PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG FUNGSI KAWASAN HUTAN LINDUNG DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
JURNAL
SHINTA FITRIDA NIM. 11030287
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
PADANG 2016
Adaptation Of The Community About Environmental Pollution Due To Mining Of Limestone In Lubuk Kilangan District
Of The City Of Padang
Shinta Fitrida *Dasrizal* Afrital Rezki * *
Geography Education Students STKIP PGRI West Sumatera*
Lecturer in Geography Education STKIP PGRI West Sumatera **
ABSTRACT
Shinta Fitrida (11030287). Public Perception Of The Function Of Protected Forest Areas In The Southern Coastal District In Kabupaten Pesisir Selatan.
Geography Education Program STKIP PGRI West Sumatera (2016).
This study aims to reveal the public perception of protected forests .as well as revealing about the factors affecting the protected forest areas in the southern coastal district. This study uses a qualitative method by Informants communities around the protected forest, using three sample areas, districts Koto IX Tarusan.
Pancung Soal, and Basa Ampek Balai Tapan. Data collected by interview, observation and photo documentation. Overall the data summarized and analyzed with data reduction techniques, display and verification conclusion.
Based on the results of field research showed that: (1) The perception of the community around the protected forest area said they agreed that protected areas must be kept sustainable, people participate preserve and maintain the protective forest area. However there are people who argue that the perception of protected forest areas do not provide more benefits to the comunity. and existence of protected forest areas only cause concern in the community, for example in Taratak Sungai lundang river districts Koto IX Tarusan, the conflict between communities and the government regarding the status the region. The government declared that the area is a protected forest. In the district pacungsoal, public opinion that protected forest areas do not provide more benefits to the community, so that people of region make processing into oil fields. In addition, there are also people who did not know that before the area around them a protected forest area.
(2) The public perception about factors that affect protected areas. Community declare the factors affect the depletion of forests protected, but it is not clear administrative boundary of protected forest areas, their land dispute regarding the status of the territory with relevant agencies and inadequate dissemination of government.
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia.Salah satu komponen lingkungan hidup dalam sumber daya alam hayati.Berupa Flora dan Fauna sebagai model dasar pemabangunan Nasional dan mempunyai peran penting bagi kelangsungan kehidupan di muka bumi.Kekayaan sumber daya alam tersebut harus di lindungi, dipelihara dan dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan dan mutu kehidupan manusia.Pengelolaan dan pemanfaatannya mesti dilakukan secara serasi, selaras, dan seimbang.Kegiatan pengelolaan ini desebut juga konservasi sumber daya alam atau pelestarian sumber daya alam.
Manfaat hutan menurut UU RI No. 5 1990 adalah sebagai berikuit:
a. Menyimpan serta mengatur peredaran air, sebab akar pohon dapat
menghambat dan
menahan jalan air yang akan masuk ke dalam tanah.
b. Mencegah erosi dan menyuburkan tanah karena dapat membuat tanah humus.
c. Menghasilkan bahan mentah untuk industry dan bahan bangunan.
d. Mengurangi polusi udara, karena udara di sekitar hutan segar dan bersih.
Kawasan lindung menurut perda No. 7 tahun 2011 adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Adapun yang menjadi kawasan lindung di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu pertama, kawasan hutan lindung;
kedua, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya yaitu kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air; ketiga, kawasan perlindungan setempat yaitu sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar waduk dan kawasan terbuka hijau; keempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; kelima, kawasan rawan bencana alam; keenam, kawasan lindung geologi; ketujuh, kawasan lindung lainnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 422/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999telah ditunjuk kawasan hutan di wilayah Provinsi Sumatera Barat seluas 2.600.286 Hayang kemudian beberapa kali mengalami beberapa kali perubahan status dan fungsi,terakhir melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2014 tanggal 15 Januari 2014, sehingga luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Barat menjadi 2.380.057 Ha yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan pelestarian Alam (KPA) seluas ± 806.939 Ha, Hutan Lindung (HL) seluas ± 791.671 Ha, Hutan produksi Terbatas (HPT) seluas ± 233.211 Ha, Hutan produksi (HP) seluas ± 360.608 Ha
dan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) seluas ± 187.629 Ha.
Sebagian besar kawasan hutan tersebut belum dilakukan penataan batas kawasan hutan. Batas kawasan hutan yang jelas di lapangan dan yang diakui oleh masyarakat menjadi salah satu sumber permasalahan dengan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, mengingat di Provinsi Sumatera Barat terdapat dualisme status kawasan hutan, dimana kawasan hutan juga banyak yang diakui oleh masyarakat sebagai tanah ulayat mereka. Sebagian besar masyarakat lebih mengakui batas kawasan hutan yang dibuat pada zaman belanda, atau lebih dikenal masyarakat sebagai batas BW/jalan rantai dan dinamakan masyarakat sebagai hutan larangan. Sedangkan di Kehutanan, batas BW tersebut lebih dikenal dengan nama Hutan Register. Permasalahan ini terdapat di berbagai daerah termasuk di Kabupaten Pesisir Selatan.
Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 304/Menhut-II/2011 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan di Sumatera Barat, maka luas hutan menurut fungsinya 530.189 Ha, danhutan lindung di Kabupaten Pesisir Selatan seluas 49.720 Ha, dari luaskawasan kabupaaten 579.495 hektare.Kawasan lindung terdiri dari hutan lindung (HL) 49,720 Ha (11.72%), hutan produksi (HP) 4,381 Ha atau (0,67%), Hutan Produksi yang dapat di konversi (HPK) 28,629 Ha atau (4,94 %) Sedangkan hutan produksi terbatas 53,778 Ha atau 9,28 %, area
penggunaan lainnya 177,559 Ha atau 30,64 %.
. Kawasan hutan mendominasi penggunaan lahan di daerah Kabupaten Pesisir Selatan. Kawasan lindung terluas ada di Kecamatan Lengayang dengan luas 56.009,97 ha, kawasan lindung dengan luas terkecil adalah Kecamatan Bayang seluas 4.088,08 ha. Kawasan lindung terluas terbangun terbesar ada di Kecamatan Lunang Silaut sebesar 117.85 ha dan luas terbangun paling sedikit terdapat di Kecamatan Batang Kapas sebesar 5,33 ha. Daerah perkebunan didominasi oleh Kecamatan Lunang Silaut 72.840,70 ha yang terkecil 70,28 ha, sawah terluas ada di Kecamatan Pancung Soal dengan luas 9.226,47 ha yang terkecil ada di Kecamatan Bayang Utara seuas 626,69 ha, lahan kering didominasi oleh Kecamatan Linggo Sari Baganti seluas 5.020,48 ha dan terkecil terdapat di Kecamatan Basa IV Balai Tapan 17,96 ha, permukiman terluas terdapat di Kecamatan Sutera seluas 1.166,51 ha dan terkecil terdapat di Kecamatan Bayang Utara seluas 30.69 ha (Laporan SLDH Pesisir Selatan, 2010:II-3-4).
Hutan lindung Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, membutuhkan rehabilitas karena kondisinya sudah sangat kritis.
Kepala Dinas Kehutanan Energi dan Sumber Daya Mineral kabupaten setempat Maswar Dedi pada tahun 2012, mengatakan, sesuai kategori kekritisan, kerusakan hutan daerah itu mencapai 160.422 hektare atau 27,9 persen dari total luas hutan.Sementara berdasarkan kondisi yang terjadi pada saat
sekarang, kondisi sangat kritis sekitar 23.575 hektare (4,1 persen), sedangkan kritis mencapai 31.624 hektare dan agak kritis seluas 105.223 hektare yang tersebar di 12 kecamatan yang ada.
Kerusakan hutan di Kabupaten Pesisir Selatan didominasi oleh kegiatan perambahan hutan seluas 97 ha, diikuti oleh kegiatan kebakaran lahan seluas 65 ha dan penebangan liar seluas 20 ha.
Pengalih fungsian hutan (konversi hutan) Tahun 2010 lebih banyak digunakan untuk kegiatan perkebunan seluas 43.170.000.000 km2, kegiatan Hutan Rakyat seluas 40.168.000.000 km2, kegiatan pertanian 34.960.000.000 km2 dan untuk permukiman seluas 32.380.000.000 km2.Jumlah personel Polisi Kehutanan yang belum maksimal untuk melakukan pengawasan hutan di wilayah kabupaten ini juga menjadi permasalahan.Jumlah Polisi Kehutanan Pesisir Selatan yang ada saat ini sebanyak 13 orang.Sesuai kebutuhan, kabupaten harus memiliki 260 orang. (Laporan SLDH Pesisir Selatan, 2010:II-5).
Dari luasan itu yang telah berhasil ditanggulangi dengan melakukan rehabilitasi hutan pada lahan-lahan sangat kritis seluas 10.562 hektare sejak dimulai rehabilitasi tahun 2000 dan dari tahun 2010 hingga 2011 pemerintah kembali melakukan penghijauan (perbaikan) terhadap kerusakan tersebut dengan luas sekitar 3.000 hektare, kemudian tahun 2012 luas hutan yang direhabilitasi bertambah 1200 Ha, dengan membuat hutan rakyat dan demplot tumbuhan
gaharu dari dana alokasi khusus (DAK) bidang kehutanan senilai Rp1,16 miliar. Pada tahun 2013 direhabilitasi lagi sekitar 650 Ha hutan lindung.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Pesisir Selatan. Selain itu faktor yang diatas, persepsi masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan lingdung terhadap hutan lindung itu sendiri juga mempengaruhi. Maizar Lubis (2011) perubahan bahwa baik buruknya perilaku seseorang terhadap suatu hal atau objek tertentu dipengaruhi oleh baik buruknya konsep yang ia berikan terhadap hal atau objek tersebut.
Atas desakan pemikiran tersebut peneliti merasa berkewajiban untuk menggali lebih dalam tenta?ngkondisi dan faktor yang mempengaruhi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Pesisir Selatan, khususnya yang berhubungan dengan Persepsi Masyarakat Tentang Fungsi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Pesisir Selatan.
METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Sesuai dengan masalah dan tinjauan penelitian yang dikemukakan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif.
Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menhasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku-perilaku yang dapat diamati. Moeleong (2010).
B. Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan sesuai dengan judul penelitian maka objek penelitian adalah Persepsi Masyarakat Tentang Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Pesisir Selatan. Berikut (Tabel III.1) merupakan data luas kawasan hutan lindung perwilayah kecamatan Kabupaten Pesisir Selatan. Ini merupakan hasil perencanaan tahun 2010, perubahan rencana luas dan perubahan luas HSAW, TNKS, HL di Kabupaten Pesisir Selatan hingga tahun 2030 yang terperinci perkecamatan. Dari tabel berikut dapat dilihat bahwa di kabupaten Pesisir Selatan yang memiliki kawasan hutan lindung yaitu;
Kecamatan Koto IX Tarusan, Pancung Soal, Basa Ampek Balai Tapan, Lunang Silaut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil temuan di lapangan dan sesuai dengan tujuan penelitian,maka didapatkan hasil Persepsi Masyarakat Tentang Fungsi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Pesisir Selatan, sebagai berikut :
Pertama,di kecamatan Basa Ampek Balai Tapan, kawasan hutan lindung sudah beralih fungsi dar HL menjadi HPK.
Terjadi karena masyarakat tidak mengetahui wilayah tersebut sebelumnya merupakan
kawasan hutan lindung. Sehingga masyarakat mengolahnya menjadi ladang sawit, kegiatan ini sudah berlangsung kurang lebih 20 tahunan. Berarti masyarakat mengolah kawasan tesebut sebelum keluarnya SK/Menhut-11/2013 yang mengalih fungsikan dari HL menjadi HPK di kawasan ini.
Hal diatas tidak sesuai dengan Peraturan Menetri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.44/Menhut-II/2012. Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Kehutanan Rpublik Indonesia paragraf 3 mengenai Pengumuman Hasil Pemancangan Batas Semetara Pasal 20 ayat (1) : batas sementara yang telah di ukur dan di pancang wajib di umumkan kepada masyarakat dan para pihak di sekitar trayek batas oleh pelaksana tata batas bersama- sama dengan kepala desa/kepala keluruhan atau nama lain sejenisnya. Sehingga masyarakat mengetahui adanya kawasan hutan lindung di daerah ini. Hal diatas juga tidak sesuai dengan Undang-Undang tentang Kehutanan Bab VI Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Dan Latihan Serta Penyuluhan Kehutanan Pasal 25 ayat (1) : Dalam pengurusan hutan secara lestari, di perlukan sumber daya manusia berkualitas yang bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuahan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Sehingga minimnya pengetahuan masyarakat tentang kawasan hutan lindung.
Jika berbicara hukum maka tindakan masyarakat ini sudah melanggar undang-undang Kehutanan Bagian Kelima tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Pasal 50 ayat (3) Setiap orang dilarang: (a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (g) melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; .
Berdasarkan pesepsi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung di Kabupaten Pesisir Selatan, faktor yang mempengaruhi kawasan hutan lindung ialah sebagai berikut : Pertama, belum jelasnya tapal batas antara hutan lindung Negara dengan hutan adat/ nagari.Kedua, kurangnya sosialisasi dari pemerintah.
Ketiga, adanya konflik status kawasan hutan lindung antara masyarakat dan pihak dinas terkait. Keempat, Kurang tegas aparat dalam melaksanakan tugasnya. Kelima, keadaan ekonomi masyarakat yang berada di sekiar kawasan hutan lindung yang masih rendah dan pertambahan jumlah penduduk.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bernhard Limbong dalam buku yang berjudul Hukum Agraria Kehutanan (2014). Dia menyebutkan bahwa kualitas sumberdaya manusia dari aparat pelaksana peraturan sumber daya agraria juga menjadi faktor pemicu kondisi kawasan hutan lindung. Dia juga menyebutkan kasus sengketa tanah sebenarnya bukan fenomena baru, tetapi sudah sering terjadi. Kasus ini muncul sejak masyarakat mulai merasa ke kurangan tanah, sebagai akibat ledakan jumlah penduduk dan pejajahan.
Dua, di Kecamatan Pancung Soal sudah dialihfungsikan oleh masyarakat. Masyarakat mengolah kawasan tersebut menjadi ladang sawit dan perkebunan masyarakat.
Pengolahan kawasan hutan ini tergolong ilegal karena tanpa adanya izin dari menteri kehutanan. Seperti halnya yang di lakukan oleh PT. Ingkasi Raya, dimana pihak PT yang pertama kali membuka dan mengolah kawasan hutan lindung menjadi kebun sawit dan tempat pengolahan sawit dan kondisi ini tidak di usut sama skali oleh pihak manapun. Melihat hal demikian masyarakatpun berbondong-bondong membuka lahan yang tersisa untuk perkebunan sawit dan ladang jagung mereka. Apabila mereka tidak sanggup mengolah maka mereka menjualnya kepada orang lain. Bahkan mereka membangun perkampungan di kawasan tersebut tanpa ada izin dari dinas
terkait. Masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung ini berpendapat bahwasannya kawasan hutan lindung tidak memberikan maanfaat yang lebih kepada masyarakat.
Hal di atas tidak sesuai dengan undang-undang Kehutanan tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Pasal 50, (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama- sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
Tiga, Selain itu di lokasi
Kecamatan Koto IX
Tarusankhususnya di Nagari Taratak Sungai Lundang, masyarakat mengungkapkan bahwa kawasan hutan lindung yang ada di Koto IX kondisinya masih baik dan berfungsi sebagaimana semestinya.
Pada dasarnya masyarakat setuju bahwasannya hutan lindung harus di jaga kelestariannya, masyarakat berperan serta memelihara dan menjaga kawasan hutan lindungnya. Masyarakat juga memahami bahwasannya kawasan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah.
Hal ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Bab X Peran Serta Masyarakat Pasal 69 ayat (1): Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga hutan dari gangguan dan perusakan. Sesuai juga dengan Bab V Pengelolaan Kehutanan, Bagian Ketiga mengenai Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 38 ayat (4): Pada kawasan hutan lindung di larang melakukan penebangan, ... .
Namun ada di satu kenagariannya yaitu Nagari Taratak Sungai Lundang, terjadi sengketa status kawasan, antara pihak pemerintah dengan masyarakat Nagari Taratak Sungai Lundang. Pemerintah menyatakan keseluruhan dari Nagari Tarak Sungai Lundang dinyatakan berstatus kawasan hutan lindung.
Sedangkan kawasan ini di tempati masyarakat sejak zaman kerajaan, masyarakat di nagari tersebut tidak mengetahui kapan pematokan awal dimulai sebagai tapal batas kawasan hutan lindung, sampai di tetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan hutan lindung.
Hal diatas tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan Bab II Perencanaan Kehutnan Paragraf 3 Penataan Kawasan Hutan pasal 19 ayat (1) berdasarkan penunjukan kawasan hutan, di lakukan penataan batas kawasan hutan. Ayat (2) tahapan pelaksanaan penataan batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan: a) Pemancangan patok batas sementara; a) Pengumuman hasil pemancangan patok batas sementara; c) Inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang trayek batas dan di dalam kawasan hutan.
Serta pada Paragraf 5 Penetapan Kawasan Hutan Pasal 22 ayat (3) : Hasil penetapan kawasan hutan sebagaimana di maksud ayat (1), terbuka untuk diketahui masyarakat. Hal ini juga di jelaskan dalam Peraturan Menetri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.44/Menhut-II/2012.
Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Menteri Kehutanan Rpublik Indonesia paragraf 3 mengenai Pengumuman Hasil Pemancangan Batas Semetara Pasal 20 ayat (1) : batas sementara yang telah di ukur dean di pancang wajib di umumkan kepada masyarakat dan para pihak di sekitar trayek batas oleh pelaksana tata batas bersama-sama dengan kepala desa/kepala keluruhan atau nama lain sejenisnya.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Kondisi kawasan hutan lindung di Kecamatan Koto IX Tarusan seluas 13,187.00 Hadalam keadaan baik, namun di satu kenagariannya yaitunya di Nagari Taratak Sungai Lundang, ada konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah mengenai status wilayah tersebut.
Di Kecamatan Pancung Soal, kawasan hutan lindung seluas 3,289.00 Ha sudah dialih fungsikan oleh masyarakat menjadi kebun sawit dan pemukiman masyarakat. Di kecamatan Basa Ampek Balai Tapan, kawasan hutan lindung Seluas 14.000 Ha sudah beralih fungsi dari HL menjadi HPK sejak tahun 2013 sesuai dengan perubahan kebijakan RTRW.
2. Faktor yang mempengaruhi kawasan hutan lindung pada umumnya disebabkan oleh desakan ekonomi masyarakat dan
bertambahnya jumlah penduduk.
Di setiap kecamatan terdapat beberapa faktor seperti : a) di kecamatan Taratak Sungai Lundang, Pertama, adanya sengketa status kawasan antara masyarakat dengan pemerintah.
Kedua,belum jelasnya tapal batas antara nagari dengan kawasan hutan lindung. b) di Kecamatan Pancung Soal, Pertama, kurangnya sosialisasi dan penyuluhan yang dilakukan Pemda Pessel. Kedua, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan lindung. c) di kecamatan Basa Ampek Balai Tapan, pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang letak hutan lindung. Kedua, tidak adanya penyuluhan mengenai kawasan hutan lindung.
B. Saran
Saran- saran yang dapat penulis kemukakan sehubungan dengan persepsi masyarakat tehadap kawasan hutan lindung di Kabupaten Pesisir Selatan.
1. Sosialisai dan penyuluhan mengenai kawasan hutan lindung harus di lakukkan secara berkelajutan, agar masyarakat lebih memahami arti pentingnya hutan lindung dalam kehidupan, sehingga hutan lindung kita ini terjaga kelestariannya
sebagaimana seharusnya.
2. Untuk pihak pemerintah, harus memperjelas lagi tapal batas kawasan hutan lindung, dan harus melibatkan masyarakat di dalamnya, agar tidak ada
lagi permasalahan tentang batas kawasan hutan
lindung dengan
masyarakat di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ernan, Rustiadi.,SunsunSaefulhakim,
&Dyah R. Panuju. 2011.
PerencanaandanPengembangan
Wilayah. Jakarta:
YayasanPustakaObor Indonesia Parsons, Wayne. 2008. Public Policy:
An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis.
(Tri Wibowo Budi Santoso.
Terjemahan). London: Edward Elgar Publishing, Ltd.
Bukuasliditerbitkantahun 2001.
PemdaPessel. 2010. Laporan Status LingkunganHidup Daerah Pesisir Selatan 2010.Painan.
PeraturanPemerintahRepublik
Indonesia Nomor 10 tahun 2010
Tentang Tata Cara
PerubahanPeruntukandanFungsi KawasanHutan
Peraturan Daerah Pesisir Selatan Nomor 7 tahun 2011 tentangRencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Selatan 2010- 2030
KeputusanBupatiPesisir Selatan Nomor 050/367/Kpts/Bpt-Ps/2010
TentangPerubahanAtasLampiran KeputusanBupatiPesisir Selatan Nomor 050/202/Kpts/Bpt- Ps/2010 TentangPembentukan Tim
KoordinasiPenyusunanRencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Tahun 2010-2030 KabupatenPesisir Selatan