• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING SENASTIKA 2021 - Repository UNISKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PROSIDING SENASTIKA 2021 - Repository UNISKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

55

Identifikasi Lokasi Urban Farming sebagai Ruang Terbuka Hijau di Kota Tasikmalaya menggunakan metode

Spatial Multi Criteria Evaluation

Andika Dwiputra Buditama

1

, Rizky Mulya Sampurno

2

, Dwi Rustam Kendarto

2

1Mahasiswa Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung

2Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran

Email: [email protected]

Abstrak

Urbanisasi adalah fenomena global yang umum di masa ini terutama di negara berkembang. Dampak dari urbanisasi seperti alih fungsi lahan menjadi lingkungan terbangun yang diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat. Alih fungsi lahan merupakan dampak negatif pembangunan perkotaan yang berakibat pada menurunnya kenyamanan kota. Selain itu, Hal-hal ini juga menyebabkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) semakin terbatas jumlahnya karena berbagai kepentingan pembangunan yang dianggap lebih prioritas dan bernilai ekonomis tinggi sehingga lahan untuk RTH semakin terbatas. Tasikmalaya merupakan salah satu kota yang sedang berkembang dan memiliki RTH yang masih sangat terbatas, yaitu 4,7% dari total luas wilayah. Pada umumnya, RTH akan lebih optimal dengan memanfaatkan pepohonan. Namun, Karena tidak mudah merombak lahan kota untuk menjadi area hijau serta lahan yang sempit, urban farming menjadi salaah satu solusi. Oleh Karena itu, diperlukan identifikasi lokasi yang sesuai untuk pengembangan urban farming di Kota Tasikmalaya . Penelitian ini menggunakan metode Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE) dengan menggabungkan persepsi dari pemangku kepentingan dan sistem informasi geografis (SIG). Hasil analisa menunujukkan kesesuaian lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan urban farming sebagai RTH dalam kategori home garden dan vertical garden seluas 48.64102 km! atau 27.4% dari luasan kota Tasikmalaya. Hal ini dapat membantu pemerintah setempat untuk memenuhi kebutuhan luas RTH yang direncanakan yaitu sebesar 30% dari luas kota.

Kata kunci : SMCE, urban farming, RTH

Latar belakang

Urbanisasi telah menyebabkan kebutuhan lahan di perkotaan semakin meningkat, sementara ketersediaan lahan untuk hunian semakin terbatas jumlahnya. Urbanisasi diakibatkan oleh terkonsentrasinya penduduk beserta aktivitasnya pada suatu wilayah/kota tertentu sehingga kepadatan kawasan tersebut lebih tinggi daripada kawasan-kawasan lain di sekitarnya [1]. Laju pertumbuhan populasi dan perkembangan pembagunan yang pesat karena urbanisasi akan menimbulkan masalah lingkungan, mulai dari alih fungsi lahan sampai degradasi kualitas lingkungan perkotaan akibat polusi dan sampah menyebabkan penurunan

kenyamanan kota. Dampak pertumbuhan penduduk perkotaan dapat menyebabkan peningkatan polutan dan emisi di udara sehingga memicu peningkatan suhu udara ambien [2]. Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tersedia untuk masyarakat dalam melakukan aktivitas di luar ruangan pada saat ini semakin berkurang karena berbagai kepentingan pembangunan yang dianggap lebih penting dan bernilai ekonomis tinggi sehingga lahan untuk kebutuhan ruang terbuka hijau semakin dianggap kurang penting.

. Pada kawasan perkotaan RTH memiliki tujuan untuk menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan, mewujudkan

(2)

56 keseimbangan antara lingkungan perkotaan dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

Perkembangan dan pertumbuhan kota/perkotaan disertai dengan alih fungsi lahan yang pesat yang menimbulkan kerusakan lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan di kawasan perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai [3]

.

Pepohonan besar lebih efektif untuk mengoptimalkan fungsi ruang terbuka hijau sebagai menyerap polutan dan menurunkan suhu.

Namun untuk kota, karena tak mudah merombak lahan untuk menjadi hutan serta lahannya sempit maka bisa diupayakan dengan teknik urban farming. Urban farming merupakan kegiatan yang dapat memanfaatkan ruang-ruang terbuka yang tidak produktif seperti lahan-lahan kosong, menjadi kegiatan alternatif aktivitas masyarakat kota untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka di kota )[4].

Kota Tasikmalaya merupakan salah satu perkotaan di Provinsi Jawa Barat yang menunjukkan pertumbuhan penduduk cukup besar dengan peningkatan jumlah penduduk sebanyak 0,12% yakni 794 jiwa dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 663.517 Meningkatnya penduduk mengakibatkan keberadaan RTH di kota Tasikmalaya sangat terbatas, yaitu 4,7% dari luas wilayah.

Sedangkan dalam Undang-Undang RI No.26 tahun 2007 tentang penataan ruang telah diamanatkan, bahwa RTH suatu kawasan setidaknya 30% dari luas wilayah, yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat.

Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kota Tasikmalaya, disebutkan bahwa infrastruktur publik, dan lingkungan hidup merupakan isu strategis yang perlu mendapat perhatian. Hal ini ditandai dengan belum optimalnya pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pelestarian lingkungan hidup seperti terbatasnya ruang terbuka hijau dan ruang-ruang publik/taman-taman kota.

Sistem informasi geografis (GIS) dan penginderaan jauh dapat digunakan dalam perencanaan lokasi untuk urban farming di Kota Tasikmalaya karena GIS menawarkan kecepatan, fleksibilitas, dan kemampuan untuk mengolah data dalam jumlah besar. Salah satu metode untuk menentukan perencanaan lahan urban farming ini adalah dengan Spatial Multi Criteria Evaluation yang menitikberatkan pada pembobotan nilai-nilai kriteria yang ditentukan oleh para stakeholder menurut studi dan pengalaman sebelumnya.

Metode Penelitian

Spatial Multi Criteria Evaluation

Spatial Multi-Criteria Evaluation (SMCE) adalah salah satu metode dalam proses pengambilan keputusan dalam perencanaan wilayah yang menggunakan model simulasi dengan beberapa kriteria dan faktor. SMCE berfungsi untuk membantu pengambil kebijakan dalam memilih dari beberapa alternatif hasil model simulasi yang tersedia berdasarkan skala prioritas [5]. Langkah Pertama dalam SMCE adalah membuat seleksi dari beberapa alternatif dalam bentuk peta dari suatu wilayah yang nantinya disebut sebagai kriteria. Kemudian kriteria yang berisi informasi dibuatkan standarisasi kriteria dan bobot untuk masing‐masing. kriteria. Hasil dari SMCE yang menjadi luaran adalah peta keluaran parameter tunggal [6]..

Area Studi

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2021 hingga Agustus 2021. Untuk penelitian kali ini menggunakan peta Rupa Bumi Kota Taskmalaya. Secara administratif, Kota Tasikmalaya memiliki luas sekitar 183,85 km! dengan penduduknya berjumlah 663.517 jiwa yang terdiri atas 8 kecamatan dan 69 kelurahan.

Data yang Digunakan

Pengambilan data primer pada penelitian kali ini dilakukan dengan cara pengisian kuesioner kepada pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan dan menilai bobot pada beberapa kriteria yang akan diolah. Data sekunder dalam penelitian ini berupa referensi bobot

(3)

57 subkriteria dan peta. Pengambilan data sekunder untuk referensi bobot kriteria dilakukan dengan studi pustaka sedangkan untuk data peta berasal dari peta yang disediakan oleh instansi pemerintah diantaranya BBSDL Kementerian Pertanian, Dinas Tata Ruang dan Pekerjaan Umum Kota Tasikmalaya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional serta digitasi dari Google Earth.

Peta yang digunakan dalam penelitian ini dari peta jenis tanah, peta kedalaman muka air, peta kemiringan, peta potensi banjir, peta kerapatan bangunan, peta tutupan lahan serta peta keseragaman. Semua peta kriteria dikonversi menjadi peta raster. Setiap peta kriteria terdiri dari kriteria utama dan sub kriteria. Peta akhir adalah hasil dari overlay seluruh data peta yang digunakan dalam penilitian ini.

Gambar 1; Peta Jenis Tanah Kota Tasikmalaya (Sumber : 2019)

Gambar 2; Peta Kedalaman Muka Air Kota Tasikmalaya

(Sumber : 2017)

Gambar 3; Peta Kemiringan Kota Tasikmalaya (Sumber : 2019)

Gambar 4; Peta Potensi Banjir Kota Tasikmalaya (Sumber : 2017)

(4)

58 Gambar 5; Peta Kerapatan Bangunan

(Sumber : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 2019)

Gambar 6; Peta Keseragaman Kota Tasikmalaya (Sumber : 2021)

Gambar 7; Peta Tutupan Lahan (Sumber : 2019)

Bobot Subkriteria Peta

Peta raster ditampilkan seperti matriks dan bobot diberikan ke setiap sel grid (piksel) berdasarkan keterangan petanya (subkriteria).

Tabel 1. Pembobotan Jenis Tanah

No Subkriteria Nilai Pembobotan 1 Molisol 10

2 Inceptisol 8 3 Alfisol 6 4 Entisol 6 5 Vertisol 4 6 Ultisol 2

Nilai tertinggi diberikan pada Molisol karena memiliki sifat kimia yang baik. Tingkat kesuburan tanah ini adalah yang paling tinggi serta cocok untuk usaha budidaya tanaman semusim yang memiliki akar pendek seperti sayuran, kacang tanah, dan padi. Tanah Inceptisol merupakan tanah yang paling cocok untuk pertanian organik [7].

Tanah dalam ordo alfisol memiliki tingkat kemasaman yang tinggi serta kadar lengas dan kapasitas simpan lengas tanah rendah dan rentan terhadap erosi.). Ultisols dianggap memiliki kesesuaian terendah untuk pertanian karena beberapa penghalang seperti Aluminium yang merupakan penghalang kimia dan fisik untuk penetrasi akar tinggi[8].

Tabel 2. Pembobotan Kedalaman Muka Air No Subkriteria Nilai Pembobotan 1 < 1 m 10

2 1- 3 m 8 3 3 – 5 m 6 4 5 – 10 m 4 5 > 10 m 2

Pengaturan muka air dapat menciptakan kondisi aerobik di tanah. [9]. Semakin kecil jarak muka air maka tanaman dapat berpotensi tumbuh secara optimal [10]. Maka semakin kecil kedalaman muka air, diberi skor lebih tinggi karena akan berpotensi untuk pengembangan lahan budidaya sayuran dan pertanian organik.

(5)

59 Tabel 3. Pembobotan Kemiringan

No Subkriteria Nilai Pembobotan 1 0 – 2% 10

2 2%-8% 8

3 8% – 15% 6 4 15%-24% 4 5 24%- 40 % 2 6 > 40 % 0

Lahan yang mempunyai kemiringan dapat lebih mudah terganggu atau rusak, lebih-lebih bila derajat kemiringannya besar [11].

Kemiringan lebih dari 40% diberi skor 0 karena tidak diizinkan untuk penggunaan pertanian, Sedangkan Kemiringan lainnya diberi skor dengan urutan 10, 8, 6, 4 dan 2 yang memisahkan dari tanah datar.

Tabel 4. Pembobotan Banjir

No Subkriteria Nilai Pembobotan 1 Non- Banjir 10

2 Rendah 8 3 Menengah 5 4 Tinggi 1

Banjir dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas pertanian [12], maka wilayah dengan potensi banjir tinggi diberikan nilai paling kecil untuk kesesuaian lokasi urban farming

Tabel 5. Pembobotan Kriteria Kerapatan Bangunan

No Subkriteria Nilai Pembobotan 1 Kerapatan Bangunan

Sangat Rendah

10 2 Kerapatan Bangunan

Rendah

8 3 Kerapatan Bangunan

Sedang

6 4 Kerapatan Bangunan

Tinggi

4 5 Kerapatan Bangunan

Sangat Tinggi

2

Jika semakin padat maka perlu dikembangkan pertanian dengan memanfaatkan lahan sempit seperti home garden [13] ataupun

vertical garden [14].

Tabel 6. Pembobotan Kriteria Keseragaman No Subkriteria Nilai

Pembobotan 1 Jarang & Tidak

Teratur

10 2 Jarang & Teratur 7 3 Padat & Tidak Teratur 5

4 Padat Teratur 2

Penilaian terhadap parameter ini berdasarkan keteraturan letak, dan besar / kecilnya bangunan. Bangunan yang memiliki ukuran relatif sama dan letaknya mengikuti pola tertentu, maka dikelompokan pada satuan unit pemetaan yang sama. Semakin teratur pola tata letak bagunan tersebut, semakin baik pula kelas kualitas lingkungan permukimannya.

Keseragaman kelompok akan mampu mempelancar gerakkan atau kegiatan kelompok dalam mencapai tujuan [15].

Tabel 7. Pembobotan Kriteria Tutupan Lahan No Subkriteria Nilai Pembobotan

1 Sawah 10

2 Pertanian lahan kering 10

3 Perkebunan 8

4 Hutan 8

5 Lahan Kosong 6

6 Semak belukar 4

7 Pemukiman 3

8 Perkantoran 2

9 Bandara 1

10 Danau 0

Penutup lahan merupakan informasi penting yang dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang diperlukan sebagai landasan bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan pembangunan, perencanaan pengembangan wilayah dan pengelolaan sumber daya alam [16]. Dalam hal penggunaan lahan dan tutupan lahan, pemanfaatan lahan yang tidak memungkinkan untuk urban farming seperti danau diberi skor 0, sedangkan untuk lahan pertanian eksisting dan tutupan lainnya diberi skor lebih tinggi Pembobotan Prioritas Kriteria Peta

Pada proses ini semua faktor yang terdapat dalam model SMCE diberikan bobot sesuai dengan

(6)

60 prioritasnya masing-masing oleh. Pembobotan setiap kriteria dilakukan oleh para pemangku kepentingan melalui pengisian kuesioner dengan cara membandingkan prioritas antar kritertia dengan menggunakan matriks perbandingan berpasangan AHP. Bobot setiap kriteria dan indeks konsistensi pada kuesioner dihitung dengan

Para pemangku kepentngan mungkin melakukan pengisian nilai prioritas yang tidak konsisten. Jika hal ini terjadi, maka solusi yang dihasilkan bukan yang terbaik. CR(Consistency Ratio) adalah hasil perbandingan antara Indeks Konsistensi (CI) dengan Indeks Random (RI). Jika CR <= 0.10 (10%) berarti jawaban pengguna konsisten sehingga solusi yang dihasilkan pun optimal. Jika CR > 0.10 maka berarti ada ketidakkonsistenan saat menetapkan skala perbandingan sepasang kriteria. Jika hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa solusi hasil metode AHP menjadi tidak berarti bagi pengguna [17].

Tabel 8. Perbandingan antar kriteria oleh Badan Pengembangan dan Penelitian daerah Kota Tasikmalaya

Tabel 9. Perbandingan antar kriteria oleh Dinas Tata Ruang dan Pekerjaan Umum Kota Tasikmalaya

Tabel 10.Perbandingan antar kriteria oleh Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan Kota Tasikmalaya

Tabel 11.Perbandingan antar kriteria oleh Akademis dari Universitas Siliwangi

Kriteria A B C D E F G Bobot

Jenis Tanah

(A) 1 6 1/3 1/8 1/

2 1/

6 1/7 0.054938795 Kedalaman

Muka air (B) 1/

6 1 1/3 1/7 1/

3 1/

6 1/7 0.028257896 Kemiringan

(C) 3 3 1 1/5 2 1/

2 1/3 0.091746645 Kerapatan

Bangunan (D) 8 7 5 1 5 3 1 0.320538539 Potensi Banjir

(E) 2 3 1/2 1/5 1 1/

2 1/5 0.065552406 Tutupan

Lahan (F) 6 6 2 1/3 2 1 1/3

0.147169092 Keseragaman

(G) 7 7 3 1 5 3 1 0.291796628

Keterangan : Consistency Ratio (CR) = 0.07228451

Tabel 12.Perbandingan antar kriteria oleh Akademisi dari Praktisi Urban Farming

Kriteria A B C D E F G Bobot

Jenis Tanah

(A) 1 1/3 1/4 1/7 1/2 1/3 1/6 0.033383643

Kedalaman Muka Air

(B) 3 1 1/3 1/5 4 1/2 1/2 0.087978636

Kemiringan

(C) 4 3 1 1/3 3 2 1/2 0.149815395

Kerapatan Bangunan

(D) 7 5 3 1 6 2 3 0.341792439

Potensi

Banjir (E) 2 1/4 1/3 1/6 1 1/6 1/3 0.04567718 Tutupan

Lahan (F) 3 2 1/2 1/2 6 1 ¼ 0.130809966 Keseragaman

(G) 6 2 2 1/3 3 4 1 0.210542742

Keterangan : Consistency Ratio (CR) = 0.07493437

Kriteria A B C D E F G Bobot

Jenis Tanah

(A) 1 1/3 1/5 1/4 1/8 1/6 1 0.03243652

Kedalaman Muka Air

(B) 3 1 1/5 3 1/7 1/3 3 0.085299958

Kemiringan

(C) 5 5 1 4 1/2 3 6 0.248337511

Kerapatan Bangunan

(D) 4 1/3 1/4 1 1/7 1/2 5 0.083633228

Potensi

Banjir (E) 8 7 2 7 1 3 6 0.369063361 Tutupan

Lahan (F) 6 3 1/3 2 1/3 1 5 0.147299825 Keseragaman

(G) 1 1/3 1/6 1/5 1/6 1/5 1 0.033929596

Keterangan : Consistency Ratio (CR) = 0.08107824

Kriteria A B C D E F G Bobot

Jenis Tanah

(A) 1 8 7 3 6 4 2 0.35180653

6 Kedalaman

Muka air (B) 1/

8 1 1/

3 1/

5 1/

3 1/

4 1/

6 0.02853418 7 Kemiringan

(C) 1/

7 3 1 1/

3 1/

2 1/

2 1/

5 0.05114616 6 Kerapatan

Bangunan (D)

1/

3 5 3 1 5 2 1/

3 0.15047731 6 Potensi

banjir (E) 1/

6 3 2 1/

5 1 1/

3 1/

4 0.06071212 1 Tutupan

lahan (F) 1/

4 4 2 1/

2 3 1 1/

5 0.09537141 6 Keseragama

n (G) 1/

2 6 5 3 4 5 1 0.26195225

7 Keterangan : Consistency Ratio (CR) = 0.05405316

Kriteria A B C D E F G Bobot

Jenis Tanah (A) 1 2 3 5 4 1/4 6 0.201208837 Kedalaman

Muka air (B) 1/2 1 3 3 2 1/5 5 0.135355831 Kemiringan (C) 1/3 1/3 1 3 2 1/6 3 0.087893217 Kerapatan

Bangunan (D) 1/5 1/3 1/3 1 1/3 1/4 1/2 0.042039338 Potensi Banjir

(E) 1/4 ½ 1/2 3 1 1/7 2 0.067865141

Tutupan Lahan

(F) 4 5 6 4 7 1 8 0.42371773

Keseragaman

(G) 1/6 1/5 1/3 2 1/2 1/8 1 0.041919906

Keterangan : Consistency Ratio (CR) = 0.0729824

(7)

61 Hasil tersebut

dianggap valid yang ditunjukkan dengan nilai CR kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa jawaban pemangku

kepentigan

konsisten, sehingga solusi yang dihasilkan pun optimal. Skor bobot tiap kriteria yang telah diisi dirata- ratakan sehingga didapatkan hasil akhir pembobotan setiap kriteria yang ditunjukkan pada

tabel 13. Nilai bobot akhir setiap kriteria dimasukkan ke ILWIS untuk dilakukan analisis Spatial Multi Criteria Evaluation.

Tabel. 13. Bobot Akhir Kriteria

Kriteria Bobot Akhir

Jenis Tanah (A) 0,134754866 Kedalaman Muka Air (B) 0,073085302 Kemiringan (C) 0,125787787 Kerapatan Bangunan (D) 0,187696172 Potensi Banjir (E) 0,121774042 Tutupan Lahan (F) 0,188873606 Keseragaman (G) 0,168028226

Hasil dan Pembahasan

Analisa Spatial Multi Criteria Evaluation yang dilakukan menghasilkan peta kesesuaian lokasi urban farming di Kota Tasikmalaya dengan 4 kategori yaitu Pertanian Konvensional, Pertanian Organik, Home Garden, serta Vertical Garden

Warna Hijau tua menunjukkan lokasi yang sesuai untuk pertanian konvensional serta warna hijau muda menunjukkan lokasi yang sesuai untuk pertanian organik. Kategori yang cocok

untuk Ruang terbuka Hijau adalah Home garden yang ditunjukkan warna kuning dan Vertical Garden yang ditunjukkan oleh warna jingga. Luas tiap kesesuaian lokasi ditunjukkan pada tabel 14.

Tabel 14. Luas kesesuaian lokasi Urban Farming Kategori Total Luas

(𝐤𝐦𝟐)

Persentase (%) Pertanian

Konvensional 40,06912 22,6

Pertanian

Organik 88,57883 50

Home Garden 35,03701 19,7 Vertical Garden 13,60401 7,7

Luas yang sesuai untuk pertanian makro (konvensional dan organik) mendominasi wilayah kota Tasikmalaya. Area yang Cocok untuk pertanian

(8)

62 makro sebagian besar berada di wilayah yang jauh dari kota. Menurut pakar dari dinas pertanian, Kota Tasikmalaya memiliki predikat

“kota” namun wilayahnya seperti kabupaten yang masih memiliki lahan pertanian yang luas.

Pertanian organik berpotensi untuk dikembangkan di Kota Tasikmalaya, Namun, pemanfaatan pertanian organik masih sangat jarang dikarenakan mayoritas petani di Kota Tasikmalaya masih menerapkan pertanian konvensional.

Home Garden atau pekarangan dapat dimanfaatkan sebagai Rumah Pangan Lesatri (RPL). Jika RPL dikembangkan dalam skala luas disebut Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). KRPL dapat diwujudkan dalam satu Rukun Tetangga atau Rukun Warga yang telah menerapkan prinsip Rumah Pangan Lestari dengan menambahkan upaya intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, lahan terbuka hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil [18].

Luas home garden dan vertical garden jika ditotal berpotensi untuk menambah ruang terbuka hijau seluas 48.64102 km! atau 27.4 % dari luasan kota Tasikmalaya.

Hal ini dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan luas ruang terbuka hijau yang ditentukan pemerintah yaitu 30% dari luasan kota. Kecamatan yang berpotensi untuk dikembangkan urban farming sebagai ruang terbuka hijau adalah kecamatan Cihideung, kecamatan Cipedes dan kecamatan Tawang karena wilayah kecamatan tersebut didominasi oleh warna jingga dan merah.

Kesimpulan

Berdasarkan aplikasi metode spatial multi crietria evaluation untuk menentukan lokasi kesesuaian Urban Farming di Kota Tasikmalaya didapatkan kesesuaian lokasi urban farming menjadi 4 kelas yaitu Pertanian Konvensional, Pertanian Organik, Home Garden, serta Vertical Garden. Lokasi urban Farming yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau

adalah kategori home garden dan vertical garden dengan luasan secara berturut-turut 19.7% dan 7.7%

dari luasan kota Tasikmalaya. Hal ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota dalam perencanaan pengembangan lokasi untuk urban farming untuk memenuhi kebutuhan RTH di Kota Tasikmalaya.

Referensi

[1] Sato, Y. & Yamamoto K. 2005. Population concentration, urbanization, and demographic transition. Journal of Urban Economics, 58, 45–61.

[2] Zuhri, M.S. 2014. Pengaruh faktor-faktor demografi terhadap emisi udara di Indonesia. JIEP-Vol. 14, No 2.

[3] Danny, R; Awalludin, M.. 2016. Analisis spasial ketersediaan ruang terbuka hijau terhadap jumlah penduduk di kota solo Muhammad Danny Rahman, Jurnal Geodesi Undip Agustus 2016 Volume 5, Nomor 3 Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

[4] Iftisan, M. 2013. Penerapan program urban farming di rw 04 Tamansari Bandung.

Available online at

https://media.neliti.com/media/publication s/220889-penerapan-program-urban- farming-di-rw-04.pdf. (diakses September 2021)

[5] Wibowo, A; Semedi, J, 2011. Model spasial dengan smce untuk kesesuaian kawasan industri (Studi Kasus Di Kota Serang) Majalah Ilmiah Globe Volume No. 13 pp.

50 – 59.

[6] Abdollahi, A; Babazadeh, H; Yargholi, B;

and Taghavi, L. 2020. Zoning the rate of pollution in domestic river using spatial multi - criteria evaluation model. Civil and Environmental Engineering, Vol.16 (Issue 1), pp. 49-62.

[7] Hardjowigeno, Sarwono, H. Subagyo, and M. Luthfi Rayes. 2004. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah." Di Dalam: Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Departemen Pertanian: Bogor

[8] Ward, J.; Andersen M.S; Appleyard S;

(9)

63 Clohessy. 2010. Acidification and trace metal mobility in soil and shallow groundwater on the Gnangara Mound, Western Australia. 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. August 1-6, 2010. Brisbane. pp. 1-4.

[9] Nur, Aini; Budi, I; Chusnul, A; Slamet, W. 2017. Muka air optimum pada system of rice intensification (sri).

Jurnal Irigasi Vol 12, No 1.

[10] Sukariawan, A; Abdul, R; Arief, S;

Bolot, S. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap lilit batang karet clon PB260 dan sifat kimia tanah gambut di kebun meranti rapp Riau. Jurnal Pertanian Tropik, vol. 2, no. 1, 2015.

[11] Andrian, Supriadi; Purba M. 2014.

Pengaruh ketinggian tempat dan kemiringan lereng terhadap produksi karet (hevea brasiliensis muell. arg.) di kebun hapesong PTPN iii Tapanuli Selatan. Jurnal Online Agroekoteknologi . ISSN No. 2337- 6597 Vol.2, No.3 : 981 - 989 , Juni 2014 [12] Sukirman, Muhammad. 2014. Studi pengaruh banjir terhadap produksi pertanian tanaman pangan di kecamatan Tanasitolo kabupaten Wajo. Repository UIN. Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

[13] Junaidah, J; Suryanto, P; Budiadi. 2017.

Komposisi jenis dan fungsi pekarangan (Studi kasus desa Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, DI Yogyakarta). Jurnal Hutan Tropis. 4. 77.

[14] Asikin, D; Handajani, R; Mustikawati, T. (2016). Vertical garden dan hidroponik sebagai elemen arsitektural di dalam dan di luar ruangan. Review of Urbanism and Architectural Studies. 14.

34-41.Universitas Brawijaya.

[15] Suhendra, A; Susilawati, W; Afrianto, E.

2018. Peranan faktor - faktor sosial terhadap kelas kemampuan kelompok tani padi sawah di kecamatan sumay kabupaten tebo. Jurnal Agri Sains Vol, 2

No.01 Juni. Program Studi Agribisnisfakultas Pertanian Universitas Muara Bungo.

[16] Nugroho, Ferman Setia. 2015. Pengaruh jumlah saluran spektral, korelasi antar saluran spektral dan jumlah kelas objek terhadap akurasi klasifikasi penutup lahan.

Jurnal Ilmiah Geomatika, Volume 21, Nomor 1 hal. 9-16.

[17] Padmowati, Rosa. 2009. Pengukuran index konsistensi dalam proses pengambilan keputusan menggunakan metode AHP.

Seminar Nasional Informatika. UPN

”Veteran” Yogyakarta, ISSN: 1979-2328 [18] DKP3 Kota tasikmalaya, 2019. Manfaatkan

Halaman Rumah Anda Melalui Program Kawasan Rumah Pangan Lestari. Available

online at

https://dkp3.tasikmalayakota.go.id/manfaatk an-halaman-rumah-anda-melalui-program- krpl/ (diakses September, 2021)

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Bahan Kajian Waktu Tugas yg hrs diselesaikan Pengalaman Belajar Referensi Kemampuan akhir pembelajaran Metode Pembelajara 1 Mahasiswa

Kemampuan akhir pembelajaran Bahan Kajian Metode Pembelajara Waktu Pengalaman Belajar Tugas yg hrs diselesaikan Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Referensi 6 Pembahasan

Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Bahan Kajian Waktu Tugas yg hrs diselesaikan Pengalaman Belajar Referensi Kemampuan akhir pembelajaran Metode Pembelajara 1 Mahasiswa

Kemampuan akhir pembelajaran Bahan Kajian Metode Pembelajara Waktu Pengalaman Belajar Tugas yg hrs diselesaikan Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Referensi 6 Consolidation

Kemampuan akhir pembelajaran Bahan Kajian Metode Pembelajara Waktu Pengalaman Belajar Tugas yg hrs diselesaikan Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Referensi 1 Pembahasan

Kemampuan akhir pembelajaran Bahan Kajian Metode Pembelajara Waktu Pengalaman Belajar Tugas yg hrs diselesaikan Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Referensi 1 Pembahasan

Kemampuan akhir pembelajaran Bahan Kajian Metode Pembelajara Waktu Pengalaman Belajar Tugas yg hrs diselesaikan Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Referensi 1 Pembahasan

Kemampuan akhir pembelajaran Bahan Kajian Metode Pembelajara Waktu Pengalaman Belajar Tugas yg hrs diselesaikan Kriteria, indikator, dan bobot penilaian Referensi 1 Pembahasan