“ARTHRITIS”
Disusun Oleh:
Vanessa Jennifer Diaz NIM. 2022 – 84 – 128
Pembimbing:
dr. Susan Timisela, Sp.PD
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON 2023
ii
“Diagnosis dan tatalaksana anemia defisiensi besi”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada bagian ilmu penyakit dalam.
Penyelesaian referat ini dapat diselesaikan karena atas bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Susan Timisela, Sp.PD selaku pembimbing yang bersedia meluangkan waktu untuk membantu penulis menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun dapat membantu penulisan referat ini menjadi lebih baik. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi ilmiah dan semua pihak yang membantu.
Ambon, Juni 2023 Penulis
iii
DAFTAR ISI...iii
BAB I PENDAHULUAN...1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...2
II.1 ARTHRITIS...2
II.2 KLASIFIKASI ARTHRITIS...2
II.2.1 OSTEOARTHRITIS...2
II.2.2 ARTHRITIS GOUT...11
II.2.3 RHEUMATOID ARTHRITIS...22
BAB III KESIMPULAN...34
DAFTAR PUSTAKA...36
1
dengan rasa sakit, kebengkakan, kekakuan, dan keterbatasan bergerak. Artrhitis dapat terjadi akibat infeksi maupun tanpa infeksi. Pelepasan mediator inflamasi dari leukosit, kondrosit, sinoviosit menyebabkan kehilangan proteoglikan dan matriks ektraselular kartilago, sehingga terjadi kerusakan tulang. Kerusakan dan hilangnya kolagen dan kondrosit dapat menyebabkan perubahan yang tidak dapat kembali. Terdapat lebih dari 100 bentuk artritis. Bentuk yang paling umum, yakni osteoartritis disebabkan oleh trauma pada persendian, infeksi pada persendian, atau usia. Artitis lainnya yaitu artritis reumatoid, artritis psoriatik, dan penyakit autoimun. Artritis sepsis disebabkan oleh infeksi pada sendi.1
Gejala klinis yang disebabkan artritis adalah adanya rasa sakit, panas, dan pembengkakan pada persendian lutut (gejala panca radang). Terasa adanya fluktuasi, sakit dan panas, kemerahan; secara umum penderita menjadi demam jika sakit sudah menjadi sepsis, frekuensi nadi dan napas frekuen, pincang yang hebat bahkan kadang sampai penderita tidak dapat berdiri.1,7
2
Arthritis adalah istilah yang sering digunakan untuk mengartikan gangguan apa pun yang memengaruhi persendian. Gejala umumnya meliputi nyeri sendi dan kekakuan. Gejala lain mungkin termasuk kemerahan, kehangatan, pembengkakan, dan penurunan rentang gerak sendi yang terkena. Pada beberapa jenis radang sendi, organ lain juga terpengaruh. Onset bisa bertahap atau tiba-tiba.1
Ada lebih dari 100 jenis radang sendi. Bentuk yang paling umum adalah osteoarthritis (penyakit sendi degeneratif) dan rheumatoid arthritis. Osteoartritis biasanya terjadi seiring bertambahnya usia dan memengaruhi jari, lutut, dan pinggul. Rheumatoid arthritis adalah gangguan autoimun yang sering menyerang tangan dan kaki. Jenis lain termasuk gout, lupus, fibromyalgia, dan septic arthritis.
Itu semua adalah jenis penyakit rematik.1,2
Osteoarthritis mempengaruhi lebih dari 3,8% orang, sedangkan rheumatoid arthritis mempengaruhi sekitar 0,24% orang. Gout mempengaruhi sekitar 1-2%
dari populasi Barat. Di Australia sekitar 15% orang terkena radang sendi, sedangkan di Amerika Serikat lebih dari 20% memiliki jenis radang sendi. Secara keseluruhan penyakit ini menjadi lebih umum seiring bertambahnya usia. Arthritis adalah alasan umum mengapa orang kehilangan pekerjaan dan dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup. Istilah ini berasal dari arthr- (artinya 'sendi') dan -itis (artinya 'peradangan').2,3
II.2 Klasifikasi Arthritis II.2.1 Osteoarthritis II.2.1.1 Definisi
Osteoartritis atau yang umumnya disebut ‘pengapuran sendi’, merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak dijumpai di masyarakat belakangan ini.
Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya perubahan pola hidup dan peningkatan usia harapan hidup penduduk Indonesia. Seiring dengan perkembangan jaman, pola hidup masyarakat juga ikut mengalami perubahan. Perubahan gaya hidup yang
ingin semua serba cepat, baik dalam hal transportasi maupun pola makan, juga menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya osteoartritis. Aktivitas fisik yang kurang disertai kelebihan berat badan berpotensi menimbulkan pembebanan sendi yang semakin besar, terutama pada sendi-sendi penyangga tubuh, khususnya sendi lutut. Keadaan ini akan semakin buruk bila terjadi pada usia lanjut akibat terjadinya perubahan hormonal yang memicu semakin cepatnya proses degenerasi struktur persendian.10,7
II.2.1.2 Epidemiologi
OA merupakan penyakit rematik sendi yang paling banyak mengenai terutama pada orang-orang diatas 50 tahun. Di atas 85% orang berusia 65 tahun menggambarkan OA pada gambaran x-ray, meskipun hanya 35%-50% hanya mengalami gejala. Umur di bawah 45 tahun prevalensi terjadinya Osteoarthritis lebih banyak terjadi pada pria sedangkan pada umur 55 tahun lebih banyak terjadi pada wanita. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan terjadinya Osteoarthritis pada obesitas, pada sendi penahan beban tubuh.12
Progresifitas dari OA biasanya berjalan perlahan-lahan, terjadi dalam beberapa tahun atau bahkan dekade. Nyeri yang timbul biasanya menjadi sumber morbiditas awal dan utama pada pasien dengan OA. Pasien dapat secara progresif menjadi semakin tidak aktif beraktivitas, membawa kepada morbiditas karena berkurangnya aktivitas fisik (termasuk penurunan berat yang bermakna).
Prevalensi OA berbeda-beda pada berbagai ras. OA lutut lebih banyak terjadi pada wanita Afrika Amerika dibandingan dengan ras yang lainnya. Terdapat kecenderungan bahwa kemungkinan terkena OA akan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Penyakit ini biasanya sebanding jumlah kejadiannya pada pria dan wanita pada usia 45-55 tahun. Setelah usia 55 tahun, cenderung lebih banyak terjadi pada wanita. Sendi distal interfalangeal dan dan proksimal interfalangeal seringkali terserang sehingga tampak gambaran Heberden dan Bouchard nodes, yang banyak ditemui pada wanita.13
Di Indonesia, prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia 61 tahun. Untuk osteoartritis lutut prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7%
pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh nyeri waktu melakukan aktivitas atau
jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat nyeri yang berat dan terus menerus bisa mengganggu mobilitas. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA.14
II.2.1.3 Patofisiologi
OA merupakan gangguan keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.15
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar airtulang rawan sendi. Pada proses degenerasi dari kartilago artikularmenghasilkan suatu substansi atau zat yang dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk menhasilkan IL-1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks ekstraseluler.7,16
Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang rawan untuk menahan kekuatan tekanan dari sendi Penurunan kekuatan dari tulang rawan disertai degradasi kolagen memberikan tekanan yang berlebihan pada serabut saraf dan tentu saja menimbulkan kerusakan mekanik. Kondrosit sendiri akan mengalami kerusakan. Selanjutnya akan terjadi perubahan komposisi molekuler dan matriks rawan sendi, yang diikutioleh kelainan fungsi matriksrawan sendi. Melalui mikroskop terlihat permukaan mengalami fibrilasi dan berlapis-lapis. Hilangnya tulang rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi. Pada tepi sendi akan timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan pembentukan osteofit. Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggap suatu usaha untuk memperbaiki dan membentuk kembali persendian. Dengan menambah luas permukaan sendi yang dapat menerima beban, osteofit diharapkan dapat memperbaiki perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada Osteoarthritis. Lesi akan meluas dari pinggir sendi sepanjang garis permukaan
sendi. Adanya pengikisan yang progresif menyebabkan tulang yang dibawahnya juga ikut terlibat. Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha untuk melindungi permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang subkondral merespon dengan meningkatkan selularitas dan invasi vaskular,akibatnya tulang menjadi tebal dan padat (eburnasi). Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus, rusak dan menimbulkan gejala-gejala Osteoarthritis seperti nyeri sendi, kaku, dan deformitas.5,18
Patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan mengalami fibrosis serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit.17
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling pada trabekula dan subkondral.18
Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta proses keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak dan terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon dari tulang subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah persendian yang terkena itu bengkak.7,19
II.2.1.4. Faktor Risiko a. Usia
merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme. Kartilago pada sendi orang tua sudah kurang responsif dalam mensintesis matriks kartilago yang distimulasi oleh pembebanan (aktivitas) pada sendi.
Akibatnya, sendi pada orang tua memiliki kartilago yang lebih tipis.
Kartilago yang tipis ini akan mengalami gaya gesekan yang lebih tinggi pada lapisan basal dan hal inilah yang menyebabkan peningkatan resiko kerusakan sendi.10
b. Jenis Kelamin
masih belum banyak diketahui mengapa prevalensi OA pada perempuan usila lebih banyak daripada lakilaki usila. Resiko ini dikaitkan dengan berkurangnya hormon pada perempuan pasca menopause.7
c. Faktor Herediter/Keturunan
Berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsurunsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis.12
d. Nutrisi
Orang yang jarang mengkonsumsi makanan bervitamin D memiliki peningkatan risiko 3 kali lipat menderita OA lutut. 16 Penelitian faktor nutrisi sebagai etiopatologi OA membuktikan adanya peningkatan risiko kejadian OA lutut pada individu dengan defisiensi vitamin C dan E. Pada orang Asia, penyakit Kashin-Beck, salah satu jenis OA, dapat disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi oleh jamur. Hipotiroidisme terjadi pada sebagian penderita OA karena defisiensi selenium.17
e. Kegemukan (obesitas)
Obesitas merupakan faktor risiko terkuat untuk terjadinya osteoartritis lutut. Efek obesitas terhadap perkembangan dan progresifitas
OA terutama melalui peningkatan beban pada sendi-sendi penopang berat badan. Tiga hingga enam kali berat badan dibebankan pada sendi lutut pada saat tubuh bertumpu pada satu kaki. Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan.7
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa makin besar Indeks Massa Tubuh (IMT), risiko menderita OA lutut akan semakin meningkat.
Penderita OA dengan obesitas memiliki gejala OA yang lebih berat.
Obesitas tidak hanya mengawali timbulnya penyakit OA, tetapi juga merupakan akibat lanjut dari inaktivitas para penderita OA.7
Selain melalui peningkatan tekanan mekanik pada tulang yang menyebabkan kerusakan kartilago, obesitas berhubungan dengan kejadian osteoartritis secara tidak langsung melalui faktor-faktor sistemik.7,15
II.2.1.5 Diagnosis
Diagnosis OA lutut, panggul, dan tangan menggunakan kriteria klasifikasi dari American College of Rheumatology.7
Tabel 2.1Kriteria Diagnosis Osteoartritis Lutut17
Klinis Klinis dan Laboratorim Klinis dan Radiografi Nyeri lutut + minimal 3 dari 6
kriteria berikut : 1. Umur > 50 tahun 2. Kaku pagi < 30 menit 3. Krepitus
4. Nyeri tekan 5. Pembesaran tulang 6. Tidak panas pada
perabaan
Nyeri lutut + minimal 5 dari 9 kriteria berikut :
1. Umur > 50 tahun 2. Kaku pagi < 30 menit 3. Krepitus
4. Nyeri tekan 5. Pembesaran tulang 6. Tidak panas pada
perabaan
7. LED < 40 mm / jam 8. RF < 1 : 40
9. Analisis cairan sendi normal
Nyeri lutut + minimal 1 dari 3 kriteria berikut :
1. Umur > 50 tahun 2. Kaku pagi < 30 menit 3. Krepitus + OSTEOFIT
Tabel 2.2Kriteria Diagnosis Osteoartritis Panggul7
Klinis dan Laboratorium Klinis, Laboratorium dan Radiologi Nyeri pada sendi panggul + minimal 1 dari 2
kriteria berikut :
1. Rotasi internal sendri panggul < 15o disertai LED < 45 mm/jam tau fleksi sendi panggul < 115o(Jika LED sulit dilakukan).
2. Rotasi internal sendri panggul > 15o disertai nyeri yang terkait dengan pergerakan rotasi internal sendi panggul, kekakuan sendi panggul pagi hari < 60 menit dan usia > 50 tahun.
Nyeri pada sendi panggul dan paling sedikit 2 dari 3 krtiteria berikut :
1. LED < 20 mm pada jam pertama
2. Osteofit pada femoral dan atau asetabular pada gambaran radiologis
3. Penyempitan celah sendi secara radiologis superior, aksial dan/atau medial)
Tabel 2.3Kriteria Diagnosis Osteoartritis Tangan7
Berdasarkan Klinis
Nyeri, ngilu atau kaku pada tangan dan paling sedikit 3 dan 4 kriteria di bawah ini : 1. Pembengkakan jaringan keras dari 2 atau lebih sendi-sendi tangan di bawah ini :
- Sendi distal interfalang ke 2 dan ke 3 - Sendi proximal interfalang ke 2 dan ke 3
- Sendi pertama karpometakarpofalang kedua tangan
2. Pembengkakan jaringan keras dari 2 atau lebih sendi distal interfalang 3. Kurang dari 3 pembengkakan sendi metakarpofalang
4. Deformitas sedikitnya pada 1 dari 10 sendi-sendi tangan pada kriteria 2 di atas
II.2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada OA bertujuan untuk mengontrol nyeri, memperbaiki fungsi sendi yang terserang, menghambat progresifitas penyakit, serta edukasi pasien.10,19
A. Terapi Non-Farmakologis
Tabel 2.4Rekomendasi Non Farmakologis untuk Manajemen OA Lutut17
Sangat direkomendasikan
Direkomendasikan pada kondisi tertentu Tidak direkomendasikan 1. Berpartisipasi
dalam
kardiovaskular (aerobik) dan/atau latihan resistensi Berpartisipasi dalam olahraga air 2. Menurunkan berat
badan (untuk
individu dengan
berat badan
berlebih)
1. Berpartisipasi dalam program manajemen diri
2. Menerima terapi manual dikombinasi dengan latihan yang diawasi
3. Menerima intervensi psikososial 4. Menggunakan medially directed
patellar taping
5. Mengenakan medially wedges insoles pada OA kompartemen lateral
6. Mengenakan laterally wedges subtalar strapped insoles pada OA kompartemen medial
7. Diinstruksikan penggunaan agen termal 8. Menerima alat bantu berjalan, sesuai
kebutuhan
9. Berpartisipasi dalam program tai chi 10. Diobati dengan akupuntur tradisional
Cina*
11. Diinstruksikan penggunaan stimulasi listrik transkutan*
1. Partisipasi dalam latihan
keseimbangan, baik sendiri atau bersamaan dengan latihan penguatan 2. Mengenakan sol
lateral terjepit 3. Menerima terapi
manual saja 4. Memakai
penyangga lutut 5. Menggunakan
laterally directed patellar taping
* Modalitas ini bersifat kondisional, direkomendasikan hanya jika pasien memiliki OA lutut dengan nyeri kronis sedang sampai berat dan merupakan indikasi untuk artroplasti total lutut tetapi tidak mau menjalani prosedur, memiliki komorbiditas medis lain, atau sedang mengonsumsi obat yang mengarah kepada kontraindikasi mutlak atau relatif untuk operasi atau dokter bedah tidak merekomendasikan prosedur.
B. Terapi Farmakologis
Tabel 2.5Rekomendasi Farmakologis Untuk Menajemen OA Lutut17
Direkomendasikan pada kondisi tertentu
Tidak direkomendasikan pada kondisi tertentu
Tidak direkomendasikan 1. Asetaminofen
2. OAINS oral 3. OAINS topikal 4. Tramadol
5. Injeksi kortikosteroid intraartikuler
1. Chondroitin sulfat 2. Glucosamine 3. Capsaicin topikal
1. Hyaluronat intraartikuler 2. Duloxetine 3. Analgesik opioid
Asetaminofen, atau yang lebih dikenal dengan nama parasetamol merupakan analgesik pertama yang diberikan pada penderita OA karena cenderung aman dan dapat ditoleransi dengan baik, terutama pada pasien usia tua.
Dengan dosis maksimal 4 gram/hari, pasien perlu diberi penjelasan untuk tidak mengonsumsi obat-obat lain yang mengandung asetaminofen, termasuk obat flu serta produk kombinasi dengan analgesik opioid.9,18
Apabila penggunaan asetaminofen hingga dosis maksimal tidak memberikan respon klinis yang memuaskan, golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan. OAINS bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga mengganggu konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin, yang berperan dalam inflamasi dan nyeri.Terdapat 2 macam enzim COX, yaitu COX-1 (bersifat fisiologis, terdapat pada lambung, ginjal dan trombosit) dan COX-2 (berperan pada proses inflamasi).
OAINS yang bekerja dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2 (non selektif) dapat mengakibatkan perdarahan lambung, gangguan fungsi ginjal, retensi cairan dan hiperkalemia. Sedangkan OAINS yang bersifat inhibitor COX-2 selektif akan memberikan efek gastrointestinal yang lebih kecil dibandingkan penggunaan OAINS yang non selektif. Pada penggunaan OAINS jangka panjang perlu dipertimbangkan pemberian proton-pump inhibitor untuk mengurangi risiko komplikasi traktus gastrointestinal.7,8
Untuk pasien berusia >75 tahun, penggunaan OAINS topikal lebih dianjurkan dibanding OAINS oral. Pada kasus ini, penggunaan tramadol atau injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat dianjurkan. Tramadol sama efektif dengan
morfin atau meperidin untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Dosis maksimum per hari yang dianjurkan untuk tramadol adalah 400 mg. Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat diberikan bila terdapat infeksi lokal atau efusi sendi.8
II.2.2 Arthritis Gout II.2.2.1 Definisi
Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit dan potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama, gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri inflamasi satu sendi. Gout adalah bentuk inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa sendi. Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Penyakit asam urat atau gout merupakan penyakit akibat penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh sehingga menyebabkan nyeri sendi disebut Gout artritis.7,21
Asam urat merupakan senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme purin baik dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam deoksiribonukleat). Gout dapat bersifat primer, sekunder, maupun idiopatik. Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat-obatan tertentu sedangkan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologis atau anatomi yang jelas.8,22
II.2.2.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, penyakit asam urat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. Gout Primer
Penyebab kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat. Hiperurisemia atau berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh dikatakan dapat menyebabkan terjadinya gout primer.23
Hiperurisemia primer adalah kelainan molekular yang masih belum jelas diketahui. Berdasarkan data ditemukan bahwa 99% kasus adalah gout dan hiperurisemia primer. Gout primer yang merupakan akibat dari hiperurisemia primer, terdiri dari hiperurisemia karena penurunan ekskresi (80-90%) dan karena produksi yang berlebih (10-20%).7
Hiperurisemia karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya 1%
yaitu karena peningkatan aktivitas varian dari enzim phosporibosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase, dan kekurangan sebagian dari enzim hypoxantine phosporibosyltransferase (HPRT). Hiperurisemia primer karena penurunan ekskresi kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat yang menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia akibat produksi asam urat yang berlebihan diperkirakan terdapat 3 mekanisme.3,23
a. Pertama, kekurangan enzim menyebabkan kekurangan inosine monopospate (IMP) atau purine nucleotide yang mempunyai efek feedback inhibition proses biosintesis de novo.
b. Penurunan pemakaian ulang menyebabkan peningkatan jumlah PRPP yang tidak dipergunakan. Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de novo meningkat.
c. Kekurangan enzim HPRT menyebabkan hipoxantine tidak bisa diubah kembali menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi hipoxantine menjadi asam urat.
2. Gout sekunder
Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan sekresi menurun. Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari kelainan karena kekurangan menyeluruh enzim HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim glukosa-6 phosphate pada glycogen storage disease dan kelainan karena kekurangan enzim fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis anaerob.
Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat disebabkan karena keadaan yang menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau pemecahan asam nukleat dari dari intisel. Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan berlanjut membentuk IMP atau purine nucleotide dalam metabolisme purin, sedangkan hiperurisemia akibat penurunan ekskresi dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal, penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clearence dan pemakaian obatobatan.7,24
II.2.2.3 Faktor Risiko a. Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.25 b. Jenis Kelamin
Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan perempuan pada semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama pada usia lanjut. Dalam Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survey III, perbandingan laki-laki dengan perempuan secara keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam populasi managed care di Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65 tahun, dan 3:1 pada mereka lima puluh persen lebih dari 65
tahun. Pada pasien perempuan yang lebih tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari 80 tahun.26
c. Diet Rendah Purin
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan bagian dari kolesterol, trigliserida dan LDL disebabkan oleh asupan makanan dengan purin tinggi.
d. Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Mis.
Diuretik, antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk memperparah keadaan. Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan menyebabkan serangan gout.
Gout yang disebabkan oleh pemakaian diuretik dapat "disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh kondisi seperti cedera dan infeksi.hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat. Hipertensi dan penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen untuk gout.
Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat, sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik.25
II.2.2.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria dewasa kurang dari 7 mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila konsentrasi asam urat dalam serum lebih besar dari 7 mg/dl dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Serangan gout tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan secara mendadak kadar asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat mengendap dalam sendi, akan terjadi respon inflamasi dan diteruskan dengan terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang berulang – ulang, penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan mengendap dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga.
Akibat penumpukan Nefrolitiasis urat (batu ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis.27
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan patella yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout dapat timbul pada keadaan asimptomatik. Terdapat peranan temperatur, pH, dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout.
Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa kristal monosodium urat diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristalmonosodium urat pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.22
Gambar 2.1Patofisiolog Asam Urat
II.2.2.5 Manifestasi Klinis
Gout arthritis terjadi dalam empat tahap. Tidak semua kasus berkembang menjadi tahap akhir. Perjalanan penyakit asam urat mempunyai 4 tahapan, yaitu:
a. Tahap I
Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada lakilaki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim gout artritis, yang mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan siklosporin.
Pada 85-90% kasus, serangan berupa arthritis monoartikuler dengan predileksi MTP-1 yang biasa disebut podagra. Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai lekositosis dan peningkatan endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi sekalipun. Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi yang adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti pergelangan tangan/kaki, jari tangan/kaki, lutut dan siku, atau bahkan beberapa sendi sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval serangan yang lebih singkat, dan masa penyembuhan yang lama.7,27
b. Tahap II
Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang waktu tertentu. Rentang waktu setiap penderita berbeda-beda. Dari rentang waktu 1- 10 tahun. Namun rata-rata rentang waktunya antara 1-2 tahun. Panjangnya rentang waktu pada tahap ini menyebabkan seseorang lupa bahwa dirinya pernah menderita serangan gout arthritis akut. Atau menyangka serangan pertama kali yang dialami tidak ada hubungannya dengan penyakit gout arthritis.7
c. Tahap III
Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-tahun tanpa gejala, maka penderita akan memasuki tahap ini yang ditandai dengan
serangan artritis yang khas seperti diatas. Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh) yang jarak antara serangan yang satu dengan serangan berikutnya makin lama makin rapat dan lama serangan makin lama makin panjang, dan jumlah sendi yang terserang makin banyak. Misalnya seseorang yang semula hanya kambuh setiap setahun sekali, namun bila tidak berobat dengan benar dan teratur, maka serangan akan makin sering terjadi biasanya tiap 6 bulan, tiap 3 bulan dan seterusnya, hingga pada suatu saat penderita akan mendapat serangan setiap hari dan semakin banyak sendi yang terserang.7,28
d. Tahap IV
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau lebih. Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan disekitar sendi yang sering meradang yang disebut sebagai Thopi. Thopi ini berupa benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal monosodium urat. Thopi ini akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang disekitarnya. Bila ukuran thopi semakin besar dan banyak akan mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan sepatu lagi.7
Gambar 2.2Asam urat tahap lanjutan.
II.2.2.6 Diagnosis
Diagnosa asam urat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan cairan sendi.23 A. Pemeriksaan Laboratorium
Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam darah diatas 7 mg/dL untuk pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk wanita. Bukti adanya kristal urat dari cairan sinovial atau dari topus melalui mikroskop polarisasi sudah membuktikan, bagaimanapun juga pembentukan topus hanya setengah dari semua pasien dengan gout.23,24
Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk mendeteksi ada dan tidaknya penyakit diabetes mellitus. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi ginjal. Sementara itu pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada dan tidaknya gejala aterosklerosis.21
B. Pemeriksaan Cairan Sendi
Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop. Tujuannya ialah untuk melihat kristal urat atau monosodium urate (kristal MSU) dalam cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis artritis yang terjadi perlu dilakukan kultur cairan sendi.28
Dengan mengeluarkan cairan sendi yang meradang maka pasien akan merasakan nyeri sendi yang berkurang. Dengan memasukkan obat ke dalam sendi, selain menyedot cairan sendi tentunya, maka pasien akan lebih cepat sembuh. Mengenai metode penyedotan cairan sendi ini, ketria mengatakan bahwa titik dimana jarum akan ditusukkan harus dipastikan terlebih dahulu oleh seorang dokter. Tempat penyedotan harus disterilkan terlebih dahulu, lalu jarum tersebut disuntikkan dan cairan disedot dengan spuite.28
Pada umunya, sehabis penyedotan dilakukan, dimasukkan obat anti-radang ke dalam sendi. Jika penyedotan ini dilakukan dengan cara yang tepat maka pasien tidak akan merasa sakit. Jarum yang dipilih juga harus sesuai kebutuhan injeksi saat itu dan lebih baik dilakukan pembiusan pada
pasien terlebih dahulu. Jika lokasi penyuntikan tidak steril maka akan mengakibatkan infeksi sendi.7,20
Pemeriksaan cairan sendi ini merupakan pemeriksaan yang terbaik.
Cairan hasil aspirasi jarum yang dilakukan pada sendi yang mengalami peradangan akan tampak keruh karena mengandung kristal dan sel-sel radang.
Seringkali cairan memiliki konsistensi seperti pasta dan berkapur. Agar mendapatkan gambaran yang jelas jenis kristal yang terkandung maka harus diperiksa di bawah mikroskop khusus yang berpolarisasi. Kristal-kristal asam urat berbentuk jarum atau batangan ini bisa ditemukan di dalam atau di luar sel. Kadang bisa juga ditemukan bakteri bila terjadi septic artritis.9
C. Pemeriksaan Foto
Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali pemeriksaan sendi. Dan jauh lebih efektif jika pemeriksaan roentgen ini dilakukan pada penyakit sendi yang sudah berlangsung kronis. Pemeriksaan roentgen perlu dilakukan untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang dan jaringan di sekitar sendi.22
Gold standard dalam menegakkan gout artritis adalah menggunakan mikroskop terpolarisasi, yaitu dengan ditemukannya kristal urat MSU (Monosodium Urat) di cairan sendi atau tofus. Untuk memudahkan diagnosis gout artritis akut, dapat digunakan kriteria dari ARA (American Rheumatism Association) tahun 1997 sebagai berikut :21
a. Ditemukannya kristal urat di cairan sendi, atau b. Adanya tofus yang berisi Kristal urat, atau
c. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis, laboratoris, dan radiologis sebagai berikut :
1. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut
2. Inflamasi maksimal terjadi pada hari pertama gejala atau serangan datang
3. Artritis monoartikuler (hanya terjadi di satu sisi persendian) 4. Kemerahan pada sendi yang terserang
5. Bengkak dan nyeri pada sendi MTP-1 (ibu jari kaki)
6. Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1 (di salah satu sisi) 7. Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
8. Adanya tofus di artilago articular dan kapula sendi
9. Terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah ( >
7.5mg/dL)
10. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis) 11. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
12. Kultur mikroorganisme cairan sendi menunjukkan hasil negatif II.2.2.7 Penatalaksanaan
Secara umum, penanganan gout artritis adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain. Pengobatan gout arthritis akut bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain: kolkisin, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), kortikosteroid atau hormon ACTH. Obat penurun gout arthritis seperti alupurinol atau obat urikosurik tidak dapat diberikan pada stadium akut. Namun, pada pasien yang secara rutin telah mengkonsumsi obat penurun gout arthritis, sebaiknya tetap diberikan. Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah kekambuhan.
Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat alupurinol bersama obat urikosurik yang lain.7,28
A. Nonstereoidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)
NSAIDs dimulai dengan dosis maksimum pada tanda pertama dari serangan, dan dosis diturunkan pada saat gejala sudah mulai mereda.
Namun pemberian obat harus terus diberikan sampai 48 jam setelah gejala sudah tidak muncul lagi.28
B. Kolkisin
Kolkisin terbukti efektif digunakan untuk menangani akut gout artritis, kolkisin dapat memberikan efek meredakan nyeri dalam waktu 48 jam untuk sebagian pasien. Kolkisin akan menghambat polimerisasi mikrotubul dengan mengikat mikrotubul subunit mikroprotein dan
mencegah agregasinya. Kolkisin juga menghalangi pembentukan kristal, mengurangi mobilitas dan adhesi leukosit polimorfonuklear dan menghambat fosoforilasi tirosin dan generasi leukotriene B4. Dosis efektif kolkisin pada pasien dengan akut gout artritis sama dengan penyebab gejala pada saluran gastrointestinal, sehingga pemberian obat ini diberikan secara oral dengan dosis inisiasi 1 mg dan diikuti dengan dosis 0,5 mg setiap dua jam sampai rasa tidak nyaman pada perut atau diare membaik atau dengan dosis maksimal yang diberikan perharinya adalah 6 mg – 8 mg. sebagian besar pasien akan merasakan nyerinya berkurang dalam 18 jam dan diare dalam 24 jam. Peradangan nyeri sendi berkurang secara bertahap dari 75 % - 80 % dalam waktu 48 jam. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati, ataupun pada pasien usia tua, pemberian kolkisin pada dosis ini dikatakan aman meskipun akan menimbulkan sedikit ketidaknyamanan pada pasien.28
C. Kortikosteroid dan Hormon
Adenokortikotropik Pada pasien yang kontraindikasi dengan menggunakan kolkisin, atau pada pasien yang gagal diterapi dengan kolkisin dapat diberikan ACTH. Prednison 20 – 40 mg per hari dapat diberikan 3 – 4 kali dalam sehari. Dosis kemudian diturunkan secara bertahap setiap 1 – 2 minggu. ACTH diberikan secara intramuscular dengan dosis 40 – 80 IUm dengan dosis inisial 40 IU setiap 6 – 12 jam untuk beberapa hari. Pasien dengan gout di 1 atau 2 sendi besar dapat mengambil keuntungan dari drainase, yang diikuti dengan injeksi intraarticular triamcinolone 10 -40 mg atau dexamethasone 2 – 10 mg yanhg dikombinasikan dengan lidokain.28
Gout biasanya akan merespon dengan pemberian dosis single dari kolkisin, NSAIDs atau kortikosteroid. Akan tetapi apabila terapi ditunda atau merupakan serangan yang berat, 1 agen mungkin tidak bisa efektif. Pada situasi ini diperlukan terapi kombinasi dan terapi nyeri juga perlu ditambahkan.
II.2.2.8 Komplikasi
Penderita gout minimal mengalami albuminuria sebagai akibat gangguan fungsi ginjal. Terdapat tiga bentuk kelainan ginjal yang diakibatkan hiperurisemia dan gout, yaitu :24
1. Nefropati urat yaitu deposisi kristal urat pada interstitial medulla dan pyramid ginjal, merupakan proses yang kronis, ditandai oleh adanya reaksi sel giant di sekitarnya.
2. Nefropati asam urat, yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah yang besar pada duktus kolektivus dan ureter, sehingga menimbulkan keadaan gagal ginjal akut. Disebut juga sindrom lisis tumor dan sering didapatkan pada pasien leukemia dan limfoma pascakemoterapi.
3. Nefrolitiasis, yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10-25% dengan gout primer.
II.2.3 Rheumatoid Arthritis II.2.3.1 Definisi
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini.1,2
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan
“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi.
Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi.1,7
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan
berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat.1
II.2.3.2 Epidemiologi
Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203 dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009) memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.
Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di Bali.3
II.2.3.3 Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:4
A. Tidak dapat dimodifikasi 1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLADRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.5,6
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan
anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60 tahun.7
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.5
B. Dapat Dimodifikasi 1. Gaya Hidup
a) Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko RA.7,9
b) Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA.
Merokok berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun.
Merokok juga berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.6,7
c) Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian
Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas bagaimana hubungannya.8
d) Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.9
e) Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.8
2. Faktor Hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.8
II.2.3.4 Patofisiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.12
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular,
humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases.6,8
Gambar 2.3Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA
Proses peradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%
penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit.6
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.
Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic pituitaryadrenalaxis , sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi.8
Gambar 2.4Patofisiologi RA7
Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan
pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus.9
II.2.3.5 Manifestasi Klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan.
Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan keluhan diluar sendi.6
A. Keluhan umum
Dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.7
B. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki.
Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.7
C. Kelainan di luar sendi
a) Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)
b) Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikard
c) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop
e) Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika) berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan skleromalase perforans
f) Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan neutropeni7
II.2.3.6 Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
a) Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) meningkat
b) Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c) Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten.9
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.8
II.2.3.7 Diagnosis
Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa. Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas hanya 54%.5
Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang digunakan dalam mendiagnosis RA:7
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat
Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6, maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor < 6 kemungkinan pasien memenuhi kriteria RA secara prospektif maupun retrospektif.8
Tabel 2.6Kriteria Diagnosis RS berdasarkan ACR 2010.7
Kriteria Skor
A. Keterlibatan Sendi : - Sendi besar - 2-10 Sendi besar
- 1-3 Sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) - 4-10 Sendi kecil ( paling sedikit 1 sendi kecil)
- >10 Sendi (paling sedikit 1 sendi kecil)
01 23 B. Serologi (Minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi) 5
- RF dan ACPA negativ - RF dan ACPA positif rendah - RF dan ACPA positif tinggi
02 C. Acute phase reactant (paling sedikit 1 hasil tes dibutuhkan 3
untuk klasifikasi
- CPR normal dan laju endapat darah normal
- CPR abnormal atau laju endapan darah abnormal 0 D. Durasi gejala 1
- <6 minggu
- ≥6 minggu 0
Skor >6 -- defenitif RA 1
Sendi Besar: Sendi bahu, sendi panggul, sendi lutut dan tumit Sendi Kecil: Metacarpophalangeal, Interphalangeal distal, metatarsophalangeal II-V, interphalangeal ibu jari, pergelangan tangan.
II.2.3.8 Penatalaksanaan A. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menekan faktor risiko:9
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.7
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan
sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif.
B. Penanganan
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.7,15
1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)
Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.
NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)
Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi.
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya.
34
dapat terjadi akibat infeksi maupun tanpa infeksi. Pelepasan mediator inflamasi dari leukosit, kondrosit, sinoviosit menyebabkan kehilangan proteoglikan dan matriks ektraselular kartilago, sehingga terjadi kerusakan tulang. Kerusakan dan hilangnya kolagen dan kondrosit dapat menyebabkan perubahan yang tidak dapat kembali.
Dari sekian banyak artritis yang terjadi, terdapa tiga kelompok artritis yang paling sering didapati, yaitu osteoartritis, artritis gout (asam urat), dan reumatoid artritis. Osteoartritis atau yang umumnya disebut ‘pengapuran sendi’, merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak dijumpai di masyarakat belakangan ini.
Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya perubahan pola hidup dan peningkatan usia harapan hidup penduduk Indonesia. OA merupakan penyakit rematik sendi yang paling banyak mengenai terutama pada orang-orang diatas 50 tahun. Di atas 85%
orang berusia 65 tahun menggambarkan OA pada gambaran x-ray, meskipun hanya 35%-50% hanya mengalami gejala. Umur di bawah 45 tahun prevalensi terjadinya Osteoarthritis lebih banyak terjadi pada pria sedangkan pada umur 55 tahun lebih banyak terjadi pada wanita. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan terjadinya Osteoarthritis pada obesitas, pada sendi penahan beban tubuh.
Artritis gout adalah suatu penyakit dan potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama, gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri inflamasi satu sendi. Gout adalah bentuk inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di sendi besar jempol kaki.
Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa sendi.
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini. Peneliti memaparkan bahwa RA adalah peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah pedesaan di Bali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Firestein GS, Mcinnes IB. Review Immunopathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Immunity. 2017;46(2):183–96.
2. Al-saadany HM, Hussein MS, Zaytoun HA. Egyptian Society of Rheumatic Diseases Th-17 cells and serum IL-17 in rheumatoid arthritis patients:
Correlation with disease activity and severity. Egypt Rheumatol. 2015;1–7.
3. Canella AC, O’Dell JR. Traditional DMARDs: Methotrexate, Leflunomide, Sulfasalazine, Hydroxychloroquine, and Combination Therapy. In: Firestein G, Budd R, Gabriel S, editors. Kelley and Firestein’s textbook of rheumatology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 958–60.
4. Suryana BPP, Hidayat R, Sumariyono, Wibowo RSAK, Hamijoyo L, Rahmadi AR, et al. DMARD treatment and remission rate in patients with rheumatoid arthritis in Indonesia: The Indonesia RA National Registry (in process for publication). Jakarta; 2020.
5. Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, GeoEpidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier, doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019
6. Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al.
(2010). Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81
7. Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2015
8. Rudan, I., et al.Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10.2015
9. Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4. Jakarta: Media Aesculapius, pp 835-839. 2014
10. Bortoluzzi A, Furini F, Scirè CA. Osteoarthritis and its management - Epidemiology, nutritional aspects and environmental factors. Autoimmun Rev. 2018 Nov;17(11):1097-1104.
11. Berenbaum F, Wallace IJ, Lieberman DE, Felson DT. Modern-day environmental factors in the pathogenesis of osteoarthritis. Nat Rev Rheumatol. 2018 Nov;14(11):674-681.
12. Stewart HL, Kawcak CE. The Importance of Subchondral Bone in the Pathophysiology of Osteoarthritis. Front Vet Sci. 2018;5:178.
13. De Laroche R, Simon E, Suignard N, Williams T, Henry MP, Robin P, Abgral R, Bourhis D, Salaun PY, Dubrana F, Querellou S. Clinical interest of quantitative bone SPECT-CT in the preoperative assessment of knee osteoarthritis. Medicine (Baltimore). 2018 Aug;97(35):e11943.
14. Gwynne-Jones DP, Gray AR, Hutton LR, Stout KM, Abbott JH. Outcomes and Factors Influencing Response to an Individualized Multidisciplinary Chronic Disease Management Program for Hip and Knee Osteoarthritis. J Arthroplasty. 2018 Sep;33(9):2780-2786.
15. Loef M, Schoones JW, Kloppenburg M, Ioan-Facsinay A. Fatty acids and osteoarthritis: different types, different effects. Joint Bone Spine. 2019 Jul;86(4):451-458.
16. Dobson GP, Letson HL, Grant A, McEwen P, Hazratwala K, Wilkinson M, Morris JL. Defining the osteoarthritis patient: back to the future. Osteoarthritis Cartilage. 2018 Aug;26(8):1003-1007.
17. Laura Frattura G, Filardo G, Giunchi D, Fusco A, Zaffagnini S, Candrian C.
Risk of falls in patients with knee osteoarthritis undergoing total knee arthroplasty: A systematic review and best evidence synthesis. J Orthop. 2018 Sep;15(3):903-908.
18. Healey EL, Afolabi EK, Lewis M, Edwards JJ, Jordan KP, Finney A, Jinks C, Hay EM, Dziedzic KS. Uptake of the NICE osteoarthritis guidelines in primary care: a survey of older adults with joint pain. BMC Musculoskelet Disord. 2018 Aug 17;19(1):295.
19. Chen-Xu M, Yokose C, Rai SK, Pillinger MH, Choi HK. Contemporary prevalence of gout and hyperuricemia in the United States and decadal trends:
the National Health and Nutrition Examination Survey, 2007–2016. Arthritis Rheumatol 2019
20. Duarte-Garcia A, Zamore R, Wong JB. The evidence basis for the American College of Rheumatology practice guidelines. JAMA Intern Med 2018.
21. McLean RM. The long and winding road to clinical guidelines on the diagnosis and management of gout. Ann Intern Med 2017;166: 73–4.
22. Schunemann HJ, Mustafa RA, Brozek J, Santesso N, Bossuyt PM, Steingart KR, et al. GRADE guidelines: 22. The GRADE approach for tests and strategies-from test accuracy to patient-important outcomes and recommendations. J Clin Epidemiol 2019;111:69–82.
23. Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemiology of crystalrelated artropathies. Rheumatology. 2rd ed. Edinburg:
Elsevier;2003.p.1893-1901
24. Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S,Sergen JS. (eds) Kelley’s Textbook of Rheumatology, 8th ed. W.B Saunders, Philadelphia.
2009:1481-1506.
25. Altman R et al. The American College of Rheumatology criteria for the classification and reporting of osteoarthritis os the knee. Arthritis Rheum.1986.
26. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. Kelley`s Textbook of Rheumatlogy.
8th ed.Philadeplhia:Saunders;2001.p.1481-506.
27. Widi, Rahmaning Rofi et all. Hubungan Dukungan Sosial Terhadap Derajat Nyeri pada Penderita Artritis Gout fase Akut. Berita Kedokteran Masyarakat.
2011.
28. Albar, Zuljasri. Gout: Diagnosis and Management. Rheumatology division, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia.2010.