• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-Prinsip Kritik Sastra

N/A
N/A
Christiano Kutun Making

Academic year: 2025

Membagikan "Prinsip-Prinsip Kritik Sastra"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PRINSIP-PRINSIP KRITIK SASTRA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Kritik Sastra Dosen Pengampu : Drs. Rusdian Noor, M.Hum.

Disusun oleh:

Kelompok 5

Christiano Kutun Making (2021001032) Arnoldus Tatogo (2021001034) Mery Yance Herny Koi (2021001038)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA YOGYAKARTA 2024

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa atas rahmat dan penyertaan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra dengan judul “Prinsip-prinsip Kritik Sastra”. Kami berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kami dalam penyusunan makalah ini. Namun sebagai manusia biasa, kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembina serta beberapa kerabat yang memberi masukan yang bermanfaat dalam penyusunan makalah ini, meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan makalah ini.

Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagikita semua. Kami sangat menyadari dari hasil makalah ini masih kurang sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.

Yogyakarta, 29 oktober 2024

Kelompok Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...3

BAB I. PENDAHULUAN...4

1.1 Latar Belakang...4

1.2 Rumusan Masalah...6

1.3 Tujuan...6

BAB II. PEMBAHASAN...7

2.1 Kritik Sastra dalam Tiga Cabang Ilmu Sastra...7

2.2 Kritikus Sastra yang Baik...8

2.3 Fungsi dan Kegunaan Kritik Sastra...11

2.4 Bentuk Kritik Sastra...15

2.5 Pendekatan Terhadap Karya Sastra...18

2.6 Keberatan-keberatan dalam Kritik Sastra...19

BAB III. PENUTUP...21

3.1 Kesimpulan...21

DAFTAR PUSTAKA...22

(4)

BAB I

.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesusastraan Indonesia moderen masih sangat muda usianya, baru sekitar 60 tahun. Meskipun begitu, karya-karya sastra dari tangan-tangan para sastrawan Indonesia terus mengalir dan bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Di samping itu corak dan sifat karya-karya sastrapun terus berkembang baik gaya maupun pikiran serta masalah-masalah yang dikemukakan oleh para sastrawan dalam karya-karyanya. Hal itu menyebabkan khasanah sastra Indonesia menjadi berlimpah-limpah dan banyak sekali menimbulkan persoalan yang menghendaki pemecahan sebaik-baiknya. Persoalan- persoalan itu meliputi bidang keilmuan sastra, pemahaman masyarakat, dan perkembangan kesusastraan itu sendiri.

Dalam bidang keilmuan misalnya, karya-karya sastra yang begitu banyak dan terus bertambah setiap waktu meminta pertimbangan penuh untuk dipertimbangkan atau dikritik, digolong-golongkan dan disusun menurut perkembangan sejarahnya dari sejak terbitnya hingga taraf terakhir. Persoalan yang banyak itu belum dapat teratasi. Hal ini disebabkan masih sedikitnya ahli dan peminat sastra yang menulis tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu sastra baik toeri sastra, sejarah sastra, maupun kritik sastra. Tinjauan dan uraian tentang kesusastraan dan karya-karya sastra Indonesia tidak sebanding dengan karya-karya sastra yang selalu bertambah. Baik tinjauan penyusunan sejarah sastra Indonesia yang lengkap dan mendalam, penyelidikan yang berupa analisis sastra, penyelidikan gaya, dan sebagainya, yang bersangkut paut dengan bidang teori sastra belum ada, begitu pula penyelidikan dalam bidang kritik sastra.

Karya sastra sebagai karya seni perlu mendapat pertimbangan dalam h al mutu seninya, bermutu atau tidaknya sebagai karya seni. Kritik sastra

(5)

bagi masyarakat pada umumnya untuk penerangan, artinya segi-segi yang masih gelap hingga menyukarkan pemahaman karya sastra dapat dijelaskan ol eh kritik sastra yang baik dengan demikian, kemampuan pemahaman masyarakat terhadap karya sastra dapat dipertinggi hingga dengan demikian k egunaan karya sastra dapat diambil sebanyak-banyaknya oleh masyarakat.

Kritik sastra sangat berguna pula bagi para sastrawan untuk mengembangkan bakatnya. Mereka dapat belajar dari kritik sastra yang baik yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan karya sastra yang dikritik secara objektif. Seorag kritikus yang baik kerap kali dapat menjadi pengarah kesusastraan dengan mempertinggi selera sastra yang baik. Misalnya, dalam menyusun teori sastra perlulah orang mengambil hasi;-hasil yang dicapai oleh kritik sastra. Demikian pula bagi ilmu sejarah sastra, kritik sastra dapat menyumbangkan hasilnya misalnya, dalam menggolongkan seorang sastrawan ke dalam angkatan-angkatan atau periode- periode berdasarkan mutu karya sastranya.

Karya sastra sebagai karya seni menhendaki penilaian bermutu seni atau tidaknya, tinggi atau rendah nilainya. Suatu analisis sastra tidak dapat meninggalkan penilaian baik secara langsung atau tidak langsung, misalnya dengan cara membandingkan karya sastra dengan karya sastra yang telah diakui mutunya secara objektif. Pentingnya penilaian yang tepat rasanya belum disadari benar-benar atau tidak mendapat perhatian semestinya dalam kesusastraan Indonesia. Padahal sangat penting buat pembahasan karya satra sebagai karya seni, yang harus dilakukan setepat-tepatnya. Penilaian karya sastra yang tepat adalah dengan memperhatikan karya sastra sebagaimana seni-seni lain yang mempunyai hukum-hukum dan aturan-aturan sendiri berdasarkan hakikatnya, hukum-hukum yang objektif.

Berdasarkan uraian di atas, maka akan dibahas tentang prinsip- prinsip kritik sastra yang meliputi apakah kritik sastra, kritikus dan tugasnya, fungsi kritik, bentuk-bentuk kritik, keberatan-keberatan kritik sastra, penilaian karya sastra, dan aliran-aliran penilaian kritik sastra.

1.2 Rumusan Masalah

(6)

1. Bagaimanakah kritik sastra dalam tiga cabang ilmu sastra?

2. Bagaimanakah kritikus sastra yang baik?

3. Bagaimanakah fungsi dan kegunaan kritik sastra?

4. Bagaimanakah bentuk kritik sastra?

5. Bagaimanakah pendekatan terhadap karya sastra?

6. Bagaimanakah keberatan-keberatan dalam kritik sastra?

1.3 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari rumusan masalah di atas yaitu:

1. Untuk mengetahui kritik sastra dalam tiga cabang ilmu sastra 2. Untuk mengetahui kritikus sastra yang baik

3. Untuk mengetahui fungsi dan kegunaan kritik sastra 4. Untuk mengetahui bentuk kritik sastra

5. Untuk mengetahui pendekatan terhadap karya sastra 6. Untuk mengetahui keberatan-keberatan dalam kritik sastra

(7)

BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Kritik Sastra dalam Tiga Cabang Ilmu Sastra

Ilmu sastra mempunyai tiga bagian atau tiga cabang yaitu, teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra mengarah pada penyelidikan hal yang berhubungan dengan apakah sastra itu, apakah hakikat sastra, dasar- dasar sastra, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan teori dalam bidang sastra, bermacam-macam gaya, teori komposisi sastra, jenis-jenis sastra atau genre, teori penilaian dan sebagainya. Sejarah sastra bertugas menyusun perkembangan sastra dari mulai timbulnya hingga perkembangannya yang terakhir. Misalnya, sejarah timbulnya suatu kesusastraan, sejarah jenis sastra atau genre, sejarah perkembangan gaya- gaya sastra, sejarah perkembangan pikiran-pikiran manusia yang dikemukakan dalam karya-karya sastra dan sebagainya. Kritik sastra ialah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki karya sastra dengan langsung menganalisis, memberi pertimbangan baik buruknya karya sastra, bernilai seni atau tidaknya karya sastra.

Ketiga disiplin sastra itu saling bantu membantu. Misalnya, untuk memberi penilaian karya sastra diperlukan teori tentang penilaian karya sastra yang baik, syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh suatu karya sastra supaya dapat bernilai sastra dan sebaliknya apakah yang membuat karya sastra kurang bernilai atau tidak bernilai dan sebagainya. Hal-hal tersebut adalah termasuk dalam bidang teori sastra. Sebaliknya, teori sastra pun memerlukan bantuan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya atau tentang teknik cerita, teori sastra dapat mengambil dari hasil kritik terhadap karya sastra. Dalam hubungannya antara sejarah sastra dan kritik sastra dapat dilihat dari bagaimana kritik sastra mengetahuai ciptaan asli atau tidak, gaya klise atau bukan, kritik sastra mengambil pengetahuan dari sejarah sastra. Sebaliknya untuk menyusun sejarah sastra diperlukan bantuan kritik sastra, misalnya sebuah karya sastra tidak dapat dicantumkan dalam rangkaian sejarah sastra kalau tidak bernilai sastra, untuk menentukan bernilai tidaknya memelukan bantuan kritik sastra. Oleh

(8)

sebab itu kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang memiliki peran penting. William Henry Hudson (1955) mengatakan bahwa kritik dalam artian tajam adalah penghakiman, dan dalam pengertian ini biasanya memberi corak pemakaian kita akan istilah itu, meskipun bila kata itu dipergunakan dalam pengertian yang paling luas. Karena itu kritikus sastra pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki suatu kepandaian khusus dan pendidikan untuk mengerjakan suatu karya seni sastra, atau pekerjaan penulis tersebut memeriksa kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya serta menyatakan pendapatnya tentang hal itu. Sedangkan menurut I. A. Richards (1970) kritik sastra adalah usaha untuk membeda- bedakan pengalaman (jiwa) dan memberi penilaian kepadanya. Jadi, berdasarkan pengertian di atas ilmu kritik sastra itu merupakan ilmu sastra untuk menghakimi karya sastra, untuk memberi penilaian, dan memberi keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang dihadapi kritikus. Akan tetapi kritik sastra itu sesungguhnya bukan hanya menilai saja melainkan masih ada aktifitas lainnya juga, yaitu analisis dan aktifitas lainnya.

Dalam kritik sastra suatu karya sastra diuraikan atau dianalisis unsur- unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu kemudian di tentukan berdasarkan teori-teori penilaian karya sastra, bernilai atau tidak bernilaikah, bermutu seni atau tidak bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra yang diselidiki atau yang dianalisis itu. Baru sesudah itu dengan pertimbangan-pertimbangan seluruh penilaian terhadap bagian-bagian yang merupakan kesatuan yang erat, dengan menimbang mana yang bernilai dan mana yang tidak atau kurang bernilai, maka kritikus baru menentukan karya t ersebut bernilai tinggi, sedang, kurang bernilai, atau tidak bernilai sastra.

2.2 Kritikus Sastra yang Baik

Pembicaraan kritik sastra tentu saja tak dapat dipisahkan dengan kritikus sastra. Kritik sastra adalah hasil kerja kritikus sastra. Baik buruk atau sempurna tidaknya suatu kritik sastra berhubungan dengan kepandaian pribadi seorang kritikus. Untuk menjadi seorang kritikus diperlukan kepandaian ilmu sastra, seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa ketiga

(9)

bagian ilmu sastra tidak dapat dipisah-pisahkan. Sebab itu, seorang kritikus haruslah juga ahli dalam teori sastra, lebih-lebih teori tentang penilaian harus dikuasai. Kalau tidak, pertimbangannya akan kurang bermutu karena tidak tepat dan tidak berdasarkan metode sastra (literer). Demikian juga seorang kritikus harus menjadi seorang ahli sejarah sastra seperti kata Rene Wellek dalam Pradopo (1994) “Kritikus yang tidak berpengetahuan hubungan-hubungan historik penilaiannya akan tersesat. Tidak diketahuai mana karya asli mana karya jiplakan.”

Seorang kritikus juga memerlukan pengetahuan-pengetahuan lain yang ada hubungannya dengan karya sastra, penciptaan karya sastra, latar belakang karya sastra, sejarah, biografi, dan sebagainya. Seorang kritikus juga perlu menguasai ilmu filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya yang menjadi dasar interpretasi tentang kehidupan seorang sastrawan yang dipancarkna dalam karya-karyanya. Seorang kritikus memerlukan pengetahuan yang luas untuk melakukan kritik-kritiknya supaya kritikya kokoh atau kuat. Seorang kritikus harus bersandar pada ilmu pengetahuan seperti ilmu kemasyarakatan, ilmu jiwa, ilmu filsafat, bahkan sampai ilmu eksakta, etika atau moral, agama, dan sebagainya, dengan syarat-syarat tersebutlah kritiknya berwewenang.

Seperti yang kemukakan H. B. Jassin (1959) bahwa pertimbangan itu tentu dengan memberikan pertimbangan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan. Oleh karena isi kesusastraan adalah seluruh kehidupan. Maka perlulah seorang yang mau menjadi kritikus mengenal lebih baik, mengalami kehidupan sehingga tiada asing baginya dalam sifat- sifat dan jiwa manusia dan lagi mempunyai dasar pengetahuan yang luas, supaya pertimbangannya jangan berat sepihak.

Seorang kritikus adalah hakim, maka untuk menjadi hakim seorang kritikus hendaklah adil dengan kata lain harus objektif. Kritikus selalu berpegang pada kejujuran, kebenaran, dan tak terpengaruh sentimennya.

Kritikus harus melepaskan perasaan suka atau tidak sukanya kepada penulisnya. Ia haruslah hanya memandang karya sastra yang dihadapinya, yang dianalisis, yang sedang ditimbang. Jadi kritikus dalam melakukan

(10)

pekerjaannya mestilah bersifat sebagai ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya, objektif, melepaskan perasaan senang tidak senangnya. Ia hanya mencari kebenaran tidak menambah-nambah tidak pula menguranginya, bila baik dikatakan baik bila buruk dikatakan buruk, dengan alasan-alasan dan sandaran-sandaran yang dapat diterima akal budi manusia. Kalau kita hendak memakai istilah sekarang, kritikus dalam menimbang, dalam menghakimi itu harus tidak memandang bulu, entah kawan atau lawan, bila karyanya bermutu dikatakan bermutu, bila tidak harus dikatakan tidak.

Kriteria Kritikus Menurut Para Ahli:

1. Menurut Gajus Siagian (1957)

Kritikus yang lunak akan lebih merusak perkembangan sastra daripada memajukannya tidak seperti Jassin yang selalu berpendirian bahwa sebagai kritikus kita tidak boleh terlalu keras dan harus memberi kesempatan pada sastrawan-sastrawan muda. Gajus tidak setuju dengan pendapat Jassin mengenai cara memupuk bakat-bakat sastrawan muda sepanjang dapat memahami caranya. Kalau sudah tahu bahwa kritikus ketika berhadapan dengan seorang snob, epigon, plagiator, Gajus akan berusaha untuk mematikan hasrat sastrawan muda untuk menulis lagi, sekalipun semangatnya berkobar-kobar. Sebaliknya kalau Jassin berhadapan dengan seorang pemuda yang mempunyai bakat menjadi pengarang Jassin akan berusaha sedapat mungkin untuk merangsang kemauannya dan memberikan petunjuk.

2. Menurut H. B. Jassin (1955)

Seperti yang dikatakan sebelumnya, Jassin selalu berpendirian bahwa sebagai kritikus tidak boleh terlalu keras dan harus memberi kesempatan pada sastrawan-sastrawan muda. Menjawab atas tuduhan Gajus Siagian, H. B. Jassin menjawab jika Jassin takut membuat kesalahan yang sama seperti Siagian yaitu pemikiran yang seperti lalu lintas satu jurusan. Pada umumnya Jassin mengatakan tidak bisa menerima karakterisasi bagaimana cara dia bekerja, maksudnya Jassin bisa lembut tapi juga bisa keras dan keduanya dipakai dimana

(11)

perlunya, pokoknya berdasarkan akal budi. Sifat toleransi yang tidak berlebih-lebihan ada baiknya, tetapi kesabaran juga ada batasnya.

Dari kutipan di atas tampaklah bahwa terdapat kritikus yang berwatak keras dan kritikus lain yang berwatak lembut. Watak seorang kritikus yang demikian ini tampak juga dalam kritikannya sebagai hasil karyanya. Mungkin seorang kritikus yang berwatak keras kritikannya akan berupa celaan-celaan dan mencari kesalahan-kesalahan sehingga sering mematikan bakat bila yang dikritik itu adalah sastrawan yang baru muncul atau sastrawan muda.

Sebaliknya, seorang kritikus yang terlalu lunak, kritikannya akan berupa pujian-pujian dan apresiasi, dan bersifat memaafkan kekurangan- kekurangannya. Hal yang demikian ini menurut Gajus Siagian akan menghambat perkembangan para sastrawan khususnya nereka yang masih muda. Tetapi seperti kata H. B. Jassin, seorang kritikus harus dapat bersifat lembut dan juga harus dapat bersifat keras, intinya sesuai dengan porsinya yang berdasarkan akal budi. Maka dengan sifat yang demikian ini kritikannya akan bersifat membangun, tidak bersifat merusak. Seperti yang dikemukakan oleh Hudson (1955) “ada kritikus yang mengutamakan memuji dan mencari kebaikan, dan ada yang mengutamakan cacat-cacat dan mencari kekurangannya. Maka yang sebaik- baiknya adalah yang seimbang.”

2.3 Fungsi dan Kegunaan Kritik Sastra

Pada pokoknya, kritik sastra mempunyai tiga kegunaan atau tiga tugas.

1. Kritik sastra berguna bagi keilmuan sastra sendiri,

Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa ilmu sastra terbagi menjadi tiga cabang ilmu yang saling berhubungan. Kritik sastra berguna bagi keilmuan sastra sendiri yaitu sejarah sastra dan teori sastra.

Hubungan atau kepentingan antara kritik sastra dengan teori sastra dapat dilihat dalam penjelasan berikut ini. Untuk menyusun teori sastra tidak dapatlah sempurna tanpa bantuan kritik sastra. Kritik sastra menguraikan atau menganalisis struktur norma-norma karya sastra, menerangkan hubungan norma tersebut, dan kemudian memberikan penilaian. Untuk menyusun teori sastra memerlukan bantuan kritikus, memerlukan kritik

(12)

sastra. Misalnya, untuk menyusun teori tentang susunan cerita, tentang gaya bahasa, tentang dunia pengarang, tentang dunia yang ekspresif, seorang teoritiskus perlulah meninjau atau mengambil dari kritik sastra.

Kritikus dalam kritikannya menerangkan bagaimana pengarang menyusun cerita hingga dapat berhasil, menerangkan bagaimana penyair menggunakan bunyi, pola bunyi dalam sajaknya; juga menerangkan bagaimana pemilihan kata, gaya bahasa, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang teoritiskus dalam tugasnya menyusun teori sastra haruslah melihat kritik. Jelaslah kiranya dari uraian tersebut di atas bahwa seorang teoritiskus mestilah memerlukan bantuan kritik sastra.

Begitu pula bagi penyusun sejarah sastra, seperti kata Rene Wellek dalam Pradopo (1994) bahwa ahli sejarah sastra harus menjadi kritikus untuk menjadi ahli sejarah. “Karya sastra itu tak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan prinsip- prinsip kritik sastra.” Jadi nyatalah bahwa kritik sastra memegang peranan penting dalam penyusunan sejarah sastra. Dalam menyusun perkembangan:

penggunaan unsur bunyi, kombinasi kata, gaya kalimat, gaya bahasa, perbandingan-perbandingan, pikiran-pikiran yang dikemukakan dalam karya sastra, filsafat, pandangan hidup, dan sebagainya, seorang ahli sejarah sastra tidak dapat meninggalkan kritik sastra. Seorang ahli sejarah sastra tidak dapat lepas dari pekerjaan memilih karya-karya yang bermutu. Tidak semua buku sastra dapat dimasukkan dalam rangkaian sejarah sastra kalau buku atau karya sastra itu tidak menunjukkan perkembangan yang baru dan bernilai sastra. Oleh karena itu dikatakan bahwa seseorang harus menjadi kritikus untuk menjadi ahli sejarah sastra.

2. Kritik sastra berguna bagi perkembangan kesusastraan,

Kini kita tinjau bagaimana pentingnya kritik sastra bagi perkembangan kesusastraan. Dalam menimbulkan baik buruknya karya sastra, seorang kritikus menguraikan harga karya sastra seorang sastrawan, berhasil tidaknya seorang sastrawan mengungkapkan pengalaman jiwanya dalam karyanya. Dalam memberi penilaian itu

(13)

tentu dengan alasan-alasan dan bukti-bukti, baik itu langsung atau tidak la ngsung, misalnya dengan dibandingkan dengan karya sastra yang lain, yang sudah diakui kebaikannya secara objektif. Tentu saja kritikus yang d imaksudkan seorang kritikus yang cakap, jujur, dan objektif. Dalam mencipta seorang sastrawan terdorong oleh emosinya, pikiran dan maksudnya, ingin menuangkan pengalaman batinnya ke dalam bentuk sastra. Karena sering kuatnya dorongan untuk menuliskan apa yang dirasa, dipikirkan yang alami batinnya itu, maka ia tidak memikirkan berhasil tidaknya cara pengungkapannya itu, juga berharga atau tidaknya pikiran yang dikemukakan dalam karyanya itu. Baru kemudian ia akan mengetahui harga ciptaannya setelah melihat karyanya dipertimbangkan oleh seorang kritikus. Ia akan mengetahui mana yang berhasil, mana yang tidak, mana yang kurang berharga. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa dalam ciptaannya itu seorang sastrawan tidak memikirkan, atau mempertimbangkan tepat tidaknya dalam pengungkapannya; hanya di sini berarti bahwa seorang sastrawan itu sering sukar memberi penilaian k aryanya sendiri, dan ia hanya merasa bahwa ciptaannya itu sudah berhasil sebagai yang dimaksudkan. Apalagi bila sastrawan itu masih muda, meskipun berbakat tetapi masih belum banyak pengalaman dalam menciptakan karya sastranya, belum tajam penglihatannya, belum sempurna pertimbangannya. Ia hanya terdorong oleh emosinya yang kuat sehingga ia menulis saja semua yang terasa, yang dipikirkan tanpa pertimbangan dan penyaringan dengan perhitungan yang masak. Ia merasa bahwa karya sastranya sudah cukup baik dan berhasil. Jadi perlulah sastrawan melihat, memperhatikan apa yang dikatakan oleh kritikus tentang karyanya, tetapi harus pula mempertimbangkan kritik itu secara kritis. Dengan melihat dan memperhatikan hal yang tersebut itu, akan diketahui harga karya sastranya yang sebenarnya hingga dalam penulisan karya-karya selanjutnya ia akan dapat memperbaiki kesalahan- kesalahan yang pernah dibuatnya, dan akan dapat menjaga mutu sastranya atau meningkatkan mutu sastranya sebab seorang kritikus, maksudnya seorang kritikus yang besar akan selalu dapat

(14)

memberikan sesuatu yang berharga kepada seniman. Tugas seorang kritikus dapat juga dibandingkan dengan peranan seorang penunjuk jalan. Ia menunjukkan jalan pada para sastrawan bagaimanakah harus dipecahkan persoalan-persoalan sastra yang ada di dalam negerinya. Ia menunjukkan bagaimana cara meninggikan mutu ciptaannya, dengan jalan menambah pengetahuan sejarah, filsafat, dan menganjurkan mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Ia menunjukkan apa-apa yang belum pernah digarap oleh para sastrawan, pikiran-pikiran yang belum pernah diungkapkan para sastrawan dalam karya sastranya. Seorang kritikus menunjukkan daerah baru yang belum dijelajahi dan belum digarap oleh para sastrawan. Seorang kritikus juga dalam kritiknya menunjukkan atau mengarahkan selera sastra yang baik kepada para sastrawan, sehingga kesusastraan akan menjadi segar dan hidup berkembang dengan baik, tidak hanya berpusar pada suatu titik mati, statis tidak berubah-ubah.

Begitulah kegunaan kritik sastra bagi perkembangan kesusastraan yang tidak dapat ditiadakan.

3. Kritik sastra berguna bagi masyarakat pada umumnya yang menginginkan penerangan tentang karya sastra.

Keterangan-keterangna dan uraian, atau analisis struktur norma- norma karya sastra yang dibeberkan oleh kritikus dalam kritikannya berguna bagi masyarakat pembaca agar dapat lebih terang memahami karya sastra para sastrawan. Seringklai pembaca kesulitan dalam menangkap maksud penyair dalam karya sastranya, kita tidak dapat jelas memahaminya hingga sering pembaca tak mendapat apa-apa dari isi suatu karya sastra, memuat pikiran-pikiran tinggi serta keindahan yang tersembunyi. Baru setelah membaca kritik tentang karya sastra tersebut, p embaca dapat lebih jelas menagkap maksudnya, dan tiba-tiba seakan- akan pembaca mendapat permata yang sangat berharga dari karya sastra y ang tadinya kurang dipahami itu. Jadi kritik sastra atau seorang kritikus dapat memberi keterangan tentang hal-hal yang masih samar-samar kita k etahui dalam membaca karya sastra, sehingga kita dapat menangkap dengan jelas nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam karya sastra itu.

(15)

Disamping itu, kritik sastra dapat mempertajam kepandaian pembaca dalam menangkap maksud isi karya sastra dalam memahami karya sastra. Hal seperti ini membuat masyarakat pembaca lebih menghargai kesusastraan dari yang sudah-sudah. Akibatnya mereka pun akan menghargai sastrawan atau pencipta karya sastra hingga secara tidak langsung dapat turut memperkembangkan kesusastraan karena sastrawan akan terus berusaha menciptakan meskipun seorang sastrawan yang sejati tak akan berhenti menulis walaupun masyarakat kurang memberikan penghargaan. Lagipula dengan adanya kritik sastra itu, masyarakat akan lebih memilih karya-karya sastra yang bernilai sastra, yang mengungkapkan nilai-nilai kehidupan yang tinggi, dengan demikian secara tidak langsung dapat mempertinggi taraf kehidupan masyarakat, memperhalus budi, perasaan, mempertajam pikiran, mempertinggi kejujuran, mencintai kebenaran, dan memperdalam rasa kemanusiaannya.

2.4 Bentuk Kritik Sastra

Menurut Abram (1981) berdasarkan bentuknya kritik sastra digolongkan menjadi:

1. Kritik Teori

Kritik sastra teori adalah bidang kritik sastra yang berusaha untuk menetapkan, atas dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah- istilah yang saling berhubungan, pembedaan-pembedaan dan kategori- kategori untuk diterapkan pada pertimbangan dan interpretasi karya sastra, maupun penerapan kriteria (standar atau norma-norma), yang dengan hal- hal tersebut itu karya-karya sastra dan para sastrawannya dinilai.

2. Kritik Praktek atau Kritik Terapan

Kritik praktik merupakan diskusi karya-karya sastra tertentu dan p engarang-pengarangnya. Kritik praktik berupa penerapan teori-teori kritik yang dapat dinyatakan secara eksplisit atau implisit berdasarkan keperluannya. Menurut pelaksanaan atau praktek kritik, kritik sastra oleh Abram (1981) dibagi menjadi:

(16)

a. Kritik Judisial

b. Kritik Impressionistik

Sedangkan menurut W. H. Hudson (1955) menggolongkan kritik sastra menjadi:

a. Kritik Judisial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerapkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, dan gayanya, dan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar umum tentang kehebatan atau keluarbiasaan sastra,

b. Kritik Induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian s astra berdasarkan fenomena-fenomena yang ada secara objektif.

Hudson menunjukkan adanya tiga perbedaan pokok antara kedua macam kritik itu. Yang pertama, kritik judisial mengakui adanya perbedaan tingkat antara karya-karya sastra yang disebabkan susunan norma-normanya berbeda. Sedangkan kritik induktif tidak mengakui adanya perbedaan tingkat, yang ada hanya perbedaan jenis. Jadi, tidak ada karya sastra yang lebih tinggi atau lebih rendah nilainya disebabkan susunan normanya berbeda. Yang kedua, kritik judisial mengakui adanya hukum-hukum sastra seperti hukum moral atau hukum negara, yang diletakkan oleh kekuasaan di luar dirinya, hokum ini mengikat para sastrawan sebagaimana hukum moral dan negara mengikat para warganya. Sedangkan menurut kritik induktif tidak ada hukum atau norma sastra yang seperti itu. Baginya hukum sastra persis seperti hukum alam bagi sarjana ilmu alam. Hukum sastra bukanlah syarat- syarat yang diletakkan di atas karya sastra dari tanpa ada sebelumnya, melainkan kenyataanlah yang menimbulkan hukum. Jadi singkatnya hukum-hukum atau norma-norma karya sastra itu sudah melekat pada karya-karya sastra itu sendiri. Yang ketiga kritik yudisial bersandar pada ukuran baku yang tetap, yang dengannya suatu karya sastra mungkin dikerjakan dan dihakimi, sedangkan kritik induktif menolak adanya dan kemungkinan ukuran baku atau resmi yang tetap itu. Seperti halnya fenomena yang lain berhubungan dengan ilmu-ilmu, kesusastraan adalah

(17)

produk, adalah hasil dari evolusi; sejarahnya adalah sejarah transformasi (perubahan atau penjelmaan) yang tak henti-hentinya hingga tak ada kriteria yang permanen atau abadi.

Secara singkatnya kritik induktif akan menyelidiki kesusastraan dengan jiwa semangat penyelidikan murni; dengan mencari norma- norma seni menurut pelaksanaan para seniman, dan memperlakukan seni seperti objek alam yang lain, seperti benda (hal yang mengalami perkembangan yang tak putus-putus, yang mungkin dapat diharapkan akan membuat perbedaan-perbedaan sastra antara penulis dan madzhab- madzhab, dan masing-masing dapat dipahami bila diperiksa dengan sikap pikiran yang disesuaikan dengan variasi khusus tanpa campur tangan hukum-hukum yang belum ada sebelumnya). Intinya, bila dalam s uatu karya sastra tidak memenuhi hukum karya sastra yang berlaku menurut para kritikus yudisial tidak bernilai atau kurang bernilai.

Sebaliknya, kritik induktif karena menekankan pada karya-karya sastra individual dan tidak mengakui adanya tingkat-tingkat karya sastra maka k ritik induktif tidak mengizinkan penilaian karya sastra dengan cara membandingkan antara yang satu dengan karya sastra yang lain.

Kritik impressionistik adalah kritik yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata atau sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra dan mengekspresikan tanggapan-tanggapan kritikus yang ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut. Kritik sastra yang impressionistik belum mencapai tujuan pokok kritik sastra, yaitu memberi pertimbangan baik buruk, bermutu tidaknya karya sastra. Kritik sastra yang impressionistik itu harganya hanya sebagai bacaan saja. Memang inipun ada gunanya juga, yaitu mungkin karena banyaknya karya sastra yang harus dibaca, tak mungkin kita membaca semuanya hingga penceritaan kembali secara ringkas ini memudahkan kita untuk mengetahui karya- karya sastra yang tak mungkin kita baca, misalnya saja karya sastra yang tidak sampai pada kita.

(18)

2.5 Pendekatan Terhadap Karya Sastra

Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams membagi kritik sastra ke dalam empat tipe: Kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif.

Kritik mimetik (mimetic criticism) memandang karya sastra sebagai ti ruan, pencerminan, atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia, dan kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran"

penggambaran, atau yang hendaknya digambarkan. Modus kritik ini pertama kali kelihatan dalam kritik Plato dan Aristoteles, merupakan sifat khusus teori-teori modern realisme sastra.

Teori kritik mimetik kelihatan pada penciptaan/diterapkan pada penciptaan sastra Angkatan 45, pada teori kritik Mochtar Lubis, Tcknik Mengarang, juga kritik-kritik H. B. Jassin.

Kritik pragmatik (pragmatic criticism) memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai (mendapatkan) efek-efck tertentu pada audience (pendengar, pembaca) baik berupa efek-efek kesenangan estetik ataupun ajaran/pendidikan, maupun efek-efek yang lain.

Kritik ini cenderung menilai karya sastra menurut berhasilnya mencapai.

tujuan tersebut. Kritik ini menguasai perdebatan sastra dari jaman Roman sampai abad ke-18, dihidupkan kembali oleh kritik retorik sekarang ini, yang menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggapan- tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam karya sastra, begitu keterangan Abrams.

Di Indonesia penciptaan sastra berdasar teori pragmatik adalah terutama roman-roman Balai Pustaka, yang mengutamakan didikan kepada pembaca, sedang kritik yang bercorak demikian adalah kritik St. Takdir alisjahbana sebagai kelihatan dalam Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusastraan (1977).

Kritik ekspresif (expressive criticism) memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan, atau

(19)

dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan~perasaannya. Kritik ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan kesejatian, at au kecocokannya dengan visium (penglihatan batin) individual penyair/pengarang atau keadaan pikirannya. Sering kritik itu melihat ke dalam karya sastra untuk menerangkan tabiat khusus dan pengalaman- pengalaman pengarang, yang secara sadar atau tidak ia telah membukakan dirinya di dalam karyanya. Pandangan semacam ini diperkembangkan terutama oleh kritikus romantik, dan secara luas berlaku di masa kini.

Teori kritik ekspresif kelihatan pada kritik aliran romantik di Indonesia terutama Armijn Pane, juga kelihatan dalam buku Arif Budiman, Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (1976).

Kritik objektif (objective criticism) mendekati karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mangelilinginya. Kritik itu menganalisis karya sastra sebagai sebuah objek yang mencukupi dinnya sendiri atau hal yang utuh, atau sebuah dunia dalam dirinya (otonom), yang harus ditimbang atau dianalisis dengan kriteria

"intrinsik" seperti kornpleksitas, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya. Ini adalah pendekatan yang bersifat khusus sejumlah kritikus penting sejak tahun 1920-an, yang termasuk kritikus-kritikus baru (new critics) dan kritik aliran Csshicago (Chicago School).

Di Indonesia kritik objektif menjadi teori kritik aliran Rawamangun, dengan tokoh-tokohnya J .U. Nasution, M.S. Hutagalung, Boen Sri Oemarjati, dan Saleh Saad.

Pada praktiknya keempat pendekatan itu sering bercampur, jarang yang bersifat mutlak.

2.6 Keberatan-keberatan dalam Kritik Sastra

Seorang sastrawan menciptakan sajak, cerita pendek, roman, dan sebagainya, dengan untuk dibaca dan dinikmati keindahannya serta kedalaman rasa dan pikiran-pikirannya, tidak untuk dipecah-pecah menjadi bagian-bagian yang terpisah hingga kehilangan artinya. Lagi pula mungkin suatu karya sastra akan turun mutunya bila dalam memberi

(20)

penilaian itu tidak tepat hingga dengan demikian, akan merendahkan nama penyair, atau mungkin dapat mematikan aktivitas sastrawan, apalagi bila ia baru muncul. Hal yang demikian ini kerap kali terjadi. Mengigat bahwa kritikus itu manusia juga, yang tidak luput dari membuat kesalahan. Lebih- lebih lagi kalau kritikus itu sudah dipandang besar oleh masyarakat, maka pendapatnya akan diikuti masyarakat, maka sangat merugikan nama sastrawan, akan mengurangi reputasi seorang sastrawan.

Dan lagi dengan hanya membaca kritik orang tidak membaca karya sastranya yang asli, jadi hanya membaca uraian kritikus saja. Di samping itu kritik sastra menyebabkan kita memandang karya sastra dengan kaca mata kritikus dan pikiran kita dikuasai oleh kritikus sehingga kita menurut saja apa yang dikatakan olehnya.

Begitulah keberatan-keberatan kritik sastra. Akan tetapi, keberatan ini jauh lebih kecil artinya dari kegunaannya, seperti yang kita uraikan di muka.

Lagi pula keberatan-keberatan itu dapat kita atasi, misalnya kita harus kritis terhadap pendapat kritikus mengenai suatu karya sastra hingga kita tak hanya menurut saja kepada pendapat kritikus yang mungkin salah itu.

Untuk mengimbangi kritik sastra yang kurang sempurna, kita membaca kritikan-kritikan orang lain dan membandingkannya. Atau, hendaklah diusahakan adanya kritik yang sempurna. Dibentuk dan disusun ilmu tentang kritik sastra untuk memajukan kritik sastra yang sangat berguna bagi perkembangan kesusastraan. Hanya dengan adanya kritik sastra yang benarlah dapat diatasi keberatan-keberatan tersebut. Akhirnya sampailah saatnya kini kita menarik kesimpulan untuk sementara. Bagaimanakah kritik sastra yang “benar”.“sempurna”, yang menurut metode literer; setelah kita membicarakan apakah kritik sastra. kritikus dan tugasnya fungsi kritik, jenis- jenis kritik, dan keberatan-keberatan kritik sastra.

(21)

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara ringkasnya sebagai berikut: Kritik sastra yang baik (sempurna) menganalisis karya sastra berdasarkan teori sastra, berdasarkan hakikat sastra, menganalisis karya sastra kepada seluruh normanya, tidak hanya menyoroti salah satu norma saja: mestilah objektif, tidak memihak; mestilah ada pertimbangan baik buruk karya sastra berdasarkan kenyataannya; dapat menunjukkan hal-hal yang baru pada karya sastra yang dikritik (kalau memang ada).

Adapun kritik sastra yang kurang sempurna. tidak baik (tidak benar) merupakan kebalikannya. Pertama subjektif memihak dan berat sebelah; kedua tidak dapat menunjukkan bermutu seni atau tidaknya karya sastra; ketiga terlampau mementingkan hal yang berkecil-kecil, sedang yang penting malah

“dilupakan", karena analisisnya tidak menyeluruh; keempat kritik yang keras ta k mengenal toleransi dan kompromi; kritik sastra yang hanya “menggurui”, kritikus berlagak pandai, padahal bila diteliti, sesungguhnya apa yang dikatakan “harus begini”, “harus begitu”. Itu tidak benar; yang keenam tidak sampai kepada penilaian; kalau sampai memberi penilaian, penilaiannya tidak menyeluruh atau penilaiannya tidak menurut metode literer; yang kedelapan kritik sastra yang dogmatis, pendapat kritikus tidak berubah-ubah disebabkan 1a tidak berpandangan luas.

Ciri-ciri yang tersebut di atas hanya mengambil pokok-pokoknya saja, tentu saja masih ada ciri-ciri lainnya baik mengenai kritik sastra yang baik maupun mengenai kritik sastra yang kurang baik atau tak sempurna.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Pradopo, R. D. (1994). Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Rohman, Saifur. (2014). Kritik Sastra Indonesia Abad XXI: Pengantar tentang Pendekatan, Metode, dan Model Kritik yang Relevan. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Semi, Atar. (1989). Kritik Sastra. Bandung: Angkasa

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

CPL-2 Mahasiswa mampu memahami jenis dan prinsip-prinsip kritik mulai dari teori Ganzheit, Strukturalisme, Sosiologi sastra, Psikologi Sastra, Kritik Sastra Feminis,

Dalam diskusi Sastra Indonesia tahun 1985, Ariel Heryanto dalam “Perdebatan Sastra Kontekstual” (1985) memperkenalkan kritik sastra kontekstual berupa kaitan

Sedangkan wilayah studi sastra (Teori sastra, sejarah sastra, dan sastra bandingan) secara tidak langsung berhubungan dengan penikmat, pembaca, atau masyarakat sastra melalui

Sementara itu, berdasarkan pengamatan terhadap orientasi kritik sastra Jawa berbahasa Indonesia pada periode 1981 — 197, dapat disim- pulkan bahwa ternyata kritik sastra

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian yang berjudul “Analisis Kritik Sastra Cerpen Gadis Penjual Korek Api Karya Hans Christian Anderson : Kajian Sastra Anak” ini akan membahas

Kritik sasatra mere pangajen kana karya sastra ku cara nalungtik jeung nyaliksik kana eta karya kalawan ngungkarakeun kapunjulan jeung kahengkeranana... Mangpaat jeung Guna Kritik

Makalah ini membahas tentang prinsip-prinsip dasar perencanaan

Makalah ini membahas tentang prinsip-prinsip perencanaan dalam pendidikan