• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Stunting pada Balita di Pontianak Tenggara

N/A
N/A
Indri Wulandari

Academic year: 2025

Membagikan "Prevalensi Stunting pada Balita di Pontianak Tenggara"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

*corresponding Author:

Dedi Alamsyah

Fakultas Ilmu, Universitas, Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia Email : [email protected]

Jurnal Mahasiswa dan Peneliti Kesehatan is licensed under a Creative Commons Attribution-

ShareAlike 4.0 International License. 95

Journal DOI: https://dx.doi.org/10.29406/jjum.v8i2.3074 Website: http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/JJUM

PREVALENSI KEJADIAN STUNTING PADA BALITA (12-59 BULAN) DI PONTIANAK TENGGARA KALIMANTAN BARAT

Dedi Alamsyah1*, Otik Widyastutik2

1,2,3 Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Pontianak

Menerima: 24 September 2021 Revisi: 29 September 2021 Diterima: 3 Desember 2021

ABSTRAK

Wilayah Kecamatan Pontianak Tenggara kejadian Stunting pada Balita sebesar 302 Kasus (25,1 %). Faktor risiko Kejadian Stunting adalah Agent (Asupan Protein, ASI Eksklusif), Host (BBLR, Penyakit Infeksi, Usia Kehamilan), Enviroment (BAB sembarangan tempat, Cuci Tangan Dengan Sabun, Ketersedian Air Bersih, Pengolahan Sampah dan Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga). Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Prevalensi Kejadian Stunting Pada Balita Dan Mengetahui Persebaran Kejadian Stunting Pada Balita di Pontianak Tenggara Kalimantan Barat Tahun 2019.

Desain penelitian ini adalah pendekatan observasional dengan. Kajian kuantitatif dengan desain Cross Sectional. Pada penelitian ini juga menggunakan aplikasi GIS untuk mengetahui persebaran kasus Stunting. Hasil penelitian diketahui variable berhubungan dengan kejadian Stunting adalah asupan protein P-Value 0,002, Penyakit diare P-Value 0,000 dan Usia melahirkan P-Value 0,019. Sedangkan variabel tidak berhubungan Asi eksklusif, penyakit ISPA, penyakit Pnemonia, BBLR, dan Sanitasi Lingkungan Adapun sarannya adalah Mengkonsumsi makanan banyak mengandung protein yang beragam seperti telur ayam, ikan, daging ayam, daging sapi, tahu, dan tempe. Pemantauan terkait penyakit infeksi pada balita oleh posyandu setempat dan diadakan penyuluhan terkait dengan pola asuh pada anak, khususnya pola asuh yang baik dapat berdampak kepada status gizi yang lebih baik. Serta diharapkan usia melahirkan untuk perempuan berusia diatas 21 sampai 35 tahun.

Kata kunci: Asupan Protein, Diare, Riwayat Usia Melahirkan, GIS, Stunting, Balita

ABSTRACT

In the area of Southeast Pontianak District, the incidence of stunting among children under five was 302 cases (25.1%). Risk factors for stunting are Agent (Protein Intake, Exclusive Breastfeeding), Host (LBW, Infectious Disease, Gestational Age), Enviroment (defecating in random places, washing hands with soap, availability of clean water, waste management and household liquid waste security). The purpose of this study was to determine the prevalence of stunting in children under five and to know the distribution of stunting incidence in children under five in Southeast Pontianak, West Kalimantan in 2019. This research design is an observational approach with. Quantitative study with a cross sectional design. In this study also used the GIS application to determine the distribution of stunting cases. The results showed that the variables associated with the incidence of stunting were protein intake, P-Value 0.002, Diarrheal disease P-Value 0.000 and age of birth P-Value 0.019. While the variables are not related to exclusive breastfeeding, ARI disease, pneumonia, low birth weight, and environmental sanitation The advice is to consume foods that contain a lot of various proteins such as chicken eggs, fish, chicken, beef, tofu, and tempeh. Monitoring related to infectious diseases in children under five by the local posyandu and counseling related to parenting for children, especially good parenting, can have an impact on better nutritional status. It is also expected that the childbirth age is for women aged over 21 to 35 years

Keywords: Protein Intake, Diarrhea, Childbirth History, GIS, Stunting, Children Under Five

R E S E A R C H Open Access

(2)

96

PENDAHULUAN

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (Bayi dibawah lima tahun) akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study), Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z- scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted) 1.

Permasalahan Stunting merupakan isu baru yang berdampak buruk terhadap permasalahan gizi di Indonesia karena mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan World Health Organization untuk segera dituntaskan2.

Lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%)3. Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional. Rata- rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%4. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, prevalensi stunting adalah sebesar 30,8%. Prevalensi stunting ini mengalami penurunan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 37,2%5. Kalimantan barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki masalah prevalensi Stuntingyang tinggi dibandingkan dengan prevalensi stuntingnasional yaitu sebesar 36,5 persen6.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita.Intervensi yang harus dilakukan untuk menangani stunting ini di bagi menjadi dua macam yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Dimana perlu dilakukan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu pacsa melahirkan dan menyusui) serta akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi, dan akses ke air bersih,sanitasi gizi masyarakat, Jaminan kesehatan keluarga dan menyediakan bahan pangan keluarga1.

Menurut penelitian Pengan,dkk (2015), terdapat hubungan antara riawayat pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting padaa anak usia 12-36 bulan. Penelitian lain yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari II juga menunjukan bahwa ada hubungan bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting(OR=2,92; CI=1,24-6,86) 7.

Selain usia pertam kehamilan dan ASI ekslusif, asupan protein menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting, hal ini didukung penelitian lain yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara asupan protein dan kejadian stunting8.

(3)

97 Makanan akan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan fisik dan mental balita, oleh karena itu makanan yang diberikan harus memenuhi kebutuhan gizi balita. Balita dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya ditentukan oleh makanan yang dimakan sehari-hari, untuk tumbuh optimal membutuhkan asupan makanan yang baik yaitu beragam, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang. Sesuai dengan tahap perkembangannya, anak usia balita mulai ingin mandiri.

Dalam hal makanan pun anak usia balita bersifat sebagai konsumen aktif. Hal ini berarti anak biasanya dapat memilih dan menentukan sendiri makanan yang akan dikonsumsi. Tak heran bila direntang usia ini sering terjadi anak menolak makanan yang tidak disukai9.

Mengaitkan isu stunting dan kesehatan lingkungan, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kontribusi penyehatan lingkungan terhadap pengentasan masalah stunting cukup besar, salah satunya penelitian tentang anak-anak di Bangladesh yang terakses air minum bersih, jamban, serta fasilitas CTPS pertumbuhan tinggi badannya 50% bertambah lebih tinggi dibanding anak yang tidak mendapat akses tersebut10. Akses ke air bersih dan sanitasi menjadi faktor penting.

Prevalensi Kejadian Stunting berdasarkan indicator TB/ U di Kota Pontianak sebesar 1901 balita (22,1%). Sedangkan kejadian stunting di Kota Pontianak tertinggi terjadi di Pontianak Timur sebesar 621 (29,4 %), selanjutnya diikuti Pontianak Tenggara sebesar 302 (25,1 %), Pontianak Utara 266 (22,1 %), Pontianak Barat 256 256 (21,1 %), Pontianak Selatan 237 (16,1 %), dan Pontianak Kota 219 (15,1 %). Meskipun Pontianak Tenggara urutan kedua kasus stunting tertinggi kedua di Kota Pontianak tetapi jumlah Kelurahan yang ada di Pontianak lebih sedikit (empat kelurahan) dibandingkan dengan Pontianak Timur (tujuh kelurahan).

Selain itu Pontianak Tenggara memiliki karakteristik masyarakat dengan ekonomi pendapatan yang lebih besar, banyak komplek perumahan Pemda,Pusat Kantor Pemerintahan, pusat ibu kota provinsi Kalimantan Barat, akses ke pusat pertokoan dan perbelanjaan lebih dekat dibandingkan dengan Pontianak timur11.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini adalah studi observasional analitik,desain penelitian dengan pendekatan cross sectional yaitu variable sebab dan akibat atau kasus yang terjadi pada obyek penelitian diukur dan dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan), dimana peneliti ingin menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting12. Adapun variable bebas dalam penelitian ini adalah agent nutrisi (Asupan protein dan ASI Eksklusif), Host (Berat Badan Lahir Rendah,Riwayat pe Penyakit Infeksi (Diare, Ispa, Pnemonia), riwayat usia kehamilan pertama), dan Enviroment. Sedangkan variable terikat dalam penelitian ini adalah kejadian Stunting pada balita.

Penelitian ini juga menggunakan Aplikasi Geografis Informasi Sistem (GIS) untuk mengetahui peta persebaran kasus stunting di wilayah kerja Pontianak Tenggara Kota Pontianak Kalimantan Barat.

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas dengan variabel terikat secara sendiri-sendiri. Uji statistika yang digunakan yaitu Chi Square digunakan untuk data berskala nominal dengan menggunakan Confidence Interval (CI) sebesar 95% (α= 0,05). Uji statistik Chi

(4)

98

Square digunakan untuk menganalisis semua variabel yang diteliti. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 287 balita yang ada di Kecamatan Pontianak Tenggara Kota Pontianak Kalimantan Barat. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian adalah menggunakan random.sampling.

HASIL

Gambar 1. Sebaran Data Responden

Berdasarkan tabel 1 bahwa asupan potein baik (≥ 100 AKG) sebesar 269 (93,7%), Asi eksklusif dikatagorikan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu Asi Eksklusif, Balita yang asi eksklusif sebanyak 154 (53,7%), Balita yang tidak mengalami diare sebanyak 252 (87,8%), balita yang tidak mengalami kejadian ISPA adalah sebesar 273 (95,1%), Balita yang tidak mengalami pneumonia sebanyak 286 (99,7%). Sedangkan balita yang tidak mengalami Berat badan lahir rendah atau BBLR sebesar 265 (92,3%), usia melahirkan baik adalah sebesar 261 (90,9 %) responden, keadaan sanitasi lingkungan yang baik adalah sebesar 217 (75,6 %), Status gizi balita yang mengalami stunting (pendek) adalah sebanyak 33 (11,5 %), normal sebanyak 239 (83,3 %) dan tinggi adalah sebanyak 11 (5.2 %). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini :

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

Karakteristik n = 287 %

Asupan Protein

Kurang Baik (< 100 AKG) 18 6,3

Baik (≥ 100 AKG) 269 93,7

ASI Ekskusif

Tidak 133 46,3

Ya 154 53,7

Diare

Ya 35 12,2

Tidak 252 87,8

ISPA

Ya 14 4,9

Tidak 273 95,1

Pnemonia

Ya 1 0,3

Tidak 286 99,7

BBLR

Ya (< 2500 gr) 22 7,7

(5)

99

Tidak (≥ 2500 gr) 265 92,3

Usia Melahirkan

Kurang Baik (< 20 tahun) 26 9,1

Baik (> 20 Tahun) 261 90,9

Sanitasi Lingkungan

Buruk 70 24,4

Baik 217 75,6

Status Gizi

Pendek 33 11,5

Normal 239 83,3

Tinggi 11 5,2

Sumber : Data Primer, 2020

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah asupan protein p value 0,002 (CI 2.029-7,979), Riwayat penyakit diare p value 0,001 (CI 7.658 - 27.079), Usia Melahirkan Pertama Kali (≤ 20 Tahun) p value 0,019 (CI 1.301-5.613) untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini

Tabel 2. Analisa Bivariat Faktor Penyebab Stunting

Variabel

Stunting

Total

% P-Value 95 % CI Stunting

%

Tidak Stunting

% Asupan Protein

Kurang Baik <100 AKG 38,9 61,1 100 0,002 4,024

(2.029-7,979)

Baik ≥ 100 AKG 9,7 90,3 100

ASI Eksklusif

Ya 8,3 91,7 100 0,111 1,727

(0,870-3,428)

Tidak 14,3 85,7 100

Riwayat Penyakit ISPA

Ya 21,4 78,6 100 0,232 1,95

(0,670–5,619)

Tidak 11,0 89,0 100

Riwayat Penyakit Diare

Ya 62,9 37,1 100 0,000 14,40

(7.658 - 27.079)

Tidak 4,4 95,6 100

Riwayat Penyakit Pnemonia

Ya 0,0 100 100 0,718 1,13

(1,084 – 1,179)

Tidak 11,5 88,5 100

BBLR

Ya (<2500 gr) 4,5 95,5 100 0,484 0,376

(0,054-2,625)

Tidak (=>2500 gr) 12,1 87,9 100

Usia Melahirkan Pertama Kali

Kurang Baik (≤ 20 Tahun) 26,9 73,1 100 0,019 2,703

(1.301-5.613)

Baik (> 20 Tahun) 10,0 90,0 100

Sanitasi Lingkungan

Buruk 7,1 92,9 100 0,280 0,554

(0.222-1.379)

Baik 12,9 87,1 100

Sumber : Data Primer, 2021

(6)

100

PEMBAHASAN Asupan Protein

Uji statistik diperoleh nilai P-Value 0,002 yang artinya ada hubungan antara Asupan Protein Kurang (<100 AKG) dengan kejadian stunting pada balita. Nilai PR sama dengan 4,02 yang artinya, balita yang asupan protein kurang baik (<100 AKG) berisiko sebesar 4,02 Kali mengalami kejadian Stunting dibandingkan dengan balita yang memiliki asupan protein Baik (≥ 100 AKG).

Asupan protein dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah dan cukup. Kategori protein rendah apabila <100% AKG dan kategori asupan cukup apabila  100% AKG. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil uji statistik yang telah dilakukan oleh peneliti menggunakan metode FFQ (Food Frequency Quesioner) semikuantitaif menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan kejadian stunting pada balita usia 3–5 tahun di kelurahan Kalibaru13.

Protein penting untuk fungsi normal dari hampir semua sel dan proses metabolisme, dengan demikian defisit dalam zat gizi ini memiliki banyak efek klinis. Berdasarkan teori dan fakta tersebut peneliti beranggapan asupan protein adekuat merupakan hal penting karena protein tidak hanya bertambah, tapi juga habis digunakan, sehingga masa sel tubuh dapat berkurang yang menghasilkan pertumbuhan terhambat. Asupan protein rendah dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi yang terjadi pada anak stunting mengakibatkan kurangnya nafsu makan sehingga konsumsi makan pada anak menjadi berkurang14.

Untuk mencegah persoalan asupan protein yang kurang dengan stunting diperlukan ibu memiliki balita untuk mengkonsumsi makanan makanan banyak mengandung protein yang beragam seperti telur ayam, ikan, daging ayam, daging sapi, tahu, dan tempe.

Asi Eksklusif

Uji statistic diperoleh nilai P –value sebesar 0,111 yang artinya tidak ada hubungan antara Asi Eksklusif dengan kejadian stunting pada balita. ASI Ekslusif adalah pemberian hanya ASI saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan mengonsumsi obat-obatan, vitamin dan mineral tetes atas saran dokter15.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Pengan (2014) di Sulawesi Tengah yang menyatakan ada hubungan bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting. jika bayi yang belum cukup umur 6 bulan sudah diberi makanan selain ASI akan menyebabkan usus bayi tidak mampu mencerna makanan dan bayi akan mudah terkena penyakit karena kurangya asupan.

Sehingga balita yang sering menderita penyakit infeksi akan menyebabkan pertumubuhannya terhambat dan tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal7.

Riwayat Penyakit Infeksi ISPA

Uji statistic diperoleh nilai P-Value sebesar 0,232 yang artinya tidak ada hubungan antara riwayat penyakit ISPA dengan kejadian Stunting pada balita di Kecamatan Pontianak Tenggara.

Hasil peneliian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hairuddin Angkat (2018) di

(7)

101 Kecamatan Simpang Kiri yang menyatakan tidak ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi ISPA dengan Kejadian Stunting16.

Riwayat infeksi ISPA bersifat akut tetapi terjadi setiap bulan. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara riwayat infeksi dengan kejadian stunting pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena definisi infeksi yang terlalu luas sehingga infeksi yang ringan masuk dalam definisi tersebut. Penyakit infeksi ringan seperti infeksi saluran pernafasan atas sering terjadi pada anak karena penyakit ini sangat mudah menular. Namun penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam waktu relatif cepat sehingga tidak sampai menurunkan status gizi17.

Riwayat Penyakit Infeksi Diare

Uji statistic diperoleh nilai P-Value sebesar 0,000 yang artinya ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi diare dengan kejadian stunting pada balita. Dengan nilai PR sama dengan 14,40 yang artinya balita mengalami riwayat penyakit infeksi diare mengalami stunting sebesar 14.40 kali dibandingkan dengan yang balita tidak mengalami penyakit infeksi.

Hasil peneitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hairuddin Angkat (2018) di Kecamatan Simpang Kiri yang menyatakan ada hubungan riwayat penyakit infeksi diare sewaktu dengan kejadian stunting P-Value 0,030. Penyakit infeksi dan gangguan gizi seringkali ditemukan secara bersama-sama dan hubungannya saling mempengaruhi. Ada hubungan timbal balik antara asupan gizi dan kejadian infeksi. Kekurangan asupan berhubungan erat dengan tingginya kejadian penyakit diare, karena anak yang kurang gizi mungkin mengalami penurunan daya tahan tubuh dan dengan adanya penyakit infeksi menyebabkan anak tidak mempunyai nafsu makan.

Akibatnya terjadi kekurangan makanan dan minuman yang masuk kedalam tubuh sehingga anak menderita kurang gizi16.

Menurut WHO, diare adalah suatu keadaan buang air besar dengan konsistensi lembek hingga cair dan frekuensi lebih dari tiga kali sehari. Diare akut berlangsung selama 3-7 hari, sedangkan diare persisten terjadi selama > 14 hari. Secara klinis penyebab diare terbagi menjadi enam kelompok yaitu infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan makanan, imunodefisiensi, dan penyebab lain seperti gangguan fungsional dan malnutrisi18. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang menyatakan diare berdampak terhadap pertumbuhan linear anak. Jika anak sering mengalami diare dalam kurun 24 bulan pertama kehidupan maka anak tersebut cenderung menjadi pendek 1,5 kali . Penelitian terdahulu menyatakan anak balita yang mempunyai riwayat penyakit infeksi mempunyai resiko 2,2 kali lebih besar menjadi stunting dari pada balita yang tidak pernah mempunyai riwayat penyakit infeksi19. Penelitian lain juga menyatakan anak yang menderita diare dalam 2 bulan terakhir memiliki risiko sebesar 5,04 kali untuk menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang tidak pernah diare dalam 2 bulan terakhir20.

Diare dapat menimbulkan terjadinya gizi kurang begitu juga sebaliknya. Infeksi memengaruhi status gizi melalui penurunan asupan makanan, penurunan absorbsi makanan di usus, meningkatkan katabolisme, dan mengambil gizi yang diperlukan tubuh untuk sintesis jaringan dan pertumbuhan21.

(8)

102

Di samping itu, gizi kurang bisa menjadi factor predisposisi terjadinya infeksi karena menurunkan pertahanan tubuh dan mengganggu fungsi kekebalan tubuh manusia.

Pemantauan terkait riwayat penyakit infeksi pada balita oleh posyandu setempat dan diadakan penyuluhan terkait dengan pola asuh pada anak, khususnya pola asuh yang baik dapat berdampak kepada status gizi yang lebih baik

Riwayat Penyakit Infeksi Pnemonia

Berdasarkan uji statistic diketahui bahwa nilai P-Value adalah 0,718, yang artinya tidak ada hubungan antara riwayat infeksi penyakit Pnemonia dengan kejadian Stunting. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Agustina Swastika Sahitarani, Bunga Astria Paramashanti1, Sulistiyawati (2020), yang menyatakan tidak ada hubungan antara riwayat pneumonia dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul22.

Kejadian pneumonia sebanyak 1 (0.3 %) pada balita, sedangkan yang tidak mengalami pneumonia sebanyak 286 (99,7 %). Begitu pula dengan studi di Pakistan yang tidak menemukan adanya hubungan signifikan antara stunting dan pneumonia23. Selain itu, pneumonia pada penelitian ini juga termasuk dalam kategori penyakit dengan frekuensi yang jarang.

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berdasarkan uji statistic diperoleh nilai P-Value sebesar 0,484 yang artinya tidak ada hubungan antara balita yang mengalami BBLR dengan kejadian Stunting. Hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian yang diakukan oleh Wellina WF, Kartasurya dan Zen Rahffiludin (2016) menunjukan adanya ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir rendah dengan stunting dengan P-Value 0,00217.

Di negara berkembang bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri yang terjadi karena buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan negara maju. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari normal (<2500gram) mungkin masih memiliki panjang badan normal pada waktu dilahirkan. Stunting baru akan terjadi beberapa bulan kemudian, walaupun hal ini sering tidak disadari oleh orang tua. Orang tua baru mengetahui anaknya stunting setelah anaknya mulai bergaul dengan teman-temannya, sehingga terlihat anak lebih pendek dibandingkan temannya. Oleh karena itu anak yang lahir dengan berat badan kurang dibawah normal harus diwaspadai akan menjadi stunting. Semakin awal dilakukan penangulangan malnutrisi, maka akan semakin kecil resiko menjadi stunting17.

Usia Melahirkan

Berdasarkan uji statistic diperoleh nilai P-Value 0,019, yang artinya ada hubungan antara usia melahirkan pertama kali (< 20 tahun) dengan kejadian stunting. Adapun nilai PR = 2,70 artinya bahwa usia ibu melahirkan pertama kali kurang baik (< 20 tahun) berisiko mengalami stunting 2,70 kali lebih besar dibandingkan dengan usia ibu melahirkan pertama kali baik (>20 tahun).

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Cunningham (2006) bahwa usia reproduksi perempuan adalah 20-35 tahun. Pada usia kurang dari 20 tahun maka organ-organ

(9)

103 reproduksi belum berfungsi sempurna sedangkan pada usia di atas 35 tahun telah terjadi penurunan reproduktif.24 Penelitian yang dilakukan oleh Jiang, (2015) menyebutkan bahwa kehamilan diatas usia 35 tahun memiliki resiko melahirkan anak stunting 2,74 kali. Tidak ditemukannya hubungan antara umur ibu melahirkan dengan kejadian stunting dalam penelitian ini bisa disebabkan karena ibu yang berada pada kategori melahirkan pada usia beresiko jumlahnya sangat kecil. Selain itu mungkin saja penetapan batas usia juga berbeda dengan yang digunakan penelitian lainnya25. Diharapkan usia melahirkan untuk perempuan berusia diatas 21 tahun sampai 35 tahun agar mencegah tidak terjadinya stunting pada balita.

Sanitasi Lingkungan

. Berdasarkan hasil uji statistic diperoleh nilai P-Value 0,280 yang artinya tidak ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Beauty Rahayu dan Syarief Darmawan 2019) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian stunting pada balita.26 Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktavia (2016) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara balita yang memiliki sanitasi lingkungan tidak baik dengan kejadian stunting pada balita27.

Mengaitkan isu stunting dan kesehatan lingkungan, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kontribusi penyehatan lingkungan terhadap pengentasan masalah stunting cukup besar, salah satunya penelitian tentang anak-anak di Bangladesh yang terakses air minum bersih, jamban, serta fasilitas CTPS pertumbuhan tinggi badannya 50% bertambah lebih tinggi dibanding anak yang tidak mendapat akses tersebut10. Akses ke air bersih dan sanitasi menjadi faktor penting.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Ada hubungan asupan protein dengan kejadian Stunting pada balita di Pontianak Tenggara, Ada hubungan Riwayat Penyakit Diare dengan kejadian Stunting pada balita di Pontianak Tenggara, dan Ada hubungan Usia Melahirkan Pertama Kali dengan kejadian Stunting pada balita di Pontianak Tenggara. Agar balita dapat mengkonsumsi makanan banyak mengandung protein yang beragam seperti telur ayam, ikan, daging ayam, daging sapi, tahu, dan tempe, Pemantauan terkait riwayat penyakit infeksi pada balita oleh posyandu setempat dan diadakan penyuluhan terkait dengan pola asuh pada anak, khususnya pola asuh yang baik dapat berdampak kepada status gizi yang lebih baik dan diharapkan usia melahirkan untuk perempuan berusia 21 sampai 35 tahun.

(10)

104

DAFTAR PUSTAKA

1. TNP2K, 2017. 100 Kabupaten/ Kota Prioritas Untuk Interversi Anak Kerdil Stunting. Cetakan Pertama. Kebun Sirih Jakarta.

2. Kania, D.(2015). Indonesia Peringkat Lima Besar Anak Penderita Stunting.

https://lifestyle.okezone.com/ read/2015/01/23/481/1096366/Indonesia peringkatlima-besar- anak-penderita-stunting.

3. World Health Organization, 2018. Reducing Stunting In Children. Equity considerations for achieving the Global Nutrition Targets 2025. Geneva. Switzerland.

4. Pusdatin Kemenkes RI, 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) Di Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jenderal.

5. Kementerian Kesehatan RI, 2017. Klasifikasi Status Gizi Balita Bawah Lima Tahun (Balita).

Jakarta : Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat

6. ______________________, 2019. Riset Kesehatan Dasar Tahun (Riskesdas) 2018. Jakarta : Sekretariat Jenderal.

7. Johan Pengan, 2015. Hubungan Antara Riwayat Pemberian ASI Ekslusif Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Luwuk Kecamatan Luwuk Selatan Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Manado: Universitas Sam Ratulangi

8. Agri, Khanszarizennia Madany, 2017.Hubungan antara Asupan Protein dengan Status Gizi Stunting pada Balita.Solo : Universitas Sebelas Maret

9. Yosephin, Betty, 2018. Tuntunan Praktis Menghitung Kebutuhan Gizi. CV. Andi Offset.

Yogyakarta.

10. Balakrishnan, Bamini KPD, dkk. (2014). The Impact of Social Media Marketing Medium Toward Purchase Intention and Brand Loyalty Among Generation Y. Procedia – Social and Behavioral Sciences 148. Hal. 177- 185.

11. Dinkes Kota Pontianak, 2018. Profil Kesehatan Kota Pontianak Tahun 2018. Pontianak, Klaimantan Barat.

12. Sudigdo Sastroasmoro, 2014. Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Penerbit Sagung Seto.

Yogyakarta.

13. Anisa, P. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 25- 60 Bulan Di Kelurahan Kalibaru Depok Tahun 2012 (Skripsi). Depok: FKM UI.

14. Sri Mugianti, et al, 2018. Faktor Penyebab Anak Stunting Usia 25-60 Bulan Di Kecamatan Sukarejo Kota Blitar, Jurnal Ners dan Kebidanan, Vol 5, No. 3: 268–278.

15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. 2014.

16. Angkat, Abdul Hairuddin, 2018. Penyakit Infeksi dan Praktek Pemebrian MP-ASI terhadap kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Kecamatan Simpang Kiri Kota Subulussalam, Jurnal Dunia Gizi Vol. 1 No. 1, Juni 2018 : 52-58

17. Wiwin FW, Martha Kartasurya dan M. Zen, 2016. Faktor Risiko Stunting Pada Anak Umur 12- 24 Bulan. Jurnal Gizi Indonesia (ISSN : 1858-4942), Vol. 5, No. 1,: 55-61.

18. Checkley W, Epstein LD, Gilman RH, Cabrera L, Black RE. Effects of acute diarrhea on linear growth in Peruvian children. Am J Epidemiol. 2003;157(2):166–75.

19. Picauly I, Toy SM. Analisis determinan dan pengaruh stunting terhadap prestasi belajar anak sekolah di Kupang dan Sumba Timur, NTT. J Gizi dan Pangan. 2013;8(1):55

20. Lestari W, Margawati A, Rahfiludin Z. Faktor risiko stunting pada anak umur 6- 24 bulan di kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh. J Gizi Indones (The Indones J Nutr.

2014;3(1):37–45.

21. Anto, Sudarman S, Yetti ER, Manggabarani S. Pengaruh Konseling Memodifikasi Gaya Hidup Terhadap Pencegahan Obesitas Pada Remaja. Promot J Kesehat Masy. 2017;7(2):99–106

(11)

105 22. Agustina, et al. 2020. Kaitan Stunting dengan Fekuensi dan Durasi Penyakit Infeksi Pada Anak

Usia 24-59 Bulan di Kecamatan Sedayu Kabupaten Bantul. Vol 9, No.3, 2020 : 202-207.

23. Fatmi Z and White F. A comparison of 'cough and cold' and pneumonia: risk factors for pneumonia in children under 5 years revisited. Int J Infect Dis, 2002; 6: 294-301

24. Cunningham G, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD. (2006). Williams Obstetrics. New York: McGraw Hill Medical

25. Jiang, Y., Su, X., Wang, C., Zhang, L., Zhang, X., Wang, L., & Cui, Y. (2015).

Prevalence and risk factors for stunting and severe stunting among children under three years old in mid‐western rural areas of C hina. Child: care, health and development, 41(1), 45-51.

26. Beauty Rahayu1 dan Syarief Darmawan .2019.Hubungan Karakteristik Balita, Orang Tua, Higiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Stunting pada Balita. Vol 1, No 1, 2019 :22-26.

27. Oktavia, Herni. 2016. Hubungan Pengetahuan Gizi dan Perilaku Higiene Sanitasi Terhadap Kejadian Stunting pada Balita Usia 7-24 Bulan di Desa Hargorejo Kulon Progo. Skripsi.

Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi berjudul Hubungan Antara Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Balita Umur 25-59 Bulan (Studi di Wilayah Kerja

Skripsi ini dengan judul “Hubungan Karakteristik Ketahanan Pangan Keluarga Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 25-59 Bulan di Puskesmas 11 Ilir Kota

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian stunting pada Balita umur 12-59

Penelitian Arifin (2012), menyatakan bahwa faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6 sampai 59 bulan adalah berat saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI,

Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecukupan protein dengan kejadian stunting pada balita usia 6-59

Balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Klakah dengan skor keragaman pangan yang kurang beragam memiliki risiko 5,143 kali lebih besar untuk mengalami kejadian stunting

10.36419/avicenna.v6i1.829 PEMANTAUAN PERKEMBANGAN BALITA STUNTING UMUR 6-59 BULAN BERBASIS DIGITAL Monitoring The Development Of Stunting Toddlers Aged 6-59 Months Based On

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan pengetahuan, sikap, dan penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Desa Ranah singkuang wilayah