• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI YURIDIS TERHADAP PENGATURAN HAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

N/A
N/A
iwan soleh

Academic year: 2023

Membagikan "IMPLIKASI YURIDIS TERHADAP PENGATURAN HAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

Judul Skripsi: Implikasi hukum terhadap pengaturan hak-hak korban kejahatan kekerasan seksual menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan hukum mengenai hak-hak korban kejahatan kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

AKIBAT HUKUM PENGATURAN HAK-HAK KORBAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12

Rumusan Masalah

Bagaimana hak-hak korban tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? Apa akibat hukum pengaturan hak-hak korban setelah berlakunya undang-undang no. 12 Tahun 2022 untuk tindak pidana kekerasan seksual.

Tujuan Penelitian

Menentukan dan menganalisis akibat hukum pengaturan hak-hak korban pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2022 tentang kejahatan kekerasan seksual.

Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Kerangka Konseptual

Implikasi hukum atau akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh hukum mengenai hal-hal yang berkaitan dengan suatu perbuatan yang dilakukan oleh suatu subjek hukum. Berdasarkan pengertian di atas maka yang dimaksud dalam tesis ini adalah akibat yang ditimbulkan oleh undang-undang mengenai hak atas pengobatan, perlindungan dan pemulihan yang diperoleh, digunakan dan dinikmati oleh korban perbuatan yang dilarang oleh suatu ketentuan hukum mengenai hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan. cara.

Landasan Teoritis

Gustav Radbruch mengatakan kepastian hukum adalah “Scherkeit des Rechts selbst” (kepastian hukum tentang hukum itu sendiri). Kepastian hukum adalah pelaksanaan undang-undang sesuai dengan ketentuannya, sehingga masyarakat dapat menjamin terlaksananya undang-undang tersebut.

Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Pendekatan peraturan perundang-undangan (legislative approach) merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menganalisis norma berbagai ketentuan hukum mengenai restitusi sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang. Undang-undang Nomor Bahan hukum primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu KUHP, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia. Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU

Sistematika Penulisan

Bab ini membahas mengenai pengaturan hukum terhadap hak-hak korban kekerasan seksual pasca disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Akibat Hukum Pengaturan Hak Korban Setelah Berlakunya UU No. 12 Tahun 2022 tentang kekerasan pidana. Tindakan kekerasan seksual.

Tindak Pidana Kekerasan Seksual 1. Pengertian Tindak Pidana

  • Unsur-Unsur Tindak Pidana
  • Pengertian Kekerasan Seksual
  • Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual
  • Ruang Lingkup Tindak Pidana Kekerasan Seksual
  • Dampak Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Kekerasan yang dilakukan oleh negara dan di dalam negara, yaitu kekerasan fisik, seksual, dan/atau psikis yang dilakukan, dibenarkan, atau dibiarkan terjadi oleh negara. Pengertian kekerasan seksual menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan martabat, menghina, menyinggung dan/atau merendahkan martabat. Naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjelaskan bahwa pelecehan seksual adalah setiap perbuatan fisik dan/atau nonfisik terhadap orang lain yang berkaitan dengan hasrat seksual, hasrat seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, yang mengakibatkan hilangnya nyawa. orang yang merasa terhina, terintimidasi, terhina dan/atau terhina.

Pelecehan seksual secara fisik, termasuk namun tidak terbatas pada sentuhan, gesekan, sentuhan, pelukan dan/atau ciuman. Pengertian eksploitasi seksual diatur dalam Pasal 13 RUU PKS, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, penipuan, serangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan. , sehingga seseorang melakukan hubungan seksual dengan dirinya atau orang lain dan/atau tindakan yang menggunakan tubuh orang tersebut yang berkaitan dengan nafsu seksual, dengan tujuan untuk memberi manfaat bagi diri sendiri atau orang lain. Perbuatan menggunakan kekuasaan dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, serangkaian kebohongan, nama palsu atau martabat dan/atau penyalahgunaan kepercayaan;

Tindak pidana prostitusi paksa adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan kekuasaan dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, serangkaian kebohongan, nama palsu, identitas atau martabat, atau penyalahgunaan kepercayaan, yang melacurkan seseorang dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri. dan/atau lainnya. Dilakukan dengan menggunakan kekerasan melalui kekerasan, ancaman kekerasan, serangkaian kebohongan, nama palsu, identitas atau martabat, dan/atau penyalahgunaan kepercayaan; Satu atau lebih tindakan kekerasan seksual berupa eksploitasi seksual, aborsi paksa, kawin paksa dan/atau prostitusi paksa;

Mengadili atau memberikan hukuman atas suatu perbuatan yang diduga dilakukan olehnya atau orang lain yang merendahkan atau merendahkan martabatnya; dan/atau. Tindak pidana penyiksaan seksual dapat dilakukan oleh pejabat dan/atau lembaga negara, perorangan, kelompok perorangan, dan/atau korporasi.

Korban Tindak Pidana 1. Pengertian Korban

  • Tipologi Korban
  • Hak-Hak Koraban Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental atau emosional, kerugian atau penelantaran ekonomi, pengurangan atau perampasan hak-hak dasar sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, ahli warisnya juga termasuk korban. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan jasmani, rohani, dan/atau ekonomi sebagai akibat suatu tindak pidana.” Tergantung pada persepsi kerugiannya, korban dapat diderita oleh individu, kelompok masyarakat, atau masyarakat luas. Korban non-kooperatif adalah mereka yang menyangkal kejahatan dan menjadi pelaku tetapi tidak berpartisipasi dalam pencegahan kejahatan.

Korban yang tidak berhubungan adalah mereka yang tidak mempunyai hubungan dengan pelaku dan menjadi korban karena mempunyai potensi. Korban yang lemah secara sosial adalah korban yang tidak mendapat perhatian dari masyarakat, misalnya para tunawisma yang tingkat sosialnya rendah. Korban yang menjadikan dirinya korban adalah korban perbuatan jahat yang dilakukannya sendiri (pseudo-victims) atau tanpa korban.

Pengaturan mengenai hak-hak korban dapat ditemukan dalam berbagai undang-undang yaitu KUHP, KUHAP dan UU PSK. Hak-hak korban dalam KUHP terdapat pada Pasal 14 C. Dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat, ditentukan ada syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh terpidana selama masa percobaan. Peraturan hukum mengenai hak korban kejahatan kekerasan seksual dalam hukum Indonesia.

Pengaturan Hukum Terkait Hak-Hak Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Reparasi adalah memberikan sesuatu kepada pihak yang menderita atau dalam hal ini korban tindak pidana kekerasan seksual yang mengalami kerugian. Jadi korban kejahatan kekerasan seksual yang dapat dilindungi undang-undang ini adalah korban yang memenuhi definisi kejahatan kekerasan seksual di atas. Hak atas perlakuan terhadap korban kekerasan seksual dalam UU Kekerasan Seksual tertuang dalam Pasal 68.

Perlunya mendekonstruksi ketentuan hak atas pangan korban kekerasan seksual dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini. Ketiga, dekonstruksi hak atas pengobatan menjamin hak korban untuk mengakses bantuan penghapusan konten kekerasan seksual di media elektronik. Dengan demikian, dekonstruksi hak menangani korban kekerasan seksual berperan penting dalam menjamin pengungkapan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual.

Dekonstruksi hak atas perlindungan korban kekerasan seksual dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjamin hak korban dalam tiga hal. Hak atas perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan tanggung jawab pemenuhannya yang melibatkan keluarga, masyarakat, lembaga penyelenggara negara dan pihak terkait lainnya. Pemenuhan hak atas perlindungan pendidikan, pekerjaan, dan akses politik menjadi tanggung jawab penyelenggara negara untuk mengeluarkan peraturan yang memuat jaminan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual.

Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Terkait Kekerasan Seksual di Indonesia

UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan bahwa kekerasan seksual termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga tidak lagi mengatur kekerasan dalam rumah tangga. Pengesahan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi dorongan bagi negara untuk hadir sebagai garda pertama dalam perlindungan korban tindak pidana kekerasan seksual.

Hadirnya UU Kekerasan Seksual merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya pencegahan dan penanganan segala bentuk kekerasan seksual. Bentuk perlindungan hukum yang juga diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah korban kejahatan kekerasan seksual mempunyai hak restitusi. Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyatakan bahwa korban mempunyai hak atas perlakuan, perlindungan dan pemulihan setelah terjadinya kekerasan seksual.

Undang-undang tindak pidana kekerasan seksual dalam hal ini berupaya untuk memastikan bahwa korban mendapatkan hak penuh dan merasa aman dari pelaku. Sesuai dengan penjelasan dalam Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Akibat hukum pengaturan hak-hak korban pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana.

Akibat Hukum Pengaturan Hak-Hak Korban Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana

UU Kekerasan Seksual memberikan payung hukum mengenai perlindungan kekerasan seksual yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya. Lahirnya undang-undang kekerasan seksual merupakan wujud komitmen pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan untuk menjamin hak-hak korban kekerasan seksual. Kewajiban menjamin kepastian hukum untuk memenuhi hak-hak korban tertuang dalam norma hukum yang diatur dalam Undang-Undang Kekerasan Seksual.

Penguatan dan penegasan hak-hak korban dalam undang-undang kekerasan seksual diciptakan untuk lebih menjamin posisi korban dalam pengobatan, perlindungan dan pemulihan. Pengaturan hak-hak korban kekerasan seksual dalam undang-undang kekerasan seksual lebih menekankan pada jaminan kepastian hukum, keadilan dan manfaat bagi korban kekerasan seksual. Pengaturan hak-hak korban kekerasan seksual dalam undang-undang kekerasan seksual dengan demikian memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi hak-hak korban.

Pengaturan hak korban seksual dalam UU Kekerasan Seksual lebih luas dan tegas tertuang pada Pasal 68 hingga Pasal 70 yaitu pengaturan hak atas pengobatan, perlindungan, dan pemulihan. Setelah standar hukum mengenai hak-hak korban kekerasan seksual telah ditetapkan dalam UU Kekerasan Seksual, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa standar-standar tersebut dapat diterapkan secara efektif. Pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak terkait harus berkomitmen untuk melaksanakan ketentuan pengobatan, perlindungan dan pemulihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kekerasan Seksual.

PENUTUP

Saran

Bagi pemerintah dalam hal ini lembaga eksekutif pemerintah, dalam implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan yaitu masih banyak pasal yang perlu dibenahi lebih lanjut. dijelaskan dalam peraturan. Sementara itu, peneliti sejauh ini belum menemukan peraturan pemerintah mengenai undang-undang kekerasan seksual. Pemerintah seharusnya bisa mengambil kebijakan untuk mewujudkan hak-hak korban kekerasan seksual dengan memberikan bantuan ekstra, sehingga korban tidak takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya.

Achmad Ali, Revealing Legal Theory & Judicial Prudence Including Laws (Legis Prudence) Volume I Initial Understanding, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010. Barda Nawawi Arief, Several Aspects of Legal Enforcement and Development Policy Criminal, Citra Aditya Bakti, Band, 1998, Band. Munandar Sulaeman en Siti Homzah (Red.), Violence Against Women Review in Various Disciplines and Cases of Violence, Refika Aditama, Bandung, 2010.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Kajian Singkat Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010. Yesmil Anwar, Ketika Anda Menuai Kejahatan: Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, UNPAD Press, Bandung, 2004.

Peraturan Perundang-Undangan

Jurnal

Referensi

Dokumen terkait

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT UNDANG-UNDANG. NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK

Bentuk Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap Korban Tindak Pidana Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15A. Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pertanggungjawaban pidana anak sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual pada anak tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja tetapi juga diatur

Berkaitan dengan sanksi pidana, meskipun KUHP belum secara spesifik mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual, pelaku pelecehan seksual di perguruan tinggi

Pemenuhan Hak-Hak Korban Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak hanya dapat dilakukan untuk tindak pidana yang telah memenuhi syarat dan ketentuan pelaksanaan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga RUU Pengha-

Kekerasan seksual pada anak merupakan faktor utama penularan penyakit menular seksual (PMS). Korban kekerasan seksual sering dikucilkan dalam kehidupan sosial, hal

Selain hak korban kekerasan seksual, dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 juga mengatur hak keluarga korban yaitu yang terdapat dalam Pasal 71 yaitu: 1 Hak Keluarga Korban meliputi: