SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Hukum
Program Kekhususan Hukum Pidana
Diajukan Oleh:
Novi Anggraini Lailatudz Dzikroh NIM : 30302000245
PROGRAM STUDI (S1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG
2023
ii Diajukan Oleh:
Novi Anggraini Lailatudz Dzikroh NIM : 30302000245
Telah Disetujui Oleh:
Pada Tanggal, 22 Juni 2023
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Sri Endah Wahyuningsih, SH., M.Hum.
NIDN : 0628046401
iii
Novi Anggraini Lailatudz Dzikroh NIM : 30302000245
Telah Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Pada tangga1, 18 Agustus 2023
Dan Dinyatakan telah Memenuhhi Syarat dan Lulus Tim Penguji
Ketua,
Dr. H. Ahmad Hadi Prayitno, S.H., M.H.
NIDN: 06-0804-8103
Anggota
Dr. Dwi Wahyono, S.H., Sp.N NIDN: 88-1882-3420
Anggota
Prof.Dr.Hj.Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum.
NIDN: 06-2804-6401
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum UNISSULA
Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H.
NIDN: 06-0707-7601
iv
- “Waktu bagaikan pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya dengan baik, maka ia lah yang akan memanfaatkanmu” (HR.Muslim)
- “Antara qabiltu atau Innalillahi, antara dia atau Malaikat Izrail, antara gaun pengantin atau kain kafan, antara surat undangan atau batu nisan, antara pernikahan atau kematian, maka perbaiki diri, sadar diri, dan ingatlah Innalillahi”
- “Tidak perlu diumbar, yang penting prosesnya lancar”
- “Cukup jadi sederhana dan lihat siapa yang bisa menerima kita apa adanya”
Persembahan:
1. Allah SWT atas karunia dan rahmat yang diberikanNya kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;
2. Kedua orang tua saya, Bapak Ahmad Mundachir Huda dan Ibu Rasmi serta adik saya, Ifti Alya Dzikrotus Syafa’ah;
3. Dosen pembimbing saya, Ibu Prof. Dr. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum.;
4. Almamater UNISSULA dan Fakultas Hukum UNISSULA;
5. Hakim dan segenap Pegawai Pengadilan Negeri Rembang;
6. Bripda Aldy Eka Putra dan sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan dukungan.
v NIM : 30302000245
Program Studi : S-1 Ilmu Hukum Fakultas : Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DI PENGADILAN NEGERI REMBANG benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan hasil karya orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan dalam skripsi ini terkandung ciri-ciri plagiatdan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Semarang, 22 Juni 2023
Novi Anggraini Lailatudz Dzikroh NIM : 30302000245
vi
NIM : 30302000245
Program Studi : S-1 Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyerahkan karya ilmiah berrupa skripsi dengan judul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DI PENGADILAN NEGERI REMBANG dan menyetujuinya menjadi hak milik Universitas Islam Sultan Agung Semarang serta memberikan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif untuk disimpan, dialih mediakan, dikelola dalam pangkalan data, dan dipublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai pemilik Hak Cipta. Pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh. Apabila di kemudian hari terbukti ada pelanggaran Hak Cipta atau Plagiarisme dalam karya ilmiah ini, maka segala bentuk tuntutan hukum yang timbul akan saya tanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
Semarang, 22 Juni 2023
Novi Anggraini Lailatudz Dzikroh
vii
Rahmat dan Karunia-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam kita hantarkan kepada Nabi Muhammad SAW, alhamdulillah dengan segenap kebesarannya saya sebagai penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN DI PENGADILAN NEGERI REMBANG”
Dalam penulisan ini, penulis sadar bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terwujud sebagaimana adanya sekarang ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terimakasih yaitu kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., AKT., M.Hum. selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
2. Bapak Dr. Bambang Tri Bawono S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang
3. Dr. Hj. Widayati, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
4. Dr. Arpangi, S.H.,M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
viii Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
7. Dini Amalia, S.H.,M.H., selaku Sekretaris Prodi Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
8. Ibu Dr. Hj. Peni Rinda Listyawati, S.H., M.Hum. Selaku dosen wali penulis.
9. Ibu Prof. Dr. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum. Selaku Dosen pembimbing penulisan skripsi yang selalu mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dalam membimbing penulis sampai terselesaikannya skripsi ini.
10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
11. Staff dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
12. Ibu Arini Laksmi Noviyandari, S.H. selaku Hakim yang telah memberikan keterangan-keterangn ketika penulis riset serta telah memberikan wawasannya.
13. Kedua orang tua saya tercinta, Bapak Ahmad Mundachir Huda dan Ibu Rasmi yang selalu memberi dukungan dan semangat serta doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi.
14. Adik saya, Ifti Alya Dzikrotusy Syafa’ah yang telah memberi semangat, doa, dan cinta yang selalu diberikan kepada penulis.
ix
16. Teman saya khususnya Justika Rini, Kana Rifo, Nabila Kartika, Regina, Galuh Dp, Tasya Dwijayanti, Delia, Diana, Dila, Listia Ulfa, dan Elya.
17. Saudara-saudara serta para tetangga yang selalu mendorong dan memotivasi penulis.
18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas semua dukungan dan semangatnya, semoga kebaikan kalian dapat menjadi amalan shalih yang dicatat oleh Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu masukkan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi kebaikan dari penulis. Semoga skripsi yang sederhana ini dapat memberikan manfaat serta menambah pengetahuan bagi kita, khususnya bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Semarang, 22 Juni 2023 Yang menyatakan
Novi Anggraini Lailatudz Dzikroh
x
menganalisis faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yang berarti mengadopsi pendekatan yang mengkaji dan membahas permasalahan yang diajukan. Pendekatan yuridis mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang tercantum dalam peraturan-peraturan tertulis, sementara pendekatan sosiologis bertujuan untuk memperjelas situasi yang sebenarnya ada dan muncul dalam masyarakat terkait dengan masalah yang diteliti, atau memberikan makna penting pada langkah-langkah observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana yang diterapkan pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang yaitu berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan, serta denda sejumlah Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dengan ketentuan bahwa apabila denda tersebut tidak dibayar, akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana. Faktor tersebut yaitu ada atau tidaknya unsur kesengajaan dan kelalaian, kondisi jalan, kondisi alat transportasi, kesehatan sopir, serta situasi atau keadaan yang terjadi di tempat kecelakaan. Selain itu juga ada faktor-faktor yang meringankan meliputi penyesalan yang tulus, kerjasama dengan proses hukum, kesaksian yang mendukung, dan tanggung jawab atas perbuatan. Sementara itu, faktor-faktor yang dapat memberatkan termasuk kelalaian berat, keadaan mabuk atau terpengaruh zat, pelarian dari tempat kejadian, kecepatan melampaui batas, serta riwayat pelanggaran atau kejahatan sebelumnya.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban pidana, kecelakaan lalu lintas, kematian.
xi
factors that influence criminal liability in traffic accident cases which cause death in Rembang District Court.
This study uses a sociological juridical approach, which means adopting an approach that examines and discusses the problems raised. The juridical approach refers to the legal principles contained in written regulations, while the sociological approach aims to clarify the actual situation that exists and arises in society related to the problem under study, or to give importance to observation steps.
The results of the study show that the criminal liability applied to traffic accident cases resulting in death at the Rembang District Court is in the form of imprisonment for 1 (one) year and 4 (four) months, as well as a fine of Rp.
1,000,000.00 (one million rupiah), provided that if the fine is not paid, it will be replaced by imprisonment for 1 (one) month. In the case of a traffic accident resulting in death, there are factors that influence criminal liability. These factors are the presence or absence of intentional and negligent elements, road conditions, the condition of the means of transportation, the health of the driver, and the situation or circumstances that occurred at the accident site. In addition, there are also mitigating factors including sincere remorse, cooperation with the legal process, supporting testimony, and responsibility for actions. Meanwhile, aggravating factors include gross negligence, being drunk or under the influence of a substance, fleeing from the scene, speeding, and a history of previous offenses or crimes.
Keywords : Criminal Liability, Traffic Accident, Death.
xii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... v
SURAT PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Kegunaan Penelitian ... 4
1. Manfaat Teoritis ... 5
2. Manfaat Praktis: ... 5
E. Terminologi ... 6
F. Metode Penelitian ... 9
1. Metode Pendekatan ... 9
2. Spesifikasi Penelitian ... 10
3. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 11
4. Metode Pengumpulan Data ... 12
5. Analisis Data Penelitian ... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 16
A. Pertanggungjawaban Pidana ... 16
1. Definisi Pertanggungjawaban Pidana... 16
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam ... 18
3. Ketentuan tentang Pertanggungjawaban Pidana ... 22
B. Kesengajaan dan Kealpaan ... 23
1. Kesengajaan ... 24
xiii
D. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ... 35 E. Kecelakaan Lalu Lintas ... 39 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43 A. Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Yang mengakibatkan Kematian di Pengadilan Negeri Rembang... 43 1. Contoh Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Yang mengakibatkan Kematian di Pengadilan Negeri Rembang ... 44 2. Pertanggungjawaban Pidana yang Diterapkan pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Kematian di Pengadilan Negeri Rembang ... 71 B. Faktor yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Menyebabkan Kematian di Pengadilan Negeri Rembang ... 89 BAB IV PENUTUP ... 106 A. Kesimpulan ... 106 B. Saran 107
DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN ... 112
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum yang didasarkan pada konstitusi dan peraturan-peraturan hukum yang berlaku1. Dalam sistem hukum Indonesia, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum2. Negara juga bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya3. Dalam hal kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian, penerapan hukum pidana menjadi hal yang penting untuk memastikan pertanggungjawaban pelaku dan memberikan keadilan bagi keluarga korban.
Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa "Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak hati-hati dan kealpaannya mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)".4 Namun, dalam praktiknya, tidak selalu mudah untuk menentukan pertanggungjawaban pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian.
Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, seperti faktor kehati-hatian pengemudi, kondisi kendaraan, kondisi jalan, dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat pula perbedaan dalam penerapan hukum pidana oleh pengadilan-
1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
2 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
3 Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
4 Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
pengadilan di berbagai daerah. Penerapan hukum pidana untuk kecelakaan lalu lintas juga dibedakan antara pelaku yang sudah di atas umur maupun pelaku yang masih di bawah umur. Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Sri Endah Wahyuningsih, bahwa kepolisian menggunakan proses diversi untuk menyelesaikan kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak sebagai pelaku.
Tujuan dari diversi adalah untuk menghindari anak dari penahanan, menyelamatkan mental anak dari imbas penahanan, serta agar anak mampu bertanggungjawab dengan perbuatannya. 5
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang perlu dilakukan. Dengan meneliti putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus tersebut, dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang dipertimbangkan oleh hakim dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, serta bagaimana penerapan hukum pidana yang berlaku di daerah tersebut.
Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian masih menjadi masalah serius di Indonesia. Setiap tahun, ribuan orang kehilangan nyawa akibat kecelakaan di jalan raya. Salah satu kasus yang menjadi sorotan publik adalah kasus kecelakaan maut di Jalan Pantura Rembang pada tanggal 10 Maret 2023.
Tabrakan tersebut melibatkan tiga kendaraan, yakni bus, truk bermuatan gas, dan truk pengangkut material. Kejadian bermula saat bus dan truk melaju dari arah barat atau Semarang. Sedangkan satu truk lainnya meluncur dari timur atau
5 Sri Endah Wahyuningsih, Annis Nurwianti, dan Gunarto Gunarto, "Implementasi Restoratif/Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan Oleh Anak di Polres Rembang", Jurnal Hukum Khaira Ummah 12.4, 2017, Hal. 705- 716.
Surabaya. Berdasarkan keterangan saksi, bus menyalip kendaraan yang ada di depannya, tapi tak disangka ada truk kontainer yang melintas sehingga terjadi kecelakaan. Peristiwa kecelakaan ini melibatkan tiga kendaraan dan mengakibatkan 5 (lima) orang tewas.6
Kasus tersebut penting untuk diteliti karena kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian harus ditangani secara serius dan bertanggung jawab.
Penelitian tentang pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana proses hukum dijalankan dan bagaimana keputusan hakim diambil dalam kasus seperti ini. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan informasi dan rekomendasi untuk meningkatkan kesadaran hukum dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1 Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang?
2 Apa faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang?
6 Aria Rusta Yuli Pradana, Kecelakaan Maut di Pantura Rembang, Total 5 Tewas, 1 di
Antaranya Diduga Anak Punk Tanpa Identitas,
https://regional.kompas.com/read/2023/03/11/091236378/kecelakaan-maut-di-pantura-rembang- total-5-tewas-1-di-antaranya-diduga-anak, diakses tanggal 9 April 2023 pukul 20.45 WIB.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :
1 Untuk mengetahui penerapan pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang.
2 Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian yang dibuat ini di harapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan secara teoritis dan praktis. Adapun kegunaanya sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu:
a. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan pemahaman hukum pidana terkait pertanggungjawaban pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian. Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang aspek hukum pidana yang terkait dengan kasus tersebut.
b. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti-peneliti lain di bidang hukum pidana untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang lebih mendalam dan komprehensif.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan studi banding dengan kasus-kasus serupa di wilayah lain, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini dapat membuka peluang untuk membandingkan praktik dan pemahaman hukum pidana yang berlaku di wilayah yang berbeda.
2. Manfaat Praktis:
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi aparat penegak hukum, pengacara, dan pihak-pihak terkait lainnya tentang praktik dan teori hukum pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian. Hal
ini dapat membantu meningkatkan kualitas penegakan hukum dan memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi hakim dan jaksa dalam menangani kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian.
Hal ini dapat membantu meningkatkan kualitas putusan dan memastikan bahwa hukum pidana diterapkan secara adil dan efektif.
c. Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat tentang praktik dan teori hukum pidana terkait kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian. Hal ini dapat membantu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum pidana serta mendorong kepatuhan pada peraturan hukum yang berlaku.
E. Terminologi
Terminologi menginformasikan tentang pengertian atau definisi dari kata-kata yang ada pada judul skripsi diatas dengan memperhatikan ketentuan umum peraturan perundang-undangan yang terkait, buku referensi, dan kamus bahasa Indonesia.7
Berikut adalah beberapa terminologi yang dapat digunakan dalam skripsi dengan judul "Pertanggungjawaban Pidana pada Kasus Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Kematian di Pengadilan Negeri Rembang":
7 Fakultas Hukum Universitas Sultan Agung Semarang (UNISSULA), Buku Pedoman Penulisan Hukum (skripsi), Semarang 2022,hlm 9
1. Pertanggungjawaban Pidana
Dalam Pasal 34 KUHP Baru UNDANG-UNDANG Nomor 1/ 2023 tentang KUHP, dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.8
2. Tindak Pidana
Menurut KBBI, tindak pidana yaitu perbuatan kejahatan. Perbuatan ini melanggar undang-undang dan pelakunya dihukum atau dijatuhi sanksi. Jenis kejahatan diatur oleh undang-undang, contohnya seperti pembunuhan, pencurian, korupsi, dan lain-lainnya. Hukuman untuk kejahatan yang dilakukan juga dapat bervariasi tergantung pada keparahan kejahatan. Secara umum, kejahatan adalah perbuatan yang serius yang menyebabkan kerugian pada individu atau masyarakat dan dianggap tidak diterima oleh mayoritas orang.
3. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia adalah perbuatan atau kejadian yang tidak disengaja dan menimbulkan masalah pada diri sendiri atau orang lain, atau merusak barang-
8 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 1996, hal 11
barang milik orang lain. Dalam hal ini, suatu kecelakaan dapat berujung pada kematian seseorang dan dapat dianggap sebagai tindak pidana jika disebabkan oleh kelalaian atau kecerobohan yang dibuktikan dengan tindakan atau kelalaian yang disengaja. Sedangkan Pasal 1 angka 24 UNDANG-UNDANG Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkatan Jalan menyatakan bahwa kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
4. Kematian
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, istilah "kematian" diartikan sebagai suatau peristiwa di mana kehidupan seseorang berakhir secara permanen. Kematian bisa disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, tindakan orang lain, atau hal-hal lain yang dapat menyebabkan berakhirnya kehidupan seseorang. Hukuman untuk tindakan yang menyebabkan kematian orang lain dipastikan oleh undang-undang dan dapat bervariasi tergantung pada keparahan perbuatan..
5. Kelalaian
Kelalaian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia adalah suatu tindakan atau keadaan di mana seseorang gagal untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, atau gagal untuk tidak melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Dalam hal ini, tindakan atau keadaan yang disebabkan oleh kelalaian dapat dianggap sebagai tindak pidana apabila
tindakan atau keadaan tersebut dianggap sebagai suatu hal yang tidak wajar atau kelalaian yang disengaja.
6. Pengadilan Negeri Rembang
Suatu Lembaga peradilan yang memiliki kewenangan untuk menangani perkara pidana di wilayah hukum Kabupaten Rembang.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah tata cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data dan menemukan jawaban dari permasalahan aktual yang sedang dihadapi.
Penelitian hukum ini pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang dalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala bersangkutan.9
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan yuridis sosiologis.
Pendekatan ini dipilih karena dapat menggabungkan aspek hukum dan sosial dalam menganalisis masalah hukum. Pendekatan yuridis sosiologis dapat memberikan pemahaman tentang hukum yang berlaku secara formal (yuridis) dan implementasinya dalam masyarakat (sosiologis). Dalam penelitian ini, pendekatan yuridis sosiologis akan digunakan untuk menganalisis bagaimana
9 Jonaedi Efendi Dan Jhony Ibrahim, Metode Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Jakarta, Kencana2021),hlm.16.
pertanggungjawaban pidana diterapkan dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang, serta faktor-faktor sosial yang mempengaruhi proses hukum tersebut.
Dalam pendekatan yuridis sosiologis, peneliti akan menggunakan data hukum yang bersifat formal seperti Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), putusan pengadilan, dan dokumen-dokumen hukum lainnya. Selain itu, peneliti juga akan menggunakan data sosial yang bersifat tidak formal seperti pandangan masyarakat tentang pertanggungjawaban pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi proses hukum tersebut.
Dalam melakukan analisis data, peneliti akan menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan secara rinci tentang pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang. Selain itu, peneliti juga akan menggunakan metode eksploratif untuk menemukan fakta-fakta baru yang belum diketahui sebelumnya dan metode eksplanatoris untuk mengidentifikasi faktor-faktor sosial yang mempengaruhi proses hukum tersebut.
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri
Rembang. Penelitian deskriptif dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang berupa fakta-fakta atau informasi yang terkait dengan kasus tersebut. Kemudian, data tersebut dianalisis dan diinterpretasikan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang masalah yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, penulis akan mengumpulkan data dari dokumen-dokumen hukum seperti putusan pengadilan, buku-buku hukum, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian.
3. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis dan sumber data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
a. Data primer akan diperoleh melalui wawancara dengan pihak terkait, seperti hakim, jaksa, dan ahli. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan pandangan mereka tentang proses pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang serta faktor-faktor sosial yang mempengaruhi proses hukum tersebut.
b. Data sekunder akan diperoleh dari tiga bahan yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier :
1) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer terdiri dari putusan hakim, Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas dan pertanggungjawaban pidana. Bahan hukum primer penelitian ini yaitu:
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
c) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas
d) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian
f) Peraturan Kepolisian Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penangangan Kecelakaan Lalu Lintas.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder terdiri dari buku, jurnal, dan artikel yang membahas tentang kecelakaan lalu lintas dan pertanggungjawaban pidana.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum penunjang yang terdiri dari Kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan bahan-bahan lain yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder..
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang umum digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, studi dokumen, dan studi lapangan. Berikut adalah uraian singkat tentang ketiga metode tersebut:
1. Studi Kepustakaan
Metode pengumpulan data dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka yang terkait dengan topik penelitian, seperti buku, artikel, jurnal, laporan, dan dokumen lainnya. Studi kepustakaan dapat dilakukan secara langsung dengan membaca bahan pustaka yang telah tercetak atau secara online dengan mengakses bahan pustaka yang tersedia di internet. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari literatur berupa buku ataupun jurnal terkait kasus pidana, khususnya kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian.
2. Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan cara mengumpulkan, menganalisis dokumen-dokumen, catatan-catatan penting dan berkaitan serta dapat memberikan data-data untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian.
Dokumen yang digunakan kemudian dianalisis, dibandingkan dan dipadukan membentuk satu kajian yang sistematis, terpadu, dan utuh.
3. Studi Lapangan
Metode pengumpulan data dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden. Wawancara bisa dilakukan secara tatap muka, telepon, atau video call. Wawancara bisa bersifat terstruktur (dengan pertanyaan- pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya) atau tidak terstruktur (dengan memberikan kebebasan pada responden untuk menjawab pertanyaan secara bebas).
Dalam penelitian, ketiga metode pengumpulan data ini dapat digunakan secara terpisah atau digabungkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan mendalam mengenai topik penelitian.
5. Analisis Data Penelitian
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif.
Metode ini digunakan untuk memahami fenomena atau masalah yang diteliti secara mendalam dan detail melalui pengumpulan dan analisis data yang bersifat deskriptif. Analisis data kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali makna dari data yang diperoleh melalui wawancara dan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dalam penelitian ini, data-data tersebut akan dianalisis untuk memahami bagaimana pertanggungjawaban pidana pada kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian diterapkan di Pengadilan Negeri Rembang, termasuk faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi putusan hakim.
Proses analisis data kualitatif dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data. Reduksi data dilakukan dengan mengurangi data yang tidak relevan dan mengekstraksi data penting dari wawancara dan bahan hukum. Penyajian data dilakukan dengan membuat kategori-kategori atau tema-tema yang muncul dari data yang telah direduksi.
Verifikasi data dilakukan dengan membandingkan hasil analisis dengan data yang diperoleh untuk memastikan bahwa hasil analisis yang diperoleh valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam penelitian ini, analisis data kualitatif akan dilakukan dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang mempengaruhi keputusan
hakim. Analisis ini akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dan kaya tentang fenomena yang diteliti, serta dapat memberikan rekomendasi atau saran untuk meningkatkan penerapan hukum dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian di Pengadilan Negeri Rembang.
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana
1. Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dapat didefinisikan sebagai kewajiban hukum untuk dipertanggungjawabkan dan dihukum terhadap tindakan kriminal yang telah dilakukan oleh terdakwa atau tersangka.10 Romli Athamasamita menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana melibatkan kewajiban terdakwa untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan.11
Seorang individu tidak dapat dikenai pidana kecuali jika ia terbukti melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana tidak bisa dipisahkan dari perbuatan jahat tersebut. Oleh sebab itu, jika seseorang dihukum tanpa melakukan tindakan tersebut, hal ini akan dianggap sebagai ketidakadilan.
Dalam konteks hukum pidana, konsep "tanggung jawab" menjadi sangat penting dan dikenal dengan doktrin kesalahan (mens rea). Doktrin kesalahan, yang berasal dari bahasa Latin, merujuk pada faktor-faktor yang mencegah seseorang melakukan kejahatan.
Berbeda pendapat, doktrin di Inggris berpendapat bahwa seseorang tidak dapat dihukum kecuali jika ada ketidaktahuan hukum dalam pikirannya. Menurut
10 Eva Agustin Nur, dkk, "Analisis Kebijakan Perlindungan Hukum Korban Malpraktek Profesi Medis: A Literature Review", Jurnal Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan 2.1, 2023, Hal. 53- 64.
11 Maria Liwa Ana, Eli Tri Kursiswanti, dan Yanuel Albert Faisan, "Efektifitas Penegakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Pernikahan Siri", Collegium Studiosum Journal 5.1, 2022, Hal. 31-38.
pandangan ini, untuk dipidana, dua syarat harus terpenuhi, yaitu adanya perbuatan nyata (actus reus) dan keadaan batiniah (mens rea)12.
Secara sederhana, pertanggungjawaban pidana merujuk pada kewajiban seseorang untuk diproses hukum atau dihukum sebagai akibat dari melakukan tindakan kriminal. Dalam hal ini, terdakwa atau tersangka dinyatakan bersalah atau dihukum karena kejahatan yang mereka lakukan. Menurut Romli Athamasamita, pertanggungjawaban pidana juga melibatkan tanggung jawab terdakwa untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan.
Dalam hukum pidana, konsep "pertanggungjawaban" menjadi sangat penting dan terkait erat dengan doktrin kesalahan. Doktrin kesalahan, yang dalam bahasa Latin disebut mens rea, mengacu pada faktor-faktor yang mencegah seseorang melakukan tindakan kriminal.
Pendapat tersebut keliru. Dalam doktrin hukum Inggris, seseorang tidak akan dihukum kecuali jika pikirannya secara hukum dianggap bodoh. Menurut prinsip ini, untuk dapat dikenakan hukuman pidana, dua syarat harus terpenuhi, yaitu adanya tindakan yang nyata (actus reus) dan adanya unsur kesalahan batiniah (mens rea).
Dalam konteks pelanggaran pidana, seseorang dapat dihukum atas kejahatan yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Mahrus Ali berpendapat bahwa tidak diperlukan hukuman terhadap seseorang yang telah melanggar undang-undang.
Oleh karena itu, meskipun tindakan tersebut sesuai dengan waktu kejahatan yang ditentukan dalam undang-undang, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk
12 Fernando Sinaga, "Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Hasil Perkebunan di Wilayah PTPN III (Persero) pada Masa Covid-19 (Studi di PTPN III (Persero))", 2022.
dipidana. Pidana diperlukan dalam konteks pertanggungjawaban pidana, yaitu ketika pelaku telah melakukan pelanggaran atau memenuhi unsur-unsur negatifnya. Jika seseorang dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, maka dia harus bertanggung jawab atas tindakannya.
Pertanggungjawaban pidana terletak pada pihak yang bersalah. Seseorang memiliki kemampuan untuk dituduh karena dia memiliki kemampuan untuk menyadari bahwa apa yang dia lakukan bertentangan dengan aturan pikiran atau ideanya, yang berarti itu tidak sah dan diinginkan. Pada dasarnya, terdakwa adalah orang yang bersalah dan bertanggung jawab atas kesalahannya. Jika tidak demikian, maka orang tersebut tidak dapat dituntut.
Menurut Pompey, pertanggungjawaban pidana memerlukan unsur-unsur berikut : 13
a. Kesadaran memungkinkan individu untuk mengendalikan pikirannya, yang membantu dalam merencanakan tindakannya.
b. Oleh karena itu, individu tersebut dapat membuat keputusan sendiri berdasarkan penilaian pribadinya.
c. Sesuai dengan pemikirannya, ia dapat bertindak sesuai dengan keputusannya.
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam
Dalam Islam, tanggung jawab terhadap dosa ditempatkan pada individu yang mengetahui unsur-unsur objektif dari kehendak bebas individu, tujuan tindakan, dan konsekuensinya. Larangan berarti bahwa suatu tindakan menjadi haram, yang artinya bahwa tindakan tersebut dilarang berdasarkan Syariah. Beban tanggung
13 Eva Agustin Nur, Loc. Cit.
jawab terletak pada fakta bahwa tindakan tersebut didasarkan pada kehendak dan niat individu, bukan dipengaruhi oleh orang lain dengan kuat.
Aturan-aturan yang tidak tertulis dan muncul dalam hukum Islam memberikan pemahaman tentang kesalahan dan dosa ketika seseorang mengklaim memiliki kapasitas untuk dimintai pertanggungjawaban : 14
a. Melakukan tindakan yang dilarang dan mengabaikan tindakan yang wajib dilakukan.
b. Pelaksanaan tindakan tersebut bersifat sukarela, yang berarti pelaku harus memilih untuk melakukannya daripada tidak melakukannya.
c. Individu yang bersalah menyadari konsekuensi dari tindakannya.
Oleh karena itu, praktik hukum Syariat Islam dapat dipandang memiliki tiga aspek penting : 15
a. Terdapat tindakan-tindakan yang dilarang.
b. Pelaksanaan tindakan tersebut bersifat opsional.
c. Individu yang bersalah menyadari konsekuensi dari tindakannya.
Jika ketiga hal tersebut terpenuhi, maka kesalahan hanya ada pada individu yang melakukan kejahatan. Jika tidak, maka tidak ada kesalahan yang dapat disandang. Hal ini jelas tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yaitu : 16 "Aisyah melaporkan bahwa Rasulullah bersabda:
14 Vivi Ariyanti, "Konsep Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Nasional dan Sistem Hukum Pidana Islam", Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 13.1, 2019, Hal. 33-48.
15 Ibid.
16 Ahmad Ibnu Hambal, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Hadist Nomor 3822), Hal. 243
ٍَْع ُىَهَقْنا َعِفُز ىَّتَح ِّيِبَّصنا ٍَْعَو ، َظِقْیَتْسَی ىَّتَح ِىِئاَُّنا ٍَْع : ِةَثَلاَث
َمِقْعَی ىَّتَح ٌِ ْىَُ ْجًَْنا ٍَِع َو ، َىِهَتْحَی
Artinya: “Dihapuskan hukum itu dari tiga hal, anak selama ia belum bermimpi atau baligh, orang yang tidur sampai ia terjaga dan orang gila sampai ia kembali sadar." (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hal kejahatan ini, hukum Islam hanya menghukum individu yang hidup dan telah mencapai muqallaf (dewasa secara hukum). Hal ini tertuang dalam ayat Al-Qur'an dalam Surat An-Nur (24): 59 yang berbunyi:
ْْۗىِهِهْبَق ٍِْي ٍَْیِرَّنا ٌََذْأَتْسا اًََك اْىَُِذْأَتْسَیْهَف َىُهُحْنا ُىُكُِْي ُلاَفْطَ ْلْا َغَهَب اَذِاَو ٌىْیِكَح ٌىْیِهَع ُ ّٰاللَّو ْۗ هِتٰیٰا ْىُكَن ُ ّٰاللّ ٍُِّیَبُی َكِن ٰرَك
Artinya: " Jika anak-anakmu telah dewasa, maka mintalah izin kepada mereka sebagaimana lazimnya permohonan izin. Dan sampaikanlah peringatan kepada mereka tentang ayat-ayat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
Hukum Islam juga melarang memberlakukan hukuman terhadap penjahat dan individu yang tidak berakal, berdasarkan prinsip bahwa seseorang hanya bertanggung jawab dan dapat dihukum atas perbuatannya sendiri, bukan perbuatan orang lain. Korban bukanlah pelaku kejahatan17. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Fussilat (41): 46, yang berbunyi:
17 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariat Islam Dalam Konteks Modernitas, (Bandung: Asy Syamil Press & Grafika, 2001, Cet. Kedua), Hal. 16
ِدْیِبَعْهِّن ٍو َّلاَظِب َكُّبَز اَيَوْۗ اَهْیَهَعَف َءۤاَسَا ٍَْيَوۙ هِسْفَُِهَف اًحِناَص َمًَِع ٍَْي
۔
Artinya: " Barang siapa yang berbuat kebaikan, maka balasan baik akan diberikan-Nya (Allah), dan barang siapa yang berbuat keburukan, maka bukan Dia Tuhanmu. Ikutilah hamba-hamba-Nya."
Selanjutnya, kejahatan dan pelanggaran dapat didefinisikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menekankan pada tindakan jahat dan kejahatan, serta kelompok yang terkait dengan pelanggaran dan perbuatan jahat.
Teori pertama menyatakan bahwa kejahatan adalah tindakan atau serangkaian tindakan yang diancam dengan pidana. Menurut Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul Aktivitas Kriminal dan Tanggung Jawab, kegiatan kriminal adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Oleh karena itu, suatu perbuatan hanya dapat disebut sebagai tindak pidana aktif atau pidana jika pelaku perbuatan itu bersalah dan melanggar hukum dengan melakukan suatu tindak pidana, yang bukanlah tindak pidana melainkan tindak pidana. Dengan kata lain, apakah pelaku dihukum atau tidak tidaklah penting jika pelanggaran itu terjadi.
Pandangan kedua berpendapat bahwa tidak mungkin memisahkan tindakan pidana dari pertanggungjawaban pidana. Menurut Simon, strafbaarfeit adalah tindakan yang dapat dihukum secara hukum yang melanggar undang-undang, dan ditandai oleh kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa. Sedangkan van Hamel mendefinisikan strafbaarfeit sebagai tindakan manusia yang diatur dalam undang- undang. Menurut pandangan ini, tindakan tersebut harus dihukum dan dikutuk.18
18 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), Hal. 11.
Di Indonesia, tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum dan dilakukan oleh pelaku kejahatan. Pendapat yang juga terkait dengan kasus Indriarto Seno Adji menyatakan bahwa suatu delik intimidasi terhadap orang lain adalah perbuatan yang melanggar hukum dan pelakunya dapat dituntut serta dihukum sesuai dengan karakter kejahatannya.
Dalam memahami arti kejahatan, Komariach Indriante Seno Adji sangat dipengaruhi oleh pemikiran Simmons dan Van Hamel. Mereka melihat kejahatan sebagai tindakan yang jelas sebagai kejahatan daripada hanya perbuatan biasa.
Dari dua pengertian tersebut, penulis sangat setuju dengan kesimpulan pertama, yaitu pengertian kejahatan dan sifat kejahatan. Dengan demikian, jika seseorang terbukti melakukan perbuatan yang dilarang dalam keadaan darurat, namun tidak dapat dipidana dengan alasan yang sah, untuk menghukum seseorang atas tindak pidana tersebut, harus terbukti bahwa pelaku benar-benar melakukan kejahatan dan hal tersebut harus dibuktikan dalam persidangan. Itulah proses hukum pidana.
3. Ketentuan tentang Pertanggungjawaban Pidana
Kapasitas untuk bertanggung jawab dapat dijelaskan sebagai keadaan pikiran yang normal atau sehat, yang memungkinkan seseorang membedakan antara yang baik dan yang jahat serta mengetahui ketidaklegalan tindakan dan membuat keputusan atas kehendaknya. Untuk memahami hal ini dengan lebih baik, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kapasitas tanggung jawab, yaitu keadaan pikiran yang sehat dan kehendak yang ada. Pengetahuan memungkinkan kita
membedakan antara yang benar dan yang salah, sementara kehendak, persepsi tentang benar dan salah, dapat mempengaruhi perilaku seseorang.19
Berikut ini adalah kriteria pertanggungjawaban pidana : 20
a. Seseorang harus memiliki kesadaran atau pemahaman tentang pentingnya tindakan yang dilakukan.
b. Seseorang harus mengetahui bahwa tindakan mereka dibatasi oleh norma- norma sosial yang berlaku.
c. Seseorang harus dapat mengendalikan keinginannya sehingga tidak melanggar tindakan tersebut.
Mengingat hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk mengasumsikan tanggung jawab sangatlah penting dalam konteks pertanggungjawaban pidana.
B. Kesengajaan dan Kealpaan
Kesalahan berarti bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban, karena dari perspektif masyarakat, orang tersebut dapat memilih untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Seseorang dapat dianggap bersalah ketika mereka melakukan kejahatan dan dapat dimintai pertanggungjawaban dari sudut pandang masyarakat. Dalam hal ini, alasan mengapa seseorang melanggar norma-norma masyarakat menjadi penting, yaitu untuk memahami makna dari tindakan tersebut dan menghindarinya.
19 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kesatu), Hal.
97.
20 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), Hal. 15.
Kata "kesalahan" memiliki penggunaan yang meliputi aspek psikologis maupun konvensional. Kesalahan psikologis merujuk pada representasi yang keliru tentang kondisi psikologis seseorang. Karena sulit untuk mengetahui kondisi sebenarnya atau apa yang benar-benar ada dalam pikiran seseorang, penggunaan hukum pidana bukanlah kesalahan psikologis, melainkan pertimbangan akal sehat.
Kesalahan, di sisi lain, merujuk pada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku dari perspektif orang lain. Kekeliruan adalah kesalahan yang dinilai berdasarkan prinsip-prinsip hukum pidana, yaitu kesalahan yang terjadi karena sengaja atau karena kelalaian. Dalam beberapa kasus, kriteria umum digunakan untuk menentukan apakah pelaku bersalah atas tindakan yang disengaja atau tidak.
1. Kesengajaan
Wetboek Van Srafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undnag-undang. Rusli Effendy menuliskan dolus atau kesengajaan menurut Memory Van Toelichting (Risalah penjelasan Undang-undang) berarti pelaku harus menghendaki apa yang dilakukannya (menghendaki dan menginsyafi suatu tindakan beserta akibatnya).21
Dalam argumen teoretis, terdapat dua teori tentang konsep pengetahuan tentang hukum : 22
21 Rusli Effendy, Asas-Aas Hukum Pidana, (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian Universitas Muslim Indonesia, 1989), Hal. 69.
22 P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya, 1997), Hal. 397
1) Menurut teori pengetahuan, seseorang dapat disebut melakukan tindakan pidana dengan maksud melakukan perbuatan tersebut jika pada saat melakukan perbuatan tersebut, orang tersebut mengetahui atau menyadari bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang- undang.
2) Teori kehendak juga memainkan peran penting dalam memahami kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Menurut teori kehendak, kejahatan dianggap dilakukan secara sengaja oleh seseorang. Dalam hal ini, tujuannya adalah untuk mengarahkan pelaksanaan proses yang ditentukan. Dalam konteks diskusi ini, voluntarisme, yang merupakan karakteristik intrinsik yang menentukan tingkat atau bentuk kemauan, dapat dibagi menjadi tiga kategori sebagai berikut : 23
a) Kesengajaan Sebagai Maksud (opzet als oogmerk)
Berdasarkan kesadaran, pelaku dengan sengaja melakukan tindakan dengan pemahaman dan keinginan atas konsekuensi dari perbuatannya. Di sini, kata "niat" merujuk pada keinginan untuk mencapai suatu hasil.
b) Kesengajaan Sebagai Kemungkinan (opzet bij mogelijkheidswutzijin) Kesengajaan kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang akibat dari apa yang dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi, melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang terjadi.
23 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal. 185.
c) Kesengajaan Sebagai Kepastian (opzet bil noodzakelijkheids)
Hal ini dapat dikaitkan dengan tindakan yang dipertimbangkan sebelumnya dan dampak negatif atau konsekuensi lanjutan dari tindakan tersebut.
2. Kealpaan
Kelalaian menurut Moeljatno merujuk pada suatu struktur yang sangat geocompliceerd, yang mempengaruhi kesalahan praktis di luar dan di dalam diri pelaku. Akibatnya, pengabaian memiliki definisi yang lebih luas daripada hanya kesalahan. Perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan terletak pada fakta bahwa dalam kesengajaan, pelaku dengan sengaja dan kerelaan melanggar perbuatan yang dilarang, sedangkan dalam kealpaan, kurangnya kehati-hatian ditemukan karena tidak ada alasan yang masuk akal.24
Secara umum, jenis kealpaan dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana karya Mahrus Ali terdiri dari dua bagian yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Kealpaan Yang Disadari (Bewuste Culpa):
Ketika seseorang dengan sengaja mengabaikan tindakannya, kurangnya pertimbangan dapat membuat korban mengetahui apa yang telah terjadi dan konsekuensinya, namun korban berharap tidak ada konsekuensi yang akan terjadi.
24 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal. 217.
2) Kealpaan Yang Tidak Disadari (Onbewuste Culpa):
Dalam kealpaan ini pelaku tidak menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang. Padahal pelaku seharusnya memperhitungkan akan akibat yang akan ditimbulkan.
Berbeda halnya dengan Frans Maramis dalam karyanya yang berjudul Hukum Pidana Umum Dan Tertulis membaginya dalam dua bentuk, yaitu : 25
1) Kealpaan Berat (Culpa Lata):
Dalam kealpaan berat ilmu hukum pidana maupun yurisprudensi menerangkan bahwa hanya kealpaan berat yang dapat dipidana karena tergolong sebagai kejahatan.
2) Kealpaan Ringan (Culpa Levis):
Kelalaian semacam ini dianggap sebagai kelalaian ringan karena ada keyakinan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar hukum secara nyata dan oleh karena itu tidak diancam pidana.
C. Penghapusan Pertanggungjawaban Pidana
1. Penghapusan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana a. Daya Paksa
Ada beberapa alasan yang dapat digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana. Salah satunya adalah adanya daya paksa. Sebagai contoh, KUHP secara eksplisit menjelaskan dalam Pasal 48, yang menyatakan:
“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”.
25 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Hal. 130-132.
Rumusan pasal tersebut menimbulkan pertanyaan, yakni apakah daya paksa yang dikategorikan sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa fisik atau daya psikis. Secara teoritis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu:
1) Vis absoluta (Paksaan Mutlak):
Vis absoluta dipengaruhi oleh kekuatan fisik yang besar dari orang lain.
2) Vis Compulsiva (Paksaan Kompulsif):
Vis Compulsiva adalah paksaan yang dapat dihilangkan, meskipun sulit bagi mereka yang mengalami perjuangan kompulsif untuk mengharapkan penghilangan paksaan dengan tepat. Vis Compulsilva, dalam konteks ini, merujuk pada kekuatan pikiran, yang berarti bahwa meskipun tidak ada paksaan fisik yang terlibat, tetapi ada kekuatan psikologis atau psikis yang mendominasi.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata yang dikategorikan sebagai daya paksa sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa psikis atau Vis compulsilvai. Hal ini menjelaskan mengapa pelaku tidak secara fisik dipaksa, tetapi terdorong oleh keadaan pikiran. Vis compulsilva juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kekuatan pemaksaan dalam arti sempit dan keadaan darurat. Pengertian paksaan dalam arti yang lebih sempit adalah ketika sumber paksaan berasal dari kekuatan luar, yang menyebabkan individu tidak memiliki pilihan selain bertindak sesuai dengan kehendak orang yang memaksanya itu, sedangkan dalam keadaan darurat yang terkena daya paksa itu sebenarnya masih memiliki kebebasan untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan.26
26 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Hal. 182.
b. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas
Selain itu, alasan penghapusan pertanggunjawaban pidana, salah satunya adalah “pembelaan terpaksa yang melampaui batas” yang diatur dalam Pasal 49 (2) KUHP. Pasal ini menyatakan bahwa " Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tindak dipidana."
Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu dilampaui, jadi tidak proporsional. Terdapat dua jenis tindakan perlindungan yang dapat diidentifikasi. Pertama, orang yang diserang sebagai akibat keguncangan jiwa yang hebat, kedua ialah orang yag berhak membela diri karena terpaksa karena akibat keguncangan jiwa yang hebat sejak semula memakai alat yang melampaui batas.
c. Menjalankan Perintah Undang-Undang
Penghapusan pertanggungjawaban pidana atas pelaksanaan perintah undang- undang didasarkan pada beberapa pasal yang tercantum dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satunya adalah Pasal 50 KUHP, yang mengatur tentang pelaksanaan perintah undang-undang. Sebagai contoh, dalam situasi di mana sebuah regu tembak merampas orang (terpidana mati), meskipun perbuatan tersebut secara substansial melanggar Pasal 340 KUHP, perbuatan tersebut dapat dihapuskan pertanggungjawaban pidananya. Ini disebabkan oleh sifat melawan hukum dari perbuatan regu tembak yang telah dihapuskan melalui undang-undang.
Selanjutnya, Pasal 51 ayat (1) KUHP juga memiliki peranan penting dalam menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Pasal ini mengatur tentang pelaksanaan perintah jabatan. Misalnya, ketika seorang polisi menerima perintah dari seorang penyidik polri untuk menangkap seseorang yang telah melakukan kejahatan, tindakan penangkapan tersebut pada dasarnya melibatkan pengambilan kemerdekaan individu lain. Meskipun demikian, karena penangkapan tersebut dilakukan dalam batasan perintah yang sah, polisi tersebut tidak dapat dikenai pidana atas tindakan tersebut.
Tidak hanya itu, Pasal 51 ayat (2) KUHP juga memberikan ketentuan yang relevan. Pasal ini menyatakan bahwa perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak akan menghapuskan pertanggungjawaban pidana, kecuali jika penerima perintah tersebut dengan itikad baik meyakini bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya dilakukan dalam lingkungan pekerjaan. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan atas perintah yang sebenarnya tidak sah dapat menjadi alasan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana jika penerima perintah bertindak dengan itikad baik dan percaya bahwa perintah tersebut sah.
d. Menjalankan Perintah Jabatan
Alasan penghapusan pertanggungjawaban pidana selanjutnya yaitu adanya perintah berasal dari penguasa yang tidak berwenang namun pelaku menganggap bahwa perintah tersebut berasal dari penguasa yang berwenang. Apabila pelaku dengan setia mematuhi perintah tersebut, percaya bahwa perintah tersebut sah, dan melanjutkan tugasnya, maka kejadian tersebut dapat dimaafkan. Pasal 51 (2)
KUHP menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa "perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yag diperintah, dengan itikad yang baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjanya".
Berdasarkan Pasal 51 (2) KUHP, Vos berpendapat bahwa perintah jabatan yang diberikan jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos pemidanaan, harus memenuhi dua syarat : 27
1) Syarat subjektif, yaitu bahwa penerima perintah harus menerima dengan itikad baik bahwa perintah tersebut diberikan oleh pihak yang berwenang.
2) Syarat objektif, yaitu bahwa pelaksanaan perintah harus dilakukan dengan keyakinan penuh sebagai pelaku.
2. Penghapusan Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Islam a. Disebabkan Perbuatan Mubah (Asbab al-Ibahah)
Alasan yang memperbolehkan perbuatan yang sebelumnya dilarang, yang dikenal sebagai Asbab al-Ibahah, berkaitan dengan pemenuhan hak dan kewajiban. Seseorang tidak akan dihukum jika terdapat alasan yang membenarkan keyakinannya bahwa tindakan tersebut tidak salah. Alasan dasarnya adalah mengapa penghilangan secara ilegal, aktivitas, dan praktik yang sebelumnya dianggap tidak sah.28
Sebagai contoh, dalam konteks pengobatan, seorang ahli bedah harus menyebabkan rasa sakit pada pasien selama operasi karena hal itu diperlukan
27 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Sebagai Syarat Pemidanaan, Hal. 91.
28 Mukhlis Effendi, "Pandangan Hukum Islam terhadap Perceraian Melalui Media Elektronik", The Juris 4.2, 2020, Hal. 210-220.
untuk melakukan tindakan medis yang sesuai. Meskipun ada hukuman untuk menyakiti orang lain, prinsip ini tidak berlaku dalam kasus tersebut karena kesakitan yang diakibatkan adalah untuk tujuan pengobatan yang sah.
Selain itu, alasan yang dapat membenarkan suatu perbuatan juga dapat ditemukan dalam konteks permainan olahraga. Dalam permainan olahraga, tindakan yang mungkin dianggap melanggar hukum dalam konteks lain dapat diperbolehkan dan tidak dikenai pertanggungjawaban pidana karena berada dalam batas-batas aturan permainan yang ditetapkan.
Dengan demikian, dalam sistem hukum Islam, Asbab al-Ibahah digunakan untuk memahami dan membenarkan tindakan yang sebelumnya dilarang berdasarkan alasan-alasan yang dapat memenuhi hak dan kewajiban yang relevan dalam situasi yang spesifik.
Dalam konteks permainan olahraga, terkadang terjadi cedera atau kerugian bagi pemain dan orang lain. Jika cedera terjadi sebagai akibat kecelakaan dalam permainan, hukum Islam biasanya mempertimbangkannya. Namun, jika cedera disebabkan oleh agresi yang disengaja, terutama dalam olahraga yang melibatkan penggunaan kekuatan fisik terhadap lawan, seperti gulat, penalti tidak diterapkan atau melampaui batas yang ditetapkan.
Selain itu, dalam konteks penghapusan jaminan keamanan, batalnya jaminan berarti tidak ada risiko cedera atau kematian terhadap nyawa atau anggota tubuh, kerusakan harta benda, atau harta kekayaan.
Pada aspek pengaturan wewenang dan fungsi lembaga, Syariat Islam mengacu pada tugas-tugas yang harus dilakukan dan dilaksanakan oleh penguasa
atau pemimpin untuk kemaslahatan masyarakat. Orang-orang yang menjalankan tugas ini adalah mereka yang telah melaksanakan jabatan pemerintah dengan baik.
Islam menetapkan dasar pertanggungjawaban bagi pemimpin atau penguasa.
Hukum Syariah Islam menyatakan bahwa pejabat publik tidak dapat dituntut karena menjalankan tugasnya.
b. Disebabkan Hapusnya Pertanggungjawaban pidana (Asbab Raf’i al- Uqubah)
Hal ini terjadi pada pelaksanaan pertanggungjawaban pidana pidana yang menjadikan perbuatan tersebut halal, tetapi perbuatan tersebut pada dasarnya dilarang karena pelaku tidak mampu melaksanakan pertanggungjawaban pidana, sehingga oleh karena hal itu ia dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
Dalam Islam, terdapat banyak alasan untuk membatalkan pertanggungjawaban pidana, di antaranya : 29
1) Lupa
Lupa adalah kondisi kehilangan ingatan pada waktu yang seharusnya diingat, disebabkan oleh kelalaian atau kurangnya pemahaman manusia. Para ahli hukum membagi lupa menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa lupa adalah umum, baik dalam urusan ibadah maupun urusan pidana.
Mereka berpegang kepada prinsip umum yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan karena lupa, tidak berdosa dan dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena hukuman akhirat didasarkan atas kesengajaan,
29 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, Hal. 95.
sedangkan pada orang lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk pertanggungjawaban pidana-hukuman dunia, lupa tidak bisa menjadi alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana sama sekali, kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak Allah, dengan syarat ada motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan tidak ada hal-hal yang mengingatkannya sama sekali.
2) Kekeliruan
Selain lupa, terdapat juga kekeliruan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi pertanggungjawaban pidana. Kekeliruan tidak merupakan niat seseorang. Tindakan jahat sering kali disebabkan oleh kelalaian dan ketidaktelitian pelakunya, bukan karena maksud dan niat jahat. Kekeliruan dapat menjadi alasan untuk membatalkan pertanggungjawaban pidana, namun walaupun perbuatannya salah, kekeliruan tersebut tidak membuat orang yang bertindak jahat menjadi benar. Dengan kata lain, jika unsur nafsu telah hilang, orang yang tidak menyakiti orang lain secara disengaja harus dikecualikan dari pertanggungjawaban pidana.
3) Gangguan Jiwa
Selanjutnya, dalam kasus seseorang yang mengalami gangguan jiwa, orang tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan tindakannya.
Orang yang mengalami gangguan jiwa kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berpikir secara rasional. Oleh karena itu, orang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat disalahkan.30
30 Assadulloh Al-Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Hal. 89.
4) Anak-anak
Terakhir, pada konteks individu yang melakukan tindakan jahat sebagai anak- anak, ada pertimbangan khusus yang perlu dipertimbangkan. Anak-anak tidak memiliki pemahaman dan pertimbangan yang sama seperti orang dewasa. Oleh karena itu, dalam sistem hukum, pendekatan terhadap anak-anak yang melakukan tindakan jahat berbeda dengan orang dewasa.
Anak-anak termasuk dalam kelompok yang tidak dihukum atas tindakan mereka, karena mereka tidak dianggap sebagai bagian dari populasi yang bertanggung jawab secara hukum. Jika anak melakukan kesalahan, tindakannya diampuni.31
D. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan mobilitas sosial masyarakat. Transportasi dan Angkutan Jalan (LLAJ) memiliki keterkaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Masyarakat terus menghadapi tantangan dalam lalu lintas karena berbagai alasan.
Sejarah perkembangan jalan dan transportasi di Indonesia mengalami perubahan dari masa pemerintahan Belanda hingga era reformasi. Dalam berbagai era tersebut, angkutan jalan dan transportasi mengalami perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seiring dengan perubahan perilaku manusia.32
Perilaku dan pengambilan keputusan selama berkendara merupakan faktor yang mempengaruhi keselamatan dan keamanan di jalan. Pada masa Hindia
31 A. Hanafi, Asas-Asas Hukum PIdana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976, Cet. Kedua), Hal. 397
32 Asifah Lubis Elsa Nurahma, dan Farhan Dwi Fahmi, "Pengenalan dan Definisi Hukum Secara Umum (Literature Review Etika)", Jurnal Ilmu Manajemen Terapan 2.6, 2021, Hal. 768- 789.