• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA YANG DIRUMAHKAN AKIBAT DAMPAK COVID-19 BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA YANG DIRUMAHKAN AKIBAT DAMPAK COVID-19 BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan, agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan, minuman, sandang, tempat tinggal atau perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua, karena tujuan dari pekerja melakukan pekerjaan adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagaimana di dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Pekerjaan tersebut dapat diperoleh setiap orang melalui usaha sendiri ataupun mengikatkan dirinya dengan pihak lain, seperti instansi maupun perusahaan. Dalam hal orang yang akan bekerja dengan mengikatkan diri pada pihak lain tentunya dibutuhkan adanya campur tangan dari pihak pemerintah maupun pengusaha, karena tanpa adanya campur tangan dari kedua pihak tersebut setiap orang tidaklah dapat mengikatkan dirinya untuk bekerja agar memperoleh penghidupan yang layak.

Seseorang dikatakan sebagai pekerja/buruh apabila bekerja dengan mengikatkan dirinya pada perusahaan atau swasta, dan dikatakan pegawai apabila seseorang bekerja dengan mengikatkan dirinya pada pemerintah. Banyaknya masyarakat yang bekerja dengan mengikatkan diri dengan pihak lain khususnya pada perusahaan/swasta, maka hukum Ketenagakerjaan mengatur hubungan tersebut yang didasarkan adanya suatu hubungan kerja.

(2)

Hubungan kerja adalah hubungan (hukum) antara pengusaha dengan pekerja/buruh (karyawan) berdasarkan perjanjian kerja. Dengan demikian hubungan kerja tersebut adalah merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkrit,nyata. Dengan adanya perjanjian kerja, maka akan lahir perikatan. Dengan perkataan lain perikatan yang lahir karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja.

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (15) tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah dengan Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebutkan bahwa: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.” Dari pengertian hubungan kerja tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum yang lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.1

Dengan adanya hubungan kerja yang berdasarkan perjanjian kerja maka tercipta hak dan kewajiban dari para pihak, dimana hak pekerja yaitu menerima upah, upah tersebut dapat diberikan sesuai dengan jam kerja maupun banyaknya unit barang yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut, sedangkan hak pengusaha yaitu memperoleh hasil dari pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja.

Pentingnya upah bagi tenaga kerja juga diikuti dengan persoalannya yang begitu kompleks yang mengakibatkan upah pekerja menjadi berkurang. Keadaan ini dikarenakan kedudukan pekerja atau buruh yang lebih lemah dibandingkan dengan

1 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 63

(3)

kedudukan pengusaha. Keadaan ini tentu sering kali menimbulkan rasa ketidakadilan bagi para pekerja di Indonesia. Tidak jarang karena kondisi tertentu yang dialami oleh perusahaan semisal bangkrut atau berkurangnya pemasukan, para pengusaha sering mengambil tindakan untuk merumahkan pekerjanya bahkan hingga berujung kepada Pemutusan Hubungan Kerja.

Kondisi inilah yang banyak dialami para pekerja di perusahaan-perusahaan swasta akibat bencana non-alam Pandemi Covid-19 di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Kasus virus corona pertama kali diketahui menyebar melalui penyakit misterius yang melumpuhkan Kota Wuhan, China. Tragedi pada akhir 2019 tersebut terus berlanjut hingga penyebaran virus corona mewabah ke seluruh dunia. Metode penyebaran virus ini sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan. Hal tersebut membuat beberapa negara menerapkan kebijakan untuk memberlakukan lockdown dalam rangka mencegah penyebaran virus corona. Pemerintah Negara Indonesia sendiri menggunakan metode lockdown (kuncian) berupa kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus ini.2

Tentu dengan kebijakan tersebut, daya beli masyarakat semakin hari semakin menurun, perekonomian hampir lumpuh di berbagai sektor, banyak perusahaan maupun toko-toko hampir bangkrut sehingga hal ini mendorong para pengusaha kecil maupun menengah yang ada untuk mengeluarkan kebijakan merumahkan sebagian pegawainya guna mengurangi biaya pengeluaran perusahaan. Pegawai yang

2 Ari Fadli, Mengenai COVID-19 dan Cegah Penyeberannya dengan “Peduli Lindungi”

Aplikasi Berbasis Android , Jurnal Teknik Elektro, (Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman, 2020), hlm. 1

(4)

dirumahkan tersebut, seringkali tidak mendapatkan upah sebagaimana mestinya terlebih jika bekerja hanya sebagai buruh pada suatu perusahaan. Mereka dirumahkan begitu saja tanpa ada kejelasan kapan mereka harus bekerja lagi.

Adapun jika mereka mendapatkan upah, pengusaha tidak memberikan upah sebagaimana mestinya, upah yang diberikan setengah dari upah yang seharusnya diterima setiap bulanya. Bahkan, dengan alasan tidak adanya pemasukan, pihak perusahaan tidak memberikan Tunjangan Hari Raya kepada pegawainya. Pegawai yang dirumahkan tersebut banyak yang tidak tau harus melakukan apa dan bagaimana dalam menuntut hak mereka untuk mendapatkan upah selama dirumahkan. Tidak jarang karena kondisi yang tidak menentu, pegawai yang telah dirumahkan tersebut selama beberapa minggu bahkan beberapa bulan lamanya, menyebabkan pihak perusahaan dengan terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak akibat tidak adanya pemasukan selama masa pandemi Covid-19.

Di tengah pandemi Covid-19, banyak perusahaan mengambil kebijakan

“merumahkan” karyawan dengan berbagai alasan. Apalagi di saat pemberlakuan- pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Dalam penerapan PPKM darurat di berbagai daerah, sebagian sektor usaha non-eksensial dan non- kritikal dilarang beroperasi di kantor. Keadaan ini memberikan pengaruh besar terhadap karyawan.

Pada dasarnya baik pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Keternagakerjaan) maupun Undang- undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) yang mengubah sebagian ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan, tidak

(5)

mengatur secara spesifik mengenai pekerja yang dirumahkan hanya mengatur mengenai PHK.

Dalam hal karyawan tidak bekerja, Undang-undang menganut penggunaan istilah istirahat, baik itu harian, maupun mingguan, cuti maupun istirahat panjang yaitu pada Pasal 79 UU Cipta Kerja, termasuk kepada pekerjaan wanita yang melahirkan maupun keguguran pada pasal 82 UU Ketenagakerjaan. Dari sisi perusahaan terdapat istilah penutupan perusahaan (lock out) yang merupakan hak dasar pengusaha untunk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 UU Ketenagakerjaan).

Istilah “dirumahkan” muncul pada ketentuan Undang-undang, yakni Surat Edaran Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 mengatur tentang :

1. Pengusaha terhadap membayar upah secara penuh, yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.

2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirugikan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan.

Salah satu poin didalam SE tersebut menyebutkan bahwa bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antar

(6)

pengusaha dengan pekerja/buruh. Berdasarkan SE tersebut, memungkinkan pengusaha untuk merumahkan karyawan, dengan ketentuan tetap membayar upahnya.

Hak pekerja yang dirumahkan masih memiliki status sebagai pekerja dan terikat hubungan kerja dengan perusahaan, Sehingga tetap berhak atas hak-haknya sebagai pekerja, termasuk soal upah. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 88A ayat (1) UU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa hak pekerja/buruh yang dirumahkan masih berhak atas upah. Dengan demikian, apabila tidak diatur dalam perjanjian kerja bersama, maka pekerja/buruh yang dirumahkan masih berhak atas upah.

Dalam praktiknya/kenyatananya pekerja yang dirumahkan pada masa pandemi Covid-19 tidak menerima upah dengan alasan karena tidak melakukan pekerjaan dan bahkan tidak dipanggil lagi untuk bekerja meskipun situasi pandemi COVID-19 sudah mulai menurun.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul, ‘’Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Yang Dirumahkan Akibat Dampak Covid-19 Berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja’’

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka adapun rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang dirumahkan dan akibat pandemi COVID-19 ?

(7)

2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja terhadap perusahaan yang tidak memberikan hak tenaga kerja yang dirumahkan akibat dampak COVID-19 Berdasarkan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang dirumahkan akibat pandemi COVID – 19.

2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja terhadap perusahaan yang merugikannya/tidak memberikan hak-haknya yang dirumahkan akibat dampak COVID-19 berdasarkan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian selalu diharapkan dapat memberi manfaat baik bagi perkembangan ilmu hukum secara umum maupun bagi beberapa pihak. Penelitian ini memberikan beberapa manfaat yakni :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan ilmu hukum khususnya dalam hukum perdata tentang perlindungan perdata terhadap tenaga kerja yang dirumahkan akibat dampak COVID–19, selain itu penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pengembangan dan informasi bagi peneliti bagi peneliti yang ingin meneliti lebih lanjut terhadap hukum ketenaga kerjaan berdasarka UU Cipta Kerja yang baru.

(8)

2. Manfaat Praktis a) Bagi Perusahaan

Dapat meningkatkan kesadaran bagi perusahaan terhadap hak – hak tenaga kerja khususnya dalam pemberian upah maupun hak-hak lainnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan

b) Bagi Tenaga Kerja

Diharapkan tenaga kerja mampu memahami hak dan kewajibannya sebagaimana perjanjian kerja yang telah disepakati bersama perusahaan, serta memahami langkah dan upaya hukum yang dapat ditempuh jika hak-haknya tersebut tidak diberikan oleh perusahaan.

3. Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dan untuk mempelajari lebih dalam lagi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan khususnya pada era COVID-19 yang mengakibatkan banyak pekerja yang dirumahkan. Bagi peneliti penelitian ini dapat diharapkan untuk menambah pengetahuan peneliti khususnya mengenai perlindungan hukum bagi tenaga kerja dimasa pandemi berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020

(9)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hubungan Kerja

1. Pengertian Hubungan Kerja Dengan Perjanjian Kerja

Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan. Menurut Hartono Wisoso dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. 3

Tjepi F, Aloweir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dengan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu. Dalam Pasal 1 ayat (15) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyaiunsur pekerjaan, upah dan perintah. 4

Hubungan kerja menurut Imam Soepomo yaitu suatu hubungan antara seorang buruh atau seorang majikan, dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Para pihak

3 Hartono Judiantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992) Hlm 10

4 Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Industrial, Cetakan ke-11, (Jakarta: BPHN,1996) hlm 32.

(10)

terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh dengan memberi upah. 5

Selain itu Husnu dalam Asikin berpendapat bahwa hubungan kerja ialah hubungan antar buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak buruh mengikatkan dirinya pada pihak majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah. 6

Perjanjian kerja diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Perdata (selajutnya disebut KUHPerdata) yang berbunyi “perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang pihak atau lebiih mengikatkan pada dirinya pada pihak lainnya, dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat.

Perjanjian dapat pula diartikan sebagai hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan.7 Dalam perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak, yang dimaksut asas tersebut yaitu bahwa setiap orang boleh membuat perjanjian yang berisi macam apapun asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.8 Pengertian perjanjian kerja pertama kali disebutkan dalam ketentuan Pasal 1601 a

5 Imam Soepomo, Op. Cit Hal 19

6 Abdul Hakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi Cetakan Ke-4, (Jakarta: 2014, PT. Citra Aditya Bakti), hlm.39.

7 Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm9

8 Ibid

(11)

KUHPerdata yang berbunyi perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perinahnya pihak yang lain si majikan, untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.

Kalimat “di bawah perintah pihak lain” menyatakan bahwa adanya hubungan antara pekerja dengan majikan yaitu hubungan antara bawahan dan atasan, pengusaha memberikan perintah kepada pekerja untuk melakukan pekerjaan tertentu. Wewenang untuk memerintah yang membedakan antara perjanjian kerja dan perjanjian lainnya.

Menurut R. Imam Soepomo, perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan dirinya untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya. Majikan yang mangikatkan dirinya untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah. 9

Menurut Subekti, perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang

“buruh”dengan seorang”majikan” perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri;adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjian dan adanya suatu hubungan diperatas (bahasa Belanda “dierstverhanding”) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain.10

Prinsip yang menonjol didalam perjanjian kerja adalah adanya keterkaitan antara seorang buruh kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja dibawah perintah

9 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan-Kerja Bhayangkara, (Jakarta: 1968) hlm 75.

10 Subekti

(12)

dengan menerima upah.11 Di dalam prinsip perjanjian kerja terdapat unsur perjanjian kerja yang dapat dianggap sah dan konsekuensinya telah dianggap sebagai Undang- undang bagi mereka yang membuatnya, dalam setiap perjanjian terdapat dua macam subyek perjanjian, yaitu:

1. Seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu

2. Seorang manusia atau badan hukum yang mendapatkan ha katas pelaksanaan kewajibanha itu.12

Dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

2. Syarat-syarat Perjanjian Kerja

Syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya

Kata sepakat adalah bahwa kedua subjek yang membuat perjanjian itu harus bersepakat, kedua belah pihak harus setuju mengenai hal-hal pokok yang ada didalam perjanjian, tanpa adanya suatu paksaan (dwang), kekeliruan

11 Halim dkk, Sari Hukum Tenaga Kerja (buruh)Aktual,(Jakarta:PT. Pradnya Paramita, 1997)hlm.12.

12 Ibid

(13)

(dwang), dan penipuan (bedrog).13 Kata sepakat merupakan unsur utama dari ke empat syarat suatu perjanjian, menurut

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian

Pada Pasal 1330 KUHPerdata, menyatakan bahwa orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :

1. Orang yang belum dewasa, Menurut Pasal 1330 KUHPerdata,orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun, atau yang berumur kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Sehingga dari ketentuan tersebut, para pihak yang termasuk dalam kriteria diatas tidak dapat membuat suatu perjanjian dan sebaliknya jika para pihak tidak termasuk didalam ketiga kriteria diatas maka para pihak mempunyai hak untuk mempunyai hak untuk membuat suatu perjanjian.

2. Para pihak yang berada di bawah pengampuan

3. Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-undang pada umumnya semua orang kepada siapa telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata,orang dewasa adalah orang yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun, atau yang berumur kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Dari ketentuan tersebut, para pihak yang termasuk dalam kriteria di atas tidak dapat membuat suatu perjanjian dan sebaliknya jika para pihak tidak termasuk di

13 Imam Soepomo,pengantar hukum perburuhan,(Jakarta:djambatan,1998),hlm 22

(14)

dalam ketiga kriteria di atas maka pihak tersebut mempunyai hak untuk membuat suatu perjanjian.

c. Suatu hal tertentu

Suatu perjanjian harus mempunyai obyek tertentu, menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu perjanjian harus dapat menentukan jenisnya baik mengenai benda berwujud, yang menjadi obyek sebuah perjanjian harus ditentukan jenisnya atau suatu barang yang kemudian hari bisa menjadi suatu obyek dari sebuah perjanjian, hal ini terdapat dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata

d. Suatu sebab yang halal

Dalam perjanjian kerja yang dimaksud dengan suatu sebab halal adalah bahwa isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang, moral, adat istiadat, kesusilaan dan sebagainya, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini dibedakan menjadi dua yaitu :

Pasal 52 yang berisikan syarat-syarat materil seperti kesepakatan antara kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban. “adanya pekerjaan yang diperjanjikan” maksut semua orang bebas untuk melakukan suatu hubungan kerja apabila pekerjaanya jelas yaitu pekerjaan.

(15)

Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyambut bahwa perjanjian kerja dibuat dengan cara tertulis yang berisikan :

a.) Nama, almat, perusahaan dan jenis usaha, b.) Nama, jenis kelamin,umur dan alamat pekerjaan c.) Jabatan atau jenis pekerjaan

d.) Tempat pekerjaan

e.) Besaran upah dan cara pembayaran

f.) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha pekerja

g.) Mulai jangka waktu berlakunya perjanjian kerja h.) Tempat dan tanggal perjanjian kerja yang dibuat i.) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja

Jadi secara garis besar dapat disimpulkan syarat perjanjian kerja harus mempunyai kesepakatan antara kedua belah pihak, itikad yang baik menjadi dasar dalam setiap perjanjian sehingga dapat menjadi cerminan keseimbangan antara hak dan kewajiban, kedua belah pihak cakap dalam melakukan tindakan hukum (sesuai dengan Pasal 1329 KUHPerdata), adanya pekerjaan yang dijanjikan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang- undang.

Apabila perjanjian kerja yang dibuat itu bertentangan dengan ketentuan huruf a dan b maka akibat hukumnya perjanjian kerja dapat

(16)

dibatalkan, sedangkan apabila bertentangan dengan ketentuan huruf c dan d maka akibat hukumnya perjanjian batal demi hukum.

3. Asas-Asas Dalam Perjanjian Kerja

Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas tersebut.14 Asas berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi berdassarkan mana hukum dapat dijalankan. Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas- asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk kedalam hukum. Dengan demikian, asas hukum menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan nilai-nilai etis, mora, dan sosial masyarakatnya.15

Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum pada akhirnya dapat dikembalikan pada asas-asas tersebut.16 Asas hukum berfungsi sebagai pedoman atau arahan orientasi berdasarkan mana hukum dapat dijalankan. Asas hukum tersebut tidak hanya berguna

14 Johannes Ibrahim dan Lindawaty sewu,Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern.cetakan 2,(Bandung:Refika Aditama,2007)Hlm 50

15 Satjipto Rahardjo, Peranan dan Kedudukan Asas-asas Hukum Dalam Kerangka Hukum Nasional,(Jakarta:2000)

16 Ibrahim dan Sewu,loc.it.

(17)

sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi juga dalam hal menerapkan aturan.17

Di dalam hukum perjanjian dikenal 5 (lima) asas penting yaitu :18 1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract ).

Dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Berdasrkan asas kebebasan berkontak, maka orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Ruang lingkup asas kebebasan berkontak, menurut hukum perjanjian Indonesia adalah : kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan dibuatnya, kebebasan untuk menentukan objek perjanjian, kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian, dan kebebasan untuk menerima atau menyimpang

17 Kamilah,Op.cit,.Hlm 97

18 Salim H,S,HukumKontrak:Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,(Jakarta:Sinar Grafika,2010),Hlm 9

(18)

ketentuan Undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend,optional).19

Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini tidaklah mutlak, KHPerdata memberikan pembatasan atau ketentuan terhadapnya, inti pembatasan tersebut dapat dilihat antara lain:

a. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, bahwa perjanian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya sepakat dari pihak yang membuatnya;

b. Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata, kebebasan yang dibatasi kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

c. Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 Perdata, menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan ketertiban umum;

d. Pasal 1332 KUHPerdata batasan kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian tentang objek yang diperjanjikan.

e. Pasal 1332 KUHPerdata, tidak adanya kekuatan hukum untuk suatu perjanjian tanpa sebab, atau sebab yang palsu atau terlarang;

dan

f. Pasal 1337 KUHPerdata, larangan terhadap perjanjian apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum.

2. Asas Konsesualisme (concesnualisme),

19 Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontak Dan Perlindungan Yang SeimbangBagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia,(Jakarta:institute Bankir Indonesia,1993),Hlm 147

(19)

Asas ini mempunyai arti yang terpenting, bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karena) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus. Untuk terjadinya sebuah persetujuan pada umumnya persesuaian kehendak yang memenuhi persyaratan- persyaratan tertentu adalah sebuah kontrak yang sah menurut hukum.20 Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antar kedua belah pihak.

3. Asas Pacta Sunt Servanda.

Baik dalam sistem terbuka yang dianut oleh hukum perjanjian ataupun bagi prinsip kekuatan mengikat, kita dapat merujuk pada Pasal 1374 ayat (1)BW (lama) atau Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata:

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Adagium (ungkapan) pacta sunt servanda diakui sebagai aturan bahwa semua persetujuan yang dibuat oleh manusia secara timbal balik pada hakikatnya bermaksut untuk dipenuhi dan jika perlu dapat dipaksakan, sehinga secara hukum dapat mengikat.21 Dengan kata lain, perjanjian yang diperbuat secara sah dapat berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para pihak

20 Budiono,Op.Cit,.Hlm.98

21 Ibrahim dan Sewu,Op,Cit,.Hlm.98

(20)

yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) dan pihak harus mentaati yang telah mereka sepakati bersama.

4. Asas Itikad Baik.

Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sebenarnya itikad baik yang disebut dalam bahasa Belanda dengan te goeder trouw, yang sering juga diterjemahkan dengan kejujuran, dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu :

(1) Itikad baik pada waktu akan mengadakan perjanjian

(2) Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.22

Adapun suatu perjanjian yang dilaksanakan dengan itikad baik atau tidak, akan tercermin pada perbuatan-perbuatan nyata orang yang melaksanakan perjanjian tersebut. Meskipun itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian itu terletak pada hati sanubari manusia yang sifatnya subjektif, tetapi itikad baik itupun dapat diukur juga secara objektif.

5. Asas Kepribadian (personality).

Asas kepribadian tercantum dalam Pasal 1340 KUHPerdata: “ suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak

22 Wirjono Prodjodikoro,Azas-azas Hukum Perdata,cetakan 7,(Bandung:Sumur Bandung,1979),Hlm 56

(21)

ketiga; tidak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur pada pasal 1317.”23 Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagai pengantar dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan:

“dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Sedangkan didalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

4. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dari perjanjian yang dimana masing-masing memiliki ciri khusus yang dimana membedakan dengan yang lainnya, yang keseluruhn bentuk perjanjian harus memiliki asas hukum, sahnya suatu perjanjian, subjek atau obyek yang diperjanjikan. Dalam sebuah syarat berkontrak masing-masing pihak harus memenuhi antara hak dan kewajiban yang tercantum dalam asas kebebasan berkontak yang sering kita kenal dengan istilah (idea of freedom of contract) yaitu seberapa jauh pihak-pihak saat mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka dalam

23 Surbekti Dan Tjitrosudibio,Op,Cit,.Hlm 13

(22)

perjanjian serta seberapa jauh hukum mengatur hubungan kedua belah pihak.

Perjanjian kerja dalam bahasa belanda adalah Arbeidsoverenkoms, yang mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 ayat (a) KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut:”perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1(satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, simajikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”

Dalam UU Keternagakerjaan ada 3 unsur hubungan kerja yang terdapat dalam perjanjian kerja. Ketiganya adalah unsur pekerjaan, unsur upah, serta unsur perintah. Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan menyatakan sebagai berikut:”hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaa, upah, dan perimtah.” Namun apabila dicermati dalam perjanjian kerja dalam KUHPerdata, ada satu unsur hubungan kerja lainnya, yaitu waktu.

a. Unsur Work atau Pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada perjanjian pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seijin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata 1603 a yang berbunyi “buruh wajib melakukan sendiri pekerjaanya; hanya dengan seijin majikan dapat menyuruh orang ketiga

(23)

menggantikannya.” Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahlian, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.

b. Adanya Unsur Perintah

Unsur perintah dalam sebuah hubungan kerja artinya ada pihak yang memberi perintah da nada yang wajib melakukan perintah itu, yaitu pekerja. Unsur perintah dapat dimaknai luas, misalnya berupa target kerja, instruksi, dan lain-lain. Kewajiban pekerja untuk tunduk pada perintah perusahaan/majikan. Diatur dalam KUHPerdata Pasal 1603b:”buruh wajib menaati aturan-aturan pelaksana pekerjaan dan aturan-aturan yang dimaksutkan untuk perbaikan tatatertib perusahaan majikan yang diberikan oleh atau atas nama majikan dalam batas-batas aturan perundang-undangan, perjanjian atau reglemen,atau jika ini tidak ada,dalam batas-batas kebiasaan.”

c. Upah

Defenisi upah dalam Pasal 1 angka 30 dalam UU Ketenagakerjaan ialah:”hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan

(24)

dilakukan.”Ada beberapa kebijakan pemerintah yang perlu diperhatikan untuk menetapkan upah untuk pekerja, antara lain kebijakan tentang UMP (Upah Minimum Provinsi), tentang struktur dan skala pengupahan, dan lain sebagainya.

d. Waktu

Unsur waktu menandai lamanya periode perjanjian kerja tersebut berlaku bagi kedua belah pihak, yakni:

40 jam perminggu

7 jam perhari untuk pola kerja 6:1 8 jam perhari, untuk pola kerja 5:2

Ada hak cuti/istirahat (istirahat antar jam kerja, istirahat mingguan, dan istirahat tahunan, istirahat alasan penting (yang ditentukan undang-undang/diperjanjikan))

5. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja

Perubahan aturan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sesuai dengan PP nomor 35 tahun 2021. Sebagaimana kita ketahui bahwa aturan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu yang dulu diatur dalam undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 pasal 59 sekarang menjadi berada dalam UU cipta kerja nomor 11 tahun 2020. terdapat beberapa perubahan aturan mengenai PKWT. Perubahan-perubahan tersebut dirincikan dalam PP nomor 35 tahun 2021 sebagai berikut :

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

(25)

UU Cipta kerja menghapus Pasal 59 UU ketenagakerjaan tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha atau perusahaan untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu. Atau untuk jenis pekerjaan tertentu. PKWT juga mengatur kedudukan atau jabatan, gaji atau upah pekerja, tunjangan, serta fasilitas pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi. Perusahaan hanya bisa melakukan PKWT maksimum dua tahun dan hanya boleh perpanjangan satu kali untuk perpanjangan maksimum satu tahun. Setelah itu, perusahaan wajib mengangkat pekerja sebagai karyawan tetap jika ingin terus mempekerjakannya. Dalam PKWT sering terjadi, praktik lain setelah kontrak selesai, pekerja melamar lagi padda perusahaan yang sama.

UU Cipta Kerja tidak lagi mengatur batasan waktu bagi skema kontrak kerja berdasarkan waktu tertentu. Pemerintah menilai, pengaturan batasan maksimal PKWT selama tiga tahun dalam UU Ketenagakerjaan tidak fleksibel dan memberatkan dunia usaha.

Ada materi yang disisipkan dalam pasal 61A tentang kewajiban dari kompensasi dari pengusaha ketika jangka waktu PKWT berakhir. Pengusaha memberikan kompensasi kepada pekerja dengan masa kerja minimal satu tahun diperusahaan yang bersangkutan. Detail mengenai mekanisme kompensasi ini baru

(26)

akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU Cipta kerja.

2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”)

Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.PKWTT dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan dan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan terkait.

UU cipta kerja menghapus Pasal 59 UU ketenagakerjaan yang salah satu substansinya mengatur tentang konsekuensi hukum bagi perusahaan yang tidak memenuhi syarat-syarat PKWT.

Konsekuensi itu berupa diangkatnya pekerja dari PKWT menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Keberadaan konsekuensi ini, merupakan salah satu perlindungan bagi pekerja PKWT. Selama ini, Pasal 59 UU ketenagakerjaan menjadi landasan bagi hakim yang mengadili perkara hubungan dalam kasus PKWT. Hakim menggunakan pasal 59 untuk memberi hak pekerja PKWT yang mengalami pelanggaran. Dengan dihapusnya Pasal 59 UU ketenagakerjaan, terdapat kekhawatiran bahwa pelanggaran hak pekerja PKWT akan semakin Pasif tanpa ada pertanggungjawaban dari pemberi kerja

(27)

B. Tinjauan Umum Tetang Pekerja Yang Dirumahkan 1. Pengertian Pekerja Yang Dirumahkan

Selama pandemi covid-19, banyak perusahaan yang merumahkan karyawan karena bisnis mereka mengalami penurunan drastis, terutama yang bergerak di sektor parawisata dan manufaktur. UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 tidak mengatur ketentuan mengenai perusahaan yang merumahkan karyawan. Meski demikian praktik ini sering dilakukan perusahaan untuk melakukan PHK terhadap karyawan.

Jika keadaan membaik karyawan akan dipekerjaan kembali

Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang- undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah sebagian ketentuan UU Ketenagakerjaan tidak mengatur mengenai pekerja yang dirumahkan.

Ketentuan terkait pekerja yang dirumahkan dapat diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.SE-05/M/BW/1998 tahun 1998 tentang upah pekerja yang dirumahkan bukam ke arah pemutusan hubungan kerja.

Pengusaha yang mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap Ketenagakerjaan, harus melakukan upaya-upaya tertentu sebelum akhirnya melakukan PHK kepada karyawan. Salah satu upaya yaitu meliburkan atau merumahkan pekerja atau buruh secara bergilir untuk sementara waktu. Berdasarkan SE tersebut, maka pengusaha dimungkinkan merumahkan pekerja sebagai upaya untuk menghindari terjadinya PHK.

SE Menaker 907/2004 menjelaskan pula bahwa rencana merumahkan karyawan tersebut perlu dibahas terlebih dahulu dengan serikat pekerja atau wakil pekerja apabila perusahaan tersebut tidak memiliki serikat pekerja untuk

(28)

mendapatkan kesepakatan secara Bipartit sehingga kemungkinan terjadinya PHK dapat dicegah. Berdasarkan ketentuan di atas, tindakan merumahkan pekerja ialah upaya perusahaan yang sedang dalam kondisi kesulitan untuk mencegah terjadinya PHK, dalam artian bahwa pekerja tersebut tetap dipertahankan sebagai pekerja.

Selain itu, sebagaimana diatur dalam pasal 81 ayat 16 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat 1 UU ketenagakerjaan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh sebagaimana dijelaskan dalam pasal 50 UU Ketenagakerjaan. Adapun perjanjian kerja baru berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:

1. Pekerja meninggal dunia

2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja 3. Selesainya suatu pekerjaan tertentu

4. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Dengan demikian, apabila hal-hal di atas tidak terjadi, pekerja yang di rumah kan masih tetap berstatus sebagai pekerja di perusahaan tersebut.

2. Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Pekerja yang Dirumahkan

Di tengah pandemi covid 19, banyak perusahaan yang mengambil kebijakan

"merumahkan" karyawan dengan berbagai alasan. Apalagi, disaat pemberlakuan

(29)

pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Dalam penerapan PPKM darurat di berbagai daerah, sebagian sektor usaha non esensial dan non kritikal dilarang beroperasi di kantor. Imbasnya, salah satunya terhadap karyawan. Pada dasarnya, baik pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah sebagian ketentuan UU Ketenagakerjaan, tidak mengatur secara spesifik mengenai pekerja yang di rumahkan.

Dalam hal karyawan tidak bekerja, UU menganut penggunaan istilah istirahat, baik itu seharian maupun mingguan, cuti maupun istirahat panjang (Pasal 79 UU Cipta Kerja), termasuk terhadap pekerja wanita yang melahirkan maupun keguguran (Pasal 82 UU Ketenagakerjaan). Dari sisi perusahaan terdapat istilah penutupan perusahaan (lock out) yang merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 146 UU Ketenagakerjaan). Istilah dirumahkan muncul pada ketentuan di bawah Undang-undang, yakni pada surat edaran menteri tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/ 1998 tentang upah pekerja yang di rumah kan bukan kearah pemutusan hubungan kerja (" SE Menaker No. 5/1998"). SE itu mengatur:

1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh, yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama bekerja di rumahkan, kecuali telah diatur lain dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.

2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirugikan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama di rumahkan dan lamanya di rumahkan .

(30)

Istilah dirumahkan juga terdapat pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tahun 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE Menaker 907/2004”). SE itu menyebutkan, dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, harus melakukan upaya-upaya tertentu sebelum akhirnya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) kepada karyawan.

Salah satu upayanya, yaitu meliburkan atau merumahkan tenaga kerja secara bergilir untuk sementara waktu. Berdasarkan Surat Edaran tersebut, rencana merumahkan karyawan dapat diterapkan, namun pelaksanaannya perlu dibahas terlebih dahulu dengan serikat tenaga kerja atau wakil tenaga kerja untuk mendapatkan kesepakatan secara bipartit guna menghindari kemungkinan terjadinya PHK.

Sementara, terkait dengan Pandemi Covid-19, pada Maret 2020, pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan tenaga kerja dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. SE itu seharusnya menjadi acuan penerapan kebijakan terkait ketenagakerjaan di tengah Pandemi Covid-19.

Salah satu poin di dalam SE tersebut menyebutkan bahwa bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh tenaga kerja tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara

(31)

pembayaran upah tenaga kerjadilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan tenaga kerja. Berdasarkan SE tersebut, memungkinkan pengusaha untuk merumahkan karyawan, dengan ketentuan tetap membayar upahnya. Mengenai besaran upahnya, hal itu didasarkan pada kesepakatan kedua pihak. Permasalahan yang terjadi saat ini tidak jarang pelaku usaha yang “memanfaatkan” situasi saat ini dengan dalih efisiensi, kemudian merumahkan pegawainya tanpa adanya sosialisasi, tanpa mengajak karyawan membuat kesepakatan bersama. Bahkan ada pula yang sampai membuat kebijakan sepihak untuk tidak melakukan pembayaran upah sama sekali dengan menerapkan kebijakan unpaid leave atau cuti tidak dibayar, dengan jangka waktu yang tidak diatur jelas. Tenaga kerja yang dirumahkan masih memiliki status sebagai tenaga kerja dan terikat hubungan kerja dengan perusahaan, sehingga tetap berhak atas hak-haknya sebagai tenaga kerja, termasuk soal upah. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 88A ayat (1) Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dimana :

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.

(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.

(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih

(32)

rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda pengusaha dan/atau pekerja/buruh pembayaran upah.

Jadi berdasarkan ayat (2) peneliti dapat menyimpulkan bahwa hak pekerja ataupun tanggung jawab dari setiap perusahaan atau pengusaha terhadap pekerjanya yang dirumahkan atau diliburkan masih berhak untuk menerima upah sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, selama belum terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) karena status karyawan/pekerja yang dirumahkan masih berstatus sebagai pekerja dan sewaktu-waktu masih dapat dipanggil kembali oleh perusahaan untuk bekerja.

(33)

C. Tinjauan Tentang Perilindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum

Dalam kamus Hukum mengartikan perlindungan hukum sebagai peraturan- peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat. Peraturan ini dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut akan menyebabkan pengambilan tindakan sangsi.

Secara terminologi, perlindungan hukum dapat diartikan dari gabungan dua defenisi, yakni “perlindungan” dan “hukum”. KKBI mengartikan perlindungan sebagai hal atau perbuatan yang melindungi. Lalu, hukum dapat diartikan sebagai peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Merujuk defenisi tersebut, perlindungan hukum dapat diartikan dengan upaya melindungi yang dilakukan pemerintah atau penguasa dengan sejumlah peraturan fungsi dari hukum itu sendiri adalah memberikan perlindungan.

Teori perlindungan hukum.

Ada banyak teori perlindungan hukum yang diungkapkan oleh para ahli.

Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Teori yang pertama adalah teori dari Philipus M Hadjon. Hatjon mengungkapkan bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan. Hadjon mengklasifikasikan dua bentuk perlindungan

(34)

hukum bagi rakyat berdasarkan sarananya, yakni perlindungan preventif dan represif

- Perlindungan preventif adalah rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang didefinitif untuk mencegah terjadinya sengketa

- perlindungan represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan Kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitas sebagai subjek hukum.

2. Teori yang kedua diungkapkan oleh Sadjipto Rahardjo yang terinspirasi dari tujuan hukum yang dikemukakan Fitzgerald. Tujuan hukum menurut Fitzgerald adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan cara mengatur perlindungan dan perbatasan terhadap berbagai kepentingan tersebut. Dari konsep itu, Rahardjo mengartikan perlindungan hukum sebagai upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu hak asasi manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.

3. Teori yang ketiga diungkapkan oleh Soerjono Soekanto yang mengungkapkan bahwa perlindungan hukum pada

(35)

Kemudian Soekanto menerangkan bahwa selain penegak hukum, ada (5) lima hal yang mempengaruhi proses penegakan hukum dan perlindungannya, diantaranya adalah:

1. Faktor undang-undang, yakni peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah.

2. Faktor penegak Hukum, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam penegakan hukum, baik langsung dan tidak langsung.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, seperti sumber daya manusia yang terampil atau alat-alat yang memadai.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan tempat hukum yang beralaku dan diterapkan. Penerimaan dalam masyarakat akan hukum yang berlaku diyakini sebagai kunci kedamaian.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Berbicara mengenai perlindungan hukum, hal tersebut merupakan salah satu hal terpenting dari unsur suatu negara hukum. Dianggap penting karena dalam pembentukan suatu negara akan dibentuk pula hukum yang mengatur tiap-tiap warga negaranya. Sudah lazim untuk diketahui bahwa suatu negara akan terjadi suatu hubungan timbal balik antara warga negaranya sendiri. Dalam hal tersebut akan melahirkan suatu hak dan kewajiban satu sama lain. Perlindungan hukum akan menjadi hak tiap warga negaranya.

(36)

Namun disisi lain dapat dirasakan juga bahwa perlindungan hukum merupakan kewajiban bagi negara itu sendiri, oleh karenanya negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Setelah kita mengetahui pentingnya perlindungan hukum, selanjutnya kita perlu juga mengetahui tentang pengertian perlindungan hukum itu sendiri.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Ada beberapa pengertian perlindungan hukum yang dikemukakan oleh para ahli :

1. Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

2. Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.

3. Menurut CST Kansil Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa

(37)

aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

4. Menurut Philipus M. Hadjon Perlindungan Hukum adalah Sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.

Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.

5. Menurut Muktie, A. Fadjar Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.

Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya.

Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.

Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan kosep rechtsaat atau konsep rule of law karena lahirnya konsep konsep tersebut tidak terlepas dari keinginan untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Oleh karena Negara Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan pada Pancasila. Maka sistem perlindungan hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesua juga harus berpijak kepada prinsip - prinsip Negara hukum berdasarkan Pancasila. Lebih jauh dikemukakan bahwa, karena Negara hukim berdasarkan pancasila hak – hak perseorangan tetap diakui, dijamin dan dilindungi walaupun dibatasi oleh :

1. Adanya fungsi sosial yang dianggap melekat pada hak milik

(38)

2. Corak masyarakat yang sejak dahulu kala membebankan manusia perseorangan Indonesia dengan berbagai kewajiban terhadap keluarga, masyarakat, dan sesama.

2. Bentuk Perlindungan Hukum

Istilah perlindungan hukum sebenarnya merupakan penyempitan arti dari perlindungan, dimana hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta dilingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.

Dengan “tindakan pemerintah” sebagai titik sentralnya maka dibedakan dua macam perlindungan hukum, yaitu:

1. Perlindungan hukum yang preventif

Perlindungan hukum yang preventif ini diberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Dengan begitu perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.

2. Perlindungan hukum yang represif

Sebaliknya perlindungan hukum represif adalah bertujuan menyelesaikan sengketa. Dalam penelitian ini sengketa yang dimaksut adalah perkara pidana bilamana nasabah menjadi korban dari pelaku kejahatan credit card fraud dan perkara perdata dimana bank

(39)

bertanggung jawab mengganti kerugian yang diderita oleh nasabah yang menjadi korban kejahatan credit card fraud.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum kedalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan, dan kedamaian.

a. Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku kejahatan

Walaupun telah ada bukti awal yang menguatkan tuduhan sebagai pelaku kejahatan, yang bersangkutan tetap berkedudukan sama sebagai manusia yang memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati oleh siapapun termasuk negara, Hukum acara pidana di Indonesia mengenal asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dimana seseorang dianggap tidak bersalah selama belum ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya. Tujuan diberikannya perlindungan hukum terhadap pelaku kejahatan (tersangka atau terdakwa) dalam sistem hukum pidana nasional banyak diatu dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).

b. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan

(40)

Perlunya diberikan hukum kepada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional tapi juga internasional. Pentingnya perlindungan korban perlaku kejahatan memperoleh perhatian serius, hal tersebut dapat dilihat dari bentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan, tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime) tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/A/Res/34 Tahun 1985 telah menetapkan beberapa hak korban agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan yaitu:

1) Compassion, respect and recognition

2) Receive information and explanation about the progress of the case 3) Provide information

4) Providing proper assistance

5) Protection of privacy and physical safety 6) Restitution and compensastion

7) To access to the mechanism of justice system.

(41)

Hukum Indonesia menempatkan korban sebagai pihak yang paling dirugikan, karena selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik dan psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan merekonstruksi kejahatan yang menimpanya demi kepentingan penyelidikan, penyidikan maupun saat di pengadilan. Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan diperlukan dalam suatu negara salah satunya dikarenakan sudah banyaknya korban yang berjatuhan karena tidak adanya jaminan yang diberikan terhadap korban maupun saksi dari suatu kejahatan.

Perlindungan korban pada hakikatnya merupakan perlindungan hak asasi manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh C.Maya Indah , bahwa the rights of the victimare a component part of the concept of human rights. Perlindungan korban dalam konsep luas meliputi dua hal, yaitu:

1) Perlindungan korban untuk tidak menjadi korban kejahatan atau yang identik dengan perlindungan hak asasi manusia atau kepentingan hukum seseorang. Berarti perlindungan korban tidak secara langsung.

2) Perlindungan untuk memperoleh jaminan atau santunan hukum atas penderitaan atau kerugian orang yang telah menjadi korban kejahatan, termasuk hak korban untuk memperoleh assistance dan pemenuhan

(42)

hak untuk acces to justice and fair treatment. Hal ini berarti adalah perlindungan korban secara langsung.

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.

(43)

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang dirumahkan akibat pandemi COVID – 19

2. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja terhadap perusahaan yang merugikannya/tidak memberikan hak-haknya yang dirumahkan akibat dampak COVID-19 berdasarkan UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020

B. Jenis penelitian

Jenis penelitian merupakan salah satu hal terpenting dalam melakukan penelitian hukum. Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah jenis penelitian yuridis normatif, jenis penelitian ini adalah penelitian hukum kepustakaan yag dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka.

Pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

C. Metode pendekatan

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka metode pendekatan masalah yang digunakan adalah :

1) Metode pendekatan perundang-undangan (statute Approac)

(44)

44

yang bersangkutan dengan isi hukum yang dihadapi, misalnya peraturan perundang-undangan Nomor 11 tahun 2020.

2) Metode Pendekatan konsep (Conceptual Appoach)

Yaitu suatu pendekatan yang mempelajari pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum yang akan melahirkan pengertian, konsep dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

D. Sumber bahan hukum

Dalam melakukan penelitian hukum normatif, diperlukan adanya beberapa bahan hukum sebagai bahan dalam melakukan penelitian ini , yang meliputi :

1) Bahan Hukum Primerp

Yaitu bahan hukum yang mengikat dan terkait langsung dengan permasalahan yang dianalisa. Bahan hukum ini terdiri dari bahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja yang dirumahkan akibat dampak COVID-19 diantaranya :

a. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Ketenagakerjaan.

b. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang perubahan kedua Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Berupa Subsidi Gaji/Upah Bagi pekerja/Buruh dalam penanganan Dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19)

(45)

45

Upah pekerja yang dirumahkan Bukan Ke Arah pemutusan hubungan kerja (SE Menaker No. 5/1998 )

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum ini juga dipergunakan untuk membantu menjelakan dan melengkapi bahan hukum primer atau dalam hal ini dapat disebut sebagai bahan hukum yang sesuai dengan permasalahannya seperti buku-buku literatur, media masa baik cetak atau elektronik, jurnal, internet, artikel, hasil penelitian dan karya tulis lainNya serta dokumen-dokumen lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang dipakai sebagai pelengkap dan juga berfungsi memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang tidak berhubungan langsung dengan pokok permasalahan yang ada, namun sangat dibutuhkan untuk menunjang kelengkapan dan kejelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder tersebut, misalnya kamus bahasa Indonesia.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kepustakaan (library research). Metode kepustakaan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan penelitian. Jadi metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang telah tersedia di perpustakaan. Adapun cara mendapatkan atau mengumpulkan data yang telah tersedia

(46)

46 yang telah tersedia di perpustakaan.

F. Metode Analisis Data

Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data Deskriptif. Metode analisis deskriptif adalah metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksut membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

Referensi

Dokumen terkait

PERLINDUNGAN KESEHATAN PEKERJA WANITA MENURUT PASAL 81 AYAT ( 1 ) UNDANG-UNDANG NO 13 TAHUN 2003 TENTANG.. KETENAGAKERJAAN

Pekerja/buruh outsourcing mulai dikenal di indonesia sejak berlakunya UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 butir (30) menyebutkan bahwa upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan

Perlindungan hukum terhadap keterlambatan gaji yang ada di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (2) dan ayat (3)

Sanksi Jika Tak Menjaga Kehalalan Produk yang Telah Bersertifikat Halal Pasal 48 angka 24 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56

Negara dalam hal ini pemerintah berusaha hadir melalui Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan batasan pagi pihak pengusaha

Berkatan dengan perempuan yang bekerja ini diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi bahwa waktu kerja

Pengertian Hak Cipta Definisi Hak Cipta menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta terdapat Pasal 1 ayat 1 bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul