• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI REGULASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM MENJAMIN PERLAKUAN HUKUM BERKEADILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "REKONSTRUKSI REGULASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM MENJAMIN PERLAKUAN HUKUM BERKEADILAN"

Copied!
347
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI REGULASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM MENJAMIN PERLAKUAN HUKUM BERKEADILAN

D I S E R T A S I

Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)

DISUSUN OLEH

MUHAMMAD HUSNI FAHRUDDIN NIM : 10302000090

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG 2023

(2)

ii

(3)

iii

(4)

iv MOTTO

“Lidah orang yang berakal berada di belakang hatinya sedangkan hati orang yang bodoh berada di belakang lidahnya”

“Ketidak-adilan terjadi manakala ada yang mendzolimi dan ada yang mau didzolimi”

“Tubuh dibersihkan dengan air, jiwa dibersihkan dengan air mata. Akal dibersihkan dengan pengetahuan dan jiwa dibersihkan dengan cinta”

“Betapa terhormatnya ilmu, karena orang yang tidak memilikinya mengatakan bahwa dia memiliki ilmu, dan betapa tidak terhormatnya kebodohan, karena orang yang

memilikinya mengatakan bahwa dia tidak bodoh”

(5)

v

PERSEMBAHAN :

Karya tulis Disertasi ini saya persembahkan untuk:

Negara Kesatuan Republik Indonesia Almamater Tercinta Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang

Kedua Orang Tua Yang Tercinta dan Tersayang:

H. Muhammad Husni Thamrin Bin Abdul Kadir (Alm) Hj. Miskiah Binti Ismail (Alm)

Isteri dan Kedua Anakku Terkasih : Desy Noriyani, S.Hut., M.P.

Nasywa Narjis

Muhammad Husni Zaki Askari Saudara-saudari kandung Terkasih:

Juwairiah

Nurul Alimatuz Zakiah Muhammad Husni Fahrizal

Muhammad Husni Faisal Isna Rufaidha

Semua Keluarga Besar H. Muhammad Husni Thamrin dan Hj. Miskiah beserta sanak keluarga

Semua Rekan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNISSULA Para Advokat dan Para Sahabat Dimanapun berada

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Pertama sekali peneliti mengucapkan Puji Syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Masa Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan Disertasi ini, guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

Adapun judul Disertasi Ini adalah Rekonstruksi Regulasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Dalam Menjamin Perlakuan Hukum Berkeadilan.

Terima kasih yang tak terhingga kepada yang amat sangat terpelajar Prof. Dr.

Mahmutarom HR, S.H., M.H. selaku Promotor dan yang sangat terpelajar Dr. Ramon Nofrial S.H., M.H. selaku Co Promotor, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran yang tiada henti-hentinya memberikan dorongan dan bimbingan dalam penyelesaian Disertasi ini. Pengetahuannya luas menjadi tempat bertukar pikiran, berdiskusi dan berkeluh kesah yang sangat membantu penulis dalam penulisan Disertasi ini, waktu yang disediakan di tengah kesibukan membuat penulis bersyukur bahwa penulis menemukan guru yang tepat yang akan menjadi teladan dalam tugas-tugas penulis nantinya. Untuk semua atas segala keikhlasan hati penulis hanya dapat berdo’a semoga Allah SWT membalas segala kebaikan serta senantiasa melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya.

Pada kesempatan ini juga dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut berpartisipasi langsung maupun tidak langsung memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyelesaian Disertasi ini, yakni:

1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E., Akt., M.Hum. selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

3. Prof. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Doktor Ilmu Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

4. Prof. Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Program Doktor Ilmu Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

(7)

vii

5. Staf Pengajar (Dosen) atas ilmu yang diajarkan dan bimbingan serta arahan yang diberikan selama mengikuti perkuliahan. Semoga segala keikhlasan hati diberikan balasan yang terbaik dari Allah SWT;

6. Kepada Seluruh keluarga terutama Istri tercinta Desy Noriyani, S.Hut.,MP, dan Anak-anak terkasih Nasywa Narjis dan Muhammad Husni Zaki Askari serta keluarga besar Almarhum Ayahanda Muhammad Husni Thamrin dan Alamarhum Ibunda Hj. Miskiah, serta saudara tercinta Juwairiah, Nurul Alimatuz Zakiah, Muhammad Husni Fahrizal, Muhammad Husni Faisal dan Isna Rufaidha atas segala dukungan doa selama penulis menyelesaikan perkuliahan di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung;

7. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada sahabat saya serta teman- teman seperjuangan di bangku perkuliahan PDIH Angkatan 17 atas dukungan dan kebersamaan mengapai kesuksesan studi selama ini.

Dengan bantuan dan dukungan yang telah penulis dapatkan, akhirnya dengan menyerahkan diri dan senantiasa memohon petunjuk, dan bimbingan Allah SWT, semoga apa apa yang penulis tuangkan dalam penelitian ini berguna dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khsusnya dunia hukum.

Selama penulisan, penyusunan serta penyelesaian Disertasi ini, tenaga, waktu dan pikiran telah penulis tuangkan secara maksimal, namun penulis menyadari bahwa apa yang telah dihasilkan belumlah terdapat suatu hasil yang sempurna dan masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Hal ini sudah pasti karena keterbatasan penulis, untuk itu dengan kerendahan hati penulis mohon kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan Disertasi ini. Akhirnya semoga Allah SWT, Rosulullah SAW dan Keluarganya memberikan syafaat kepada kita semua.

Semarang, Januari 2023 Penulis

Muhammad Husni Fahruddin NIM. 10302000090

(8)

viii PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

NAMA : MUHAMMAD HUSNI FAHRUDDIN.

NPM : 10302000090

JUDUL DISERTASI : “REKONSTRUKSI REGULASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM MENJAMIN PERLAKUAN HUKUM BERKEADILAN”

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Karya tulis saya, disertasi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing/Tim Promotor dan masukkan Tim Penelaah/Tim Penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Semarang, Januari 2023 Yang membuat peryataan,

Muhammad Husni Fahruddin NIM : 10302000090

(9)

ix

ABSTRAK DISERTASI

Judul Disertasi : Rekonstruksi Regulasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Dalam Menjamin Perlakuan Hukum Berkeadilan

Subjek : Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Keadilan

Nama : Muhammad Husni Fahruddin

Nomor Induk Mahasiswa : 10302000090 Program : Doktor Ilmu Hukum Konsentrasi : Ilmu Hukum

Tim Promotor : Prof. Dr. Mahmutarom HR, S.H., M.H.

Dr. Ramon Nofrial, S.H., M.H.

Tahun Kelulusan 2023

(10)

x

Reconstruction of Regulations on Freedom of Religion and Belief in Guaranteeing Equitable Legal Treatment

Muhammad Husni Fahruddin E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Freedom of religion and belief in guaranteeing legal treatment has not been fair, that religious minorities outside the six recognized religions in Indonesia (Islam, Christianity, Catholicism, Hinduism, Buddhism and Confucianism) also have the right to adhere to freedom of religion internally (Internal Freedom or Forum Internum) or external (Kemerdekaan Eksternal or Forum Eksternum) as explained in Article 29 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. However, in practice it shows forms of violation and intolerance.

This study aims to analyze and find weaknesses in regulations and carry out reconstruction of regulations on freedom of religion and belief in guaranteeing fair legal treatment.

The results of the research are that the reconstruction of regulations on freedom of religion and belief in guaranteeing fair legal treatment by realizing legal protection for adherents of religions and minority beliefs by reconstructing Article 1 of Law Number 1/PNPS/1965 concerning Prevention of Misuse and/or Blasphemy of Religion related to acts of obstruction - obstruct, disperse or commit acts of violence any person who tells, recommends or seeks support either to carry out an interpretation of a religion that is adhered to in Indonesia or to carry out religious activities that resemble religious activities from the main teachings of that religion which are not carried out in a public place or in the environment of their respective adherents. Reconstructing the Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 2023 (which will take effect after three years from the date of promulgation or three years after January 2, 2023), Concerning the Criminal Code specifically in Chapter VII concerning Crimes Against Religion, Beliefs, and Religious or Belief Life, Article 300 reads: "Every person in public who" is reconstructed becomes "everyone who":

a. commit acts of a hostile nature;

b. express hatred or hostility; or

c. incitement to violence, or discrimination.

against religion, other people's beliefs, groups, or groups on the basis of religion or belief in Indonesia, shall be punished with imprisonment for a maximum of 3 (three) years or a maximum fine of category IV.

Keywords: Freedom of Religion, Belief and Justice

(11)

xi

Rekonstruksi Regulasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Dalam Menjamin Perlakuan Hukum Berkeadilan

Muhammad Husni Fahruddin E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum belum berkeadilan, bahwa agama minoritas di luar enam agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu) juga memiliki hak untuk menganut kebebasan beragama secara internal (Kebebasan Internal atau Forum Internum) maupun eksternal (Kebebasan Eksternal atau Forum Eksternum) seperti yang diterangkan pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun dalam prakteknya menunjukkan adanya bentuk pelanggaran dan intoleransi

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan menemukan kelemahan regulasi dan melakukan rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan.

Hasil penelitian bahwa rekonstuksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan dengan mewujudkan perlindungan hukum terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas dengan melakukan rekonstruksi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama perbuatan menghalang- halangi, membubarkan atau melakukan tindak kekerasan setiap orang yang menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan baik untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan- kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok- pokok ajaran agama itu. Merekonstruksi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (yang akan berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan atau tiga tahun setelah tanggal 2 Januari 2023), Tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana khusus pada Bab VII mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan, Pasal 300 berbunyi: “Setiap orang dimuka umum yang” direkonstruksi menjadi “setiap orang yang”:

a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau

c. menghasut untuk melakukan Kekerasan, atau diskriminasi,

terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

Kata Kunci : Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Keadilan

(12)

xii RINGKASAN

“REKONSTRUKSI REGULASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM MENJAMIN PERLAKUAN HUKUM BERKEADILAN”

I. Pendahuluan

Masalah hak berkeyakinan, beragama, dan beribadah yang ditandai oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian terhadap kelompok minoritas agama tidak bisa dipungkiri merupakan hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Yakni saat negara di satu sisi menerapkan berbagai kebijakan formal, termasuk konstitusi dan undang-undang di level nasional yang pro hak asasi manusia sebagai buah gerakan reformasi, tapi di sisi lain, pemerintah pusat nampak gamang ketika terdapat kebijakan turunan atau kebijakan lokal yang justru bertentangan dengan prinsip- prinsip hak asasi manusia dan kebebasan berkeyakinan, beragama dan beribadah.

Kebijakan politik pusat tentang hak berkeyakinan kebebasan beragama/berkeyakinan yang tidak tegas ini kemudian mendorong berbagai kepentingan politik untuk terus- menerus melakukan manuver politik dengan menggunakan sentimen agama, khususnya seruan atau hasutan yang bisa memprovokasi serangan terhadap kelompok minoritas keyakinan.

Peneliti memilih obyek perihal konsep belum adanya jaminan perlakuan hukum berkeadilan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, dikarenakan adanya realita (das sollens) berupa inkonsistensi dalam ketentuan tentang pemaknaan hak asasi manusia tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan baik dari sudut pandang aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, maupun badan Pengadilan baik di tingkat judex factie maupun judex jurist. Disamping itu tidak adanya ketentuan yang tegas dalam perundangan yang melindungi hak kebebasan beragama

(13)

xiii

dan berkeyakinan, bukan hanya memberikan aturan main kepada yang melakukan kegiatan keagamaan dan keyakinan namun seharusnya ada aturan main yang juga mengatur bagi pelaku yang melakukan tindak pidana pada kegiatan-kegiatan keagamaan dan keyakinan di tempat umum maupun yang tidak dilakukan di tempat umum, sehingga hal ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum. Mengingat seharusnya (das sein) perundangan yang dibentuk harus memiliki makna yang konsisten dan tidak menimbulkan multi tafsir di masyarakat, sehingga menimbulkan tidak adanya kepastian hukum.

A. Rumusan Masalah

1. Mengapa kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum belum berkeadilan ?

2. Apa kelemahan-kelemahan regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum pada saat ini ?

3. Bagaimana rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan ?

B. Tujuan

1. Untuk menganalisa dan menemukan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum belum berkeadilan.

2. Untuk menganalisa dan menemukan kelemahan regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum pada saat ini.

3. Untuk menemukan rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan.

(14)

xiv C. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan untuk lebih memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi penulis baik di bidang hukum khususnya mengenai rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan. Penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya tentang rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan.

2. Secara Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan kepada pihak terkait dengan rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan..

Hasil penelitian ini secara praktis juga diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat untuk bisa lebih mengetahui rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan D. Kerangka Konseptual

1. Rekonstruksi

Secara terminologi rekonstruksi memiliki banyak pengertian, dalam perencanaan pembangunan nasional sering dikenal dengan istilah rekonstruksi. Rekonstruksi memiliki arti bahwa re berarti pembaharuan sedangkan konstruksi sebagaimana penjelasan diatas memiliki arti suatu sistem atau bentuk. Rekonstruksi adalah upaya reorientasi dan reevaluasi serta penyusunan kembali nilai hukum, sosiologis, politik, sosio filosofis dan sosio cultural.

(15)

xv 2. Agama

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agama diartikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia lainnya.

Untuk dapat disebut sebagai agama harus memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Menuntun umatnya agar selalu memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

b. Memiliki guru besar atau disebut juga Nabi.

c. Memiliki suatu ajaran bagaimana untuk menuju jalan kebenaran.

d. Memiliki umat yang mengakui kebenaran ajarannya.

e. Tak akan pudar karena waktu atau dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan pada waktu.

Jika pendapat para ahli di atas disimpulkan, maka pengertian agama adalah budaya tertinggi manusia dengan kandungan daya ikat moral yang menggerakkan kekuatan supernatural menuju pengaturan tata keimanan, peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta pergaulan dengan manusia lainnya untuk mencapai terjadinya perubahan keadaan pada manusia dan semesta melalui seperangkat upacara mitos dengan dukungan kemampuan organisme manusia.

3. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak dalam kandungan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat diganggu gugat serta tidak dapat dicabut. Penghormatan terhadap hak asasi manusia dapat diwujudkan dengan cara saling menghargai antara satu sama lain dengan tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, serta status sosial. Hak asasi manusia merupakan hal yang penting dan tanpa itu manusia tidak akan memiliki eksistensinya.

4. Negara Hukum

Negara hukum adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak

(16)

xvi

berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat), dan pemerintahannya berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tak terbatas). Ide pokok negara hukum adalah pengakuan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan.

5. Perlindungan Hukum

Manusia dan hukumnya merupakan dua hal yang tidak dipisahkan dalam kehidupan di dunia ini. Hal ini dikarenakan tanpa sebuah hukum yang mengatur tingkah laku manusia maka akan terjadi kekacauan di dalam kehidupan manusia (masyarakat).

Fungsi hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Untuk itu perlu adanya perlindungan hukum demi keamanan dalam hubungan sosial dalam masyarakat yang telah diatur oleh hukum.

Perlindungan hukum dapat diartikan sebagai perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Hukum dalam memberikan perlindungan dapat melalui cara-cara tertentu, yaitu dengan :

a. Membuat peraturan (by giving regulation), bertujuan untuk:

1) Memberikan hak dan kewajiban.

2) Menjamin hak-hak para subyek hukum.

b. Menegakkan peraturan (by law enforcement), melalui:

1) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen dengan perjanjian dan pengawasan.

2) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) pelanggaran hak-hak konsumen listrik, dengan mengenakan sanksi pidana dan hukuman.

3) Hukum perdata berfungsi untuk memulihkan hak (curative; recovery; remedy), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.

C. Kerangka Teori

Adapun uraian singkat perihal alasan dari pemilihan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:

(17)

xvii

1. Grand Theory : Teori Keadilan, alasannya sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum, namun juga harus berkompeten dan juga adil, serta harus mampu memahami keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.

2. Middle Range Theory :

a. Teori Sistem Hukum, dari Lawrence M. Friedman, sistem hukum meliputi:

Struktur Hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan, pengadilan.

Substansi Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misal putusan hakim berdasarkan undang-undang.

Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.

b. Teori Sociological Jurisprudence = Law as tool of social enggineering c. Teori Hukum Progresif, dari Prof. Satjipto Rahardjo,SH. :

Pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praktek hukum, serta melakukan berbagai terobosan yang didasarkan pada prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.

(18)

xviii 3. Applied Theory :

a. Teori Kepastian Hukum, dari Gustaf Radbruch, dalam konsep “Ajaran Prioritas Baku” mengemukakan ada tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Menurut Radbruch, “kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati”. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.

Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, teori diartikan suatu kesatuan pandang, pendapat yang dirumuskan, memungkinkan menyebarkan hipotesis yang dikaji.

Menurut Fred N. Kerlinger, teori mengandung tiga hal pokok, yaitu :

1. Seperangkat proposisi berisi konstruksi (construct) atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan;

2. Menjelaskan hubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan variabel; dan

3. Menjelaskan fenomena dengan menghubungkan satu variabel dengan variabel lain dan menunjukkan hubungan antar variabel tersebut.

Teori, sebagai produk ilmu, tujuannya memecahkan masalah. Fungsi teori memberikan pengarahan penelitian. Teori berfungsi memberikan petunjuk atas gejala yang timbul dalam penelitian.

b. Teori Keadilan

Keadilan adalah salah satu topik filsafat paling banyak dikaji. Teori hukum alam mengutamakan the search for justice sejak Socrates hingga Francois Geny mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Keadilan sebuah masalah menarik, banyak hal terkait, baik moralitas, sistem kenegaraan, dan kehidupan bermasyarakat.

(19)

xix

Konsep teori keadilan bermartabat adalah suatu perangkat prinsip atau asas dan kaidah hukum positif, bagian tidak terpisahkan dan penting dari suatu sistem hukum positif keseluruhan telah dirancang menurut pola tertentu, saling berkaitan erat antara satu bagian dengan bagian lain dan saling bahu membahu antara satu unsur dengan unsur lain dalam kesatuan tujuan.

D. Kerangka Pemikiran 1. Uraian Kerangka Pemikiran

Permasalahan = Apakah dengan pengakuan negara atas hak asasi manusia menyebabkan regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamian mendapatkan perlakukan hukum secara berkeadilan.

Akar Masalah :

a. Adanya multi tafsir dalam penerapan unsur penodaan agama yang dikaitkan dengan kuantitas mayoritas dan minoritas.

b. Adanya ketentuan perundangan yang bertolak belakang yang mengatur konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, seperti pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Hak Asasi Manusia, KUHP, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 Tentang pencegahan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan Undang-undang Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP.

c. Penerapan frasa di muka umum dalam setiap hal yang terkait dengan pidana kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi multitafsir sehingga menyebabkan hukum bekum berkeadilan.

d. Perlu adanya rekonstruksi rumusan frasa setiap orang di muka umum dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk memperbaiki kelemaham dan ketidaadilan hukum yang ada.

E. Metode Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan Paradigma Konstruktivisme, dimana dengan Paradigma akan peneliti gunakan untuk melakukan analisa yuridis tentang

(20)

xx

ketentuan/ peraturan hukum yang sudah ada, tentang konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan menimbulkan multitafsir diantara para penegak hukum.

Adapun alasan peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme, adalah sebagai berikut:

 Paradigma konstruktivisme dalam penelitian, dapat memberikan kebebasan kepada peneliti untuk membangun/mengkonstruksi pengetahuannya sebagai suatu kebutuhan.

 Paradigma konstruktivisme merupakan paradigma yang menganggap bahwa kebenaran suatu realitas hukum dapat dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, yang bersifat relatif.

 Paradigma konstruktivisme dipakai peneliti, karena ingin mendapatkan pengembangan pemahaman yang membantu proses interpretasi suatu peristiwa hukum yang akan diteliti.

 Dalam paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan bereaksi menurut kategori konseptual dari pikiran.

Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang lain terhadap realitas tersebut.

2. Metode pendekatan

Dalam penelitian hukum sosio legal atau normatif empiris yang peneliti gunakan terdapat kategori, yaitu: Judicial Case Study Pendekatan ini ialah pendekatan studi kasus hukum dikarenakan adanya konflik sehingga akan melibatkan campur tangan pengadilan untuk dapat memberikan keputusan penyelesaian.

3. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan disertasi ini menggunakan jenis penelitian deskriptif analisis. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

(21)

xxi 4. Sumber Data

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, maka bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Mengingat penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka prosedur pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Studi Pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan bahan hukum dengan menelaah bahan pustaka yakni literatur, jurnal, artikel, dan lain sebaginya namun tetap berhubungan dengan masalah yang diteliti.

b. Studi Dokumen, yaitu suatu cara pengumpulan bahan hukum dengan mempelajari undang-undang dan putusan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

6. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengolahan bahan hukum dengan cara logika deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.

7. Analisis Bahan Hukum

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dilakukan secara deskriptif dan preskriptif (mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum), karena tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan realitas kebijakan perundang-undangan sebagaimana yang diharapkan. Dalam melakukan analisa kualitatif yang bersifat deskriptif dan preskriptif dalam

(22)

xxii

pendalamannya dilengkapi dengan analisis yuridis komparatif dan yuridis preskriptif dengan tujuan sebagai berikut:

a. Analisis yuridis komparatif: membandingkan kebijakan legislatif negara- negara lain dalam memformulasikan atau pembaruan hukum mengenai kasus serupa.

b. Analisis yuridis preskriptif: untuk mengkaji kebijakan pembaharuan hukum pidana yang akan datang mengenai batasan yang jelas antara tindak pidana murni dengan penodaan agama yang dapat dibentuk oleh pemerindah dan DPR dalam rangka penyempurnaan peraturan di masa mendatang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pembahasan mengenai beberapa hal diantaranya : - Tinjauan umum tentang hak asasi manusia

- Tinjauan umum tentang prinsip keadilan negara hukum

- Tinjauan umum tentang persamaan dihadapan hukum di Indonesia - Tinjauan umum tentang tipologi kelompok minoritas di Indonesia

- Tinjauan umum tentang perlindungan hukum terhadap kelompok minoritas di Indonesia

BAB III. PEMBAHASAN MASALAH PERTAMA

- Kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum belum berkeadilan

- Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

- Pembatasan untuk Mendirikan Rumah Ibadah dan Penyerangan Fasilitas Agama

- Kasus TM di Sampang Madura yang di vonis bersalah oleh majlis hakim atas dasar frasa “umumnya” yang berkesuaian dengan istilah mayoritas dan

(23)

xxiii

minoritas artinya lebih mengutamakan forum externum daripada forum internum

- Kasus Yayasan Abu Dzar Al Ghifari yang dibubarkan paksa oleh aparat penegak hukum dengan sebab protes dari Aliansi Nasional Anti Sy’iah

BAB IV. PEMBAHASAN MASALAH KEDUA

- Perlindungan hak atas berkeyakinan, beragama dan beribadah di Indonesia bisa ditelusuri dari beberapa dokumen resmi kenegaraan. Adalah Pancasila, khususnya Sila Pertama yang berbunyi, Ketuhanan yang Maha Esa, dimana sila tersebut secara terang ingin menyampaikan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas nilai Ketuhanan yang Maha Esa.

- Konstitusi Indonesia UUD 1945 lahir sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 disusun. Menariknya pada UUD 1945 tersebut, pengakuan akan hak berkeyakinan, beragama, dan beribadah telah dinyatakan pada Pasal 29, yang bunyinya Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

- Ketika UUD 1945 diamandemen sebagai hasil gerakan reformasi politik pasca- 1998. Hak berkeyakinan, beragama, dan beribadah ini dicantumkan pada Pasal 28E ayat (1 dan 2) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua.

- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, jaminan perlindungan hak atas kebebasan pribadi, utamanya hak untuk beragama, dicantumkan dalam Pasal 22.

- Ketentuan normatif penting yang harus dilihat adalah Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 terkait Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Pada

(24)

xxiv

Putusan MK ini terdapat beberapa perkembangan baru dalam hal perlindungan dan jaminan dalam untuk semua keyakinan dan agama di Indonesia tanpa pembedaan.

a. Penghapusan politik pengakuan agama dan kepercayaan tertentu, yang secara umum dikenal sebagai agama resmi;

b. Pengakuan adanya praktik dan penerapan norma dan hukum administrasi yang salah terkait adanya pengakuan agama resmi;

BAB V. PEMBAHASAN MASALAH KETIGA

- Salah satu regulasi partikular yang selama ini berlaku di Indonesia ialah Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa agama- agama yang dipeluk orang Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius). Muatan dalam Undang-Undang ini melahirkan istilah-istilah terkait agama dengan “agama resmi” dan “agama yang belum diakui”, Undang-Undang ini kemudian di judicial review oleh beberapa LSM dan tokoh Indonesia di Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan beberapa Pasal tentang Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945.

- Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak judicial review dan mempertahankan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965. Namun, ambiguitas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan belum sepenuhnya tuntas karena regulasi Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal belum ada perbaikan konsepsi dan sistem internasional yang melekat pada regulasi-regulasi tersebut.

- Pasca penolakan Judicial Review, kekerasan atas nama agama masih selalu timbul karena Undang-Undang Nomor 1/PNPS.1965 dan beberapa regulasi

(25)

xxv

partikular serupa lainnya, secara historis selalu diperalat oleh kelompok tertentu untuk melakukan diskriminasi dan banalisasi kekerasan. Undang- Undang ini sangat diskriminatif dan particular.

- Penerapan Pasal 156a Kuhp Terkait Penodaan Terhadap Agama. Pasal 156a ini kalau ditelaah serupa dengan Undang-Undang Nomor 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Keberadaan pasal ini dan kemudian diperkuat menjadi Undang-Undang tidak terlepas politik rezim Orde Lama. pemerintahan Soekarno menilai demi mengamankan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana dalam hal ini penodaan dan penyalahgunaan agama dipandang sebagai ancamaan bagi cita-cita revolusi. Termasuk dilatari situasi dan kondisi timbulnya aliran atau organisasi kebatinan kepercayaan yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ditegaskan Undang-Undang ini melarang menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan- kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Sehingga jika keberadaan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dihubungkan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka akan terdapat dua unsur, yaitu perlindungan agama di satu pihak dan hak kebebasan meyakini kepercayaan di pihak lain. Dalam negara hukum Indonesia, hubungan antara dua unsur tersebut perlu dipadukan dalam sebuah formula yang tidak menegasikan

(26)

xxvi

antara unsur yang satu dengan yang lain. pada dasarnya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama mengandung unsur ketidakjelasan dalam perumusannya baik dipandang dari sisi perlindungan hukum terhadap Agama maupun Kepercayaan terutama golongan minoritas maupun dalam sudut pandang penyusunan undang-undang yang mengandung pidana, dimana perumusan undang-undang yang mengandung pidana harus jelas sehingga perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemeluk Agama dan Kepercayaan khususnya kaum minoritas.

- Merekonstruksi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (yang akan berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan atau tiga tahun setelah tanggal 2 Januari 2023), Tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana khusus pada Bab VII mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan, Pasal 300 berbunyi: “Setiap orang dimuka umum yang” direkonstruksi menjadi

“setiap orang yang”:

a. Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

b. Menyatakan kebencian atau permusuhan; atau

c. Menghasut untuk melakukan Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV BAB VI. PENUTUP

(27)

xxvii A. Kesimpulan

1. Kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum belum berkeadilan, hal ini dikarenakan agama minoritas di luar enam agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu) juga memiliki hak untuk menganut kebebasan beragama secara internal (Kebebasan Internal atau Forum Internum) maupun eksternal (Kebebasan Eksternal atau Forum Eksternum) seperti yang diterangkan pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun dalam prakteknya menunjukkan adanya bentuk pelanggaran dan intoleransi yang terus meningkat setiap tahunnya, khususnya sejak era reformasi. Diskriminasi agama dan kepercayaan yang terjadi di Indonesia tidak hanya dalam bentuk kekerasan, namun juga dalam hal-hal yang tidak melibatkan fisik misalnya dalam hal administratif seperti pengurusan identitas dan perizinan pembangunan tempat ibadah. Umat yang menganut agama dan kepercayaan minoritas selain enam agama yang diakui oleh pemerintah sering merasa kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan dan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan yang dianutnya.

2. Kelemahan regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum pada saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang didalamnya terdapat kata-kata yang lebih mengakui eksistensi enam agama mayoritas yang dapat menyebabkan diskriminasi terhadap agama minoritas jika terjadi salah tafsir. Sehingga, dibutuhkan suatu solusi agar penganut agama dan kepercayaan khususnya minoritas mendapat perlindungan hukum yang tegas terhadap pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa agama minoritas adalah

(28)

xxviii

agama yang sesat, negara juga mengambil bagian atas diskriminasi yang terjadi melalui beberapa peraturan perundangan tertulis yang dibuat oleh pemerintah yang terkesan ambigu dan secara tidak langsung tidak memberikan perlindungan hukum terhadap agama-agama minoritas yang berusaha berkembang di Indonesia.

3. Rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan dengan mewujudkan perlindungan hukum terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas dengan melakukan rekonstruksi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terkait perbuatan menghalang- halangi, membubarkan atau melakukan tindak kekerasan kepada setiap orang yang menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan baik untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu yang dilakukan tidak di tempat umum atau dilakukan di dalam lingkungan penganutnya masing-masing.

4. Merekonstruksi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 (yang akan berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan atau tiga tahun setelah tanggal 2 Januari 2023), Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus pada Bab VII mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan, Pasal 300 berbunyi:

“Setiap orang dimuka umum yang” direkonstruksi menjadi “setiap orang yang”:

(1) Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

(2) Menyatakan kebencian atau permusuhan atau;

(29)

xxix

(3) Menghasut untuk melakukan Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

B. Saran

1. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diatur dengan tegas bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan kebebasan beragama tersebut merupakan salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan adanya peran dari pemerintah untuk memastikan agar kebebasan beragama di Indonesia dapat terlaksana dengan baik, rukun dan saling menghormati meskipun terdapat perbedaan agama di tengah- tengah masyarakat.

2. Pemerintah wajib memastikan perlindungan terhadap kaum minoritas.

Menjalankan hukum yang menentang diskriminasi dalam segala bidang. Dalam rekrutmen, fasilitas perumahan, kesehatan, akses ke pendidikan sampai ke dalam aturan hukum dan peraturan perundang- undangan. Implementasi Hak Asasi Manusia terhadap kelompok minoritas di Indonesia harus berdasarkan falsafah Pancasila. Karena itu, segala hukum yang berlaku dalam mewujudkan ketertiban untuk kesejahteraan masyarakat, semuanya harus berlandaskan Hak Asasi Manusia yang bermula dan digali dari Pancasila dengan mengutamakan hak dan kewajiban guna mendatangkan keadilan untuk kedamaian (justice for peace) bagi seluruh masyarakat.

3. Dalam mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum belum berkeadilan dengan mewujudkan perlindungan hukum terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas hendaknya segera

(30)

xxx

dilakukan penyempurnaan regulasi dengan melakukan rekonstruksi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terkait perbuatan menghalang- halangi, membubarkan atau melakukan tindak kekerasan kepada setiap orang yang menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan baik untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu yang dilakukan tidak di tempat umum atau dilakukan di dalam lingkungan penganutnya masing-masing.

(1) Melakukan Judicial Review terkait Frasa “dimuka umum” pada Pasal 300 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP agar frasa tersebut dapat dihilangkan, karena setiap orang akan sendirinya terkena tindak pidana bila melakukan Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

(2) Menyatakan kebencian atau permusuhan atau;

(3) Menghasut untuk melakukan Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

C. Implikasi

Melalui rekonstruksi regulasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam menjamin perlakuan hukum berkeadilan dengan mewujudkan perlindungan hukum terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas.

(31)

xxxi

DAFTAR ISI

Halaman Cover… ... i LEMBAR PENGESAHAN ... ii KATA PENGANTAR ... iii STATEMENT OF ORIGINAL ... iv ABSTRAK ... v ABSTRACT ... vi RINGKASAN ... vii

SUMMARY ………

GLOSARIUM ………..

DAFTAR ISI ……….

SISTEMATIKA DISERTASI ……….

DAFTAR TABEL ……….

DAFTAR BAGIAN ………..

BAB I : PENDAHULUAN ...1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 13 C. Tujuan Penelitian ... 14 D. Kegunaan Penelitian ... 14 E. Kerangka Konseptual ... 15 F. Kerangka Teori ... 23 1. Teori Keadilan Bermartabat… ... 25 2. Teori Negara Hukum Pancasila ... 37 3. Teori Hak Asasi Manusia… ... 64 4. Teori Perlindungan Hukum ... 69 G. Kerangka Pemikiran ... 72 H. Orisinalitas Penelitian ... 72 I. Metode Penelitian ... 78 J. Sistematika Penulisan ... 84

BAB II : KAJIAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 86 A. Hak Asasi Manusia ... 86

(32)

xxxii

B. Prinsip Keadilan di Negara Hukum ... 106 C. Konsep Persamaan di Hadapan Hukum di Indonesia ... 108 D. Tipologi Kelompol Minoritas di Indonesia ... 116 E. Perlindungan Hukum Terhadap Kelompok Minoritas di

Indonesia… ... 117 BAB III : KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM

MENJAMIN PERLAKUAN HUKUM BELUM BERKEADILAN ... 132 A. Deskripsi Keberagamaan di Indonesia ... 132 B. Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ... 138 C. Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di

Indonesia ... 141 D. Kasus Hukum Terkait Perlindungan Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan Dalam Menjamin Perlakuan Hukum... 149 E. Kasus Yayasan Abu Dzar Al-Ghifari ... 175

BAB IV : REGULASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

DALAM MENJAMIN PERLAKUAN

HUKUM ... 189 A. Jaminan Konstitusi Nasional atas Kebebasan Beragama dan

Berkeyakinan……….. 189

B. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Sebagai Hak Asasi Manusia ... 197 C. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi ... 225 D. Kelemahan Regulasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Dalam Menjamin Perlakuan Hukum ... 250

BAB V : REKONSTRUKSI REGULASI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DALAM MENJAMIN PERLAKUAN HUKUM BERKEADILAN ... 259 A. Nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 Terhadap Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan ... 259

(33)

xxxiii

B. Studi Perbandingan Berbagai Negara Mengenai Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ... 272 C. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Persfektif Hukum

Islam ... 282 D. Rekonstruksi Hukum Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Berbasis Nilai Keadilan ... 285 BAB VI : PENUTUP ... 298 A. Kesimpulan ... 298 B. Saran ... 300 C. Implikasi… ... 302

DAFTAR PUSTAKA ... 303

(34)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu permasalahan yang mencuat di penghujung abad ke dua puluh memasuki awal abad ke dua puluh satu yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, bisnis transnasional dan perdagangan bebas adalah perlindungan hak asasi manusia dengan penekanan pada upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan atau pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia yang objektif.

Hak asasi manusia adalah merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Hak ini bersifat universal dan abadi, oleh karena itu harus dihormati dan tidak diboleh diabaikan, dikurangi bahkan dirampas oleh siapapun. Prinsip-prinsip mendasar yang melandasi hukum hak asasi manusia modern telah ada sepanjang sejarah. Namun, sebagaimana secara umum sampai abad ini masyarakat internasional tidak menyadari akan penting dan perlunya mengembangkan standar minimal bagi perlakuan warga oleh pemerintahnya.

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Termasuk tentunya bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Negara hukum

(35)

2

yang menganut politik bebas aktif demi terwujudnya tatanan dunia yang damai dan bebas dari penindasan dan eksploitasi oleh negara terhadap negara lain.

Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki semua orang, kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar tetapi tidak pernah dapat dihapuskan.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, termasuk dalam hal agama dan keyakinan. Keberagaman agama dan keyakinan yang ada di masyarakat tidak selamanya mudah untuk diharmoniskan, karena ada kalanya hal tersebut justru menjadi pemicu terjadinya ketegangan antaranggota masyarakat.

Untuk merespons kemajemukan dalam masyarakat Indonesia, para tokoh pendiri bangsa telah menetapkan Pancasila menjadi falsafah negara yang dianggap paling sesuai sebagai pemersatu seluruh anggota masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Perumusan Pancasila sebagai dasar negara dilakukan oleh para tokoh pendiri bangsa yang sebagian besar beragama Islam. Hal yang demikian secara implisit menginformasikan bahwa Pancasila pada dasarnya tidak bertentangan, tapi sejalan dengan ajaran Islam.1

Sejalan hal tersebut di atas, semboyan Bhinneka Tunggal Ika lantas dipilih sebagai spirit pedoman yang mengingatkan dua hal penting kepada seluruh bangsa Indonesia, yaitu: pertama, bangsa Indonesia mengandung (memiliki) keberagaman di dalamnya (poin faktual sosial), dan kedua, untuk dapat menjadi suatu bangsa besar dan kuat, maka masyarakat

1 Ahmad, Relasi Agama Dengan Negara Dalam Pemikiran Islam (Studi atas konteks ke- Indonesiaan), Jurnal Millah, Volume 10 Nomor 2, 2011, hlm 278.

(36)

3

Indonesia yang beragam itu harus mampu bersatu serta merasa saling senasib sepenanggungan (poin nasionalisme).2 Selain Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dalam level yang lebih konkret telah terdapat juga jaminan dalam bentuk pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 bagi keberagaman dalam masyarakat Indonesia, termasuk dalam hal agama dan keyakinan.3

Berdasarkan konstitusi, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ialah negara berdasar atas hukum sehingga penyelenggara negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak memperoleh keadilan. Kewajiban adalah bagian dari komitmen negara menjunjung tinggi supremasi hukum sehingga keadilan dapat tercapai.

Hukum, adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai masyarakat, tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Dan masyarakat mempunyai pelbagai kepentingan beraneka warna dan yang dapat menimbulkan bentrokan satu sama lain. Kalau bentrokan ini terjadi, maka masyarakat menjadi guncang dan kegucangan iniharus dihindari. Untuk itulah hukum menciptakan pelbagai hubungan tertentu dalam masyarakat.4

Dalam mengatur segala hubungan itu hukum bertujuan mengadakan suatu imbangan diantara pelbagai kepaentingan, jangan sampai suatu kepentingan terlantar atau terlanggar disamping suatu kepentingan lain yang terlaksana tujuannya seluruhnya. Keseimbangan hanya akan terjadi

2 Lestari, Bhinnekha Tunggal Ika : Khasanah multikultural Indonesia di tengah kehidupan SARA, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Volume 28 Nomor 1, 2015, hlm 35.

3 Kadarudin. Legal Guarantees & Inconsistency of State Recognition to the Right of Religion/Belief in Indonesia. Hasanuddin Law Review, Volume 1 Nomor 1, 2015, hlm 8.

4 Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1999, hlm 14.

(37)

4

apabila hukum yang mengaturnya itu dilaksanakan, dihormati, tidak dilanggar. Sedangkan pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang atau oleh suatu badan hukum yang dibuktikan oleh seorang penuntut umum adalah unsur-unsur yang ada dalam perumusan tidak pidana yang disangkakan.

Hak memperoleh keadilan adalah hak asasi manusia untuk memastikan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak setiap orang untuk sama, setara dan bermartabat dihadapan hukum. Hak memperoleh keadilan memiliki posisi yang esensial dalam upaya merealisasikan hak asasi lainnya, yang telah diakui dan dijamin berbagai instrumen hak asasi manusia internasional dan nasional. Penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak memperoleh keadilan merupakan kunci mewujudkan Sila Kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Sila Kelima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dalam hal ini norma-norma hukum yang memberi perlindungan bagi warga negara untuk menganut agamanya diatur di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 29,dan Pasal 31, yang mana keberadaannya dimaksudkan untuk menjamin sekaligus menjaga agar keberagaman agama dan keyakinan dalam masyarakat Indonesia dapat berjalan harmonis.5

Jaminan secara konstitusional melalui pasal-pasal dalam UUD NRI 1945 diterjemahkan ke dalam produk hukum (peraturan perundang-undangan) yang lebih rinci, seperti melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012

5 Abdullah dan Wijaya, Problem Keadilan Bermazhab di Indonesia, Lentera Hukum Indonesia, Jakarta , 2014, hlm 67.

(38)

5

tentang Penanganan Konflik Sosial, yang juga memberikan perhatian terhadap kemungkinan munculnya persoalan berkaitan dengan agama dan keyakinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tersebut memandang persoalan agama sebagai salah satu potensi konflik, baik melalui perseteruan antar umat beragama maupun interumat beragama.

Memang dalam praktiknya, hidup yang harmonis dalam keberagaman merupakan hal yang tidak mudah untuk diwujudkan dalam masyarakat Indonesia, walaupun sudah ada Pancasila dan UUD NRI 1945.

Salah satu isu hak asasi manusia yang paling problematik di Indonesia belakangan ini adalah soal hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah. Dulu negeri ini sering dianggap sebagai negeri yang plural dan toleran, tapi kini negeri ini diwarnai dengan ketegangan antar komunitas agama atau keyakinan, khususnya menyangkut tekanan dan serangan terhadap kelompok minoritas keyakinan atau agama.

Dalam beberapa tahun belakangan ini isu hak atas berkeyakinan, beragama dan beribadah semakin genting dengan eskalasi kekerasan yang secara kuantitatif dan kualitatif meningkat bahkan hingga berujung pada jatuhnya korban jiwa. Hal ini bisa dilihat pada serangan terhadap komunitas keyakinan atau agama minoritas, upaya pembatasan dan pelarangan pembangunan tempat ibadat, atau aktivitas beribadat kelompok minoritas dengan berbagai bentuk mulai dari ancaman verbal atau tertulis hingga jatuhnya korban jiwa.6

6 Temuan Kontras menunjukkan kekerasan dan serangan terhadap kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadat terus meningkat di tahun-tahun belakangan ini, Janji Tanpa Bukti; Kontras, Catatan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 2010, Jakarta, 2011, hlm 32. Kecenderungan serupa ditemui dalam laporan lain, seperti: Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, Negara Menyangkal; Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Setara Institute, Jakarta, 2011; Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta, 2010; Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Indonesia 2010, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center For Religious And Cross-cultural Studies), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Januari 2011.

(39)

6

Problem meningkatnya intoleransi dan kekerasan terhadap hak berkeyakinan, beragama, dan beribadah ini juga mengundang keprihatinan komunitas internasional baik dari organisasi hak asasi manusia internasional maupun wakil pemerintah negara lain mengingat dalih diplomasi Indonesia di forum-forum internasional selama ini yang selalu membanggakan praktik pluralisme dan toleransi beragama di tingkat domestik.

Masalah hak berkeyakinan, beragama, dan beribadah yang ditandai oleh radikalisasi sentimen agama dan kebencian terhadap kelompok minoritas agama tidak bisa dipungkiri merupakan hasil turunan dari kebijakan politik negara yang ambigu. Yakni saat negara di satu sisi menerapkan berbagai kebijakan formal, termasuk konstitusi dan undang-undang di level nasional yang pro hak asasi manusia sebagai buah gerakan reformasi,7 tapi, di sisi lain, pemerintah pusat nampak gamang ketika terdapat kebijakan turunan

7 Amandemen II Konstitusi Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28E jelas mengakui hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah yang bahkan ditegaskan (Pasal 28I) sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights ); Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengakui hal serupa. Selain itu, paska Orde Baru, Indonesia juga aktif meratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia internasional pokok, seperti : Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR (ratifikasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005); Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya/IESCR (ratifikasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005); Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial/ICERD (ratifikasi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999); Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW (ratifikasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984); Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia/CAT (ratifikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998); dan Konvensi Hak-Hak Anak/CRC (ratifikasi Keppres Nomor 36 Tahun 1990).

(40)

7

atau kebijakan lokal yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kebebasan berkeyakinan, beragama dan beribadah.8 Kebijakan politik pusat tentang hak berkeyakinan kebebasan beragama/berkeyakinan yang tidak tegas ini kemudian mendorong berbagai kepentingan politik untuk terus-menerus melakukan manuver politik dengan menggunakan sentimen agama, khususnya seruan atau hasutan yang bisa memprovokasi serangan terhadap kelompok minoritas keyakinan.

Eskalasi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok vigilante dengan mengatasnamakan agama menimbulkan rasa intoleransi di antar masyarakat. Bahkan, yang tak terduga sebelumnya, para aktor dari kelompok vigilante bisa bertransformasi menjadi pelaku terorisme dengan menjadikan aparat kepolisian sebagai sasaran karena dilabeli sebagai kafir dan zalim (thaghut).9

8 Kebijakan legal terkait pembatasan hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadat terletak di berbagai level, antara lain : di tingkatan undang-undang nasional terdapat Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama; di tingkatan peraturan Menteri ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, Surat Peraturan Bersama (SPB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah; di tingkatan lokal terdapat Peraturan Daerah (Perda) dan bahkan Peraturan atau SK Gubernur/Bupat yang sangat membatasi hak atas berkeyakinan, beragama, dan beribadah, padahal jelas aturan- aturan lokal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak memberikan kewenangan daerah untuk urusan agama (Pasal 10 ayat (3) f).

9 Selama ini terdapat pemahaman bahwa kelompok garis keras (vigilante) Islam yang sering melakukan aksi kekerasan seperti sweeping miras di tempat-tempat hiburan dan penutupan rumah ibadat bisa dibedakan dengan kelompok teroris yang bekerja lewat aksi pengeboman atau dengan senjata api lain. Kelompok pertama bekerja secara terbuka, sementara kelompok kedua bekerja di bawah tanah. Kasus bom bunuh diri di Cirebon, Jawa Barat dan di Solo, Jawa Tengah, menunjukkan adanya relasi dan transformasi bentuk dari kelompok pertama ke kelompok kedua. International Crisis Group, From Vigilantism to Terrorism in Cirebon, Asia Briefing Nomor 132, Jakarta/Brussel, Januari 2012, hlm 1 dan 12.

(41)

8

Dalam rangka mewujudkan hukum pidana nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai wujud penyesuaian dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjunjung hak asasi manusia.

UU Nomor 1 tahun 2023 tersebut berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan atau 3 (tiga) tahun setelah tanggal 2 Januari 2023. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana atau KUHP merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiel di Indonesia. Pengesahan KUHP melalui UU No.1 Tahun 2023 tersebut sekaligus untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht atau yang juga disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah.

Secara keseluruhan perbedaan yang mendasar antara Wetboek van Strafrecht dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 adalah filosofi yang mendasari dibentuknya Wetboek van Strafrecht dilandasi oleh pemikiran aliran klasik yang berkembang pada Abad ke-18 yang memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau Tindak Pidana.

(42)

9

Sedangkan UU No. 1 Tahun 2023 mendasarkan diri pada pemikiran aliran neo-klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/ batiniah/ sikap batin).

UU 1/2023 tentang KUHP terdiri atas 2 (dua) buku yakni Buku Kesatu dan Buku Kedua. Buku Kesatu berisi aturan umum sebagai pedoman bagi penerapan Buku Kedua serta Undang-Undang di luar UU 1/2023, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang sehingga Buku Kesatu juga menjadi dasar bagi Undang-Undang di luar Undang-Undang No. 1 Tahun 2023.

Dalam perkembangannya, pembaruan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 mengacu pada 4 (empat) misi antara lain:

1. rekodifikasi hukum pidana;

2. demokratisasi hukum pidana;

3. konsolidasi hukum pidana; serta

4. adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus pada Bab VII mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau

(43)

10

Kepercayaan. Terdiri dari Pasal 300 berbunyi: “Setiap Orang Di Muka Umum yang”:

a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan;

b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau

c. menghasut untuk melakukan Kekerasan, atau diskriminasi,

terhadap agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 301 berbunyi: “(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, atau memperdengarkan suatu rekaman, termasuk menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300, dengan maksud agar isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (kategori V denda sebanyak Rp.

500.000.000,00); (2) Jika Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan Tindak Pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

(44)

11

86 huruf f (Pasal 86 berbunyi: “pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a dapat berupa huruf g berbunyi “hak menjalankan profesi tertentu”. Sedangkan Pasal 66 ayat (1) huruf a berbunyi “pencabutan hak tertentu).

Pasal 302 berbunyi:” (1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menghasut dengan maksud agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (pidana dengan denda sebesar Rp. 50.000.000,00); (2) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (pidana dengan denda sebesar Rp. 200.000.000,00).

Bagian Kedua, Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama atau Kepercayaan dan Sarana Ibadah, Pasal 303 berbunyi: “(1) Setiap Orang yang membuat gaduh di dekat tempat untuk menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (pidana dengan denda sebesar Rp. 1.000.000,00); (2) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III; (3) Setiap Orang yang

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini adalah hasil penelitian studi pustaka dengan judul “Kebebasan Beragama Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia (Studi Tentang Ratiolegis Hukum Riddah) yang

Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No

“Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama, hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama

manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Mafhum mukhalafah dari pasal ini dapat berarti negara menjamin agar kemerdekaan dan kebebasan

Dengan demikian, Indonesia adalah ne- gara yang menggunakan paradigma relativisme budaya ( cultural relativism ) dalam penerapan hak kebebasan berkeyakinan dan beragama,

Tulisan ini menyimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk Jemaat Ahmadiyah Indonesia diatur dalam Undang-undang Dasar Negara

Pengaturan Negara dalam kehidupan beragama semata – mata dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga Negara, bukan bentuk intervensi terhadap kebebasan

Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights) dalam keadaan apapun dan oleh siapapun meliputi; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,