti melakukan hubungan suami istri serta cara untuk menolak dan melawan saat terjadinya permintaan yang tidak seharusnya kepada Anak. Anak memerlukan sosok yang bisa mendampingi dan membuat Anak mampu bercerita dan menyampaikan hal-hal yang dialami seperti kekerasan seksual maupun kekerasan fisik untuk menghindari kejadian yang berlanjut dan terjadi berulang kali. Sosok pendamping bagi Anak dapat dilakuakn oleh orang tua, kerabat atau keluarga atau teman Anak untuk

(14)

memberikan rasa aman dan kepercayaan satu sama lain.

Peran serta masyarakat sekitar sangat berpengaruh untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual dalam lingkungan masyarakat. Perlu adanya sosialisasi dalam masyarakat untuk memberantas tindak pidana kekerasan seksual dengan menciptakan lingkungan yang saling memperhatikan satu sama lain serta memberikan rasa aman pada warga setempat. Pencegahan terjadinya kekerasan seksual juga dapat dilakukan dengan peningkatan edukasi dan sosilisasi tentang tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan masyarakat mapun lingkungan sekolah.

Selain kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak perempuan di atas, kekerasan seksual juga dapat dialami oleh Anak laki-laki. Adapun contoh kasus tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi terhadap Anak yang menyebabkan Anak menjadi korban perbuatan cabul (sodomi) yang termuat dalam Putusan dengan

nomor perkara Nomor

358/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Pst pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili perkara pidana pada peradilan tingkat pertama.

Dari kasus tersebut, dapat dilihat bahwa anak sangat rentan mendapatkan kekerasan seksual bahkan saat anak sedang berada di lingkungan yang ramai dan bermain bersama teman-temannya.

Kekerasan seksual juga tidak memandang jenis kelamin. Pada kenyataanya anak laki- laki seorang pelajar yang baru berusia 8 tahun mengalami pencabulan.

Keberanian Saksi Anak untuk menceritakan hal yang dialaminya kepada orang terdekat membantu dalam menangkap Terdakwa dan melaporkan ke pihak yang berwajib sehingga dapat diberikan hukuman yang setimpal.

Dukungan dan kerjasama dari keluarga dan masyarakat sekitar Saksi Anak memberikan dampak yang sangat signifikan untuk melindungi Saksi Anak

dari tindakan yang berulang dan adanya korban baru dari tindakan Terdakwa.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak juga bisa terjadi dalam lingkungan keluarga. Seperti kasus kekerasan seksual yang dilakukan ayah kepada anak tirinya yang termuat dalam Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn pelaku adalah seorang laki-laki yang berumur 58 tahun warga desa Purwodadi Kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang. Kejadian bermula sejak tahun 2020 terdakwa menikah dengan ibu korban, dan sebulan berikutnya Terdakwa melakukan perbuatan asusila/cabul terhadap anak MP (Inisial nama korban) yang masih berusia 13 (tiga belas) tahun.

Lingkungan keluarga bisa saja menjadi tempat yang tidak aman bagi anak.

Kasus di atas hanya salah satu contoh dari sekian banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan dalam lingkungan keluarga. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat bagi anak tumbuh dan berkembang bisa menjadi tempat yang merusak kehormatannya.

Anak harus diberikan pemahaman dan keberanian untuk menyampaikan hal buruk yang terjadi kepada orang yang dipercaya.

Perhatian orang tua terhadap perilaku anak sangat penting untuk mengetahui hal- hal yang anak lakukan untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang menyimpang maupun pergaulan bebas. Pada kebanyakan kasus anak bisa dengan mudah dirayu ataupun ditipu oleh orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap dirinya. Seperti halnya kasus yang terjadi di daerah Kecamatan Pakis Kabupaten Malang atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kepanjen. Pada Putusan Nomor 290/Pid.Sus/2022/Pn Kpn dijelaskan bahwa pelaku adalah seorang laki-laki berusia 19 (Sembilan belas) tahun atau kelahiran 2003 yang melakukan

(15)

27 persetubuhan dengan Anak korban yang berusia 15 tahun atau anak kelahiran 2006.

Untuk lebih jelasnya persamaan dan perbedaan serta pertimbangan dalam amar

putusan di atas, maka penulis menguraikan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1. Persamaan Dan Perbedaan Serta Pertimbangan Pada 4 Amar Putusan 1. Putusan Nomor 8/Pid/Sus-Anak/2020 PN MLg,

Pokok Perkara Tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya dan melakukan kekerasan kepada anak.

Pertimbangan Hukum Memperhatikan, Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah kedua dengan Undang- undang Nomor 17 tahun 2016, dan Pasal 80 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah kedua dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

Putusan Mengadili: 1). Menyatakan Anak pelaku telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya dan melakukan kekerasan kepada anak; 2). Menjatuhkan pidana kepada Anak pelaku oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pelatihan kerja selama 3 (tiga) bulan di LPKA Blitar; 3). Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Anak pelaku dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4). Menetapkan Anak pelaku tetap ditahan; 5). Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) unit Hp merek Oppo A5S warna Biru Dikembalikan kepada Anak Pelaku;

1 (satu) buah celana jeans warna biru; 1 (satu) buah kaos lengan panjang warna biru; 1 (satu) buah BH warna Pink; 1 (satu) buah celana dalam warna krem; 1 (satu) buah kerudung warna hitam bermotif dikembalikan kepada Anak korban; 6). Membebankan Anak pelaku untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.5.000 (llima ribu rupiah).

2. Putusan Nomor 358/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Pst

Pokok Perkara Tindak pidana dengan sengaja melakukan perbuatan cabul

Pertimbangan Hukum Memperhatikan Pasal 82 Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

Putusan Mengadili, 1). Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan perbuatan cabul” sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum dalam dakwaan tunggal; 2). Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan; 3). Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4). Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan; 5). Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) baju kaos lengan pendek warna merah hijau kuning; 1 (satu) celana pendek warna orange; 1 (satu) celana dalam berwarna abu-

(16)

abu; dikembalikan kepada yang berhak. 6). Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.2.000,00 (dua ribu rupiah).

3. Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn

Pokok Perkara Tindak pidana melakukan ancaman kekerasan terhadap anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang tua secara berlanjut.

Pertimbangan Hukum Memperhatikan Pasal 82 (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.

Putusan Mengadili (1). Terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan ancaman kekerasan terhadap anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang tua secara berlanjut” sebagaimana dakwaan tunggal, (2). Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama:

10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,00- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan, (3). Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, (4). Menetapkan Terdakwa tetap ditahan, (5).

Menetapkan barang bukti berupa 1 buah BH warna ungu dan 1 buah baju lengan panjang dirampas dan dimusnahkan, (6). Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

4. Putusan Nomor 290/Pid.Sus/2022/PN Kpn

Pokok Perkara Tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya.

Pertimbangan Hukum Memperthatikan, Pasal 81 ayat (1) jo Pasal 76 D Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perkara ini.

Putusan Mengadili, (1). Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya” sebagaimana dakwaan tunggal, (2). Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan, (3). Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, (4). Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan, (5). Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) buah baju batik lengan Panjang motif batik warna biru, 1 (satu) buah rok panjang warna hitam, 1 (satu) buah celana dalam warna biru, 1 (satu) buah BH warna krem dikembalikan ke Saksi korban, (6).

Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.

2.000,00 (dua ribu rupiah).

Pada empat contoh putusan pengadilan di atas dapat dlihat bahwa putusan tersebut memiliki persamaan yaitu anak laki-laki maupun perempuan berusia 7 tahun sampai 17 tahun yang menjadi

korban utama dalam kasus tersebut. Kasus tersebut memiliki kesamaan yaitu adanya bujuk rayu dan ancaman serta kekerasan dari pelaku saat anak mengalami kekerasan seksual sehingga anak cenderung

(17)

29 mengalami trauma secara psikis dan sakit secara fisik.

Kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja, terutama pada anak-anak yang masih rentan dan tidak mampu memberikan perlawanan. Kekerasan seksual harus dicegah oleh berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Kerjasama dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk menekan laju kenaikan kasus kekerasan seksual di Indonesia.

SIMPULAN

Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual di Indonesia secara spesifik telah dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang Anak yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Undang- undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang; Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi

yang harus dihapuskan. Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatur mengenai Pencegahan segala bentuk Tindak Pidana Kekerasan Seksual;

Penanganan; Perlindungan; dan Pemulihan Hak Korban; koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan kerja sama internasional agar Pencegahan dan Penanganan Korban kekerasan seksual dapat terlaksana dengan efektif. Selain itu diatur juga keterlibatan masyarakat dalam Pencegahan dan Pemulihan Korban agar dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.

Bentuk perlindungan hukum di Indonesia dalam praktek sudah sesuai denga peraturan yang berlaku. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa kasus yang termuat dalam beberapa putusan, yaitu:

Putusan Nomor 8/Pid/Sus-Anak/2020 PN MLg, yang memutus perkara tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya dan melakukan kekerasan kepada anak. Putusan Nomor

Putusan Nomor

358/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Pst Tindak pidana dengan sengaja melakukan perbuatan cabul. Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn yang memutus perkara tindak pidana melakukan ancaman kekerasan terhadap anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang tua secara berlanjut. Putusan Nomor 290/Pid.Sus/2022/PN Kpn yang memutus perkara tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Z., (2010), Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Amiruddin dan Asikin, H.Z., (2006), Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Gulton, M., (2014), Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, Bandung: Refika Aditama.

Ishaq, S. N. (2017). Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Kejahatan Seksual (Doctoral dissertation, Tesis Program Magister (S2)

(18)

Ilmu Hukum. Makasar: Universitas Hasanuddin).

Kifli, S., & Ismail, A. (2022). Analisis Hak Korban Korban Kekerasan Seksual dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam. Wajah Hukum, 6(2), 462-470.

Marlina, (2009), Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice, Bandung; Rafika Aditama.

Marzuki, P.M., (2010), Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Marzuki, P.M., (2010), Penelitian Hukum, Jakarta:

Kencana Prenada.

Marzuki, P.M., (2015), Penelitian Hukum Edisi Revisi, Bandung: PT Kharisma Putra utama, Mulyadi, M. (2012), Riset Desain Dalam Metodologi

Penelitian, Jurnal Studi Komunikasi dan Media, 16(1), 28.

Purnomo, B., & Gunarto, G. (2018). Penegakan Hukum Tindak Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Di Polres Tegal). Jurnal Hukum Khaira Ummah, 13(1), 45-52.

Putri, A. H. (2021). Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Korban Pelecehan Seksual Di Indonesia. Jurnal Hukum Pelita, 2(2), 14- 29.Raharjo, S., (2000), Ilmu Hukum, Bandung:

Citra Aditya Bakti.

Soekanto, S., & Mamudji, S., (2003), Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekanto, S., (2010), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Resolusi Nomor 109 Tahun 1990 diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Putusan Pengadilan

Putusan Nomor 206/Pid.Sus/2021/PN Ktb:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Putusan Nomor 8/Pid/Sus-Anak/2020/PN Mlg:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Putusan Nomor 358/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Pst:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Putusan Nomor 320/Pid.Sus/2022/PN.Kpn:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Putusan Nomor 290/Pid.Sus/2022/PN Kpn:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Website

Kementrian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Dipublikasikan Pada: Selasa, 23 Juni 2020, diakses Pada: Kamis, 28 April 2022,

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/p age/read/29/2738/angka-kekerasan- terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi- kemen-pppa-sosialisasikan-protokol- perlindungan-anak

Kementrian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Dipublikasikan Pada: I Januari 2022 hingga saat ini (real time), diakses Pada: Kamis, 28 April 2022,

https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkas an

Referensi

Dokumen terkait

Peran Keluarga Dalam Proses Rehabilitasi Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Di Surakarta (Studi Kasus Keluarga Dari Anak Korban Kekerasan Seksual Dampingan Yayasan

Berkaitan dengan sanksi pidana, meskipun KUHP belum secara spesifik mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual, pelaku pelecehan seksual di perguruan tinggi

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MELINDUNGI ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM.. LINGKUNGAN KELUARGA

Kekerasan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan penyakit menular seksual (PMS). Korban kekerasan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal

Adapun hak-hak korban dicantumkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban dikutip

Pengaturan perlindungan korban dalam Hukum pidana Positif Indonesia diatur dalam: Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memberikan perlindungan bagi anak terhadap kekerasan seksual,

Sesuai dengan penjelasan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual bahwasanya terkait dengan pemenuhan hak korban sudah cukup

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu hukum positif Indonesia tidak mengatur mengenai perlindungan hukum bagi korban kekerasan rumah tangga dalam perkawinan sirri, Namun Pada UU