Referat
ANEMIA HEMOLITIK
Oleh:
Refi Nabilah Amelia, S.Ked 04084822528116
Pembimbing:
dr Aisyah Wirdah Sp.PD, KHOM
BAGIAN/KSM ILMU PENYAKIT DALAM RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2025
HALAMAN PENGESAHAN Referat
Anemia Hemolitik
Oleh:
Refi Nabilah Amelia, S.Ked 04084822528116
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 21 April – 13 Juli 2025.
Palembang, Mei 2025
dr Aisyah Wirdah Sp.PD, KHOM
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Anemia Hemolitik”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian/KSM Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada dr Aisyah Wirdah Sp.PD, KHOM sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran dalam pembuatan referat ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan berkat-Nya kepada pembimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat dan pelajaran kepada pembaca.
Palembang, 15 Juni 2025
Refi Nabilah Amelia
3
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... 4
BAB I PENDAHULUAN...5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...7
1. Definisi Anemia Hemolitik...7
2. Etiologi... 7
3. Klasifikasi... 8
4. Epidemiologi... 10
5. Patofisiologi... 10
6. Histopatologi...11
7. Diagnosis...12
7.1. Gejala Klinis...12
7.2. Pemeriksaan fisik dan penunjang...12
8. Immune Hemolytic Anemia...15
8.1. Autoimmune Hemolytic Anemia...15
8.2. Reaksi Transfusi...16
8.3. Drug Induced...16
9. Microangiopathic...16
10. Purpura Trombositopenik Trombositik (TTP)...17
11. Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)...17
12. Anemia Hemolitik Oksidatif...18
13. Tatalaksana... 19
14. Prognosis... 20
15. SNPPDI... 20
BAB III KESIMPULAN...22
DAFTAR PUSTAKA...23
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin dari tingkat dasar seseorang;
namun, rentang referensi yang spesifik berdasarkan jenis kelamin dan ras sering digunakan untuk membuat diagnosis ketika kadar hemoglobin dasar tidak diketahui. Kriteria anemia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pria adalah kadar hemoglobin kurang dari 13 g/dL, sedangkan untuk wanita kurang dari 12 g/dL. Terdapat kriteria yang telah direvisi untuk anemia pada pria dan wanita yang mengalami komplikasi akibat kemoterapi, serta berdasarkan usia dan ras.
Bahkan "populasi khusus" seperti atlet, perokok, lansia, atau mereka yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki rentang yang disarankan berbeda.1
Masalah krusial dalam mengevaluasi bentuk anemia apa pun adalah mengenali penyebab yang dapat diobati sedini mungkin. Hal ini sangat penting karena hemoglobin, sebuah protein kaya zat besi, membantu sel darah merah (eritrosit) membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bentuk bikonkaf dari sel darah merah memungkinkan terjadinya pertukaran gas secara optimal. Jika tubuh tidak dapat menyediakan oksigen secara cukup, seseorang dapat mengalami gejala seperti kelemahan, lesu, pusing, sakit kepala, sesak napas, atau aritmia.1
Anemia sering diklasifikasikan lebih lanjut menjadi mikrositik, normositik, dan makrositik berdasarkan volume korpuskular rata-rata (MCV). Karena terdapat berbagai jenis anemia, parameter laboratorium ini memungkinkan klinisi untuk merumuskan pendekatan diagnostik yang praktis.1
Anemia hemolitik diklasifikasikan sebagai anemia normositik dengan MCV antara 80 hingga 100 fL. Ini adalah bentuk anemia dengan kadar hemoglobin rendah akibat penghancuran sel darah merah, peningkatan katabolisme hemoglobin, penurunan kadar hemoglobin, dan peningkatan usaha sumsum tulang untuk meregenerasi sel darah. Anemia hemolitik dapat dibagi lebih lanjut menjadi penyebab intrinsik dan ekstrinsik.1,2
5
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Anemia Hemolitik
Anemia adalah penurunan kadar hemoglobin dari tingkat dasar seseorang;
namun, rentang referensi yang spesifik berdasarkan jenis kelamin dan ras sering digunakan untuk membuat diagnosis ketika kadar hemoglobin dasar tidak diketahui. Kriteria anemia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk pria adalah kadar hemoglobin kurang dari 13 g/dL, sedangkan untuk wanita kurang dari 12 g/dL. Terdapat kriteria yang telah direvisi untuk anemia pada pria dan wanita yang mengalami komplikasi akibat kemoterapi, serta berdasarkan usia dan ras.
Bahkan "populasi khusus" seperti atlet, perokok, lansia, atau mereka yang tinggal di daerah dataran tinggi memiliki rentang yang disarankan berbeda. Anemia hemolitik adalah jenis anemia yang disebabkan oleh penghancuran sel darah merah, peningkatan katabolisme hemoglobin, penurunan kadar hemoglobin, serta peningkatan usaha sumsum tulang untuk meregenerasi sel darah.1
2. Etiologi
Terdapat banyak penyebab anemia hemolitik, yang dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, termasuk: penyakit akut vs. kronis, disebabkan oleh sistem imun vs. non-imun, hemolisis intravaskular atau ekstravaskular, turunan atau didapat, serta penyebab intraseluler (intracorpuscular) atau ekstraseluler (extracorpuscular). Penyebab intracorpuscular mengacu pada kelainan pada sel darah merah itu sendiri. Sel darah merah dapat mengalami kerusakan internal apabila kelarutan hemoglobin terganggu (hemoglobinopati), struktur membran atau sitoskeleton berubah (membranopati), atau kemampuan metaboliknya menurun (enzimopati). Contoh hemoglobinopati meliputi penyakit sel sabit (sickle cell disease/SCD) dan talasemia. SCD disebabkan oleh mutasi pada gen beta-globin yang menyebabkan polimerisasi hemoglobin-S, menyebabkan sel-sel darah merah saling menempel dan akhirnya mengalami hemolisis. Talasemia merupakan
penyebab paling umum dari anemia hemolitik herediter, yang terjadi akibat kurangnya sintesis salah satu rantai globin utama (alfa atau beta) dari hemoglobin A.2
Membranopati meliputi sferositosis herediter (HS) dan eliptositosis herediter (HE). HS biasanya diturunkan secara autosom dominan, meskipun bentuk non- dominan dan resesif juga telah ditemukan. HS tercatat sebagai penyakit langka, namun karena pengetahuan terbatas, variasi awal gejala dan tingkat keparahan yang luas, serta ketiadaan uji laboratorium spesifik, maka penyakit ini sulit untuk dipelajari. HE adalah kelainan heterogen pada membran sel darah merah dengan pola pewarisan autosomal dominan yang dapat menyebabkan spektrum gejala dari asimptomatik hingga mengancam nyawa.3,4
Beberapa enzimopati pada sel darah merah mengubah bentuk sel dan menyebabkan anemia hemolitik nonsferositik. Contohnya termasuk defisiensi G6PD dan defisiensi piruvat kinase (PKD). PK adalah enzim pembatas laju dalam produksi energi sel darah merah, sementara G6PD berperan dalam pemrosesan karbohidrat dan melindungi sel darah merah dari radikal bebas oksidatif. Defisiensi G6PD adalah kelainan bawaan yang diturunkan secara X-linked, hampir eksklusif menyerang pria, dan dapat menyebabkan hemolisis ketika dipicu oleh obat atau makanan tertentu, seperti kacang fava dan aspirin.2,5
Sebaliknya, penyebab extracorpuscular mengacu pada kerusakan sel darah merah yang dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk trauma mekanik, proses imun, atau infeksi. Transfusi darah dapat menyebabkan reaksi hemolitik akut maupun tertunda. Trauma mekanis terhadap sel darah merah dapat terjadi karena mikrotrombus, fibrin, atau gesekan katup jantung. Patogen seperti malaria dan babesiosis diketahui merusak sel darah merah, dan bahkan obat seperti dapsone (digunakan untuk mengobati infeksi tersebut) juga memiliki efek merusak karena potensi oksidatifnya.2
3. Klasifikasi
Anemia hemolitik dapat diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan etiologi, patofisiologi, atau hasil uji antiglobulin langsung (Direct Antiglobulin Test/DAT).
Salah satu cara sederhana untuk membedakannya adalah dengan mengelompokkan
pasien ke dalam kategori “DAT positif” atau “DAT negatif,” yang membantu membedakan antara penyebab yang bersifat imun dan non-imun. Tes DAT bertujuan untuk mengidentifikasi sel darah merah yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen, dan sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang dicurigai mengalami anemia hemolitik baru. Prinsip kerja DAT adalah penggunaan antibodi anti-manusia untuk mendeteksi adanya imunoglobulin atau komplemen yang terikat secara in vivo pada membran eritrosit. Jika hasilnya positif, akan terjadi aglutinasi yang menandakan adanya komponen imun. Anemia hemolitik dengan hasil DAT positif menunjukkan bahwa hemolisis disebabkan oleh proses imun, seperti anemia hemolitik autoimun (AIHA), antibodi yang tergantung obat, atau anemia hemolitik aloimun akibat reaksi transfusi. Dalam hal ini, antibodi yang terlibat bisa berupa imunoglobulin G (IgG), imunoglobulin M (IgM), atau bisa juga melibatkan sistem komplemen (C3), atau kombinasi keduanya. Sementara itu, anemia hemolitik dengan hasil DAT negatif tidak melibatkan mekanisme imun. Pada kasus ini, penghancuran eritrosit dapat disebabkan oleh ketidakstabilan membran sel darah seperti pada hemoglobinopati, kerusakan langsung oleh toksin seperti pada infeksi Clostridium perfringens, atau akibat anemia hemolitik mikroangiopatik (MAHA), seperti yang terjadi pada sindrom uremik hemolitik (HUS) dan purpura trombositopenik trombotik (TTP).6
Gambar 1. Beberapa contoh anemia hemolitik dengan pemeriksaan DAT
9
4. Epidemiologi
Terdapat dua database yang digunakan untuk mengecualikan secara sistematis populasi orang yang tidak dianggap “normal”, yaitu NHANES-III (Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional AS yang ketiga) dan database Scripps-Kaiser.
Melalui database ini, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan nilai hemoglobin pada pria usia 20–59 tahun maupun wanita usia 20–49 tahun. Informasi ini membantu dalam mempelajari populasi pasien yang kadar hemoglobinnya berada di luar kisaran normal tersebut.
Pada populasi Afrika-Amerika, ditemukan bahwa mereka memiliki:
1) Batas bawah kadar hemoglobin yang lebih rendah 2) Saturasi transferrin serum yang lebih rendah 3) Kadar feritin serum yang lebih tinggi
4) Kadar bilirubin yang lebih rendah 5) Jumlah leukosit yang lebih rendah
Hal ini diyakini disebabkan oleh tingginya frekuensi alfa-talasemia dan defisiensi G6PD dalam populasi kulit hitam. Defisiensi G6PD diketahui memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia.7,8
Meskipun eliptositosis herediter (HE) dapat ditemukan secara global, penyakit ini paling sering dijumpai di wilayah endemis malaria, terutama di Afrika Barat. Beberapa bentuk anemia juga umum ditemukan di wilayah ini, karena diduga memberikan perlindungan terhadap infeksi malaria. Secara keseluruhan, anemia hemolitik mencakup berbagai kelompok usia, ras, dan jenis kelamin, karena banyak subkategori kondisi ini bisa bersifat didapat (akuisita) maupun diturunkan (herediter).4
5. Patofisiologi
Anemia hemolitik adalah kondisi di mana terjadi penghancuran sel darah merah (eritrosit). Secara normal, sel darah merah memiliki umur hidup sekitar 120 hari. Proses hemolisis ini bisa berlangsung kronis (dalam jangka waktu lama) atau terjadi secara akut dan mengancam jiwa. Hemolisis juga dapat diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan lokasi terjadinya penghancuran sel darah, yaitu secara
intravaskular (di dalam pembuluh darah) atau ekstravaskular (di luar pembuluh darah, seperti di limpa).9
Ketika sel darah merah tidak mampu berubah bentuk saat melewati limpa, sel tersebut akan terperangkap dan mengalami fagositosis. Hal ini umum terjadi pada hemoglobinopati, seperti pada penyakit sel sabit (sickle cell disease). Penghancuran eritrosit juga dapat terjadi akibat:9
1) Kekurangan protein bawaan (membranopati, misalnya sferositosis herediter)
2) Fragmentasi sel (seperti pada anemia hemolitik mikroangiopatik, contohnya purpura trombositopenik trombotik (TTP), koagulasi intravaskular diseminata (DIC), dan HELLP syndrome)
3) Stres oksidatif yang meningkat atau penurunan produksi energi (enzimopati, misalnya defisiensi G6PD)
4) Antibodi yang berikatan dengan eritrosit dan memicu fagositosis (anemia hemolitik imun)
5) Obat-obatan tertentu yang menyebabkan hemolisis 6) Infeksi, atau
7) Trauma langsung, misalnya akibat alat musik seperti gendang conga.
6. Histopatologi
Apusan darah tepi (peripheral blood smear) harus diperiksa jika dicurigai terjadi hemolisis. Pemeriksa akan mencari bentuk eritrosit yang tidak normal, seperti skistosit, sferosit, atau sel “bite” (gigitan).9
Bentuk sel darah merah sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Dalam beberapa kasus, hasil apusan darah yang khas dapat cukup untuk menegakkan diagnosis anemia hemolitik tertentu. Contohnya terlihat pada eliptositosis herediter atau ovalositosis Asia Tenggara.9
Namun, beberapa jenis anemia hemolitik lain dapat menunjukkan ciri-ciri yang mirip, seperti fragmentasi eritrosit yang ditemukan pada anemia hemolitik mikroangiopatik (MAHA) dan anemia hemolitik mekanis akibat katup jantung prostetik yang bocor.10
11
Kerusakan oksidatif menghasilkan jenis eritrosit yang khas, sehingga dapat membantu dalam diagnosis melalui apusan darah. Jenis sel seperti:10
1) Keratosit atau sel “bite” (gigitan) 2) Sel “blister” (lepuhan)
3) Sel menyusut tidak beraturan
Hal itu perlu dibedakan dari sferosit, karena hal ini akan memengaruhi diagnosis akhir seseorang
7. Diagnosis
7.1. Gejala Klinis
Hemolisis harus dipertimbangkan ketika seorang pasien mengalami ikterus (penyakit kuning) atau hematuria akut disertai dengan anemia. Gejala hemolisis kronis dapat mencakup limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa), kolestasis, serta koledokolitiasis (batu di saluran empedu). Gejala lain yang bersifat nonspesifik meliputi kelelahan, sesak napas, hipotensi, dan takikardia.9
7.2. Pemeriksaan fisik dan penunjang
Evaluasi terhadap hemolisis yang dicurigai harus mencakup riwayat medis yang lengkap, termasuk diagnosis penyakit yang sudah diketahui, penggunaan obat- obatan, riwayat pribadi atau keluarga terkait anemia hemolitik, serta review sistem secara menyeluruh. Pemeriksaan fisik perlu difokuskan untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi yang berhubungan, seperti infeksi atau keganasan (malignansi). 9
Tabel 1. Kunci diagnosis anemia hemolitik9
Pemeriksaan awal anemia hemolitik dimulai dengan hitung darah lengkap (complete blood count/CBC) yang biasanya menunjukkan anemia normositik (volume korpuskular rata-rata/MCV antara 80 hingga 100 μm³ atau fL) atau makrositik (MCV lebih dari 100 μm³). Setelah anemia teridentifikasi, pemeriksaan lanjutan harus mencakup kadar laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, retikulosit, dan bilirubin tak terkonjugasi, serta analisis urin. 9
LDH adalah enzim intraseluler yang kadarnya meningkat saat sel darah merah (eritrosit) pecah. Haptoglobin berfungsi mengikat hemoglobin bebas dalam sirkulasi, sehingga kadarnya akan menurun saat terjadi hemolisis. Bilirubin tak terkonjugasi meningkat karena produksi bilirubin melebihi kapasitas eliminasi hati.
Hemolisis biasanya merangsang peningkatan jumlah retikulosit yang menyebabkan
13
makrositosis, kecuali jika terdapat defisiensi zat besi yang signifikan atau suppressi sumsum tulang. 9
Uji urinalisis juga penting: hasilnya mungkin positif terhadap hemoglobinuria, meskipun sel darah merah tidak tampak secara mikroskopik.
Kombinasi temuan berupa retikulositosis, peningkatan kadar LDH, peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, dan penurunan haptoglobin mengonfirmasi terjadinya hemolisis. Jika temuan-temuan ini tidak ada, maka perlu dicari penyebab lain dari anemia. Setelah hemolisis dikonfirmasi, penanganan suportif harus segera dimulai sesuai kebutuhan klinis pasien. 9
Gambar 2. Evaluasi pada suspek hemolisis9
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dengan pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat adanya eritrosit abnormal, seperti sferosit, skistosit, sel gigitan (bite cells), atau sel lepuhan (blister cells). 9
Sferosit terbentuk akibat kelainan membran atau penghilangan sebagian membran yang berulang oleh makrofag. Namun, keberadaan sferosit tidak spesifik untuk anemia hemolitik karena dapat ditemukan pada kondisi seperti sferositosis herediter maupun penyebab imun, seperti anemia hemolitik autoimun (AIHA) atau anemia hemolitik imun yang dipicu obat. 9
Skistosit adalah fragmen sel yang terbentuk akibat penghancuran intravaskular, biasanya ditemukan pada sindrom anemia hemolitik mikroangiopatik (MAHA). Sel gigitan dan sel lepuhan muncul akibat fagositosis parsial dan umum dijumpai pada penyebab hemolisis karena stres oksidatif, seperti pada defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Selain itu, tes antiglobulin langsung (Direct Antiglobulin Test/DAT) digunakan untuk membedakan penyebab imun anemia hemolitik dari penyebab nonimun. 9
8. Immune Hemolytic Anemia
8.1. Autoimmune Hemolytic Anemia
AIHA (Anemia Hemolitik Autoimun) disebabkan oleh penghancuran sel darah merah yang dimediasi oleh autoantibodi. Ciri khas AIHA adalah hasil tes antiglobulin langsung (DAT) yang positif. AIHA terbagi menjadi dua kelompok utama berdasarkan suhu pengikatan antibodi, yaitu aglutinasi suhu dingin (cold agglutinins) dan suhu hangat (warm agglutinins). Banyak kasus AIHA bersifat idiopatik, namun kondisi seperti infeksi virus dan bakteri, penyakit autoimun, gangguan jaringan ikat, keganasan limfoproliferatif, transfusi darah, dan transplantasi juga terkait dengan AIHA. 9
AIHA suhu hangat (warm AIHA) lebih umum dibandingkan dengan AIHA suhu dingin dan melibatkan antibodi imunoglobulin G (IgG), biasanya terhadap kompleks Rh, yang bereaksi dengan membran sel darah merah pada suhu tubuh normal. Sel darah merah yang dilapisi IgG kemudian dihilangkan oleh makrofag
15
retikuloendotelial dan terperangkap di limpa, yang kadang menyebabkan pembesaran limpa (splenomegali). Pengobatan AIHA suhu hangat biasanya meliputi penggunaan glukokortikoid, penanganan kondisi dasar yang mendasari, transfusi darah bila diperlukan, serta perawatan suportif. 9
AIHA suhu dingin (cold AIHA) melibatkan antibodi IgM (dengan titer aglutinasi dingin) yang bereaksi dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu rendah, kemudian menyebabkan lisis saat suhu kembali hangat melalui mekanisme fiksasi komplemen dan hemolisis intravaskular.
Pembentukan antibodi ini sering dikaitkan dengan proses infeksi atau keganasan.
Pneumonia mycoplasma dan mononukleosis merupakan dua penyebab paling umum. Penanganan pasien dengan AIHA suhu dingin biasanya meliputi tindakan suportif, menghindari pemicu, dan pengelolaan penyakit yang mendasari. 9
8.2. Reaksi Transfusi
Reaksi transfusi akut terjadi akibat adanya aloantibodi yang bereaksi dengan sel darah merah (RBC) yang tidak kompatibel. Hemolisis yang terjadi dapat bersifat akut maupun tertunda, dan dalam beberapa kasus dapat mengancam jiwa. Reaksi transfusi telah dibahas sebelumnya dalam publikasi American Family Physician. 9
8.3. Drug Induced
Anemia hemolitik imun akibat obat merupakan kondisi langka yang terjadi akibat terbentuknya antibodi yang dipicu oleh penggunaan obat tertentu. Hasil tes antiglobulin langsung (DAT) biasanya positif pada pasien dengan kondisi ini.
Secara historis, obat seperti metildopa dan penisilin dikenal sebagai penyebab klasik. Namun saat ini, penyebab yang lebih umum termasuk cefotetan (Cefotan), ceftriaxone, piperacillin (terutama dalam kombinasi piperacillin/tazobactam atau Zosyn), dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS/NSAID). 9
9. Microangiopathic
MAHA (Microangiopathic Hemolytic Anemia) adalah istilah deskriptif untuk anemia hemolitik yang terjadi akibat fragmentasi sel darah merah (eritrosit), dengan hasil pemeriksaan darah tepi menunjukkan keberadaan skistosit. Penyebab MAHA termasuk trauma mekanik, seperti dari alat endovaskular, atau adanya
mikrotrombus. Thrombotic Microangiopathies (TMAs) adalah sekelompok kondisi klinis yang beragam, namun semuanya memiliki MAHA sebagai ciri khas. 9 10. Purpura Trombositopenik Trombositik (TTP)
TTP merupakan kondisi gawat darurat dan memerlukan diagnosis serta penanganan yang cepat. Ciri klinis utamanya meliputi trombositopenia, demam, cedera ginjal, MAHA, dan gangguan neurologis. Hasil laboratorium tambahan mencakup tes DAT negatif dan fungsi koagulasi normal. Evaluasi aktivitas enzim ADAMTS13 adalah tes diagnostik definitif untuk TTP, namun hasilnya sering tertunda. Oleh karena itu, diagnosis presumtif harus segera ditegakkan. PLASMIC score dapat digunakan untuk memprediksi rendahnya aktivitas ADAMTS13 secara berat dan memulai pengobatan lebih awal. Setelah diagnosis presumtif ditegakkan, terapi harus segera dimulai dengan pertukaran plasma (plasma exchange) dan glukokortikoid. Pertukaran plasma berfungsi menghilangkan trombosit abnormal dan autoantibodi, serta menggantikan kadar ADAMTS13. Jika pertukaran plasma belum tersedia, infus plasma segar beku tetap memberikan manfaat sementara. 9 11. Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)
HUS ditandai oleh MAHA, cedera ginjal akut, dan seringkali trombositopenia serta gangguan neurologis. HUS berbeda dari TTP karena aktivitas enzim ADAMTS13 biasanya normal. Sebanyak 90% kasus HUS disebabkan oleh infeksi Shiga toxin–producing Escherichia coli (STEC-HUS), juga dikenal sebagai typical HUS, terutama strain E. coli O157:H7 atau Shigella dysenteriae, dan paling sering menyerang anak-anak. Prodromenya khas berupa nyeri perut dan diare, yang biasanya mendahului MAHA, cedera ginjal akut, dan trombositopenia dalam 5–10 hari. Infeksi saluran kemih oleh STEC bisa menyebabkan STEC-HUS tanpa diare.
Patogen lain seperti Streptococcus pneumoniae, HIV, dan influenza juga dapat menyebabkan HUS, meskipun jarang dan biasanya tanpa prodrome klasik. 9
Ada juga HUS atipikal yang tidak disebabkan oleh infeksi, melainkan oleh disregulasi komplemen, dan dapat bersifat herediter. Kekambuhannya sering dipicu oleh infeksi saluran pernapasan atas. 9
Sumber utama infeksi STEC adalah daging giling yang kurang matang, meskipun buah, sayur, unggas, dan air minum yang terkontaminasi juga dapat
17
menjadi media penularan. Pada STEC-HUS, toksin Shiga diserap dan menempel pada reseptor tertentu, terutama di glomerulus ginjal dan otak anak-anak, menyebabkan kerusakan endotel, pembentukan multimer vWF besar, dan akhirnya MAHA. Pengobatan utama adalah perawatan suportif dan pemantauan fungsi ginjal secara ketat. Antibiotik tidak dianjurkan untuk infeksi gastrointestinal oleh STEC karena dapat meningkatkan risiko HUS. 9
12. Anemia Hemolitik Oksidatif
Hemolisis oksidatif terjadi ketika proses normal tubuh tidak mampu mengubah besi ferik (Fe³ ) menjadi besi ferus (Fe² ) yang berfungsi membawa⁺ ⁺ oksigen. Hal ini menyebabkan methemoglobinemia, yaitu pengubahan hemoglobin menjadi multimer yang tidak aktif (Heinz bodies) yang akhirnya dihancurkan secara dini oleh fagositosis. 9
Defisiensi G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase) sangat berperan dalam perlindungan terhadap stres oksidatif. Bila enzim ini defisien, paparan terhadap agen oksidatif dapat menyebabkan hemolisis. Kondisi ini diturunkan secara X-linked dan umum ditemukan pada individu keturunan Mediterania dan Afrika. Secara klasik, pemicu utama hemolisis oksidatif adalah: 9
1) Kacang fava 2) Obat sulfa 3) Primaquine
Namun, daftar obat yang perlu dihindari oleh penderita defisiensi G6PD sangat luas (lihat referensi lengkap di: AAFP Table of Drugs in G6PD Deficiency).
Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan aktivitas G6PD, meskipun hasilnya bisa normal selama atau segera setelah episode hemolitik, karena hanya sel muda yang diperiksa. Beberapa agen lain seperti: 9
1) Amil dan butil nitrat 2) Benzokain topikal 3) Fenazopiridin 4) Dapson 5) Ribavirin 6) Paraquat
Pengobatan utama adalah menghentikan paparan obat penyebab dan memberikan perawatan suportif. Methylene blue bisa digunakan untuk methemoglobinemia berat yang tidak terkait defisiensi G6PD, tetapi kontraindikasi pada pasien dengan G6PD karena dapat memperburuk hemolisis. 9
13. Tatalaksana
Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, intervensi segera seperti transfusi darah, plasmapheresis, atau diuresis mungkin diperlukan, tergantung pada penyebab anemia hemolitik.
Transfusi darah merupakan pengobatan utama pada anemia berat, terutama bila disertai perdarahan aktif. Setelah hemolisis diketahui sebagai penyebab anemia, atau jika tidak diperlukan tindakan darurat, maka pengobatan yang lebih spesifik dapat dilakukan. Namun demikian, penatalaksanaan akan selalu bergantung pada penyebab dasarnya.11
Jika penyebab hemolisis belum jelas, pemeriksaan Direct Antiglobulin Test (DAT/Coombs test) dapat digunakan untuk membedakan penyebab hemolisis imun dan non-imun. Pada pasien dengan sickle cell disease (SCD), penanganan dapat meliputi transfusi darah, hydroxyurea, agen perangsang eritropoiesis, dan bahkan transplantasi sumsum tulang, yang telah terbukti efektif.11
Pemeriksaan apusan darah tepi (blood smear) penting dilakukan, terutama jika dicurigai defisiensi G6PD, karena pemeriksaan ini lebih cepat dibandingkan uji aktivitas enzim (assay). Selain itu, hasil negatif palsu dapat terjadi pada uji G6PD, sementara apusan darah masih menunjukkan ciri khas defisiensi ini. Setelah diagnosis ditegakkan, pasien harus menghindari obat dan makanan yang dapat memperburuk proses oksidatif.10
Pada Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH), komplikasi paling ditakuti adalah kejadian tromboemboli, sehingga beberapa ahli menyarankan profilaksis antikoagulan, meskipun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan regimen terapi yang tepat serta siapa yang paling berisiko dan akan mendapat manfaat dari terapi tersebut.2
19
Splenektomi, steroid, antibodi monoklonal, atau imunosupresan juga digunakan sebagai terapi lanjutan pada beberapa kondisi seperti anemia hemolitik autoimun (AIHA), hereditary spherocytosis (HS), dan SCD.9
14. Prognosis
Data dariSecara keseluruhan, perkembangan anemia meningkatkan risiko mortalitas pada berbagai penyakit klinis seperti penyakit ginjal kronis, gagal jantung, dan keganasan. Hal ini dibuktikan dalam publikasi uji klinis besar seperti TRICC, TRISS, dan TRACS, yang bertujuan untuk menentukan batas terendah kadar hemoglobin yang masih dapat ditoleransi tanpa meningkatkan angka kematian. Prognosis anemia hemolitik sangat bergantung pada penyebab dasarnya, serta seberapa cepat diagnosis ditegakkan dan pengobatan dimulai.
Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan sickle cell disease (SCD) memiliki luaran klinis yang lebih buruk. Secara khusus, kadar hemoglobin <8 g/dL berhubungan dengan risiko komplikasi saat perawatan di rumah sakit, seperti stroke dan peningkatan mortalitas.11
Pasien yang didiagnosis dengan anemia hemolitik autoimun (AIHA) dengan derajat anemia berat sejak awal cenderung mengalami kekambuhan berulang serta lebih sering menunjukkan resistensi terhadap berbagai lini pengobatan.12
Sementara itu, pada defisiensi G6PD, karena pengobatan utamanya adalah dengan menghindari faktor stres oksidatif, kondisi ini jarang berakibat fatal.
Namun, pasien tetap lebih rentan terhadap sepsis dan komplikasi infeksi.13 15. SNPPDI
Gambar 3. SNPPDI14
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk 3A. Bukan gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat.
14
21
BAB III KESIMPULAN
Anemia hemolitik merupakan kondisi anemia yang disebabkan oleh peningkatan penghancuran sel darah merah yang melebihi kapasitas regeneratif sumsum tulang. Penyebab anemia hemolitik sangat beragam, baik yang bersifat herediter seperti hemoglobinopati, enzimopati, dan membranopati, maupun yang didapat seperti anemia hemolitik imun, mikroangiopatik, oksidatif, dan akibat infeksi atau obat-obatan.
Diagnosis anemia hemolitik memerlukan pendekatan klinis dan laboratoris yang komprehensif, termasuk evaluasi kadar hemoglobin, pemeriksaan darah tepi, uji fungsi hemolitik (LDH, haptoglobin, bilirubin), serta pemeriksaan spesifik seperti Direct Antiglobulin Test (DAT). Penegakan diagnosis yang tepat penting untuk menentukan tatalaksana yang sesuai, baik berupa terapi suportif seperti transfusi maupun terapi definitif yang ditujukan pada penyebab dasar, termasuk pemberian imunosupresan, splenektomi, atau transplantasi sumsum tulang.
Prognosis anemia hemolitik sangat tergantung pada etiologi, keparahan penyakit, serta kecepatan diagnosis dan penatalaksanaan. Pemahaman yang baik tentang mekanisme dasar dan klasifikasi anemia hemolitik akan membantu klinisi dalam memberikan penanganan yang optimal serta mencegah komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tefferi A. Anemia in Adults: A Contemporary Approach to Diagnosis. Mayo Clinic Proceedings. 2003 Oct;78(10):1274–80.
2. L’Acqua C, Hod E. New perspectives on the thrombotic complications of haemolysis. Br J Haematol. 2015 Jan;168(2):175–85.
3. Xue J, He Q, Xie X, Su A, Cao S. Clinical utility of targeted gene enrichment and sequencing technique in the diagnosis of adult hereditary spherocytosis.
Ann Transl Med. 2019 Oct;7(20):527–527.
4. Narla J, Mohandas N. Red cell membrane disorders. Int J Lab Hematology.
2017 May;39(S1):47–52.
5. Van Wijk R, Van Solinge WW. The energy-less red blood cell is lost:
erythrocyte enzyme abnormalities of glycolysis. Blood. 2005 Dec 15;106(13):4034–42.
6. Palmer D, Seviar D. How to approach haemolysis: Haemolytic anaemia for the general physician. Clinical Medicine. 2022 May;22(3):210–3.
7. Beutler E, Waalen J. The definition of anemia: what is the lower limit of normal of the blood hemoglobin concentration? Blood. 2006 Mar 1;107(5):1747–50.
8. Beutler E, West C. Hematologic differences between African-Americans and whites: the roles of iron deficiency and α-thalassemia on hemoglobin levels and mean corpuscular volume. Blood. 2005 Jul 15;106(2):740–5.
9. Phillips J, Henderson AC. Hemolytic Anemia: Evaluation and Differential Diagnosis. Am Fam Physician. 2018 Sep 15;98(6):354–61.
10. Bain BJ. Diagnosis from the Blood Smear. N Engl J Med. 2005 Aug 4;353(5):498–507.
11. Ataga KI, Gordeuk VR, Agodoa I, Colby JA, Gittings K, Allen IE. Low hemoglobin increases risk for cerebrovascular disease, kidney disease, pulmonary vasculopathy, and mortality in sickle cell disease: A systematic literature review and meta-analysis. Connes P, editor. PLoS ONE. 2020 Apr 3;15(4):e0229959.
12. Jäger U, Barcellini W, Broome CM, Gertz MA, Hill A, Hill QA, et al.
Diagnosis and treatment of autoimmune hemolytic anemia in adults:
Recommendations from the First International Consensus Meeting. Blood Reviews. 2020 May;41:100648.
13. Frank JE. Diagnosis and management of G6PD deficiency. Am Fam Physician. 2005 Oct 1;72(7):1277–82.
14. Konsil Kedokteran Indonesia. (2019). Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia (SNPPDI). Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia