REFERAT
LUKA TEMBAK
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Disusun oleh:
Cahya Dhimas T. P 22204101018 Muhammad Sandy Ali Yafie 22204101019 Savira Ayu Anggraini 22204101020 Ghina Rofifah Zhani 22204101021 Devi Navila 22204101022
Dosen Pembimbing:
dr. Muhammad Kholil Ikhsan, Sp. FM
LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2024
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan laporan ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari dalam referat ini belum sempurna secara keseluruhan oleh karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan penyelesaian laporan selanjutnya.
Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.
Amin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kepanjen, 01 Agustus 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...2
DAFTAR ISI...3
BAB I...4
PENDAHULUAN...4
1.1 Latar Belakang...4
1.2 Rumusan Masalah...5
1.3 Tujuan Penulisan...5
1.4 Manfaat Penulisan...5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6
2.1 Definisi...6
2.2 Jenis Senjata Api...6
2.3 Identifikasi...8
2.4 Klasifikasi...15
2.5 Mekanisme...17
2.6 Deskripsi / Morfologi Luka...19
2.7 Balistik...22
2.8 Patologi Projectile...27
2.9 Pemeriksaan Penunjang...29
2.10 Medikolegal...34
BAB III STUDI KASUS...37
3.1 Kematian Akibat Luka Tembak Sangat Dekat...37
3.1.1 Kronologi Kasus...37
3.1.2 Diskusi Kasus...39
3.2 Kematian Akibat Luka Tembak Jarak Dekat...41
3.2.1 Kronologi Kasus...41
3.2.2 Diskusi...42
3.3 Luka Tembak Jarak Jauh...45
3.3.1 Kronologi Kasus...45
3.3.2 Diskusi...46
BAB IV PENUTUP...49
DAFTAR PUSTAKA...50
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian atau luka berat yang diakibatkan oleh pengunaan senjata api merupakan salah satu masalah global. Tingkat kejahatan yang semakin meningkat menghadapi kekerasan yang menggunakan senjata api sebagai alat yang dimaksudkan untuk melukai atau mematikan seseorang. (Pabur et al., 2018)
Pengunaan senjata api sebagai tindak kekerasan beberapa tahun ini meningkat menurut data WHO diperkirakan lebih dari 500.000 kasus luka tembak dalam setahun. 42% merupakan kasus bunuh diri, 38% merupakan kasus pembunuhan dan 20% merupakan kasus perang dan konflik senjata. (Pabur et al., 2018)
Secara global pada tahun 2016 kematian akibat cedera senjata api merupakan peristiwa pembunuhan terbanyak di Amerika Serikat dengan 90 kematian setiap hari, dan merupakan penyebab utama kematian kedua pada anak- anak dan remaja terkait sejata api sebesar 15,4%. Sedangkan kejadian luka tembak di Indonesia bervariasi di setiap wilayah kejadian luka tembak di Manado pada tahun 2016 didapatkan data sebanyak 4 orang. Menurut laporan komisi untuk orang hilang dan tindak kekerasan, pada Agustus 2018 di provinsi Papua tercatat sebanyak 110 kasus penembakan dalam kurun waktu 4 tahun, sedangkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tercatat sejumlah 22 kasus penembakan dalam kurun waktu 3 tahun. (Pabur et al., 2018; Shrestha et al., 2020)
Luka tembak adalah luka yang disebabkan adanya penetrasi anak peluru dengan tubuh. Jika anak peluru mengenai tubuh, maka kelainan yang terjadi merupakan resultante dari banyak faktor. Pada bagian tubuh tempat masuknya anak peluru, bagian tubuh sebelah dalam dan bagian tubuh tempat keluarnya anak peluru bentuk kelainannya tidak sama, karena faktor-faktor yang mempengaruhinya berbeda-beda. Pada kasus luka tembak, perlu sekali diperhatikan Luka Tembak Masuk (LTM) dan Luka Tembak Keluar (LTK).
(Parinduri, 2021)
Dalam mengungkapkan kasus-kasus terkait luka tembak. Pada prinsipnya pemeriksaan korban luka tembak, sama halnya dengan pemeriksaan luka pada
trauma lain, namun ada satu yang spesifik yaitu, dokter harus mengetahui dan memahami tentang senjata api, amunisi dan peluru. Pengetahuan yang baik tentang berbagai luka akibat senjata api memerlukan perhatian yang serius bagi seorang dokter sebagai pemeriksa termasuk tentang senjata api secara mendasar, jalannya anak peluru, pelatuk, jarak dan proses perjalanan anak peluru di dalam tubuh yang kemudian akan di tulis dalam Visum et Repertum dan penggunaan instrumen ini merupakan pembuktian yang dinyatakan sah dalam pengadilan dimana berisi fakta-fakta maupun opini yang disampaikan seorang dokter ataupun ahli forensik yang lain. (Parinduri, 2021)
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari luka tembak?
2. Bagaimana klasifikasi dari luka tembak?
3. Bagaimana identifikasi luka tembak masuk?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari luka tembak 2. Mengetahui klasifikasi dari luka tembak 3. Mengetahui identifikasi luka tembak masuk 1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang kasus luka tembak dan kemampuan menulis ilmiah di bidang kedokteran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka tembak ialah luka yang disebabkan adanya penetrasi anak peluru dengan tubuh. Jika anak peluru mengenai tubuh, maka kelainan yang terjadi merupakan resultante dari banyak faktor. Pada bagian tubuh tempat masuknya anak peluru, bagian tubuh sebelah dalam dan bagian tubuh tempat keluarnya anak peluru bentuk kelainannya tidak sama, karena faktor-faktor yang mempengaruhinya berbeda-beda (Shresta et al., 2020).
2.2 Jenis Senjata Api
Senjata api adalah suatu senjata yang menggunakan tenaga hasil peledakan mesiu, dapat melontarkan proyektil (anak peluru) yang berkecepatan tinggi melalui larasnya. Berikut adalah jenis-jenis senjata api : 1. Berdasarkan panjang larasnya:
a. Laras pendek
Revolver: mempunyai metal drum (tempat penyimpanan 6 peluru) yang berputar (revolve) setiap kali trigger ditarik dan menempatkan peluru baru pada posisi siap untuk ditembakkan. Revolver terdapat dua jenis, single action dan double action. Pada tipe single action pelatuk harus dikokang setiap kali akan menembak. Sedangkan pada double action revolver penekanan picu secara berulang untuk langsung memutar silinder, mensejajarkan laras dan tempat peluru, mengokang dan selanjutnya melepaskan pelatuk untuk menembak.
Pistol : peluru disimpan dalam sebuah silinder yang diputar dengan manarik picunya. Pistol otomatis dan semi otomatis, peluru disimpan dalam sebuah magasin, putaran pertama harus dimasukkan secara manual ke dalam ruang ledaknya.
Gambar 2.1. Senjata api laras pendek
b. Laras panjang
Senjata ini berkekuatan tinggi dengan daya tembak sampai 3000m, mempergunakan peluru yang lebih panjang. Senjata laras panjang dibagi menjadi dua yaitu:
Senapan tabur. Senapan tabur dirancang untuk dapat memuntahkan butir-butir tabur ganda lewat larasnya, sedangkan senapan dirancang untuk memuntahka peluru tunggal lewat larasnya, moncong senapan halus dan tidak terdapat rifling.
Senapan untuk menyerang. Senapan ini mengisi pelurunya sendiri, mampu melakukan tembakan otomatissepenuhnya, mempunyai
kapasitas magasin yang besar dan dilengkapi ruang ledak untuk peluru senapan dengan kekuatan sedang (peluru dengan kekuatan sedang antara peluru senapan standard an peluru pistol)
Gambar 2.2. Laras panjang
2.3 Identifikasi
Bagian terpenting dalam memeriksa luka tembak adalah menentukan luka tembak yang ada di tubuh sebagai luka tembak masuk dan luka tembak keluar, dengan mengertinya luka tembak masuk dan luka tembak keluar maka dokter akan mengerti dari arah mana senjata mengarah.
1. Luka Tembak Masuk
Luka tembak senjata api masuk secara tipikal berbentuk bulat sampai oval, dengan permukaan yang halus dan daerah kelim lecet (abrassion ring) yang mengelilingi pinggiran luka. Abrasion ring ini disebabkan oleh gesekan dari permukaan kulit disekeliling luka dengan peluru disaat peluru membentuk cekungan masuk (indentasi) sebelum menembus kulit. Jika peluru mengenai secara tegak lurus, abrasion ring yang mucul akan bersifat seragam disekitar luka (DiMaio, 1999).
Gambar 2.3. Sebuah peluru mengindentasi kulit, membuat lubang, dan mengabrasi tepi luka tembak masuk pada kulit (DiMaio, 1999)
Gambar 2.1. A. Luka tembak masuk dari pistol berkaliber besar .45. B. Luka tembak masuk dari pistol berkaliber sedang 9 mm. Keduanya menunjukkan luka tembak masuk tipikal dengan defek bulat pada kulit dan tepi kelim lecet (abrasion
ring) (Denton JS, 2006).
Jika peluru yang masuk mengenai kulit dengan sudut selain tegak lurus, abrasion ring yang muncul akan melebar sepanjang tepi dimana peluru berasal (terhadap arah moncong senjata api) (DiMaio, 1999). Perlu diingat bahwa membedakan luka masuk dan luka keluar bukanlah hal yang mudah. Dengan pengecualian luka jarak kontak dan jarak menengah, tidak ada ciri luka tembak masuk senjata api (misal: bentuk, abrasion ring, ukuran) yang penting untuk diagnostik luka tembak masuk. Tetapi keseluruhan ciri luka perlu dipertimbangkan untuk membedakan antara luka tembak masuk dan luka tembak keluar.Perlu juga dicatat bahwa kaliber dari proyektil tidak bisa ditentukan hanya dengan mengandalkan bentuk ukuran luka tembak masuk pada kulit (DiMaio, 1999).
Luka robek atau laserasi menyebar dari bagian tengah dengan memberikan defek berbentuk stellata atau penampakan seperti bintang.
Luka tembak masuk dapat dibedakan lagi, yaitu :
a. Luka tembak masuk jarak jauh / indeterminate. Luka tembak masuk ini dibentuk oleh komponen anak peluru. Luka tembak jarak jauh adalah luka tembak dimana jarak antara moncong senjata dengan korban diatas 70 cm, atau diluar jarak tempuh atau jangkauan butir-butir mesiu.Luka ini terjadi bila jarak antara moncong senjata dengan tubuh korban di luar jangkauan atau jarak tempuh butir-butir mesiu yang tidak terbakar atau terbakar sebagian.Luka berbentuk bundar atau oval dengan disertai adanya kelim lecet.Bila senjata sering dirawat (diberi minyak) maka
pada kelim lecet dapat dilihat pengotoran bewarna hitam berminyak, jadi ada kelim kesat atau kelim lemak (Payne et al., 2005).
Gambar 2.5. Luka Tembak Jarak Jauh (Payne et al., 2005)
b. Luka tembak masuk jarak dekat. Luka tembak masuk ini dibentuk oleh komponen anak peluru dan butir-butir mesin yang tidak habis terbakar.
Luka tembak masuk jarak sangat dekat (close wound) sering disebabkan pembunuhan. Dengan jarak sangat dekat (±15 cm), maka akan didapati cincin memar, tanda-tanda luka bakar, jelaga dan tattoo disekitar lubang luka masuk. Pada daerah sasaran tembak didapati luka bakar karena semburan api dan gas panas, kelim jelaga (arang), kelim tattoo akibat mesiu yang tidak terbakar dan luka tembus dengan cincin memar di pinggir luka masuk (Payne et al., 2005).
Gambar 2.6. Luka Tembak jarak dekat (Payne et al., 2005).
Ketika barrel senjata api diletakkan dekat dengan kulit sampai jarak beberapa sentimeter, abu dapat saja tidak menempel sepenuhnya pada kulit. Abu dari jenis luka ini tidak tertempel seperti pada luka tembak kontak, dan dapat dihilangkan hampir selutuhnya selama membersihkan darah dari luka.Sehingga dokumentasi pemerikaan dan fotografik sebaiknya dilakukan sebelum pembersihkan.Ketika hal tersebut dilakukan, pembersihan luka secara lembut degan air hangat dan sedikit penggosokan ringan dapat menghilangkan darah yang membeku dan
tetap meninggalkan sebagian besar abu pada kulit. Dalam kasus lain, keseluruhan pola distribusi abu dan daerahnya sebaiknya didokumentasikan. Perlu diingat bahwa beberapa amunisi modern cukup “bersih” dengan lebih sedikit deposisi abu dan bubuk dari yang diharapkan (DiMaio, 1999).
c. Luka tembak masuk jarak sangat dekat atau menempel dengan kulit atau luka tembak kontak. Dibentuk oleh komponen anak peluru, butir mesin, jelaga dan panas api. Pada saat seseorang melepaskan tembakan dan kebetulan mengenai sasaran yaitu tubuh korban, maka pada tubuh korban, maka pada tubuh korban tersebut akan didapatkan perubahan yang diakibatkan oleh berbagai unsur atau komponen yang keluar dari laras senjata api tersebut. Terjadi bila moncong senjata ditekan pada tubuh korban dan ditembakkan. Bila tekanan pada tubuh erat disebut
“hard contact”, sedangkan yang tidak erat disebut “soft contact”
(DiMaio, 1999).
Keluarnya berbagai gas panas, abu, partikel bubuk yang tidak terbakar atau setengah terbakar, pecahan metalik, atau debris lain dari moncong senjata api, bersamaan dengan anak peluru menghasilkan ciri khas pada kulit atau pakaian korban penebakan. Ketika moncong senjata api diletakkan dekat dengan kulit korban ketika ditembakkan, dihasilkan luka tembak kontak keras. Pada jenis luka ini, terdapat daerah gelap deposisi abu (karbon) di sekitar tepi luka tembak masuk.
Abu ini mengering pada kulit akibat gas panas yang keluar dari moncong senjata api dan tidak dapat sepenuhnya hilang dari luka. Ada kemungkinan untuk munculnya warna merah ceri (cherry red) pada jaringan lunak dibawahnya akibat terbentuknya carboxyhemoglobin ketika karbon monoksida terbetuk dari hentakan bubuk yang terbakar ke dalam jaringan bersamaan dengan ledakan pada moncong senjata api (DiMaio, 1999).
Bentuk luka tembak kontak sangat dipengaruhi oleh densitas jaringan yang berada di bawahnya.Jika moncong senjata api diletakkan dekat dengan kulit yang terletak diatas permukaan tulang yang rata,
misal: tengkorak, terbentuklah luka tembak stellata. Luka ireguler ini dapat berukuran cukup besar dan dihasilkan dari gas yang keluar dari senjata api yang memisahkan bagian dasar dai luka, dengan hasil ruptur eksplosif pada kulit ketika gas meluas. Walaupun seringkali luka yang berukuran besar dan ireguler seringkali disalahartikan oleh orang yang tidak terlatih sebagai luka tembak keluar, banyaknya jumlah abi seringkali tampak pada luka dan tulang dibawahnya memberikan petunjuk atas keadaan sebenarnya (DiMaio, 1999).
Proses yang sama dari ekspansi gas dibawah kulit dapat menghasilkan cetakan moncong senjata api. Pada luka tembak kontak, gas dapat memisahkan dasar kulit dan menyebabkan dasar kulit mengalami ekspansi atau “Baloon” keluar, yang secara paksa memberikan tekanan moncong senjata api. Hal ini memberikan hasil abrasi imak yang dapat mereplikasi secara parsial atau sepenuhnya konfigurasi moncong senjata api. Defek luka sebenarnya juga dapat berbentuk stellata jika terjadi pada tengkorak (DiMaio, 1999).
Gambar 2.7. Luka tembak kontak (Payne et al., 2005).
Fenomena luka tembak tempel lainnya mengasilkan abu berbentuk radial dan tercetak pada kulit yang meluas dari tepi luka tembak.
Terdapat berbagai penjelasan atas terjadinya fenomena ini, tetapi luka ini dihasilkan ketika setelah peluru menembus tubuh, moncong peluru tergelincir atau berpindah posisi secara sesaat dimana gas panas dan abu tetap keluar dari moncong senjata api. Hal tersebut mengasilkan gambaran abu yang meluas secara radial dari luka tembak (DiMaio, 1999).
Penjelasan lain dari fenomena ini adalah fenomena ini mewakili luka kontak inkomplit, mengasilkan jeda kontak parsial antara moncong senjata api dan kulit, menyebabkan adanya aliran gas panas yang meluar keluar dari luka. Walaupun pada sebagian besar luka, daerah deposisi abu dan terbakar dapat diharapkan berbentuk baling-baling atau sebaliknya berbentuk pita. Proses ini tampak lebih umum dijumpai pada rifle rimfire kaliber .22, tetapi juga nampak muncul pada pistol dengan kaliber besar (DiMaio, 1999).
2. Luka Tembak Keluar
Peluru yang berhasil melewati tubuh akan keluar dan menghasilkan luka tembak keluar. Biasanya karakteristik luka berbeda dengan luka tembak masuk. Bentuknya tidak sirkular melainkan bervariasi dari seperti celah (slitlike), seperti bintang, iregular, atau berjarak (gaping). Bentuk luka tembak keluar tidak dapat di prediksi.
Gambar 2.8. Luka tembak keluar (Lew et al., 2005).
Kesalahpahaman umum diantara orang yang belum terlatih adalah luka keluar selalu lebih besar daripada luka masuk. Tetapi hal ini seringkali salah, terutama pada kasus luka kontak pada kepala. Seperti telah diberitahukan sebelumnya, luka tembak masuk biasanya besar dan stellata, dibandingkan dengan luka tembak keluar yang cukup kecil.
Keluarnya lemak atau viscera melalui luka juga seringkali disalahartikan bahwa luka tersebut merupakan luka keluar. Faktanya, lemak atau viscera dapat mengalami herniasi dari luka akibat efek gravitasi atau tekanan, dan penemuan ini tidak dapat digunakan untuk menentukan apakah luka tersebut merupakan luka keluar atau luka masuk (DiMaio, 1999).
Adapun faktor –faktor yang menyebabkan luka tembak keluar lebih besar dari luka tembak masuk adalah (Payne et al., 2005):
1. Perubahan luas peluru, oleh karena terjadi deformitas sewaktu peluru berada dalam tubuh dan membentur tulang.
2. Peluru sewaktu berada dalam tubuh mengalami perubahan gerak, misalnya karena terbentur bagian tubuh yang keras, peluru bergerak berputar dari ujung ke ujung (end to end), keadaan ini disebut “tumbling”.
3. Pergerakan peluru yang lurus menjadi tidak beraturan, disebut
“yawing”.
4. Peluru pecah menjadi beberapa fragmen. Fragmen-fragmen ini menyebabkan luka tembak keluar menjadi lebih besar.
5. Bila peluru mengenai tulang dan fragmen tulang tersebut turut terbawa keluar, maka fragmen tulang tersebut akan membuat robekan tambahan sehingga akan memperbesar luka tembak keluarnya.
Pada beberapa keadaan luka tembak keluar lebih kecil dari luka tembak masuk, hal ini disebabkan (Payne et al., 2005):
1. Kecepatan atau velocity peluru sewaktu akan menembus keluar berkurang, sehingga kerusakannya (lubang luka tembak keluar) akan lebih kecil, perlu diketahui bahwa kemampuan peluru untuk
dapat menimbulkan kerusakan berhubungan langsung dengan ukuran peluru dan velocity.
2. Adanya benda menahan atau menekan kulit pada daerah dimana peluru akan keluar yang berarti menghambat kecepatan peluru, luka tembak keluar akan lebih kecil bila dibandingkan dengan luka tembak masuk.
Gambar 2.9. Menunjukkan sebuah proyektil kecepatan rendah. Proyektil tidak memiliki energi untuk membuat laserasi pada kulit (Lew et al., 2005).
Luka tembak keluar yang ditopang dihasilkan ketika kulit pada titik keluarnya peluru ditopang oleh beberapa objek yang menyebabkan abrasi disekitar luka keluar. Objek tersebut dapat merupakan pakaian yang ketat atau berat, lantai dibawah korban, sandaran kursi, atau benda lain yang menekan daerah luka keluar. Pada kasus ini, kulit pada titik luka keluar membentuk tenda keluar oleh peluru yang keluar dan didoring melalui material penopang, menyebabkan abrasi, kontusio, dan/atau laserasi pada kulit disekitar luka keluar. Abrasi dapat saja berpola, menyerupai bentuk dan karakteris dari merial yang menopang. Pada beberapa kasus, peluru gagal untuk keluar dari kulit dan daat ditemukan pada subkutis atau demis, ketika menyebabkan abrasi atau kontusio dari kulit dibawahnya (DiMaio, 1999).
2.4 Klasifikasi
Peluru yang menembus tubuh bisa ditembakkan dari berbagai jarak.
Untuk kepentingan medikolegal penentuan jarak luka tembak ini sangat penting. Jarak luka tembak dibagi atas 4 yaitu:
1) Luka Tembak Tempel (Contact Wounds)
Terjadi bila laras senjata menempel pada kulit. Luka masuk biasanya berbentuk bintang (stellate) karena tekanan gas yang tinggi waktu mencari jalan keluar akan merobek jaringan. Pada luka didapati jejas laras, yaitu bekas ujung laras yang ditempelkan pada kulit. Gas dan mesiu yang tidak terbakar didapati dalam jaringan luka. Didapati kadar CO yang tinggi dalam jaringan luka. Pada tepinya terdapat contusion ring dan apabila ada rambut akan hangus. Disamping contusion ring tepi luka menunjukkan tanda luka terdapat sisa-sisa mesiu, klim tattoo minimal atau tidak ada. Luka tembak tempel biasanya didapati pada kasus bunuh diri. Oleh karena itu sering didapati adanya kejang mayat (cadaveric spame). Luka tembak tempel sering didapati di pelipis, dahi, atau dalam mulut (Amir, 2011).
Luka tembak tempel di daerah pelipis mempunyai ciri: luka berbentuk bundar dan terdapat jejas laras. Luka tembak tempel di daerah dahi mempunyai ciri: luka berbentuk bintang dan terdapat jejas laras. Luka tembak tempel di dalam mulut mempunyai ciri : luka berbentuk bundar dan kemungkinan besar tidak terdapat jejas laras (Idries, 1997).
2) Luka Tembak Sangat dekat (Close Wound)
Luka tembak masuk jarak sangat dekat sering disebabkan pembunuhan. Dengan jarak sangat dekat (± 15 cm), maka akan didapati contusion ring, tanda-tanda luka bakar karena semburan api dan gas panas, jelaga (arang) dan klim tattoo akibat mesiu yang tidak terbakar disekitar lubang luka masuk dan luka tembus dengan contusion ring dipinggir luka masuk (Amir, 2011).
3) Luka Tembak Dekat (Near Wound)
Luka dengan jarak dibawah 60 cm akan meninggalkan lubang luka, cincin memar selebar 1-1.5 cm dan klim tattoo disekitar luka masuk.
Kadang-kadang ditemukan juga serpihan metal akibat gesekan peluru dengan laras pada luka tembak masuk jarak dekat. Biasanya bekas luka seperti ini terdapat pada kasus pembunuhan. Pada luka tembak penting
sekali memeriksa baju korban. Harus dicocokkan apakah lubang di tubuh korban setentang dengan lubang di pakaian.
Dalam hal ini baik pada luka tembak dekat, sangat dekat, dan juga luka tembak tempel, perlu diperhatikan kemungkinan tertinggalnya materi-materi asap dan klim tattoo di pakaian korban, karena pada tubuh korban hanya didapati luka dengan cincin memar yang memberikan gambaran luka tembak jauh. Oleh karena itu bila korban luka tembak tidak memakai pakaian, jangan menentukan jarak luka tembak sebelum memeriksa pakaiannya (Amir, 2011).
4) Luka Tembak Jauh (Distand Wound)
Disini tidak ada klim tatoo, hanya ada luka tembus oleh peluru dan cincin memar. Pada arah tembakan tegak lurus permukaan sasaran (tangensial) bentuk cincin memarnya berupa konsentris, bundar.
Sedangkan pada tembakan miring bentuk cincin memarnya berupa oval. Tepi luka compang-camping. Jika anak peluru berjalan dengan gaya non-perpendikular maka tepi compang-camping tersebut akan melebar pada salah satu sisi. Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan arah anak peluru (Knight, 2004)
Jarak penembakan sulit atau hampir tak mungkin ditentukan secara pasti. Tembakan dari jarak lebih dari 60 cm dianggap sebagai tembakan jarak jauh, karena partikel mesiu biasanya tidak mencapai sasaran lagi (Amir, 2011).
2.5 Mekanisme
Dengan pengecualian efek perlambatan pada luka yang disebabkan pada semua trauma mekanik seperti pukulan, tusukan, atau tendangan, terjadi karena adanya transfer energi dari luar menuju ke jaringan. Ini juga terjadi pada luka tembak. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tergantung pada absorpsi energi kinetiknya, yang juga akan menghamburkan panas, suara serta gangguan mekanik yang lainya (Pounder D.J, 2008; DiMaio, 1999).
Untuk menjamin transfer energi ke suatu jaringan, beberapa peluru dimodifikasi akan berhenti atau menurun kecepatanya sesampainya di tubuh.
Anak peluru yang lunak didesain akan segera menjadi pecahan kecil saat
ditembakkan. Peluru dumdum banyak digunakan pada muncung roket yang mempunyai ruang udara pada ujungnya diperuntukkan agar pada saat benturan akan terjadi pengurangan kecepatan dan terjadi transfer energi yang besar dan kerusakan jaringan yamg hebat. Ledakan peluru ini juga pernah digunakan saat usaha pembunuhan presiden Reagen. Lintasan peluru juga dapat menilai besar dan kecepatan dari energi yang diberikan pada suatu target (Pounder D.J, 2008; DiMaio, 1999).
Jumlah dari energi kinetik yang terdapat pada proyektil sesuai dari masa dan kecepatan. Industri militer modern telah mengambil banyak manfaat untuk pengembangan senjata dengan dasar masa yang rendah dengan kecepatan yang tinggi sehingga menghasilkan energi kinetic yang maksimum untuk kerusakan jaringan.Rata-rata kecepatan peluru berkisar 340m/s, dimana banyak digunakan pada panah, senapan angin, serta revolver. Dari system mekanik ini akan mengakibatkan daya dorong peluru ke suatu jaringan sehingga terjadi laserasi, kerusakan sekunder terjadi kalau adanya rupture pembuluh darah atau struktur lainnya dan terjadi luka yang sedikit lebih besar dari diameter peluru. Jika kecepatan melebihi kecepatan udara, lintasan dari peluru yang menembus jaringan akan terjadi gelombang tekanan yang mengkompresi jika terjadi pada jaringan seperti otak, hati ataupun otot akan mengakibatkan kerusakan dengan adanya zona-zona disekitar luka.
Dengan adanya lesatan peluru dengan kecepatan tinggi akan membentuk rongga disebabkan gerakan sentrifugal pada peluru sampai keluar dari jaringan dan diameter rongga ini lebih besar dari diameter peluru, dan rongga ini akan mengecil sesaat setelah peluru berhenti, dengan ukuran luka tetap sama. Organ dengan konsistensi yang padat tingkat kerusakan lebih tinggi daripada yang berongga. Efek luka juga berhubungan dengan gaya gravitasi.
Pada pemeriksaan harus dipikirkan adanya kerusakan sekunder seperti infark atau infeksi (Pounder D.J, 2008; DiMaio, 1999).
Gambar 2.10. Mekanisme luka tembak (DiMaio, 1999).
2.6 Deskripsi / Morfologi Luka
Kepentingan medikolegal deskripsi yang adekuat dari luka senjata api bergantung pada besarnya potensi seorang korban meninggal. Jika korban masih hidup, deskripsi singkat dan tidak terlalu detail. Dokter mempunyai tanggung jawab yang utama untuk memberikan penatalaksanaan gawat darurat. Membersihkan luka, membuka dan mengeksplorasi, debridement dan menutupnya, kemudian membalut adalah bagian penting dari merawat pasien bagi dokter. Penggambaran luka secara detail akan dilakukan nanti, setelah semua kondisi gawat darurat dapat disingkirkan. Oleh karena singkatnya waktu yang dimiliki untuk mempelajari medikolegal, seringkali dokter merasa tidak mempunyai kewajiban untuk mendeskripskan luka secara detail.
Deskripsi luka yang minimal untuk pasien hidup terdiri dari (Hueske, 2006) : 1. Lokasi
a. jarak dari puncak kepala atau telapak kaki serta ke kanan dan kiri garis pertengahan tubuh
b. lokasi secara umum terhadap bagian tubuh 2. Deskripsi luka luar
a. ukuran dan bentuk
b. lingkaran abrasi, tebal dan pusatnya c. luka bakar
d. lipatan kulit, utuh atau tidak e. tekanan ujung senjata 3. Residu tembakan yang terlihat
a. grains powder
b. deposit bubuk hitam, termasuk korona
c. tattoo
d. metal stippling 3. Perubahan
a. oleh tenaga medis b. oleh bagian pemakaman 4. Track
a. penetrasi organ
b. arah : depan ke belakang (belakang ke depan), kanan ke kiri(kiri ke kanan), atas ke bawah
c. kerusakan sekunder : perdarahan dan daerah sekitar luka d. kerusakan organ individu
6. Penyembuhan luka tembakan a. titik penyembuhan
b. tipe misil
c. tanda identifikasi d. susunan
7. Luka keluar a. lokasi b. karakteristik
8. Penyembuhan fragmen luka tembak
9. Pengambilan jaringan untuk menguji residu
Pada korban mati, tidak ada tuntutan dalam mengatasi gawat darurat.
Meskipun demikian, tubuhnya dapat saja sudah mengalami perubahan akibat penanganan gawat darurat dari pihak lain. Sebagai tambahan, tubuh bisa berubah akibat perlakuan orang-orang yang mempersiapkan tubuhnya untuk dikirimkan kepada pihak yang bertanggung jawab untuk menerimanya. Di lain pihak, tubuh mungkin sudah dibersihkan, bahkan sudah disiapkan untuk penguburan, luka sudah ditutup dengan lilin atau material lain. Penting untuk mengetahui siapa dan apa yang telah dikerjakannya terhadap tubuh korban, untuk mengetahui gambaran luka.
a. Jarak Tembakan
Efek gas, bubuk mesiu, dan anak peluru terhadap target dapat digunakan dalam keilmuan forensik untuk memperkirakan jarak target dari tembakan dilepaskan. Perkiraan tersebut memiliki kepentingan sebagai berikut:
untuk membuktikan atau menyangkal tuntutan; untuk menyatakan atau menyingkirkan kemungkinan bunuh diri; membantu menilai ciri alami luka akibat kecelakaan. Meski kisaran jarak tembak tidak dapat dinilai dengan ketajaman absolut, luka tembak dapat diklasifikasikan sebagai luka tembak jarak dekat, sedang, dan jauh.
b. Arah Tembakan
Luka tembak yang tepat akan membentuk lubang yang sirkuler serta perubahan warna pada kulit, jika sudut penembakan olique akan mengakibatkan luka tembak berbentuk ellips, panjang luka dihubungkan dengan pengurangan sudut tembak. Senapan akan memproduksi lebih sedikit kotoran, kecuali jika jarak dekat. Petunjuk ini berguna untuk pembanding dengan shotgun. Luka tembak yang disebabkan shotgun dengan sudut olique akan membentuk luka seperti anak tangga. Jaringan juga berperan serta dalam perubahan gambaran luka karena adanya kontraksi otot. Petunjuk lain yang penting untuk menginterpretasikan, yaitu :
1) Jika peluru mengenai lapisan keras tulang atau organ, dimana akan dialihkan arah keluarnya dan lintasan peluru yang terbentuk.
2) Posisi tubuh korban secepatnya dinilai.
Telah dikatakan bahwa, pada saat penembakan ada pada sudut yang benar dari permukaan tubuh, bentuk dari luka akan simetris dan lingkaran. Tembakan senjata api dengan “Sallow Cone” akan melewati setiap bagian tubuh tapi pada bagian permukaan tangensial tubuh. Posisi yang paling sering ditemukan kemungkinan pada samping dada, dibawah axilla.Jika lengan dinaikkan tidak akan ikut terkena, sebaliknya akan terlihat luka pada dinding dada, dan bagian sisi dalam lengan atas. Daerah lainnya adalah bagian samping wajah, dimana jika terkena tembakan, bagian wajah tersebut akan terkoyak dan kemungkinan telinga akan ikut terkoyak.
Pada dada meskipun penetrasi tembakan minimal kerusakan berat pada pleura dan paru dapat terjadi, dan kematian dapat terjadi karena Hematothorak dengan atau tanpa luka laserasi atau memar pada paru.
Ketika bagian kepala terkena, menghancurkan tulang tengkorak atau wajah dan dapat terjadi kerusakan intracranial, meskipun peluru logam tidak menembus kranium. Enapan juga dapat menyebabkan luka tangensial (Idries, 1997; Ashari,2011).
Beberapa penampilan luka yang berbeda disebabkan oleh shotguns dan rifled firearms. Perbedaan luka tersebut juga disebabkan karena adanya perbedaan peluru saat ditembakkan. Perbedaan ini bervariasi dalam hal ukuran dengan diameter rata-rata 22 kaliber.
Bentuk dan karakteristik luka juga sangat tergantung dari jarak tembak. Pada jarak tembak yang dekat, tembakan berupa satu bentuk peluru silinder yang besar. Pada jarak tembak sedang, bentuk lukanya tidak beraturan dan punya penampakan moth eaten. Dengan adanya penambahan diameter, pecahan dari tembakan menjadi lebih besar dan terlihat defek tembakan berupa satelit yang awalnya menutupi defek utama tetapi kemudian menyebar. Pada tembakan jarak jauh, tidak terlihat defek yang besar dan tembakan membuat luka kecil tunggal.
Deposit tembakan dan klim tato terjadi akibat luka tembak pada jarak dekat dan sedang.
Ada tiga jenis tembakan yakni Birdshot, buckshot, dan rifled slugs. Birdshot digunakan untuk membunuh ungsa dan hewan yang sangat kecil. Tembakannya sangat kecil dengan diameter 0.05 sampai 0.150 inci. Buckshot lebih besar dari Birdshot, dengan diameter 0,24 sampai 0,33 inci. Tipe foster dari Rifled slugs digunakan di AS. Luka akibat Rifled slugs berupa defek soliter.
Karakteristik dari luka tembak tidak dapat dilihat kecuali pada Birdshot yang kontak dengan lukanya dekat, buckshot yang lebih besar, dan rifled slugs. Karakteristik luka lain dari luka tembak adalah wad mark. Wad mark dapat ditemukan pada luka tembak dengan perbedaan berdasarkan jarak tembak.
Beberapa wad dibuat dari gabus atau partikel yang menyerupai gabus, yang akan terbentuk pada tembakan dekat. Fragmen wad yang kecil akan menghantam kulit dan menyebabkan luka yang kecil dan tidak beraturan.
2.7 Balistik
Jalur karakteristik peluru yang berasal dari senjata api, menunjukkan penerbangan proyektil, dan menghantam suatu objek, dapat dijelaskan dengan menerapkan prinsip-prinsip balistik internal, eksternal, dan terminal. Senjata api dapat dikategorikan dalam berbagai cara termasuk bentuk, cara kerja, dan jenis amunisi. Senjata api yang bertanggung jawab atas luka tembak biasanya dikelompokkan berdasarkan kecepatan proyektil yang dikeluarkan. Cedera proyektil berkecepatan tinggi biasanya disebabkan oleh senjata api dengan kecepatan moncong lebih besar dari 2000 kaki/detik (biasanya kaliber senapan) dan berhubungan dengan kerusakan jaringan yang lebih besar.
Cedera proyektil berkecepatan rendah disebabkan oleh senjata api dengan kecepatan moncong kurang dari 2.000 kaki/detik (umumnya kaliber pistol).
Senapan adalah contoh umum senjata api berkecepatan rendah (1.000-1.500 kaki/detik), tetapi senapan memiliki pola balistik unik yang berbeda dari perilaku proyektil tunggal. Meskipun mengkategorikan senjata api berdasarkan kecepatan proyektil saja sudah cukup mudah, namun hal ini mengabaikan sebagian besar hasil balistik luka. Misalnya, ketika senapan berkecepatan rendah ditembakkan dari jarak dekat, jenis luka berkecepatan tinggi dihasilkan, karena peningkatan transfer energi.
1. Balistik Internal
Balistik internal menggambarkan jalur yang dilalui proyektil di dalam senjata, dari laras ke moncong, yang dapat dilihat pada gambar 1.
Balistik internal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bubuk mesiu, primer, dan karakteristik amunisi lainnya, serta chamber, rifling, choke (penyempitan), panjang laras, dan sifat-sifat rekayasa senjata api lainnya. Kemajuan teknis mengenai balistik internal telah memungkinkan peningkatan kecepatan proyektil, energi, dan akurasi.
Peluru tersedia dalam berbagai variasi dan berbeda dalam hal bahan, ukuran, bentuk, dan aspek desain lainnya yang memengaruhi
perilaku terbang, yaw, KE, kemampuan penetrasi, dan potensi melukai (gambar 2). Peluru terutama terdiri dari timbal karena kepadatannya yang tinggi, massanya, dan dengan demikian KE, meskipun ketika ditembakkan dengan kecepatan lebih dari 2.000 kaki/detik, suhu laras yang tinggi dapat menyebabkan peluru berubah bentuk. Untuk mengurangi deformasi yang disebabkan oleh suhu, peluru biasanya diproduksi dengan paduan timbal atau dibungkus dengan jaket tembaga atau paduan tembaga.
2. Balistik Eksternal
Lintasan yang diambil oleh peluru antara keluar dari senjata api dan menyentuh target dijelaskan dengan menggunakan balistik eksternal, yang dapat dilihat pada gambar 1 Jenis peluru, selongsong, panjang, dan kaliber (diameter) adalah komponen utama yang memengaruhi balistik eksternal. Selain itu, rotasi yang disebabkan oleh putaran laras, yang meningkatkan stabilitas dan akurasi penerbangan, serta gaya eksternal seperti gravitasi dan gaya hambat yang bekerja pada proyektil yang menentukan jalur terbangnya. Jarak antara senjata api dan targetnya, serta kecepatan proyektil awalnya, keduanya memainkan peran penting dalam potensi melukai. Senjata berkecepatan tinggi mempertahankan sejumlah besar KE pada jarak pendek,
Gambar 2.12 Fase dari Balistik. (A) Balistik Internal terjadi di dalam senjata api.
(B) Balistik Eksternal menggambarkan periode yang terjadi setelah proyektil meninggalkan senjata api dan sebelum mencapai target. Lintasan proyektil (t) dapat bervariasi di sepanjang arah jalur penerbangannya (x) jika hidung peluru menyimpang pada sumbu vertikal, yang dikenal sebagai pitch (y), atau sumbu horizontal, yang dikenal sebagai yaw (z). (C) Terminal atau Luka Balistik menggambarkan efek proyektil setelah menghantam target atau korban (Baum et al., 2022).
sementara proyektil berkecepatan rendah dengan cepat kehilangan energi yang besar.
Namun, pada jarak dekat, proyektil berkecepatan tinggi dan rendah dapat mempertahankan persentase KE yang tinggi. Gaya hambat dapat diubah oleh bentuk, ukuran, dan perilaku yang ditunjukkan oleh peluru di sepanjang lintasan proyektilnya. Peluru yang ideal dan aerodinamis mengalami yaw, tumbling, atau roll yang minimal, dan memiliki koefisien hambatan yang rendah, yang mengarah ke lintasan proyektil
yang rata dan memaksimalkan jumlah energi kinetik yang dipertahankan saat menyentuh targetnya. Peningkatan yaw dan adanya tumbling (hilangnya stabilitas giroskopis) keduanya menyebabkan gaya hambat pada peluru meningkat dan KE-nya menurun.
3. Balistik Luka Teminal
Gambar 2.13 Anatomi Amunisi. Sketsa sederhana yang menampilkan penampilan umum berbagai jenis amunisi, selongsong peluru, peluru, atau selongsong peluru.
(A) Peluru berkecepatan/berenergi tinggi, biasanya ditembakkan dari senapan, dirancang untuk penggunaan jarak jauh untuk berburu atau konflik bersenjata.
(B) Peluru berkecepatan rendah/berenergi rendah, biasanya digunakan pada pistol. Sketsa menggambarkan satu peluru dengan ujung berlubang dan satu peluru dengan ujung bulat. (C) Amunisi senapan, biasanya digunakan pada senapan dengan moncong yang dapat diisi peluru, yang dirancang untuk target jarak pendek. (D) Amunisi umumnya terdiri dari yang berikut ini: (i) Peluru (proyektil); (iii) Selongsong; (v) Propelan; (vi) Primer; (vii) Pelek. Uniknya, selongsong senapan berisi (ii) Peluru (proyektil) dan (iv) Gumpalan (Baum et al., 2022)
Balistik terminal, diwakili dalam gambar 1, menggambarkan efek yang ditimbulkan proyektil pada target mereka setelah kontak, yang,
dalam kasus makalah ini, adalah jaringan hidup. Peluru dapat diklasifikasikan secara luas berdasarkan apakah peluru tersebut berubah bentuk (mengembang) atau tidak berubah bentuk (tidak mengembang).
Peluru yang tidak berubah bentuk dan yang berubah bentuk sebagian tetap utuh dan biasanya menghasilkan penetrasi yang lebih besar, tetapi
menghasilkan kerusakan jaringan kolateral yang lebih sedikit daripada luka tembak proyektil yang berubah bentuk (Gambar 3 A dan C).
Karena penetrasinya yang lebih besar, peluru yang tidak berubah bentuk, seperti jaket logam penuh, hidung bundar, wadcutters, dan semi-wadcutters, lebih mungkin menciptakan luka keluar. Sebaliknya,
Gambar 2.14 Pola Luka Tembak untuk Berbagai Putaran. Sketsa sederhana yang menampilkan pola luka internal yang khas yang disebabkan oleh kelas proyektil yang umum digunakan. Rongga permanen dan rongga sementara pada setiap luka masing- masing ditunjukkan dengan warna merah dan merah muda. Peluru yang tidak berubah bentuk (A dan C) dapat tertahan atau keluar dari tubuh. Sementara peluru yang berubah bentuk (B, D, dan E) dapat keluar dari tubuh, tetapi lebih mungkin tertahan. (A) Luka berenergi tinggi dari peluru yang tidak berubah bentuk. (B) Luka berenergi tinggi dari peluru yang berubah bentuk. (C) Luka berenergi rendah dari peluru yang tidak berubah bentuk. (D) Luka berenergi rendah dari peluru yang mengalami deformasi. (E) Luka berenergi rendah dari selongsong peluru senapan (peluru yang berubah bentuk) (Baum et al., 2022).
peluru yang berubah bentuk dan terpecah-pecah segera mengembang pada saat tumbukan, meningkatkan area kontak total antara peluru dan jaringan, yang menghasilkan rongga luka yang lebih besar (Gambar 3B dan D). Perluasan ini menyebabkan efek pengereman, memindahkan semua peluru KE ke target, memaksimalkan kerusakan jaringan, dan jarang keluar dari tubuh. Peluru senapan berperilaku unik dan menunjukkan pola balistik yang rumit, karena peluru ini terdiri dari sejumlah peluru logam kecil yang menyebar ketika ditembakkan (Gambar 3E) (Baum et al., 2022).
2.8 Patologi Projectile
Meskipun KE (Energi Kinetik) yang ditransfer saat tumbukan menentukan kapasitas penetrasi, potensi cedera tergantung pada struktur yang terkena dampak proyektil. Cedera akibat tembakan umumnya mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang menyebar, kehilangan otot volumetrik, perdarahan, patah tulang, dan rasa sakit yang parah. Struktur jaringan bervariasi berdasarkan berat jenis atau kepadatan dan elastisitasnya, yang berkontribusi terhadap potensi luka yang menyebabkan pembuangan energi yang tidak konsisten dan gangguan jaringan di sepanjang jalur peluru (Baum et al., 2022).
Saat peluru memasuki kulit, jaringan berakselerasi secara radial dan tergeser secara sentrifugal. Ukuran luka yang masuk untuk sementara lebih besar daripada kaliber peluru, tetapi biasanya cacat tersebut berkontraksi secara reversibel menjadi diameter yang lebih kecil daripada luas penampang peluru karena sifat kulit yang sangat elastis. Selain itu, cacat luka tembak dapat berbeda tergantung pada bentuk peluru yang masuk. Efek penetrasi semakin diperumit dengan adanya target perantara seperti pakaian, kaca, atau kayu, yang dapat mengubah bentuk, fragmentasi, atau lintasan proyektil (Baum et al., 2022).
Secara internal, peluru menyebabkan cedera penghancuran atau laserasi yang meninggalkan kavitasi jaringan "permanen" di sepanjang jalurnya. Besarnya rongga permanen ini ditentukan oleh kaliber peluru dan deformasi atau fragmentasi di dalam tubuh. Peluru kecil dan utuh yang melaju dengan kecepatan lebih rendah akan menciptakan rongga permanen yang
serupa dengan kaliber atau orientasi masuknya. Selain itu, rongga "sementara"
tercipta di sekitar rongga utama saat peluru meregang dan meregangkan jaringan melewati batas elastisitasnya (Baum et al., 2022).
Ini terus berlanjut, akselerasi radial dan tingkat kerusakannya terutama ditentukan oleh kecepatan peluru dan sifat tarik jaringan yang terlibat.
Proyektil berenergi tinggi dikaitkan dengan rongga sementara yang mencapai 10-30 kali ukuran rongga permanen, sementara proyektil berenergi lebih rendah menciptakan rongga sementara yang ukurannya relatif sama dengan rongga permanen (Baum et al., 2022). Adapaun 2 manifestasi dalam patologi proyektil antara lain:
a. Patah Tulang
Tulang bersifat anisotropik dan viskoelastis, yang berarti tulang memiliki sifat-sifat seperti benda padat dan benda cair sampai batas tertentu. Sementara jaringan lunak merespons benturan dengan
"meremukkan dan meregangkan", tulang bereaksi terhadap trauma yang sama dengan patah tulang. Tulang dapat patah dalam berbagai tingkat tergantung pada energi dan lokasi benturan. Seperti yang diharapkan, semakin besar energi yang diberikan peluru, semakin kompleks pola fraktur dan kominusi yang akan terjadi pada lokasi masuk dan keluarnya tulang.
Pada kecepatan hanya 195-200 kaki/detik, peluru dapat mematahkan tulang kortikal. Selain itu, kontak proyektil dengan tulang dapat menghasilkan rudal sekunder yang didorong di sepanjang pinggiran rongga sementara, menyebabkan cedera yang lebih luas.
Peluru juga dapat merusak jaringan ikat yang mengelilingi dan menempel pada tulang pada persendian (Baum et al., 2022).
b. Cedera Jaringan Lunak
Luka senjata api di ekstremitas paling sering menimpa jaringan muskuloskeletal tetapi dapat mengakibatkan cedera yang lebih kompleks karena kedekatannya dengan struktur neurovaskular, yang sering kali berada di ruang terbatas. Rongga luka sementara dari rudal berenergi tinggi dapat memecah kapiler dan pembuluh darah kecil
lainnya, sementara arteri yang lebih besar dan batang saraf tampaknya tahan terhadap cedera.
Otot rangka tampaknya sangat rentan terhadap kavitasi permanen yang menyebabkan pembekuan sitoplasma, ekstravasasi interstisial darah, kerusakan lurik, dan pembengkakan serat otot hingga lima kali lipat dari ukuran normalnya. Bersama-sama, efek-efek ini dapat menyebabkan respons edema lokal, berkontribusi pada sindrom kompartemen dan selanjutnya merusak jaringan lunak yang berdekatan (Baum et al., 2022).
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Pada beberapa keadaan, pemeriksaan terhadap luka tembak masuk sering dipersulit oleh adanya pengotoran oleh darah, sehingga pemeriksaan tidak dapat dilakukan dengan baik, akibat penafsiran atau kesimpulan mungkin sekali tidak tepat. Untuk menghadapi penyulit pada pemeriksaan tersebut dapat dilakukan prosedur sebagai berikut: Luka tembak dibersihkan dengan hidrogen perokside (3% by volume). Setelah 2-3 menit luka tersebut dicuci dengan air, untuk membersihkan busa yang terjadi dan membersihkan darah. Dengan pemberian hidrogen perokside tadi, luka tembak akan bersih, dan tampak jelas, sehingga diskripsi dari luka dapat dilakukan dengan akurat.
Selain secara makroskopik, yaitu dengan karakteristik pada luka tembak masuk, tidak jarang diperlukan pemeriksaan khusus untuk menentukan secara pasti bahwa luka tersebut luka tembak masuk; ini disebabkan oleh karena tidak selamanya luka tembak masuk memperlihatkan ciri-ciri yang jelas.
Adapun pemeriksaan khusus yang dimaksud adalah: pemeriksaan mikroskopik, pemeriksaan kimiawi, dan pemeriksaan radiologik.
1. Pemeriksaan Mikroskopik
Perubahan mikroskopis yang tampak diakibatkan oleh dua faktor, yaitu akibat trauma mekanis dan termis.
Luka tembak tempel dan luka tembak jarak dekat(Idries,1997; Shrestha et al.,2023):
a. Kompresi ephitel, di sekitar luka tampak epithel yang normal dan yang mengalami kompresi,elongasi,dan menjadi pipihnya sel-sel epidermal serta elongasi dari inti sel,
b. Distorsi dari sel epidermis di tepi luka yang dapat bercampur dengan butir-butir mesiu.
c. Epitel mengalami nekrose koagulatif,epitel sembab,vakuolisasi sel- sel basal,
d. Akibat panas, jaringan kolagen menyatu dengan pewarnaan HE, akan lebih banyak mengambil warna biru (basofilik staining)
e. Tampak perdarahan yang masih baru dalam epidermis (kelainan ini paling dominan), dan adanyabutir-butir mesiu
f. Sel-sel pada dermis intinya mengkerut, vakuolisasi dan pignotik g. Butir-butir mesiu tampak sebagai benda tidak beraturan, berwarna hitam atau hitam kecoklatan
1) Pada luka tembak tempel “hard contact” permukaan kulit sekitar luka tidak terdapat butir-butir mesiu atau hanya sedikit sekali, butir-butir mesiu akan tampak banyak dilapisan bawahnya, khususnya disepanjang tepi saluran luka
2) Pada luka tembak tempel “soft contact” butir-butir mesiu terdapat pada kulit dan jaringan dibawah kulit.
3) Pada luka tembak jarak dekat, butir-butir mesiu terutama terdapat pada permukaan kulit, hanya sedikit yang ada pada lapisan-lapisan kulit
2. Pemeriksaan Kimiawi
Pada “black gun powder” dapat ditemukan kalium, karbon, nitrit, nitrat, sulfis, sulfat, karbonat, tiosianat dan tiosulfat., Pada “smokeles gun powder” dapat ditemukan nitrit dan selulosa nitrat. Pada senjata api yang modern, unsur kimia yang dapat ditemukan ialah timah, barium, antimon, dan merkuri. Unsur-unsur kimia yang berasal dari laras senjata dan dari peluru sendiri dapat di temukan ialah timah, antimon, nikel, tembaga, bismut perak dan thalium. Pemeriksaan atas unsur-unsur tersebut dapat dilakukan terhadap pakaian, didalam atau di sekitar luka. Pada pelaku penembakan, unsur-unsur tersebut dapat dideteksi pada tangan yang menggenggam senjata. Terdapat beberapa uji yang dapat dilakukan:
a. Uji Parafin
Dalam metode ini, lapisan parafin dituangkan ke tangan korban dan dibiarkan selama beberapa menit untuk menjebak residu. Menurut prinsip Locard, residu tembakan senjata akan disimpan pada parafin dan kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui jenis residu yang ada. Pengujian ini terutama dilakukan untuk nitrit yang ada dalam residu tembakan. Di sini, kertas bromida diperlakukan dengan asam disulfonat 2-napthylamine 4:8 (sekitar 5%); kemudian, permukaan kertas bromida yang telah diberi perlakuan ditempatkan di atas dan sampel kain yang mengandung sampel tembakan diletakkan di atasnya dan ditutup dengan 20% CH3COOH lalu ditekan dengan setrika listrik panas. Bercak warna merah tua menunjukkan adanya residu tembakan (Shrivastava et al., 2021).
b. Tes Harrison dan Gallroy
Harrison dan Gilroy pada tahun 1959 memberikan metode ini untuk mendeteksi konstituen logam yang ada dalam residu pelepasan senjata api. Dalam pengujian ini, kapas yang dibasahi dengan dil. HCl digunakan untuk mengumpulkan residu tembakan senjata api dari tangan.
Usap dikeringkan dan kemudian diberi perlakuan dengan tri-fenilarsonium iodida, lalu ditambahkan natrium rhodizonat. Jika warnanya berubah menjadi oranye, antimon mungkin ada di sana. Perubahan kedua menjadi merah memberikan indikasi adanya timbal dan barium, dan pada penambahan dil. HCl, perubahan warna menjadi ungu mengindikasikan adanya timbal. Tidak ada perubahan warna yang menunjukkan adanya barium. Tes ini terbukti sangat berguna dalam mengidentifikasi penembak atau lubang peluru yang ada di tempat kejadian perkara (TKP). Hasil yang keluar tidak dapat dikuantifikasi dan beberapa bahan lain juga ikut campur di sini. Tes ini memberikan warna yang tidak stabil dan tiba-tiba berubah menjadi warna lain (Shrivastava et al., 2021).
c. Marshall and Tewari test
Metode yang digunakan untuk mendeteksi partikel propelan untuk memperkirakan berbagai kasus penembakan. Di sini, kertas foto yang sudah didesensitisasi direndam dalam asam sulfanilat 0,5% selama 10 menit. Kemudian, setelah mengeringkan sampel, sampel kemudian
dicelupkan ke dalam larutan N-α naftil-etilenadiamin hidroklorida dalam metanol selama 2 menit. Sekali lagi, setelah dikeringkan, sampel dibasahi dengan asam asetat 20% dan ditempatkan di bawah pakaian. Kertas foto kemudian diletakkan di bagian atas dan ditutup dengan kain kering dan diberi kehangatan dengan menggunakan setrika selama 5 menit. Bercak warna ungu menunjukkan adanya nitrit.
Dalam kasus uji Tewari, 1-gram antazolin hidroklorida dilarutkan dalam 50 ml air, dan kemudian, 45 ml HCL ditambahkan hingga endapan putih larut, kemudian kertas saring yang dibasahi aseton ditempatkan di atas sampel yang akan diuji. Kemudian dikeringkan di udara dan kemudian bintik-bintik kuning tua menunjukkan adanya nitrit dalam larutan (Balistik forensik, Analisis kimiawi residu tembakan (GSR) (Shrivastava et al., 2021).
d. Sodium rhodizonate test
Tes ini khusus untuk mendeteksi Pb. Di sini, sampel GSR diperoleh pada sepotong kain dari tangan dengan 1% HCL. Reagen natrium rhodizonat dalam reaksi tersebut bereaksi dengan ion divalen logam sehingga membentuk kompleks berwarna. Tergantung pada pH, warnanya bervariasi dari biru hingga ungu. Tes ini dapat membantu dalam menentukan timbal dalam bentuk apa pun, baik dalam bentuk uap, partikulat timbal, residu primer, peluru timbal, atau pelet. Warna larutan tergantung pada pH, karena warna menjadi biru-ungu ketika pH netral sementara pada pH di bawah 3 menunjukkan warna merah yang sangat terang dengan warna oranye untuk logam timbal dan barium menunjukkan warna merah kecokelatan pada pH berapa pun. Pengujian lebih lanjut menunjukkan positif untuk Ca dan Sb pada pH 7, tetapi tidak ada perubahan yang terlihat pada pH asam (Shrivastava et al., 2021).
3. Pemeriksaan dengan Sinar-X
Pemeriksaan foto rontgen pada luka tembak kurang bermanfaat.
Ada beberapa alasan penggunaan fotot rontgen yakni:
a. Untuk mengetahui lokasi peluru.
b. Untuk mengetahui lokasi pecahan peluru. Meskipun luka tembaknya merupakan luka tembak terbuka, peluru mungkin pecah dan berada dalam tubuh.
c. Untuk mengetahui saluran peluru.
d. Untuk mengetahui defek pada tulang.
e. Untuk mengetahui adanya emboli udara berkaitan dengan adanya bahaya pada pembuluh darah yang besar akibat peluru.
f. Sebagai bukti tertulis bahwa tubuh korban telah diperiksa dan adanya luka akibat peluru.
g. Untuk menyingkirkan adanya peluru dalam tubuh.
Radiografi dapat juga digunakan pada pasien hidup untuk menentukan beberapa karakteristik adanya peluru dalam tubuh. Terdapat masalah yang tidak diharapkan saat radiografi digunakan sebagai pemeriksaan rutin untuk memeriksa luka tembak.
Foto rontgen dapat menyatakan ada peluru yang mungkin tidak berhubungan dengan penembakan yang sedang diselidiki. Yang kedua, kaliber dari peluru tidak dapat ditentukan dengan tepat dengan menggunakan foto rontgen. Adanya distorsi dengan menggunakan foto rontgen besar dan tergantung jarak peluru dari film X ray. Sangat sulit memperkirakan kaliber yang tepat dari peluru berdasarkan penampilan peluru di foto rontgen. Pemeriksaan radiografi yang lain kadang-kadang digunakan pada pemeriksaan luka tembak. Ini terdiri dari soft X-rays yang terkadang dinamakan grenz rays.
Pemeriksaan secara radiologik dengan sinar-X ini pada umumnya untuk memudahkan dalam mengetahui letak peluru dalam tubuh korban, demikian pula bila ada partikel-partikel yang tertinggal. Pada “tandem bullet injury” dapat ditemukan dua peluru walaupun luka tembak masuknya hanya satu. Bila pada tubuh korban tampak banyak pellet tersebar, maka dapat dipastikan bahwa korban ditembak dengan senjata jenis “shoot gun”, yang tidak beralur, dimana dalam satu peluru terdiri dari berpuluh pellet. Bila pada tubuh korban tampak satu peluru, maka korban ditembak oleh senjata jenis rifled.
Pada keadaan dimana tubuh korban telah membusuk lanjut atau telah rusak sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan sulit, maka dengan pemeriksaan
radiologi ini akan dengan mudah menentukan kasusnya, yaitu dengan ditemukannya anak peluru pada foto rongent (Idris, 1997).
4. Pemeriksaan baju pada korban luka tembak
Pemeriksaan korban luka tembak tidak lengkap tanpa pemeriksaan defek baju yang dibuat oleh peluru. Beberapa cara pemeriksaannya (Idris,1997; Shrestha et al.,2023):
a. Idealnya baju korban harus dilepaskan tanpa merusak baju tersebut.
b. Untuk mengidentifikasi korban, dapat dicari barang-barang yang ada di saku.
c. Baju harus dilepaskan dari korban, tapi jika hal ini dapat merusak maka dilakukan manipulasi sehingga luka dapat dilihat.
d. Korban yang meninggal, sekarat, dan potensial untuk resusitasi kardiopulmonologi dirawat oleh petugas medis. Berkaitan dengan hal ini, baju koraban harus dipotong atau dirobek.
Pemeriksaan baju pada korban dapat dilakukan dengan menggunakan tehnik yang berbeda. Ini meliputi:
a. Dengan mata telanjang b. Dengan menggunakan gelas c. Dengan mikroskop binokular d. Dengan fotografi inframerah
2.10 Medikolegal
A. Aspek Medikolegal
Pada penerapan lex generalis dalam KUHP tidak ada bab atau pasal yang mengatur mengenai senjata api. Namun dalam kasus pembunuhan atau penghilangan nyawa dimana keterlibatan senjata api secara tidak langsung dapat dijelaskan pada pasal-pasal:
Pasal 359 Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 360 (1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun. (2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain lukaluka sedemikian rupa sehingga timhul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 361 Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditamhah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicahut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
Pada penerapan Lex Specialis mengenai senjata api dijelaskan dalam Undang-Undang Darurat No 12 Tahun 1951 yang bersifat pidana.
Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 disebutkan :
“Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi- tingginya dua puluh tahun.” Di lingkungan masyarat sipil juga terdapat prosedur tertentu untuk memiliki senjata api secara legal. Prosedur tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api. Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1948 mewajibkan setiap senjata api yang berada ditangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan. Menurut pasal 9 UU No. 8 Tahun 1948, setiap orang atau warga sipil yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Surat izin pemakaian senjata api ini diberikan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang
ditunjukkannya. Ketentuan mengenai pejabat yang diberikan kewenangan pemberian izin kepemilikan senjata api ini diubah oleh Perpu No 20 Tahun 1960 untuk menyesuaikan penyebutannya. Pasal 1 Perpu No. 20 Tahun 1960 mengatur bahwa kewenangan untuk mengeluarkan dan/atau menolak sesuatu permohonan perizinan diberikan kepada Menteri/Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang dikuasakan olehnya untuk itu. Jadi penyebutannya bukan oleh Kepala Kepolisian Residen sebagaimana dalam UU No. 8 Tahun 1948. Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Siapa Saja yang Boleh Memiliki Senjata Api di kalangan sipil yaitu untuk Masyarakat sipil hanya golongan tertentu saja, seperti direktur utama, menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha utama, komisaris, pengacara, dan dokter.
BAB III STUDI KASUS
3.1 Kematian Akibat Luka Tembak Sangat Dekat 3.1.1 Kronologi Kasus
Mayat pria berusia 45 tahun dibawa untuk diautopsi. Tubuhnya kaku di semua persendian. Tangannya terkepaldan seluruh tubuh berlumuran darah.
Kejernihan post mortem tidak dapat dinilai. Sebuah memar persegi panjang denganmoncong moncong dicatat di bagian depan dada yang berukuran 10 8 cm.
Luka robek berbentuk oval berlubang (luka masuk dengan diameter 1,8 cm terdapat di tengah-tengah luka memar [Gambar 1]. Luka itu hangus, berwarna hitam denganhitam dengan kulit yang menghitam di sekitarnya. Luka berlubang itu berjarak 48 cm dari titik di garis tengah, 115 cm daritelapak kaki dan 18 cm dari lekukan supra sternum. Itu adalah 17 cm dari garis tengah ketiak kanan dan 20 cm darigaris tengah ketiak kiri. Sebuah laserasi seperti celah linier (luka keluar) ada di punggung di sisi kiri yang berukuran0,5 0,2 cm dan terletak 25 cm dari vertex, 129 cm dari telapak kaki [Gambar 1].
Gambar 3.1. A, Luka masuk berbentuk oval di bagian depan dada. B, Luka robek yang berbentuk linier seperti celahdi bagian belakang.
Pada saat membuka dada, fraktur perforasi ditemukan pada proses xifoideus [Gambar 2]. Jantungnya hancur [Gambar 3] dengan mengeluarkan darah ke dalam rongga perikardial. Darah yang menggumpal di rongga perikardial memiliki berat sekitar 650 gram. Ketika probe diarahkan melalui jantung dari defek, diketahui bahwa titik masuknya terletakdi sisi kanan septum interventrikular anterior dan keluar melalui ventrikel kiri [Gambar 3]. Arahnya adalah kanan ke kiri dan di bawah ke atas. Paru-paru kiri benar-benar kolaps dan ada luka tembus yang tercatat dilobus atas. Temuan lainnya biasa-biasa saja.
Gamb
ar 3.2. A,
Fraktur perforasi pada proses xifoideus. B, Laserasi yang tertusuk terlihat di bagian belakangdinding dada.
Gambar 3.3. A, Jantung yang hancur. B, Probe kayu yang melewati cacat yang menunjukkan arahproyektil
Sesuai dengan riwayat yang diberikan oleh saudara laki-laki korban, almarhum adalah seorang laki-laki yang belum menikah. Dia didiagnosis dengan skizofrenia sejak remaja yang mana ia menggunakan obat resep Quetiapine. Obat tersebut tidak tersedia di apotek di daerahnya dan karena pandemi COVID-19, ia tidak dapat mengunjungi rumah sakit tersier untuk mendapatkan resep rutinnya.
Oleh karena itu, obat tersebut dihentikan selama 3 bulan sebelum kematiannya.
Korban mengonsumsi (minuman beralkohol hasil penyulingan) secara teratur yang dibuat sendiri di rumahnya.
Foto TKP yang diberikan oleh petugas investigasi menunjukkan sebuah senjata api laras tunggal dengan moncong halus yangadalah pemuat moncong jenis kunci batu [Gambar 4].
Gambar 3.4. A, Jantung yang hancur. B, Probe kayu yang melewati cacat yang menunjukkan arah proyektil
3.1.2 Diskusi Kasus
Luka tembak bervariasi dalam karakteristiknya, tergantung pada jenis, jarak, posisi dan jumlah tembakan. Saat memasukitubuh, proyektil mengikuti jaringan yang paling tidak tahan. (Ordog GJ et.al, 1988) Luka tembak di dada tidak dapat mengarah dengan baik ke arahcara kematian. Namun, tembakan kontak lebih cenderung bersifat bunuh diri daripada membunuh dan lebih fatal untuk tembakan tunggal. (Cave R et.al, 2014)
Luka masuk menunjukkan beberapa bekas moncong senjata, yang menandakan tembakan kontak. Gas yang mengembang yang masuk ke dalam
rongga dadamenyebabkan tonjolan keluar dari kulit pada moncong senjata, menghasilkan jejak yang sering kali jauh lebih besar daripada diameter moncong senjata yang sebenarnya. (Dimaio V., 2015) Sementara pada luka kontak keras, sebagian besar jelaga diarahkan ke dalam luka, dengan sedikit tanahkulit di sekitarnya, dalam hal ini penggunaan bubuk hitam dalam pemuat moncong mungkin telah menyebabkan luasnyamenghitamnya kulit. (Dimaio V., 2015) Dalam kasus ini karena proyektil telah keluar dari tubuh, tidak dapat dipastikanjenis dan jumlah proyektil (peluru). Karena keterbatasan sumber daya di kamar mayat, pemeriksaan radiologi tidak dilakukandalam kasus ini.
Tembakan ke jantung sangat umum terjadi, dengan hanya kepala yang menjadi target yang lebih umum. (Avis SP., 1994). Korban bunuh diri menyadari mematikan dari tembakan ke organ vital ini dan beberapa korban bahkan menemukan denyut jantung sebelum melakukan tembakan. Selain itu, tembakan bunuh diri lebih cenderung diarahkan dari kanan ke kiri dengan arah pembunuhan yang umumnya dari kiri ke kanan. (Strajina V et.al., 2012) Terdapat kerusakan total pada jantung yang dicatat pada saat otopsi yang disebabkan oleh tekanan hidrodinamika yang dihasilkan oleh yang dihasilkan oleh proyektil melalui jantung yang menyebabkan dindingnya meledak.
Kunjungan ke tempat kejadian perkara dalam kasus-kasus kematian yang berhubungan dengan senjata api sama pentingnya dalam menafsirkan cara kematian. Dalam kasus bunuh diri, senjata yang digunakan biasanya ditemukan di TKP, berbeda dengan kasus pembunuhan di mana pelaku biasanya membawa kabur senjata tersebut setelah melakukan kejahatan.
Berbeda dengan luka tusuk, luka tembak menyebabkan lebih banyak pengeluaran darah karena robekan miokardium yang bergerigi. 60 ml hingga 200 ml darah yang menggumpal sudah cukup untuk menyebabkan kematian. Trauma toraks yang menembus akibat luka tembak berhubungandengan hemotoraks traumatis, hemopneumotoraks, atau pneumotoraks. (Zeiler J et.al., 2020) Jika cedera tembus melibatkan jantung, kemungkinanpeluang untuk bertahan hidup kurang dari 1%, seperti yang terlihat pada kasus kami. Ada peningkatan jumlah kasus bunuh diri dari Nepal yang dilaporkan selama pandemi COVID-19.
(Pokhrel S et.al., 2021) Pasien dengan gangguan kejiwaan yang mendasari tidak
bisa mendapatkan akses keresep obat karena karantina wilayah karena semua transportasi umum dihentikan dan orang-orang takut untuk keluar rumah.keluar rumah. Penghentian pengobatan pada pasien skizofrenia telah terbukti memperburuk sindrom ini. (Liu-Seifert H et.al., 2005) Hal ini mungkin menjadi alasan yang mendasari bunuh diri dalam kasus ini. Kasus ini lebih jauh menyoroti keprihatinan sosial yang pandemi ini telah membawa dampak sosial di mana pasien dibatasi aksesnya terhadap kebutuhan perawatan kesehatan mereka karena kurangnya transportasi dipenguncian wilayah (lockdown).
3.2 Kematian Akibat Luka Tembak Jarak Dekat 3.2.1 Kronologi Kasus
Laki – laki, usia 12 tahun, datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 10 jam. Pasien sebelumnya ditembak jarak dekat di kepala dengan pistol oleh temannya. Peluru mengenai bagian depan kepala dan tembus ke kepala bagian kanan belakang. Muntah 3 kali, menyemprot berisi air. Kejang 1 kali, lamanya kurang dari 5 menit, seluruh tubuh kaku. Demam 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik anak dengan kesadaran Skala Koma Glasgow atau SKG 6 (E2V2M2), suhu 38,4° C, nadi 130 kali/menit, laju napas 28 kali/menit, tekanan darah 100/50 mmHg. Status nutrisi baik.
Status generalis: Kepala: Tampak luka tembus di tulang frontalis ke tulang oksipitalis yang ditutupi kasa. Pemeriksaan toraks dalam batas normal.
Pemeriksaan abdomen peristaltik lemah dan keluar cairan melalui NGT berwarna kehijauan. Pada anggota gerak dijumpai hemiparesis kiri.
Pemeriksaan laboratorium: hemoglobin 11,4 g/dL, hematokrit 30,8 %, leukosit 27.500/ mm3 , trombosit 311.000/mm3 , CRP positif, kadar gula darah:
227 mg/dL, Natrium 144 mEq/L, Kalium 4,4 mEq/L, Klorida 115 mEq/L, prothrombin time (PT) 13,2 detik, activated partial thromboplastin time (APTT) 33 detik, thrombin time (TT) 12,8 detik.
Hasil CT-scan kepala adalah perdarahan intraserebral luas meliputi lobus frontotemporo-parietalis kanan yang menyebabkan herniasi subfalsin ke kiri, perdarahan subarakhnoid mengisi sebagian kortikal sulci lobus temporo parietalis kanan dan fisura interhemisfer, serta perdarahan interventrikuler mengisi ventrikel