Resensi: Sekolah Itu Candu
...Bab 7 berjudul Sekolah Anak-anak Laut.
Bercerita tentang kehidupan anak-anak Bajo. Di mana fasilitas belajar di sana sangat terbatas dan akses menuju sekolah pun tidak mudah. Meski begitu, sanksi yang dikenakan oleh guru terhadap anak-anak yang tidak amanah dalam melayani tugas guru — karena memfasilitasi guru dengan sampan dan semacamnya menjadi peraturan sepihak kepada murid
— bukan menyiutkan nyali mereka. Bahkan mereka sangat menikmati sanksi tersebut —digambarkan ketika sanksi itu berupa menyetor ikan segar kepada guru— di lautan Banda. Dari sana, muncul pertanyaan mendalam, “apakah sekolah bagi mereka, dan apakah mereka bagi sekolah?” (hlm. 57).
Bab 8 bertajuk Robohnya Sekolah Rakyat Kami berkisah tentang keresahan atas pergeseran budaya sekolah yang pada masa lalu memiliki tradisi aktivitas yang kental kultur sosial —gotong royong— yang lekat dengan budaya masyarakat bawah menjadi aktivitas sosial formalitas saja atas nama dan dengan label-label ‘demi pembangunan, industrialisasi, modernisasi, dan globalisasi’.
Sehingga keberadaan sekolah —menurut Paulo Freire— ibarat ‘mencerabut khalayak dari akarnya’;
Sekolah Rakyat.
Ungkapan kekesalan Roem sepertinya terwakili di bab 9 tentang Involusi Sekolah. Tak seperti bab- bab lainnya, kali ini bahasan terkait involusi sekolah tak diilustrasikan dengan hal-hal berbau kelucuan sama sekali.
Involusi memiliki makna proses kembalinya suatu organ ke ukuran semula. Jadi, upaya mengubah sistem pendidikan secara kualitatif dengan hanya mengulang-ulang pola yang telah ada —meskipun dengan cara yang baru dan lebih maju, maka ia disebut “involusi sekolah”.
Upaya pembaruan sistem pendidikan nasional di Indonesia yang menggunakan dalih pendekatan analisis sistem —menuruti sabda Clarence Beeby— bukannya makin menyederhanakan, tapi malah makin membuat kusut tak terdeteksi lagi pangkal-ujungnya. Seperti ketika sekolah sudah menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal ternyata peserta didik mendapat nilai ulangan akhir di bawah KKM, diambil langkah manipulatif dengan cara mengatrol nilai demi citra sekolah. Tapi jika penerapannya dalam upaya pembaruan pendidikan di Indonesia tidak membawa hasil yang diharapkan, maka hanya tersisa satu kemungkinan, yakni sistemnya bermasalah.
Ada semacam ‘keengganan ideologis’ campur ‘kemalasan intelektual’ dan ‘kebanggaan semu budaya’ untuk mengubah kemapanan batasan-batasan baku yang sudah ada (hlm. 80).
Bab 10 memotret kehidupan sekolah di pelosok. Dengan judul Jalan Sekolah, bab ini mengangkat fenomena urgensitas sekolah. Di mana sepenting-pentingnya kehadiran sekolah, kebutuhan masyarakat pelosok hanya sebatas dapat membaca dan menulis.
Masyarakat pelosok merasa lucu ketika dihadapkan dengan pertanyaan, “Apakah sekolah memang begitu menentukan hidup mereka?” Sebab bagi mereka, jika sekolah tidak mampu membantu memecahkan masalah di kampung yang telah berlangsung bertahun-tahun, untuk apa mereka bersekolah?
Dan jika keberadaan sekolah malah mencerabut kenyataan sosial, seperti muncul budaya malu menjadi petani setelah lulus kuliah, untuk apa bersekolah? »»» lihat selengkapnya https://warung- arsip.blogspot.com/2023/06/resensi-sekolah-itu-candu.html