Offshore Financial Centres Sebagai
Sarana Pencucian Uang
Offshore Financial Centers as a Vehicle For Money Laundering
TRADE BASED MONEY LAUNDERING (TBML),
Aliran Dana Gelap pada Transaksi Perdagangan
TRADE-BASED MONEY LAUNDERING (TBML), The flow of illicit funds in trading
transactions
Inklusi Keuangan dan Ekonomi Bayangan:
Sudut Pandang Indonesia
Financial Inclusion and the Shadow
Economy: Indonesia’s Perspective
SUSUNAN REDAKSI IFII MAGAZINE
IFII Magazine Editorial Team
PENANGGUNGJAWAB/
Person in Charge:Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan APU PPT PPATK/
Head of Indonesian Financial Intelligence Institute (IFII)
PIMPINAN REDAKSI/
Editor in Chief:Koordinator Penyelenggaraan Diklat/
Training Coordinator
KONTRIBUTOR/
Contributors:Diana Soraya Noor Dimas Kenn Syahrir Budi Saiful Haris Citra Cahyaning Dedi Kurniawan Eko Susilo
Gilang Praharstyantoro Ellya Sulistiyani Nadia Safitri Arif Mulyana Hilmy Bramantyo Indri Hapsari
Bambang Hadi Purnomo Windy Septianti Abid Zusriha Hasan Mulyana
R.I.A. Tandjungpura Ratiya Primanita Dewi Yulianti
EDITOR:
Fathan Luthfi Novantoni Maya Dikiria M. Miftah Farid
TATA LETAK/
Layout:Rama
FOTOGRAFER/
Photographer:Ali Imron
ALAMAT REDAKSI/
Publisher Address:PUSDIKLAT APU PPT
Indonesian Financial Intelligence Institute (IFII) Jl. Raya Tapos Nomor 82
Kelurahan Cimpaeun, Kecamatan Tapos, Kota Depok Jawa Barat 16459
Telepon: 021 8750144
Website: https://pusdiklat-apuppt.ppatk.go.id email: [email protected] facebook:pusdiklatapuppt
IG: pusdiklat_apuppt Twitter : @pusdiklatapuppt
SALAM REDAKSI
Edisi IFII Magazine kali ini mengangkat tema mengenai Tantangan Menghadapi Kejahatan Ekonomi. Tema ini relevan dengan persoalan-persoalan tentang kejahatan ekonomi yang dihadapi saat ini. Kejahatan ekonomi, sesuai namanya adalah kejahatan yang bermotifkan ekonomi dimana pelaku tindak pidana melakukan tindak kejahatan untuk mendapatkan
‘keuntungan’ ekonomi melalui cara-cara yang tidak sah. Di satu sisi, kejahatan ekonomi menunjukkan tipologi yang semakin kompleks dan terorganisir. Dengan berbagai kemudahan teknologi yang tersedia, kejahatan ekonomi menjadi semakin masif dilihat dari skala dan tentu saja nilai kejahatannya. Di samping memang ruang lingkup kejahatannya yang sangat luas. Di sisi lain, upaya-upaya penanganannya dinilai masih belum mampu mengatasi persoalannya secara mendasar dan sistemik. Upaya-upaya pencegahan dan penegakan hukumnya tampak berjalan lebih lambat dari eskalasi kejahatan ekonomi itu sendiri.
Lalu apa kaitannya antara kejahatan ekonomi dengan pencucian uang? Kejahatan ekonomi memiliki hubungan yang erat dengan pencucian uang. Uang atau harta hasil kejahatan ekonomi tersebut biasanya disamarkan sehingga seolah-olah uang atau harta tersebut didapatkan dari sumber-sumber yang legal. Sangat jarang ditemukan hasil kejahatan ekonomi yang tidak bersinggungan dengan pencucian uang. Instrumen ataupun tipologi yang digunakan juga sangat variatif. Trade-based money laundering (TBML) – salah satu tulisan dalam edisi ini – merupakan suatu bentuk kejahatan ekonomi yang sarat dengan pencucian uang dengan menggunakan transaksi perdagangan. Tulisan lain yang menyoroti kejahatan ekonomi dalam edisi ini antara lain mengulas keberadaan offshore financial centre yang menyediakan ‘fasilitas’ bagi pelaku pencucian uang, korupsi dan potensi kerugian negara di sektor kehutanan, fenomena monkey business.
Tulisan-tulisan lain melengkapi daftar bacaan sidang pembaca dengan kupasan mengenai pendanaan terorisme, pengawasan kepatuhan, keamanan sistem informasi, pengendalian gratifikasi, pengendalian internal, peran kearsipan dan lain-lain. Selamat membaca!
EDITORIAL
This edition of IFII Magazine raises the theme of challenges in facing economic crime.
This theme is relevant to the current issue of economic crimes. Economic crime, as the name implies, is an economic-motivated crime in which criminals commit crimes to gain economic ‘profits’ through illegal means. On the one hand, economic crimes show an increasingly complex and organized typology. With various technological facilities available, economic crimes are becoming more massive in terms of the scale and value, as well as the scope. On the other hand, the efforts to deal with it are considered incapable of overcoming the issues in a fundamental and systemic way.
Efforts to prevent it and enforce the law seem to be running slower than the escalation of economic crime itself.
Hence, what is the relationship between economic crimes and money laundering?
Economic crimes are closely related to money laundering. Money or property resulting from economic crimes is usually disguised as if the money or property was obtained from legal sources. It is very rare to find the proceeds of economic crimes that are not related to money laundering. The instruments or typologies used are also very varied.
Trade-based money laundering (TBML) – one of the articles in this edition – is a form of money laundering-laden economic crimes. Other articles that highlight economic crimes in this edition include those reviewing the existence of offshore financial centers that provide ‘facilities’ for perpetrators of money laundering, corruption and potential state losses in the forestry sector, and the monkey business phenomenon.
Other articles complete the reading list for the readership by discussing the financing of terrorism, compliance supervision, information system security, gratification control, internal control, archiving role and others. Happy reading!
DAFTAR ISI | TABLE OF CONTENT
Pelantikan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Periode 2021-2026
The Inauguration of the Head of INTRAC for the Period of 2021-2026
TRADE BASED MONEY LAUNDERING (TBML), Aliran dana gelap pada transaksi perdagangan
TRADE-BASED MONEY LAUNDERING (TBML), The flow of illicit funds in trading transactions
Tantangan Dan Jawaban: Pencucian Uang Dengan Modus Perdagangan (Trade Based Money Laundering)
Challenges and Responses: Trade-Based Money Laundering
Offshore Financial Centres Sebagai Sarana Pencucian Uang
Offshore Financial Centers as a Vehicle For Money Laundering
Apa Kabar Hutan Indonesia?
What’s Up Indonesia’s Forests?
4
8
12
18
22
26
30
34 38 42
Monstera Variegiata: Fenomena Monkey Business Dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Monstera Variegiata: A Monkey Business Phenomenon and The Money Laundering
Inklusi Keuangan dan Ekonomi Bayangan: Sudut Pandang Indonesia
Financial Inclusion and the Shadow Economy:
Indonesia’s Perspective
Menelisik Metamorfosis Pendanaan Teroris
Delving into the Metamorphosis of Terrorist Financing
Kepatuhan Bank dalam Era Pengaturan Principle Based
Bank Compliance in the Era of Principle-Based Regulation
Sepak Terjang Kerja Sama Dalam Negeri PPATK
INTRAC’s Domestic Cooperation Track Record
4
8
12
26 18
22
30
34
38
42
44 46 50 53
58
62 64
70 74
Kesadaran Keamanan Sistem Informasi di Lingkungan PPATK
Information System Security Awareness Within the Intrac
Tamparan Selop Diponegoro
Diponegoro’s Slipper Slap
Nanti Kita Cerita Tentang Gratifikasi
We’ll Tell A Story About Gratuities Later
Sinergi APIP dan Pengawas Non APIP dalam Pengawalan Anggaran Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional
Synergy of APIP and Non-APIP Supervisoryto Supervise the Covid-19 Budget and National Economic Recovery
Efektivitas Pengendalian Intern untuk Mewujudkan Penyajian Laporan Keuangan yang Andal
Effectiveness of Internal Control to Realize Reliable Presentation of Financial Statements
Peran Arsiparis dalam Pencegahan dan Pemberantasan TPPU-PT
The Role of Archivists in the Prevention and Eradiction AML/CFT
Perpustakaan PPATK di Tengah Tuntutan Profesionalisme di Masa Kini dan Masa Depan
I
NTRAC Library amidst Professionalism Demands in the Present and FutureMenjaga Kesehatan di Era Pandemi COVID19
Maintaining Health in the Era of the COVID19 Pandemic
Temukan Spark Joy Dari Hobi Menjahit
Find The Spark of Joy From Sewing Hobbies
44 58 64
70
74 62
46
50
LAPORAN KEUANGAN
Tingkat K/L Tahun Anggaran
(Audited)
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
PELANTIKAN KEPALA PPATK | HEAD OF PPATK INAUGURATION
Lukas/Biro Pers Sekretariat Presiden
Pelantikan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Periode 2021-2026
The Inauguration of the Head of INTRAC for the Period of 2021-2026
R.I.A. Tandjungpura
P
residen Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo resmi melantik Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode tahun 2021-2026, Dr. Ivan Yustiavandana S.H, L.L.M. Pelantikan yang disaksikan oleh Wakil Presiden RI, Ketua MPR, Menteri Keuangan, Menteri Luar Negeri, Sekretaris Kabinet, Gubernur Bank Indonesia, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri dan Sekretaris Utama PPATK ini diselenggarakan di Istana Negara, Jakarta, Senin, 25 Oktober 2021. Dr. Ivan Yustiavandana S.H, L.L.M. akan menggantikan posisi Kepala PPATK periode tahun 2020-2021, Dr. Dian Ediana Rae S.H, L.L.M..Bapak Ivan Yustiavandana bukanlah sosok yang asing di lingkungan PPATK. Ia telah bergabung dan berkontribusi sejak tahun 2006, dan pernah menjabat antara lain sebagai Ketua Kelompok Riset dan Analis Non Bank, dan dilanjutkan sebagai Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan. Jabatan terakhirnya adalah Deputi Bidang Pemberantasan yang ia emban sejak Agustus 2021. Ia merupakan Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada dengan predikat cum laude, dan meraih gelar Master of Laws (LL.M) dari Washington College of Law, Washington DC, Amerika Serikat.
Selama di PPATK, ia mengomandani pelaksanaan fungsi PPATK dalam memproduksi Hasil Analisis, Hasil Pemeriksaan, dan Riset Strategis di bidang anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APUPPT). Ia menjadi koordinator yang memimpin dan mengarahkan penyusunan National Risk 2 Assessment on Money Laundering (NRA- ML) dan National Risk Assessment on Terrorist Financing (NRA-TF), Financial Integrity Rating (FIR), Indeks Efektivitas Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT, hingga Indeks Persepsi Publik terkait Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan TPPT.
Di lingkup regional dan internasional, ia aktif dalam Financial Intelligence Consultative Group (FICG), AntiMoney Laundering/Counter-Terrorist Financing Work Stream di kawasan ASEAN, Australia, dan Selandia Baru.
Bapak Ivan Yustiavandana akan memimpin PPATK hingga tahun 2026 dan akan dihadapkan langsung dengan sejumlah agenda strategis PPATK.
Beberapa diantaranya adalah membawa Indonesia
T
h e P r e s i d e n t o f t h e R e p u b l i c o f I n d o n e s i a , I r. H . J o ko W i d o d o officially inaugurated the Head of the Indonesian Financial Transaction R e p o r t s a n d A n a l y s i s C e n t e r (INTRAC) for the period of 2021-2026, Dr. Ivan Yustiavandana S.H, L.L.M. The inauguration was witnessed by the Vice President of the Republic of Indonesia, Chairman of the MPR, Minister of Finance, Minister of Foreign Affairs, Cabinet Secretary, Governor of Bank Indonesia, Secretary General of the Ministry of Foreign Affairs and Principal Secretary of INTRAC. Mr.Ivan Yustiavandana replacing the former head of INTRAC for the period of 2020-2021, Mr. Dian Ediana Rae.
Mr. Ivan Yustiavandana is no stranger to the INTRAC. He has been INTRAC employee since 2006, and has served, among others, as Chairman of the Non-Bank Research and Analyst Group, and continued as Director of Examination, Research and Development. His last position was Deputy for Eradication Affaris, which he has held since August 2021. He is a Doctor of Law from Gadjah Mada University with a cum laude predicate, and holds a Master of Laws (LL.M) degree from Washington College of Law, Washington DC, United States.
During his tenure at the INTRAC, he supervised the implementation of the INTRAC function in producing financial intelligence and strategic research in the field of anti-money laundering and the prevention of terrorism financing. He was the coordinator who led and directed the preparation of the National Risk Assessment on Money Laundering (NRA-ML) and the National Risk Assessment on Terrorist Financing (NRA-TF), Financial Integrity Rating (FIR), Effectiveness Index for the Prevention and Eradication of Money Laundering and Money Laundering. Public Perception Index related to the Prevention and Eradication of ML and TF. In regional and international forum, he is actively involved in the Financial Intelligence Consultative Group (FICG), Anti Money Laundering/
Counter-Terrorist Financing Work Stream in the ASEAN region, Australia and New Zealand.
Mr. Ivan Yustiavandana will lead INTRAC until 2026 and will directly dealing with a number of INTRAC’s strategic agendas. Some of them are to bring Indonesia successfully
sukses melewati proses Mutual Evaluation Review (MER) bersama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, menindaklanjuti hasil National Risk Assessment (NRA) Indonesia terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), serta Proliferasi Pendanaan Senjata Pemusnah Massal (PPSPM). Selain itu, berbagai agenda dalam rangka penguatan Rezim APUPPT seperti edukasi publik, peningkatan kerja sama dalam dan luar negeri, implementasi Strategi Nasional TPPU, dan sederet kerja strategis lainnya akan menjadi fokus kerja dari Kepala PPATK periode 2021- 2026.
Saat serah terima jabatan di Gedung PPATK, Kepala PPATK Bapak Ivan Yustiavandana mengatakan Keputusan Presiden RI atas penunjukkan pimpinan PPATK disaat injury time merupakan keputusan strategis untuk mencegah terjadinya vacuum of power di tubuh organisasi yang sangat vital, yang selalu hadir dalam memberikan kontribusi besar bagi tata kelola pemerintahan yang bersih, berwibawa, akuntabel dan berintegritas. ‘’ Saya mengucapkan terima kasih atas kerja keras dan kerja cerdas yang menjadi bagian pengabdian Pak Dian selama memimpin institusi ini menjadi lebih handal, kuat, dan mampu berkiprah di kancah internasional,’’ ujar Pak Ivan.
Sebagai salah satu bagian dari lembaga intelijen keuangan dunia, PPATK memiliki tanggung jawab dan tugas yang tidak mudah dilalui.
Melalui formasi pimpinan yang baru, muncul harapan masyarakat kepada PPATK untuk senantiasa menjaga Indonesia dari berbagai ancaman tindak kejahatan ekonomi yang semakin berkembang setiap waktu. PPATK juga memiliki peran strategis dalam menciptakan 3 sistem keuangan dan sistem perekonomian negara yang berintegritas dan mendukung penegakan hukum, melalui dukungan sinergi dan kolaborasi yang efektif oleh pemangku kepentingan dan seluruh komponen masyarakat.
through the Mutual Evaluation Review (MER) process together with all relevant stakeholders, following up on the results of Indonesia’s National Risk Assessment (NRA) related to Money Laundering, Terrorism Financing and Proliferation Financing. In addition, various agendas in the context of strengthening the AML/CFT Regime such as public education, increasing domestic and foreign cooperation, implementation of the National Money Laundering Strategy, and a series of other strategic matters which will be the focus of the working agenda of the Head of INTRAC for the period 2021-2026.
During the handover ceremony at the INTRAC office, the Head of Intrac Mr. Ivan Yustiavandana said that the Presidential Decree on the appointment of the head of INTRAC during injury time was a strategic decision to prevent the vacuum of power in a very vital organization, which is always present in making a major contribution in clean, authoritative and accountable governance.
“I would like to thank you for the hard work and smart work that has been part of Mr. Dian’s dedication while leading this institution to become more reliable, stronger, and able to take part in the international arena,” said Mr. Ivan.
As a part of the world’s financial intelligence institution, INTRAC has responsibilities and tasks that are not easy to pass. Through the formation of the new leadership, public hopes that INTRAC always protect Indonesia from various threats of economic crime that are growing all the time. INTRAC also has a strategic role in creating a national financial system and economic system with integrity and supporting law enforcement, through the support of effective synergy and collaboration by stakeholders and all society members.
PELANTIKAN KEPALA PPATK | HEAD OF PPATK INAUGURATION
M. MIFTAH FARID
F
inancial Action Task Force (FATF) melalui laporannya menyoroti besarnya potensi penyalahgunaan transaksi perdagangan internasional sebagai modus pencucian uang. Hal itu didasari oleh lemahnya perhatian dari otoritas terkait dalam hal pengawasan serta kompleksnya sistem perdagangan itu sendiri sehingga membuka celah baru bagi pelaku kejahatan dalam mengkonversi likuiditas illegal mereka menjadi tampak legal. Kasus besar seperti pendanaan terorisme, narkotika, perpajakan serta korupsi diduga selama beberapa tahun belakangan tak luput menggunakan sarana perdagangan internasional untuk memindahkan dan menyamarkan dana gelap tersebut.Dampaknya terhadap ekonomi formal tidak tanggung tanggung, antara lain seperti semakin berkembangnya shadow dan underground economy, arus modal illegal, dan berkurangnya pendapatan pajak. Hal ini tentunya memiliki pengaruh besar terhadap sektor paling rentan didalam tatanan sosial, yaitu masyarakat.
Menurut analisis Global Financial Integrity, dari 2005-2014, arus kas ilegal dari dan ke negara berkembang adalah sekitar 12-24% dari total perdagangan mereka. Tak tanggung tanggung potensi kerusakan yang timbul melalui penggunaan dana tersebut, lebih dari 6.6 triliun Dollar Amerika Serikat. Tidak terkecuali Indonesia sekalipun, tak luput dari aktivitas aliran dana illegal baik dalam bentuk capital flight ataupun pindahnya kekayaan warga negara ke luar negeri (transfer of wealth offshore).
Selama kurun waktu 1989-2017, aliran keuangan gelap terhadap enam komoditas ekspor unggulan Indonesia sebesar 142.07 miliar Dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp2000 triliun melalui skema TBML under/over invoicing1. Atas perputaran dana illegal tersebut LSM
TRADE BASED MONEY LAUNDERING (TBML),
Aliran Dana Gelap
pada Transaksi Perdagangan
TRADE-BASED MONEY LAUNDERING (TBML),
The Flow of Illicit Funds in Trading Transactions
Eko Susilo
T
he Financial Action Task Force (FATF) through its report highlighted the potential for abuse of international trade transactions as a mode of money laundering. This is based on the lack of attention of the relevant authorities in terms of supervision and the complexity of the trading system itself, thus opening up new opportunities for criminals to convert their illegal liquidity into a legal one. Such major cases as the financing of terrorism, narcotics, taxation and corruption for the past few years are suspected to have used international trade facilities to move and disguise the illicit funds.The impact on the formal economy is unmitigated, including the growing shadow and underground economy, illegal capital flows, and reduced tax revenues. This certainly has a major impact on the most vulnerable sector in the social order: namely society.
According to a Global Financial Integrity analysis, from 2005-2014 illegal cash flows to and from developing countries accounted for about 12-24% of their total trade. Unmitigated potential damage arising from the use of these funds was more than 6.6 trillion United States Dollars. Even Indonesia is no exception; it does not escape the activities of illegal flow of funds, either in terms of capital flights or transfer of wealth offshore.
During the period of 1989-2017, illicit financial flows to Indonesia’s six leading export commodities amounted to US$
142.07 billion or around IDR 2,000 trillion via the TBML under/
over invoicing scheme.1 Due to the illegal circulation of funds,
TRADE BASED MONEY LAUNDERING
Prakarsa mengestimasi Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak mencapai 11.1 miliar Dolar Amerika Serikat. Langkah konkret dan kerjasama lintas sektor pun telah diambil untuk mengatasi masalah ini. Otoritas seperti FATF, telah mengeluarkan berbagai pedoman dan indikator transaksi untuk membantu industri keuangan dalam memerangi pencucian uang melalui skema perdagangan.
TBML pada dasarnya tidak terlalu beda dengan kejahatan pencucian uang pada umumnya. Dalam prosesnya melibatkan tiga tahapan yaitu placement, layering dan integration. Namun apabila dicermati yang menjadikan TBML unik dari pencucian uang lainnya terletak pada variabel yang dipindahkan. Pada pencucian uang biasa, uang merupakan variable utama yang dipindahkan atau disamarkan. Sedangkan pada TBML movement of value yang direpresentasikan melalui trade of goods adalah elemen utamanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa TBML merupakan salah satu teknik dalam pencucian uang dimana skema perpindahan barang (flow of goods) digunakan untuk memindahkan nilai kekayaan hasil kejahatan (proceeds of crimes).
Teknik dasar TBML menurut FATF terbagi menjadi empat yakni under/over invoicing, double/multiple invoicing, over/under shipment dan falsely described goods. Lebih jauh FATF juga menjelaskan metode TBML yang jauh lebih kompleks dimana nilai atas hasil kejahatan dapat dipindahkan melewati batas jurisdiksi tanpa disertai adanya
the NGO Prakarsa estimates that Indonesia will lose potential tax revenues of up to US$11.1 billion. Concrete steps and cross-sectoral cooperation have also been taken to address this problem. Such authorities as the FATF have issued various guidelines and transaction indicators to assist the financial industry to combat money laundering via trading schemes.
TBML is basically not overly different from money laundering crimes in general. The process involves three stages: placement, layering and integration. However, looking closely, what makes TBML unique from other money laundering lies in the variables it transfers. In ordinary money laundering, money is the main variable transferred or disguised, while in TBML it is the movement of value represented through trade of goods that is the main element. Therefore, it can be concluded that TBML is one of the techniques in money laundering where the flow of goods scheme is used to transfer the value of proceeds of crimes.
According to the FATF, the basic TBML techniques are divided into four: under/over invoicing, double/multiple invoicing, over/under shipment and falsely described goods. Furthermore, the FATF also describes the TBML method which is much more complex where the value of the proceeds of crime can be transferred across jurisdictional
1 http://theprakarsa.org/mengungkap-aliran-keuangan-gelap-
komoditas-ekspor-unggulan-indonesia-besaran-dan-potensi-hilangnya- penerimaan-negara/
1 http://theprakarsa.org/mengungkap-aliran-keuangan-gelap-
komoditas-ekspor-unggulan-indonesia-besaran-dan-potensi-hilangnya- penerimaan-negara/
rekayasa ekspor/impor ataupun perpindahan dana yang dikenal dengan istilah Black Market Peso Exchange (BMPE).
Kecurangan TBML melibatkan modus berupa pemalsuan atas nilai, volume dan/atau jenis komoditas yang tercantum didalam faktur.
Berbeda dengan kegiatan penyelundupan dimana motif pelaku murni untuk memindahkan barang, pada TBML motif memindahkan nilai menjadi dasar atas praktek rekayasa faktur tersebut sehingga sejumlah besar uang dapat dengan mudah berpindah melintasi batas negara. Walaupun di banyak kasus, TBML bertujuan untuk mentransfer hasil kejahatan ke negara lain, namun terdapat kasus dimana hasil tindak pidana ditransfer kembali ke negara asal misalnya untuk kasus yang melibatkan pendanaan terror dan perpajakan.
TBML umumnya dianggap sebagai metodologi pencucian uang yang sangat kompleks. Aktivitasnya melibatkan banyak pihak serta melintasi batas sektoral dan batas jurisdiksi. Untuk membedakan TBML dengan transfer nilai (transfer value) dari aktivitas perdagangan internasional yang sah terkadang cukup sulit. TBML sering digabungkan dengan teknik pencucian uang umum lainnya, seperti layering transaksi keuangan, penggunaan perusahaan cangkang yang berada di luar negeri, penggunaan uang tunai dalam jumlah besar, dan sistem keuangan bawah tanah (underground financial systems).
Sedangkan dokumen yang digunakan sebagai pendukung aktivitas perdagangan dapat berupa dokumen asli maupun dokumen palsu.
Berbicara mengenai TBML erat kaitannya dengan peran perbankan sebagai intermediary dalam penyelesaian (settlements) pembayaran perdagangan internasional. Bank dalam hal ini memiliki dua peran yakni sebagai fasilitator pembayaran maupun sebagai pihak yang memitigasi risiko. Apabila bertindak sebagai fasilitator pembayaran, bank hanya menyediakan jasa/infrastruktur yang dimiliki seperti telegraphic transfer, jaringan cabang yang luas dan lain sebagainya untuk membantu importir melakukan pembayaran kepada eksportir.
Transaksi pembayaran seperti ini dikenal dengan istilah open account.
Menurut laporan Wolfberg Trade Finance Principle 2019, metode open account merupakan cara pembayaran paling umum pada skema perdagangan internasional dimana lebih dari 80% perdagangan internasional dilakukan melalui fasilitas open account. Tentunya hal ini menyulitkan pihak perbankan dalam memastikan kebenaran aktivitas perdagangan tersebut dikarenakan terbatasnya akses bank kedalam dokumen-dokumen pendukung transaksi perdagangan. Bank dalam hal ini tidak dalam kapasitas dan memiliki wewenang memastikan bahwa kegiatan ekspor-impor sungguh dilakukan. Namun demikian, bank masih dapat berperan terkait pemantauan transaksi nasabah dan pelaporan transaksi mencurigakan ke PPATK.
Peran bank yang kedua dalam trade finance adalah bank bertindak sebagai penyedia pembiayaan expor/impor serta sebagai pihak yang memitigasi risiko bagi eksportir dan importir. Transaksi umumnya menggunakan produk perbankan seperti Letter of Credit (L/C), SKBDN, SBLC, Bill collection financing, pembiayaan jangka pendek, dan produk lainnya. Seluruh produk tersebut masuk dalam kategori transaksi berdokumen (documentary trade transactions) dikarenakan sebagai syarat bank menyetujui permohonan pembiayaan, nasabah wajib menyampaikan dokumen lengkap terkait kegiatan exim mereka.
Pada jenis transaksi seperti ini bank dapat melakukan pemantauan transaksi secara lebih baik melalui informasi yang terdapat didalam dokumen tersebut. Sebagai contoh bank dapat memastikan bahwa
boundaries without any export/import manipulation or transfer of funds known as the Black Market Peso Exchange (BMPE).
TBML fraud involves the mode of falsification of the value, volume and/or type of commodity listed in the invoice. In contrast to smuggling activities where the perpetrator’s motive is purely to move goods, in TBML the motive of transferring value is the basis for the practice of manipulating the invoice so that large sums of money can easily move across national borders. Although in many cases TBML aims to transfer the proceeds of crime to other countries, there are cases where proceeds of crime are transferred back to the country of origin, for example for cases involving terrorism financing and taxation.
TBML is generally considered a very complex money laundering method. Its activities involve many parties and crosses sectors and jurisdictional boundaries. To distinguish TBML from transfer of value from legitimate international trade activities is sometimes quite difficult. TBML is often combined with other common money laundering techniques, such as layering of financial transactions, the use of shell companies located abroad, the use of large amounts of cash, and underground financial systems. Meanwhile, the documents used to support trading activities can be in the form of original documents or fake documents.
TBML is closely related to the role of banks as intermediaries in settlements of international trade payments. Banks in this case have two roles: as payment facilitators and as risk mitigation parties. When serving as a payment facilitator, the bank only provides services/infrastructure that it owns, such as telegraphic transfers, an extensive branch network, and so on, to assist importers in making payments to exporters. Payment transactions like this are known as open accounts.
According to the Wolfberg Trade Finance Principle 2019 report, the open account method is the most common payment method in international trade schemes where more than 80%
of international trade is made through an open account facility.
This certainly makes it difficult for banks to ensure the veracity of these trading activities due to the banks’ limited access to supporting documents for trade transactions. Banks in this case are not in the capacity and have no authority to ensure that the export-import activities are actually performed. However, banks can still play a role in monitoring customer transactions and reporting suspicious transactions to PPATK.
The second role of banks in trade finance is that banks serve as a provider of export/import financing as well as a party that mitigates risks for exporters and importers. Transactions generally use such banking products as Letter of Credit (L/C), Domestic Letter of Credit (SKBDN), Standby Letter of Credit (SBLC), Bill collection financing, short-term financing, and other products. All of these products are included in the category of documentary trade transactions since, as a condition for banks to approve financing applications, customers are required to submit complete documents related to their export-import activities. In this type of transaction, the bank can monitor the transaction better through the information contained in the document. For example, the bank can ensure that the goods
TRADE BASED MONEY LAUNDERING
barang sudah benar benar dikirim dengan adanya Bill of Lading (BoL) surat tanda terima barang yang telah dimuat dalam kapal oleh eksportir atau bank dapat membandingkan tujuan pengiriman barang di BoL dengan sumber pengiriman dana untuk memastikan kesesuaiannya.
Pemantauan transaksi melalui mekanisme documentary trade transactions memang lebih baik dibanding transaksi pada open account, namun bank melakukannya masih terbatas pada informasi yang tertera di dalam dokumen. Bank tidak dapat memastikan apakah jenis barang, kualitas dan jumlah yang tertera di dokumen L/C sesuai dengan yang dikirimkan. Untuk itu, memang diperlukan data pembanding yang berasal dari instansi lain seperti DJBC, Kemendag, perusahaan jasa ekspedisi dan pihak lain guna pemantauan yang lebih menyeluruh.
FATF sebagai lembaga antar pemerintah dalam memerangi pencucian uang telah mengeluarkan beberapa panduan agar bank dapat mendeteksi transaksi mencurigakan terkait TBML. Pedoman yang terbaru ialah TBML Risk Indicators yang dikeluarkan pada Maret 2021. FATF mengelompokkan indikator-indikator TBML menjadi beberapa kategori berdasarkan keterkaitannya yakni indikator terkait profil perusahaan maupun pengurus/pemegang sahamnya (structural risk indicators), indikator berdasarkan aktivitas perdagangan (trade activity risk indicators), indikator berdasarkan komoditas dan dokumen pendukungnya (trade document and commodity risk indicators), dan indikator yang mencakup aktivitas transaksinya (Account and transaction activity risk indicator).
Tantangan terbesar dalam memerangi TBML adalah banyaknya pihak yang terlibat didalam perdagangan internasional. Masing masing pihak tersebut memiliki data yang apabila tidak disatukan akan sulit dalam mendeteksi dan memberantas TBML. Bahkan FATF menyatakan bahwa beberapa indikator redflag yang disusun perlu dibandingkan dengan elemen data lainnya seperti yang terdapat di DJBC, Kemendag, PPATK dan pihak lain agar lebih efektif. Secara khusus, negara-negara di Amerika Utara dan Selatan tergabung dalam Trade Transparency Unit (TTU) yakni kerjasama pertukaran data perdagangan internasional untuk memerangi TBML. Sedangkan pada sisi FIU, konsep pertukaran informasi yang sama juga telah diterapkan dalam wadah Egmont Group yakni berupa pertukaran data finansial.
Perlu diingat kembali bahwa hanya 20% dari seluruh perdagangan internasional dilakukan melalui transaksi berdokumen dan hanya 0.1%
dari seluruh pembayaran internasional diselesaikan menggunakan L/C atau mekanisme pembiayaan bank2. Sehingga apabila data perdagangan dengan data finansial dapat digabungkan, ditambah sumber data eksternal lainnya maka, tentunya kerja bersama dalam memerangi TBML dapat berjalan jauh lebih efektif.•
have actually been shipped with a Bill of Lading (BoL) or receipt of the goods that have been loaded on the ship by the exporter or the bank can compare the destination of the shipment of goods in the BoL with the source of the transfer of funds to ensure compliance.
Monitoring transactions through the documentary trade transactions mechanism is indeed better than transactions on open accounts, but banks do so only limited to the information contained in the documents. The bank cannot confirm whether the type of goods, quality and quantity stated in the L/C document are the same as those sent. For this reason, comparative data is needed from other agencies such as DJBC, the Ministry of Trade, shipping companies and other parties for more thorough monitoring.
FATF as an intergovernmental agency in the fight against money laundering has issued several guidelines in order for banks to detect TBML-related suspicious transactions. The latest guideline is TBML Risk Indicators which was issued in March 2021. FATF groups TBML indicators into several categories based on their relationship: indicators related to company profiles and their management/shareholders (structural risk indicators), indicators based on trading activity (trade activity risk indicators), indicators based on commodities and their supporting documents (trade documents and commodity risk indicators), and indicators covering transaction activity (account and transaction activity risk indicators).
The biggest challenge in the fight against TBML is the large number of parties involved in international trade. Each of these parties has data which, if not combined, will be difficult to detect and eradicate TBML. The FATF even stated that some of the compiled red flag indicators need to be compared with other data elements, such as those found in DJBC, the Ministry of Trade, PPATK and other parties in order to be more effective. In particular, countries in North and South America are members of the Trade Transparency Unit (TTU), which is cooperation in exchanging international trade data to combat TBML. Meanwhile, on the FIU side, the same concept of information exchange has also been applied in the Egmont Group forum in the form of exchanging financial data.
It should be recalled that only 20% of all international trade is made through documented transactions and only 0.1% of all international payments are settled using L/C or bank financing mechanisms.2 Therefore, when trade data and financial data can be combined, plus other external data sources, then a joint work in fighting TBML can certainly run much more effectively.•
2 https://baft.org/docs/default-source/marketing-documents/baft17_
tmbl_paper.pdf
2 https://baft.org/docs/default-source/marketing-documents/baft17_
tmbl_paper.pdf
Kondisi Umum
Pada era globalisasi saat ini, terdapat berbagai kondisi yang menyebabkan perdagangan internasional (eskpor dan impor) menjadi modus yang sangat atraktif bagi sindikat kejahatan internasional untuk menjadi sebagai sarana untuk memindahkan uang lintas yurisdiksi dalam rangkaian kegaitan pencucian uang yang berskala global. Salah satu dari kondisi kerentanan tersebut adalah berbagai kerentanan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang ada pada zona perdagangan bebas (Free Trade Zones) dan dapat diuraikan sebagai berikut:
Tantangan dan Jawaban :
Pencucian Uang Dengan Modus Perdagangan
(Trade Based Money Laundering)
Challenges and Responses:
Trade-Based Money Laundering
Dimas Kenn Syahrir, SE, M.AK, CFE
General condition
In the current era of globalization, there are various conditions that lead international trade (exports and imports) to become a very attractive mode for international crime syndicates to serve as a means to move money across jurisdictions in a series of global-scale money laundering activities. One of these vulnerabilities is the crime of money laundering (ML) in Free Trade Zones, which can be described as follows:
TRADE BASED MONEY LAUNDERING
• Terdapat lebih dari 3.000 zona perdagangan bebas di lebih dari 135 negara
• Zona perdagangan bebas sangat berperan penting dalam perdagangan internasional, sebagai wilayah geografis yang ditunjuk dengan peraturan dan perlakuan pajak khusus untuk perdagangan barang dan jasa tertentu, maka zona perdagangan bebas sering berada di negara-negara berkembang dan berlokasi di dekat pelabuhan masuk tetapi terpisah dari Pelabuhan masuk tradisional dan biasanya beroperasi di bawah aturan yang berbeda.
• Beberapa zona perdagangan bebas mengekspor dalam jumlah milyaran dolar setiap tahunnya tetapi hanya sedikit otoritas yang mampu memantau dan memeriksa transaksi kargo dan perdagangan tersebut.
Berdasarkan laporan FATF pada bulan Maret tahun 2010, kelemahan sistemik untuk zona perdagangan bebas mencakup:
1. Penerapan program APU/PPT yang kurang memadai.
2. Pengawasan yang minimal oleh otoritas setempat.
3. Prosedur yang lemah untuk proses pemeriksaan barang dan berbagai badan hukum, termasuk penatausahaan yang sesuai dan sistem teknologi informasi.
4. Kurangnya kerja sama antara zona perdagangan bebas dengan otoritas bea cukai setempat.
Definisi, Metode dan Modus terkait dengan TBML
Berbagai kondisi di atas telah menyebabkan berkembangnya pencucian uang dengan modus perdagangan atau sering disebut sebagai Trade Based Money Laundeting. FATF (Financial Action Task Force) mendefinisikan Trade Based Money Laundering (TBML) sebagai proses menyamarkan hasil kejahatan dan perubahan nilai melalui penggunaan transaksi perdagangan internasional untuk melegitimasi asal-usul uang/harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.
Secara umum, Trade based Money Laundering adalah suatu metode TPPU yang menggunakan transaksi perdagangan yang sah dalam rangka memindahkan dan menyimpan dana dari hasil Tindak Pidana.
Terdapat setidaknya 7 (tujuh) metode yang dikenal dalam TBML, yaitu:
1. Over and Under Invoicing of Goods and Services
• Over-invoicing: Dengan membuat faktur barang atau jasa dengan harga diatas harga pasar yang wajar, maka penjual dapat menerima nilai dari pembeli (yaitu, pembayaran untuk barang atau jasa akan lebih tinggi dari nilai yang diterima pembeli ketika menjualnya di pasar terbuka).
• Under-invoicing: Dengan membuat faktur barang atau jasa dengan harga di bawah harga pasar yang wajar, penjual mampu mentransfer nilai kepada pembeli
2. Over and Under Shipments of Goods and Services (Over Shipping dan Short Shipping): Perbedaan jumlah barang dan jumlah barang yang dikirimkan seperti tercantum dalam faktur, di mana pembeli atau penjual mendapat keuntungan dari kelebihan pembayaran yang dilakukan.
3. Multiple Invoicing of Goods and Services : Banyak faktur dikeluarkan untuk pengiriman barang yang sama, sehingga memungkinkan pelaku pencucian uang untuk berkesempatan membuat berbagai pembayaran sesuai faktur.
• There are more than 3,000 free trade zones in over 135 countries
• Free trade zones play an important role in international trade;
as designated geographical areas with special regulations and tax treatment for trade in certain goods and services, free trade zones are often located in developing countries and are located near ports of entry but separate from traditional ports of entry and usually operate under different rules.
• Several free trade zones export billions of dollars annually but few authorities are capable of monitoring and inspecting the cargo and trade transactions.
Based on the FATF report on March 2010, the systemic weaknesses of free trade zones include:
1. Inadequate implementation of the AML/CFT program.
2. Minimal supervision by local authorities.
3. Weak procedures for goods inspection processes and various legal entities, including appropriate administration and information technology systems.
4. Lack of cooperation between free trade zones and local customs authorities.
TBML Definition, Methods and Modes
The various conditions above have led to the development of money laundering with a trading mode or often referred to as trade-based money laundering. The FATF (Financial Action Task Force) defines trade-based money laundering (TBML) as the process of disguising the proceeds of crime and changes in value through the use of international trade transactions to legitimize the origin of money/wealth originating from the proceeds of crime. In general, TBML is a ML method that uses legal trading transactions in order to transfer and store funds from the proceeds of a crime.
There are at least 7 (seven) methods known in TBML:
1. Over- and Under-Invoicing of Goods and Services
• Over-invoicing: By invoicing goods or services at a price above the fair market price, the seller can receive value from the buyer (i.e., the payment for the goods or services will be higher than the value the buyer received when selling them on the open market).
• Under-invoicing: By invoicing goods or services at a price below the fair market price, the seller is able to transfer value to the buyer
2. Over- and Under-Shipments of Goods and Services (Over- Shipping and Short-Shipping): The difference between the amount of goods and the amount of goods delivered as stated in the invoice, where the buyer or seller benefits from the overpayment made.
3. Multiple Invoicing of Goods and Services: Multiple invoices are issued for the delivery of the same goods, allowing money launderers the opportunity to make multiple invoiced payments.
4. Phantom Shipping (Ghost Shipping) : Barang impor yang dikirim dari luar negeri tidak ada. Dokumen impor palsu dibuat untuk melegitimasi pembayaran impor ke luar negeri
5. Falsely Described Goods and Services: Jenis Barang yang dikirim secara fisik untuk ekspor/impor tidak sesuai dengan dokumen 6. Perdagangan di pasar gelap: Sering disebut sebagai Black Market
Peso Exchange di mana sebuah transfer dana lokal digunakan untuk membayar barang-barang milik importir asing.
7. Perusahaan Cangkang (shell): Digunakan untuk mengurangi transparansi mengenai kepemilikan dalam transaksi.
Para Sindikat kejahatan internasional melakukan berbagai metode TBML tersebut dengan menggunakan berbagai modus kejahatan yang bervariasi dan terkadang dilakukan secara simultan, yang diantaranya adalah:
1. Penggunaan identitas palsu 2. Penggunaan rekening pihak ketiga
3. Peminjaman perusahaan untuk transfer dana ke luar negeri dengan menggunakan tagihan/invoice palsu
4. Pengiriman uang dengan menggunakan skema hawala
5. Pencampuran uang hasil tindak pidana dengan dana Tenaga Kerja Asing yang ingin mengirim dana dari luar negeri ke negara asalnya
6. Pembawaan uang tunai lintas batas negara
Tantangan Menghadapi TBML
Dalam menghadapi TBML, terdapat beberapa kendala yang pada umumnya dihadapi semua negara, khususnya di Indonesia, yaitu:
1. Kerjasama antar intansi dalam negeri, mulai dari Kementerian Perdagangan sebagai otoritas pengawas perdagangan ekspor dan impor, pengelola Kawasan zona perdagangan bebas, Ditjen Bea dan Cukai, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan dan Bank Devisa.
Konektivitas data yang reliabel dan akses terhadap informasi atau dokumen yang bisa digunakan sebagai data pembanding untuk melakukan verifikasi terhadap validitas dokumen ekspor/
impor dengan instruksi transfer lintas negara sebagai pembayaran ekspor/impor yang dilakukan oleh Bank Devisa atas permintaan nasabah (eksportir/importir)
2. Bank Devisa sebagai institusi yang melakukan settlement transaksi tranfer dana keluar negeri menggunakan rekening valas USD yang dimiliki nasabah dalam tangka pembayaran impor, hanya dapat melakukan verifikasi berdasarkan dokumen hard copy sehingga sangat sulit untuk dapat memastikan validitas atas underlying transaksi yang dilakukan oleh nasabah importir sehingga sangat rentan terjadi pemalsuan dokumen-dokumen pendukung impor, seperti Bill of Lading (dokumen pengapalan), Purchase Order, Invoice atau tagihan dan PIB atau Pemberitahuan Impor. Kondisi yang sama juga terjadi pada transaksi penerimaan uang valas USD pada rekening nasabah di Indonesia yang berasal dari aktivitas ekspor barang.
3. Ketentuan internal pada bank devisa masih berbeda-beda terkait mekanisme penanganan transaksi pembayaran ke luar negeri.
Terdapat kondisi pada bank tertentu yang memperbolehkan penggunaan rekening valas USD milik pihak ketiga sebagai sumber dana untuk pendebetan rekening dalam rangka
4. Phantom Shipping (Ghost Shipping): There are no imported goods sent from abroad. Fake import documents are created to legitimize overseas import payments
5. Falsely Described Goods and Services: The type of goods sent physically for export/import does not match the document 6. Trading on the black market: Often referred to as the Black
Market Peso Exchange where a local transfer of funds is used to pay for goods belonging to foreign importers.
7. Shell Companies: Used to reduce transparency of ownership in transactions.
International crime syndicates practice various TBML methods using various modes of crime, sometimes simultaneously, including:
1. Use of fake identities 2. Use of third-party accounts
3. Borrowing other companies for transfer of funds abroad using fake bills/invoices
4. Remittance using the hawala scheme
5. Mixing money from crimes with funds from Foreign Workers who want to send funds from abroad to their home country
6. Cross-border cash carrying
Challenges to Facing TBML
In dealing with TBML, there are several obstacles that are generally faced by all countries, especially in Indonesia, including:
1. Cooperation among domestic agencies, starting from the Ministry of Trade as the supervisory authority for export and import trade, the manager of the free trade zone, the Directorate General of Customs and Excise, Bank Indonesia, the Financial Services Authority, the Center for Financial Analysis and Transaction Reports, to Foreign Exchange Banks. Reliable data connectivity and access to information or documents can be used as comparable data to verify the validity of export/import documents with cross-country transfer instructions as export/import payments made by Foreign Exchange Banks at the request of customers (exporters/importers)
2. Foreign Exchange Banks as an institution that performs settlement of overseas fund transfer transactions using USD foreign currency accounts owned by customers in terms of import payments can only verify based on the document hard copies so it is very difficult to ensure the validity of the underlying transactions made by importing customers; thus, they are very vulnerable to falsification of import documents required, such as Bill of Lading, purchase orders, invoices or bills and Goods Import Notification. The same condition also occurs in foreign currency USD receipt transactions in customer accounts in Indonesia originating from goods export activities.
3. Internal provisions at foreign exchange banks remain varying with regard to the mechanism for handling foreign payment transactions. There are conditions in certain banks that allow the use of USD foreign exchange accounts belonging to third
TRADE BASED MONEY LAUNDERING
pembayaran impor yang dilakukan oleh pihak lain sebagai importir atau sebaliknya rekening valas USD milik pihak ketiga yang digunakan untuk menampung dana hasil penjualan ekspor komoditas tertentu ke luar negeri yang dilakukan oleh pihak lain sebagai eksportir.
4. Pengawasan terhadap KUPVA (kegiatan Usaha Penukaran Valutas Asing) masih belum optimal sehingga masih sangat terbuka dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan pencucian uang dengan modus TBML melalui penyediaan rekening pribadi pemilik usaha KUPVA dalam bentuk valas USD untuk aktifitas transfer ke luar negeri yang dilakukan oleh impotir di Indonesia. Modus lainnya adalah penyediaan jasa pengiriman dana di dalam negeri yang dilakukan oleh KUPVA untuk mengakomodir instruksi penukaran valas dari nasabah yang menginginkan hasil penukaran valas di transfer ke rekening tertentu yang dikelola oleh Bank lokal.
Jawaban Yang Diperlukan Dalam Menghadapi TBML
Untuk menjawab berbagai tantangan dan kendala yang ada terkait dengan penanganan TBML di Indonesia, diperlukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pertukaran data/informasi serta akses sharing data-data aktivitas ekspor/impor baik lintas intansi pemerintah, dan penyedia jasa keuangan terutama bank devisa.
2. Penguatan infrastruktur pengawasan pada bank devisa dengan membuat parameter/indikator risiko yang spesifik terhadap aktivitas TBML, yang terdiri dari parameter analisis nasabah, yurisdiksi, transaksi dan barang serta dokumentasi, dengan uraian sebagai berikut:
a. Parameter/Indikator Analisis Nasabah, yaitu:
• Transaksi tidak sejalan dengan bisnis klien sesuai CDD
• Transaksi melibatkan Front Company atau Shell Company (cangkang)
• Nasabah enggan memberikan jawaban yang jelas untuk keuangan rutin, komersial, teknis, atau pertanyaan lainnya.
• Banyak perusahaan yang didirikan oleh orang-orang yang kelihatannya tidak terkait serta dikendalikan oleh orang yang sama sebagai pemilik manfaat (BO)
b. Parameter/Indikator Analisis Yurisdiksi, yaitu:
• Pengiriman dari, ke atau melalui yurisdiksi ‘berisiko tinggi’
atau negara Sanksi
• Dana dibayarkan lintas yurisdiksi di mana alasan atau hubungannya tidak jelas
• Rute pengiriman tampak berputar-putar secara tidak biasa
• Pengiriman melewati beberapa yurisdiksi tanpa alasan ekonomi atau bisnis yang jelas
• Pengiriman barang yang tidak sesuai dengan pola perdagangan normal
c. Parameter/Indikator Analisis Transaksi dan Barang, yaitu:
• Perbedaan yang signifikan antara deskripsi, kuantitas dan kualitas barang di dokumen seperti Bill of Lading dan faktur
• Penataan transaksi yang kompleks dan transaksi melibatkan perantara yang tidak biasa atau sejumlah perantara
parties as a source of funds for debiting accounts for import payments made by other parties as importers or, conversely, USD foreign exchange accounts belonging to third parties are used to receive funds from the export of certain commodities to abroad made by other parties as exporters.
4. Supervision of KUPVA (Foreign Exchange Business activities) remains suboptimal, making it very open to be used as a means to perpetrate money laundering using the TBML mode through the provision of personal accounts of KUPVA business owners in USD currency for overseas transfer activities undertaken by importers in Indonesia. Another mode is the provision of domestic fund transfer services made by KUPVA to receive foreign exchange instructions from customers who want the proceeds of foreign currency exchange to be transferred to certain accounts managed by local banks.
Responses Required to Face TBML
In order to respond to the various challenges and obstacles with regard to the handling of TBML in Indonesia, the following are needed:
1. Exchange of data/information and access to sharing of data on export/import activities, both across government agencies, and providers of financial services, especially foreign exchange banks.
2. Strengthening of the supervisory infrastructure at foreign exchange banks by creating specific risk parameters/indicators for TBML activities, consisting of customer analysis parameters, jurisdiction, transactions and goods as well as documentation, with the following description:
a. Customer Analysis Parameters/Indicators, including:
• Transaction not in line with client’s business as per CDD
• Transaction involving Front Companies or Shell Companies
• Customers’ reluctance to provide clear answers to routine financial, commercial, technical, or other questions.
• Many companies are founded by seemingly unrelated people and are controlled by the same person as the beneficial owner (BO).
b. Jurisdiction Analysis Parameters/Indicators, including:
• Shipments from, to or through ‘high-risk’ jurisdictions or Sanctioned countries
• Funds are paid across jurisdictions for which the reason or connection is unclear
• Shipping routes seems to be looping in an unusual way
• Shipments pass through multiple jurisdictions for no apparent economic or business reason
• Shipments of goods that are not in accordance with normal trading patterns
c. Transaction and Goods Analysis Parameters/Indicators, including:
• Significant differences between the description, quantity and quality of goods in documents, such as Bills of Lading and invoices
• Complex arrangement of transactions and transactions involving an unusual intermediary or a number of intermediaries
• Hasil ke pihak yang tidak terkait dengan transaksi &
Pembayaran ke pihak ke-3
• Transaksi tidak masuk akal secara ekonomi atau terkesan tidak logis
• Pengiriman berlebih / jumlah pendek (berat dan ukuran tidak sesuai dengan barang yang dikirim atau metode pengiriman)
• Perbedaan signifikan antara nilai komoditas yang dilaporkan dalam dokumen dan nilai pasar wajar komoditas
• Barang digunakan ganda
• Kapasitas pengiriman kontainer atau tanker tidak normal untuk transaksi
• Pembeli dan penjual - dalam satu negara - tetapi barang berpindah ke luar negara
d. Parameter/Indikator Analisis Dokumentasi, yaitu:
• LC tidak diautentikasi
• Dokumen yang dikeluarkan oleh pembeli, yaitu dokumen transportasi yang akan disertifikasi oleh pembeli, misalnya. “barang diterima” Presentasi ulang dokumen resmi segera setelah penolakan karena perbedaan
• Bill of lading bertanggal di masa depan / Bill of lading pra-tanggal
• Dokumen penipuan / Pengiriman hantu
• Tidak adanya dokumen transportasi atau faktur untuk mendukung transaksi
• K e t i d a k m a m p u a n K l i e n u n t u k m e n g h a s i l k a n dokumentasi yang sesuai (faktur atau dokumen lain) untuk mendukung transaksi keuangan yang diminta
• Transaksi yang melibatkan penggunaan Letter of Credit berulang kali tanpa alasan yang masuk akal
• Tidak adanya dokumen transportasi atau faktur untuk mendukung transaksi
Dalam penanganan TBML di Indonesia, diperlukan nadanya Kerjasama antar instansi baik dari PPATK sebagai FIU, Lembaga Pengawas Pengatur seperti OJK dan BI serta otoritas Ditjen Bea Cukai sehingga integritas data/informasi yang mengalir dari keseluruhan proses ekspor impor dapat diawasi dengan baik antara alur dokumen dengan sistem pembayaran sehingga Bank Devisa sebagai pihak pelapor dapat memiliki perangkat informasi yang memadai untuk menguji validitas dokumen ttransaksi ekspor impor yang digunakan dalam lalu lintas transaksi pembayaran devisa dari dan ke luar negeri.•
Daftar Pustaka
• ACAMS (2019). Buku Pegangan Pedoman Studi Untuk Ujian Sertifikasi CAMS Edisi keenam. Chicago, Amerika Serikat. ACAMS
• Cassara, John A. (2016). Trade Based Money Laundering:The Next Frontier in International Money Laundering Enforcement. New Jersey, Amerika Serikat
• FATF/OECD and EGMONT GROUP of FIU (2020). Trade Based Money Laundering:Trends and Developments. Paris. EGMONT GROUP
• Proceeds to parties unrelated to transactions &
payments to 3rd parties
• Transactions do not make economic sense or seem illogical
• Over-shipment/short quantity (weight and size not matching the item sent or shipping method)
• Significant difference between the amount of the commodity reported in the document and the fair market value of the commodity
• Double used items
• Container or tanker shipping capacity is not normal for transactions
• Buyer and seller from one country but goods move abroad
d. Documentation Analysis Parameters/Indicators, including:
• Unauthenticated LC
• Documents issued by the buyer, i.e. transportation documents to be certified by the buyer, for example, “goods received”, re- presentation of official documents immediately after rejection due to discrepancies
• Pre-dated bill of lading
• Fraudulent documents/ghost shipments
• No transportation documents or invoices to support transactions
• Client’s inability to produce appropriate documentation (invoices or other documents) to support the requested financial transactions
• Transactions involving repeated use of the Letter of Credit without reasonable reason
• No transportation documents or invoices to support transactions
• The handling of TBML in Indonesia requires cooperation among agencies, such as the PPATK as FIU and Regulatory
Supervisory Agencies such as OJK and BI, as well as the authority of the Directorate General of Customs and Excise.
Therefore, the integrity of data/information of the entire export- import process can be properly monitored between the flow of documents and the payment system. Thus, the Foreign Exchange Bank as the reporting party can have an adequate set of information to test the validity of the import-export transaction documents used in the traffic of foreign exchange payment transactions to and from abroad.•
References
• ACAMS (2019). Buku Pegangan Pedoman Studi Untuk Ujian Sertifikasi CAMS Edisi keenam. Chicago, Amerika Serikat. ACAMS
• Cassara, John A. (2016). Trade Based Money Laundering: The Next Frontier in International Money Laundering Enforcement.
New Jersey, United States of America
• FATF/OECD and EGMONT GROUP of FIU (2020). Trade Based Money Laundering: Trends and Developments. Paris. EGMONT GROUP
TRADE BASED MONEY LAUNDERING
SAYIDA SALIMA
A. Pengertian dan karakteristik Offshore Financial Centres (OFCs)
Istilah ‘offshore’ merujuk pada sektor di suatu yurisdiksi yang menyediakan jasa keuangan bagi non-residents yang terpisah dari pengaturan utama yang ada, baik secara geografis maupun secara ketentuan. Namun ada juga yang memiliki pandangan bahwa
‘offshore’ tidak ada kaitannya dengan aspek geografis namun lebih kepada area ketentuan/regulasi. Dalam hal ini transaksi offshore diatur dalam ketentuan tersendiri dan berbeda dari ketentuan yang berlaku di lokasi lainnya. Regulasi terkait transaksi offshore cenderung minim atau tanpa regulasi dan menyediakan perlindungan kerahasiaan1.
Adapun definisi Offshore Financial Centres (OFCs) menurut IMF2 adalah sebagai berikut:
Offshore
Financial Centres Sebagai Sarana Pencucian Uang
Offshore Financial Centers as a Vehicle for Money Laundering
Diana Soraya Noor
A. Definition and characteristics of Offshore Financial Centers (OFCs)
The term ‘offshore’ refers to a sector in a jurisdiction that provides financial services to non-residents that are separate from the existing primary arrangement, both geographically and legally.
However, there are also those who have the view that ‘offshore’
has nothing to do with the geographical aspect but rather the area of provisions/regulations. In this case, offshore transactions are regulated in separate provisions and different from the provisions applicable in other locations. Regulations related to offshore transactions tend to be minimal or without regulation and provide confidentiality protection.1
According to the IMF,2 definition of Offshore Financial Centers (OFCs) is as follows:
ANTI PENCUCIAN UANG | ANTI MONEY LAUNDERING
1 Karen Sun Ying Wong, “Offshore Financial Centre & Offshore Business Structures”, Australian Journal of Taxation Policy, Law and Reform (2013) volume 28, Issue 4, 2013, p. 769-770, https://papers.ssrn.com/sol3/
papers.cfm?abstract_id=2406541
2 Ahmed Zoromé, “Concept of Offshore Financial Centers: In Search of an Operational Definition”, IMF Working Paper, April 2007, https://www.imf.
org/external/pubs/ft/wp/2007/wp0787.pdf
1 Karen Sun Ying Wong, “Offshore Financial Centre & Offshore Business Structures”, Australian Journal of Taxation Policy, Law and Reform (2013) volume 28, Issue 4, 2013, p. 769-770, https://papers.ssrn.com/sol3/
papers.cfm?abstract_id=2406541
2 Ahmed Zoromé, “Concept of Offshore Financial Centers: In Search of an Operational Definition”, IMF Working Paper, April 2007, https://www.imf.
org/external/pubs/ft/wp/2007/wp0787.pdf
An OFC is a country or jurisdiction that provides financial services to non-residents on a scale that is incommensurate with the size and the financing of its domestic economy
OFCs memiliki karakteristik utama sebagai berikut:
• Orientasi bisnis utamanya ditujukan kepada non-residents
• Lingkungan regulasi yang menguntungkan (pengawasan yang tidak ketat dan minimnya kewajiban terkait pengungkapan informasi)
• Skema perpajakan yang rendah atau nihil.
B. Peran OFCs Dalam Proses Pencucian Uang
Karakteristik sistem keuangan global dan perkembangan teknologi saat ini sangat kondusif bagi para pelaku pencucian uang karena kemudahan untuk memindahkan dana dalam berbagai bentuk dengan cepat dalam skala global. Terdapat banyak yurisdiksi yang dapat digunakan sebagai saluran pemindahan dana, sebagai penempatan dana sementara maupun sebagai tujuan utama pemindahan dana.
Walaupun penggunaan OFCs tidak selalu terkait dengan kegiatan illegal, namun adanya yuridiksi yang menawarkan kemudahan bagi non-residents dalam menyimpan dana serta mekanisme perlindungan/
kerahasiaan informasi sangat penting bagi mereka yang ingin menyembunyikan harta kekayaannya. Oleh karena itu, keberadaan OFCs sangat menarik bagi para pelaku pencucian uang karena menawarkan anonymity, minimum of transparency selain peluang untuk menghindari kewajiban pajak.
Para pelaku kejahatan melakukan berbagai upaya untuk memanfaatkan OFCs sebagai tempat untuk menyembunyikan dan mencuci uang hasil kejahatan sehingga semakin menyulitkan proses investigasi dan penelusuran aset. OFCs diketahui menawarkan berbagai fasilitas untuk menarik para investor asing antara lain tidak ada keharusan untuk mengungkap sumber dana/aset, kemudahan untuk mendirikan perusahaan atau perusahaan cangkang (shell companies) dan berbagai layanan lainnya yang disediakan oleh offshore bank. Shell company dapat didefinisikan sebagai perusahaan non-operasional, dalam hal ini merupakan suatu entitas berbadan hukum namun tidak memiliki operasi independen, aset signifikan, kegiatan bisnis berkelanjutan dan karyawan
Selain itu, OFCs memiliki aturan kerahasiaan bank yang sangat ketat terutama bagi investor asing sehingga kerap digunakan bagi para pelaku kejahatan untuk mengamankan aset hasil kejahatan dan menyulitkan penegak hukum dalam melacak aset/kepemilikan aset di OFCs yang berasal dari kejahatan. Berdasarkan karakteristiknya tersebut OFCs dipandang memiliki peran sentral dalam proses pencucian uang global3.
C. Penggunaan Offshore Companies Sebagai Sarana Pencucian Uang
Berbagai kasus pencucian uang dengan skala global yang melibatkan OFCs telah banyak terjadi antara lain dimulai dengan kasus Bank for Credit and Commerce International (BCCI) yang kolaps pada tahun 1991 dimana terungkap kasus pencucian uang yang dianggap terbesar di dunia dan melibatkan penyitaan aset senilai lebih dari US$12 miliar. Terlebih dalam sistem keuangan global
“An OFC is a country or jurisdiction that provides financial services to non-residents on a scale that is incommensurate with the size and the financing of its domestic economy.”
OFCs have the following main characteristics:
• Main business orientation to non-residents
• Favorable regulatory environment (less strict supervision and minimal obligations regarding disclosure of information)
• Low or zero taxation schemes.
B. The Role of OFCs in the Money Laundering Process
The current characteristics of the global financial system and technological developments are very conducive to money launderers due to the ease of moving funds in various forms quickly on a global scale. There are many jurisdictions that can be used as a channel for transferring funds, as a temporary placement of funds or as the main destination of transferring funds.
Although the use of OFCs is not always related to illegal activities, the existence of jurisdictions that offer convenience for non-residents to deposit funds and information protection/
confidentiality mechanisms are highly important for those who wish to hide their assets. Therefore, the presence of OFCs is very attractive to money launderers since they offer anonymity and a minimum of transparency, in addition to the opportunity to avoid tax obligations.
Criminals have made various efforts to use OFCs as a place to hide and launder the proceeds of crime, making it more difficult to investigate and trace assets. OFCs are known to offer various facilities to attract foreign investors, including no need to disclose sources of funds/assets, ease of establishing shell companies and various other services provided by offshore banks. A shell company can be defined as a non-operating company, in this case it is a legal entity but does not have independent operations, significant assets, ongoing business activities and employees.
Furthermore, OFCs have very strict bank secrecy rules, especially for foreign investors; thus, are often used by criminals to secure assets resulting from crime and make it difficult for law enforcement to track assets/ownership of assets in OFCs originating from crime. Based on these characteristics, OFCs are seen as having a central role in the global money laundering process.3
C. Use of Offshore Companies as a Means of Money Laundering
Various cases of money laundering on a global scale involving OFCs have occurred, among others, starting with the case of the Bank for Credit and Commerce International (BCCI) which collapsed in 1991 where a money laundering case that was considered the largest in the world was revealed and involved the confiscation of assets worth more than US$ $12 billion. Especially in today’s
3 Mary Alice Young, ‘The exploitation of offshore financial centres’, Journal of Money Laundering Control, 2013
3 Mary Alice Young, ‘The exploitation of offshore financial centres’, Journal of Money Laundering Control, 2013
dewasa ini, pencucian uang dengan skala global diduga banyak dilakukan melalui skema foreign direct investment. Hasil penelitian yang dilakukan Damgaard dan Elkjaer (2017) menunjukkan bahwa hampir 40% dari foreign direct investment secara global sepenuhnya merupakan artifisial karena merupakan investasi keuangan yang bersifat pass-through melalui shell company tanpa aktivitas bisnis riil. Investasi melalui shell company tersebut hampir selalu dilakukan melalui delapan major pass-through economies yaitu Belanda, Luxembourg, Hong Kong, the British Virgin Islands, Bermuda, the Cayman Islands, Ireland dan Singapore yang merupakan lokasi lebih dari 85% investasi global melalui special purpose entities4.
Pada tahun 2016, terjadi skandal global kebocoran data terbesar di dunia yaitu data transaksi rahasia keuangan klien perusahaan firma hukum Mossack Fonseca di Panama dimana banyak diantara klien tersebut adalah para pemimpin politik dan tokoh berpengaruh dunia.
Hasil investigasi International Concortium Investigative Journalism (ICIJ) atas kebocoran data tersebut memperlihatkan transaksi yang melibatkan 214.000 perusahaan offshore yang menghubungkan lebih dari 200 negara dan teritori dimana diindikasikan terkait dengan dugaan penggelapan pajak, korupsi dan pencucian uang.
Data tersebut juga mengungkap kepemilikan rahasia rekening dan perusahaan di 21 offshore jurisdictions antara lain Nevada, Hong Kong dan British Virgin Islands. Hasil analisis yang dilakukan Van Koningsveld (2015) mengenai penggunaan perusahaan offshore dalam aksi kejahatan narkotika di Belanda menunjukkan bahwa terdapat 741 kasus yang melibatkan perusahaan offshore dengan nilai transaksi keuangan mencapai 56 miliar Euro dalam 14 tahun terakhir. Data dari FIU Belanda juga menunjukkan bahwa antara 2010 sd 2013, terdapat 922 transaksi mencurigakan yang melibatkan 480 perusahaan asing yang terkait dengan offshore jurisdictions5.
D. Kesimpulan
Penggunaan OFCs merupakan tantangan dalam pengungkapan kasus pencucian uang serta upaya penelusuran dan pemulihan asset. Karakteristik OFCs dan offshore companies membuat upaya identifikasi pelaku utama kejahatan/pemilik asset semakin sulit.
Untuk itu, penting untuk melakukan berbagai upaya pencegahan seperti menyusun pedoman bagi Pihak Pelapor untuk membantu proses PMPJ dan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait offshore companies atau complex corporate structures. Selain itu, melakukan riset untuk mendapatkan peta aliran dana terkait OFCs dan offshore companies juga perlu untuk dilakukan. Hasil riset tersebut dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan kerjasama internasional seperti pertukaran informasi melalui forum Egmont Group sehingga diharapkan upaya pengungkapan kasus pencucian uang dan penelusuran/pemulihan asset dapat berjalan lebih efektif.
Materi Offshore Financial Centres dan Offshore Structures merupakan salah satu materi/modul dalam Pelatihan Pemulihan Aset yang diselenggarakan Pusdiklat APUPPT.•
global financial system, money laundering on a global scale is allegedly perpetrated through foreign direct investment schemes.
Damgaard and Elkjaer (2017) show that almost 40% of foreign direct investment globally is entirely artificial since it is a pass- through financial investment through shell companies without real business activities. Investments through shell companies are almost always made through eight major pass-through economies:
the Ne