Resensi: Sekolah Itu Candu
... “Sungguh, saya tak paham mengapa menjadi petani dan hidup di desa dianggap sesuatu yang perlu dihindari, bahkan dijauhi?” begitu ungkapan seorang pemuda lulusan STM jurusan Teknik Elektro yang pulang kampung menjadi petani. Karena memang kurikulum pendidikan nasional tidak menganggap kearifan lokal sebagai potensi.
Berbeda dengan keprihatinan sebelumnya, Roem mengungkapkan keheranannya pada sistem pendidikan di sekolah yang —saat itu— memilih gengsi mengakui keberadaan anak berbakat atau yang memiliki inisiatif di atas rata-rata dengan cara mengeluarkannya dari sekolah, atau secara sistemik bersepakat menolak menerima murid berbakat di bab 11; Sekolah itu Candu. Padahal di satu sisi, masyarakat menyayangkan peristiwa diskriminatif semacam itu. Tetapi apapun itu, institusi pendidikan —para guru dan para pejabat resmi pendidikan— seolah yang paling benar dan berkuasa. Segala macam aturan yang mereka bikin dalam pengelolaan sekolah bisa saja salah. Tapi, sekolah itu sendiri sebagai suatu sistem dan lembaga masyarakat? Tidak!
Bab 12 mengangkat komparasi yang terjadi di Indonesia ketika anak Indonesia memenangi olimpiade sains di luar negeri relatif sepi pemberitaan dan apresiasi dibandingkan masifnya apresiasi terhadap putra daerah yang mengikuti kompetisi bakat, bahkan pejabat pemerintah daerah pun ikut berkampanye menyokong eksistensi ‘anak’ daerahnya. Kultur kehidupan bernegara kita seolah meniadakan tahap proses yang bernilai dan lebih cenderung memakmurkan jalan pintas untuk mencapai ketenaran dan kejayaan. Oleh karenanya, bab ini diberi judul Selamat Tinggal, Sekolah.
Benjamin S. Bloom; seorang pakar psikologi pendidikan; mengungkapkan, bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah —taksonomi pendidikan, yakni membentuk watak dan sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), dan melatihkan keterampilan (psychomotoric atau conative domain). Tetapi kenyataannya, banyak sarjana lulusan sekolah tertinggi sekarang lantas larut jadi koruptor dan tukang peras rakyat kecil, lulusan sekolah seni jadi atlet, sarjana ekonomi bekerja jadi guru bahasa, sarjana keguruan jadi kasir, dan semacamnya. Lantas untuk apa semua bengkel dan laboratorium sekolah yang mahal-mahal itu jika output-nya tak sesuai ekspektasi? Oleh sebab itu, Everett Reimer berkesimpulan: “Sekolah Sudah Mati!”. Dan ini dibahas dalam bab 13.
Bab 14 tentang Sekolah: dari Analogi ke Alternatif
“Sekolah, bukanlah dan tak boleh menjadi ‘menara gading’.” —Jose Ortega y Gasset
“Sekolah... pertama kali harus memenuhi janji atas ‘kontraknya’ dengan masyarakat.” —Derek Bok
“Sekolah, mestinya seperti oasis.” —Gene Bylinsky
“Sekolah adalah... rancangan cetak-biru masyarakat dengan masa depan.” —Clark Kerr
“Sekolah itu... kebun.” —Julius Kambarage Nyerere
“Sekolah itu... taman.” —Ki Hadjar Dewantoro
Terakhir, pernahkah teman-teman berkesempatan menjadi guru mengaji di rumah? Pesertanya biasanya anak-anak dari usia Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah. Sore atau petang hari mereka mengaji bersama-sama. Ada emosi (empati) saat di antara mereka ada yang sulit memahami cara membaca, sering lupa dengan beberapa huruf hijaiyah. Atau hari ini mereka bisa, pertemuan
berikutnya mereka lupa pelajaran yang lalu. Ada kesal bercampur kepedulian. Ada usaha coba-coba untuk mencari metode mengajar agar kompetensi yang kita kehendaki menjadi mudah mereka pahami. Ada kepuasan serta rasa syukur tersendiri ketika Alloh mudahkan mereka memahami apa yang kita ajarkan. Nah, semacam itulah kiranya apa yang dimaksud dengan “sekolah” di Yunani kala itu; di waktu senggang, tanpa penentuan kompetensi dasar apa yang harus mereka kuasai secara seragam, dan tak dibatasi dengan rentang waktu untuk penyelesaiannya.
Buku ini berlatar belakang tahun 2222, menampilkan tokoh Sukandal, seorang petani yang tanpa sengaja menemukan satu naskah tua di Museum Bank Naskah Nasional yang diberi label amaran resmi sebagai “Bacaan Terlarang”.
“Buku kecil Roem ini memang dapat digolongkan sebagai bacaan subversif, karena jelas-jelas menggugat kemapanan sistem pendidikan yang berlangsung di republik ini sejak lebih dari dua dasawarsa lalu.” —Roy Tjiong; Ketua Dewan Pengawas Insist periode 2005-2008. »»» lihat selengkapnya https://warung-arsip.blogspot.com/2023/06/resensi-sekolah-itu-candu.html