Hilmy Bramantyo
“H
is love of pleasure and unbridled personal ambition makes him abuse his position to satisfy his lust and the cases that are tried in his office, kepatihan is always open to bribery”The comments above are not the work of journalists from the reform era or investigative reporting. The testimony was written by JI Van Sevenhoven, which was delivered to General HM de Kock on 10 November 1825 regarding Sumodipuro or better known as Patih Danurejo IV, who was appointed prime
PEMBERANTASAN KORUPSI | CORRUPTION ERADICATION
Tamparan Selop
Diponegoro
COURTESY OF THE KITLV, LEIDEN
pendapatan kerajaan seperti hutan jati di Gunung Kidul dan pabrik kapur di Gunung Gamping. Ia pun juga menuntut uang imbalan dari tiap jual beli tanah yang terjadi di Yogyakarta. Semua wewenang dan kekuasaan itu menjadikan sang Patih orang yang sangat kaya. Kekayaan tersebut berkelindan dengan kegemarannya untuk menghisap madat yang pada akhirnya membawa kepada keterpurukan moralitas yang turut menyebar ke kalangan pejabat yang lain di keraton.
Sosok Patih yang korup, merosotnya moralitas para pejabat, ditambah dengan rakyat yang menderita akibat berbagai kutipan liar dari sang Patih beserta jajaran membuat pangeran Diponegoro, anak dari Sultan Hamengkubuwono III, marah dan menamparkan selopnya ke Patih Danurejo IV. Tamparan yang tentunya membuat malu Patih dan begitu mengagetkan para pihak di keraton karena selop yang seyogyanya dipakai di kaki justru digunakan untuk menampar kepala yang dianggap memiliki posisi tertinggi dan terhormat. Sebuah tamparan yang sangat merendahkan lagi menghinakan dan kelak tamparan selop tersebut akan membuat Patih semakin setia dengan kerajaan Belanda hingga akhirnya memunculkan Perang Jawa yang menghabiskan anggaran sekitar 20 juta gulden, menewaskan 15.000 tentara kerajaan Belanda, dan menjadi salah satu perang terdahsyat yang pernah dialami oleh kerajaan Belanda.
Situasi yang meliputi tamparan selop Diponegoro 196 tahun lalu masih relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Korupsi masih merajalela dengan berbagai modus dan rupa aktornya. Dulu nusantara memiliki Patih Danurejo IV, sekarang muncul berbagai rupa wajah mulai dari Gayus Tambunan, Setya Novanto, Angin Prayitno, hingga yang terbaru saat ini bernama Juliari Batubara. Objek yang diambil tetap sama, yaitu uang rakyat maupun uang negara, hanya modusnya saja yang berbeda-beda sesuai kepandaian sang aktor.
Menilik dari sejarah, korupsi seakan bergulir abadi di bumi nusantara.
Tentu ini adalah premis yang sangat menyedihkan bagi siapapun yang membacanya. Sama halnya dengan kejahatan lain, selama peradaban manusia bergulir maka kejahatan akan tetap ada. Namun bagaimanakah sebetulnya cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi skala kejahatan dari korupsi di Indonesia? Setidaknya ada tiga hal praktis yang dapat dipraktekkan.
Pertama, melakukan perubahan atas undang-undang tindak pidana korupsi. UU Tipikor terakhir kali diubah pada tahun 20 November 2001 yang berarti sudah hampir 20 tahun undang-undang ini tidak diutak-atik oleh legislator. Adapun nilai pidana denda yang ditetapkan tertinggi pada UU Tipikor tersebut adalah sebesar Rp1.000.000.000 dimana nilai tersebut saat ini relatif murah. Sehingga logika ekonomi para penjahat korupsi dapat bermain dengan leluasa dimana pada intinya nominal yang dikorupsi harus lebih besar daripada ongkos korupsi yang harus dibayar. Dengan adanya pembaruan UU Tipikor yang lebih mengedepankan semangat pidana berupa uang disamping penjara, diharapkan “hitung-hitungan” ekonomi para calon penjahat korupsi akan terbentur tingginya ongkos dalam melakukan kejahatan korupsi.
Maka politik hukum para legislator mengenai arah perubahan UU Tipikor akan menentukan perjalanan UU ini yang hampir 10 tahun “adem ayem”, apakah memang hukum ditujukan untuk menegakkan keadilan dan berpihak kepada rakyat ataukah hukum ditujukan untuk menumpulkan keadilan dan mencederai rakyat, sebagaimana perilaku Patih Danurejo IV yang bersenang-senang di atas penderitaan rakyat yang juga turut ditindas baik secara fisik maupun ekonomi oleh kerajaan Belanda.
Kedua, merampas aset yang diambil oleh para penjahat korupsi.
Secara peraturan, UU Tipikor mengakomodasi hal tersebut dan
minister during the reign of Sultan Hamengkubuwono III. In the book entitled Power of Divination by Peter Carey, Patih Danurejo IV monopolized sources of royal income, such as teak forests in Gunung Kidul and limestone factories in Gunung Gamping. He also demanded money in return for every sale and purchase of land that occurred in Yogyakarta. All that authority and power made the Patih a very rich man. This wealth was intertwined with his penchant for smoking opium which in the end led to a decline in morality which also spread to other officials in the palace.
The corrupt Patih figure, the declining morality of the officials, coupled with the people who suffered from various wild quotes from the Patih and his ranks made Prince Diponegoro, son of Sultan Hamengkubuwono III, angry and slapped his slipper on Patih Danurejo IV. The slap, of course, embarrassed the Patih and really shocked the parties in the palace because the slippers that should have been worn on the feet were actually used to slap the head who was considered to have the highest and honorable position.
A very demeaning and humiliating slap and later the slipper slap would make Patih even more loyal to the Dutch kingdom until finally giving rise to the Java War which cost around 20 million guilders, killed 15,000 Dutch royal soldiers, and became one of the most powerful wars the Dutch kingdom had ever experienced.
The situation of Diponegoro’s slipper slap 196 years ago remains relevant to the current conditions in Indonesia. Corruption is still rampant with various modes and forms of actors. In the past, the archipelago had Patih Danurejo IV; now, various faces have appeared, ranging from Gayus Tambunan, Setya Novanto, Angin Prayitno, to the newest one named Juliari Batubara. The object taken remains the same: public money and state money; only the mode is different according to the intelligence of the pepetrators.
Reflecting on the history, corruption seems to be rolling forever in the archipelago. This is of course a very sad premise for anyone who reads it. As with other crimes, as long as human civilization rolls around, evil will still exist. But what is the actual way to reduce the scale of corruption crime in Indonesia? There are at least three practical things that can be practiced.
First, make changes to the law on corruption. The Anti-Corruption Law was last amended on 20 November 2001, which means that it was almost 20 years that the law was not amended by legislators.
The maximum monetary penalty stipulated in the Anti-Corruption Law is IDR 1,000,000,000, which is currently relatively cheap.
Accordingly, the economic logic of corruption criminals can play freely where in essence the nominal being corrupted should be greater than the cost of corruption that must be paid. With the reform of the Anti-Corruption Law which emphasizes the criminal spirit in the form of money in addition to imprisonment, it is hoped that the economic “calculations” of potential corruption criminals will hit the high cost of committing corruption crimes. Thus, the law politics of legislators regarding the direction of changes to the Anti-Corruption Law will determine the course of this Law which is almost 10 years “cool and quiet”, whether the law is intended to uphold justice and side with the people or the law is intended to blunt justice and injure the people, as was the behavior of Patih Danurejo IV, who reveled in the suffering of the people who were also physically and economically oppressed by the Dutch kingdom.
Second, seize assets taken by corruption criminals. By
termaktub pada pasal 18 ayat 1 butir a. Belum cukup? Salah satu pertimbangan dari hadirnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah untuk pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana secara umum, dan secara khusus dalam tulisan ini adalah hasil tindak pidana korupsi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa harta kekayaan hasil kejahatan korupsi akan dapat menghidupi baik penjahat utama, keluarga dari penjahat, dan afiliasi lainnya yang terhubung dengan si penjahat korupsi. Bak darah, jika darah masih terus mengalir maka jaringan tersebut masih dapat hidup. Namun jika aliran darah dihentikan, maka lambat laun jaringan akan sekarat dan mati. Maka dari itu sangat perlu untuk tidak hanya memberikan pidana berupa penjara, denda, dan uang pengganti.
Melainkan ditambah dengan merampas aset yang diambil ataupun dihasilkan dari kejahatan korupsi.
Ketiga, menegakkan undang-undang tersebut secara konsisten.
Kita tidak kekurangan aparat penegak hukum untuk menindak pelaku korupsi. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi, turut serta pula Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung yang dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus-kasus korupsi. Maka lengkap sudah peraturan-peraturan serta pelaksana peraturan terkait dengan korupsi. Jika perangkat dan infrastruktur sudah lengkap, maka jurus pamungkas selanjutnya adalah menjalankan apa yang telah dibuat.
Tentu hal ini terdengar sangat klise, namun apa boleh dikata bahwa kerap kali hal yang sangat klise adalah hal yang paling tepat. Karena itulah diperlukan komitmen yang menyeluruh dari seluruh pemangku kepentingan mulai dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif untuk bersama- sama menegakkan peraturan yang telah dirancang dan ditetapkan secara sadar dan bersama-sama.
Tidaklah salah jika ada pendapat bahwa korupsi adalah penyakit kronis yang sudah berlangsung bahkan sejak era Diponegoro. Namun perlu pula dipahami bahwa penyakit kronis tetap harus tetap diupayakan sembuh hingga penyakit tersebut berada dalam level dapat dikendalikan.
Upaya untuk menurunkan dan mengendalikan korupsi dapat dilakukan dengan memperbarui UU Tipikor yang mengedepankan semangat menghukum secara finansial agar tercipta efek jera secara ekonomis.
Selanjutnya adalah merampas aset yang diambil oleh penjahat korupsi dengan tujuan untuk membuat jera tidak hanya aktor utama namun juga keluarga, orang terdekat, dan pihak lain yang terafiliasi.
Terakhir adalah dengan menjalankan peraturan yang sudah ada dan sudah ditetapkan bersama-sama secara konsisten. Dengan menjalankan ketiga hal tersebut maka diharapkan korupsi perlahan dapat diobati dan dikendalikan, sehingga uang negara dapat dimanfaatkan sebesar- besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pertanyaan terbesar sekarang adalah, siapakah yang akan menjadi Diponegoro dan menamparkan selopnya kepada para koruptor?•
Referensi:
• Carey, Peter. 2019. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
• Carey, Peter, Sri Margana, dan Suhardiyoto Haryadi. 2017. Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: dari Daendels (1808-1811) Sampai Reformasi. Depok: Komunitas Bambu
• Carey, Peter. (1976). The Origins of the Java War (1825-1830). The English Historical Review, 91, 52-78
regulation, the Anti-Corruption Law accommodates this and is stipulates in Article 18 paragraph 1 point a. Not enough? One of the considerations of the presence of the Money Laundering Law is to return assets resulting from criminal acts in general, and specifically, in this paper, the proceeds of corruption. It is undeniable that the wealth proceeds from the crime of corruption will be able to support both the main criminal, the family of the criminal, and other affiliates connected to the criminal. Like blood, when the blood is still flowing, then the tissue can still live. But when the blood flow is stopped, the tissue will gradually be dying and die. Therefore, it is very necessary to not only provide punishment in the form of imprisonment, fines, and compensation.
Rather, the punishment is added with confiscation of assets taken or generated from corruption crimes.
Third, enforce the law consistently. We don’t lack law enforcement officers to take action against corruption. In addition to the Corruption Eradication Commission, the Indonesian National Police and the Attorney General’s Office also participate in undertaking preliminary investigations, full investigations, and prosecutions of corruption cases. Thus, the regulations and implementing regulations related to corruption are complete. When the apparatuses and infrastructure are complete, then the next ultimate step is to run what has been created. This, of course, sounds very cliché, but often the very cliché is the most appropriate thing. Therefore, it requires a comprehensive commitment from all stakeholders, including the legislative, executive, and judicial, to jointly enforce the regulations that have been designed and stipulated consciously and jointly.
The opinion that corruption is a chronic disease that has been going on even since the Diponegoro era is not wrong. However, it should also be understood that chronic diseases must still be cured until the disease is at a controllable level. Efforts to reduce and control corruption can be done by reforming the Anti-Corruption Law, which emphasizes the spirit of financial punishment in order to create an economic deterrent effect. The next step is to seize assets taken by corruption criminals with the aim of deterring not only the main actors but also their families, close people, and other affiliated parties.
The last is to implement regulations that already exist and have been set together consistently. By undertaking these three things, it is hoped that corruption can slowly be cured and controlled, so that state money can be used as much as possible for the welfare of the people. The biggest question now is, who will be Diponegoro and slap his slippers on the corruptors?•
References
• Carey, Peter. 2019. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
• Carey, Peter, Sri Margana, dan Suhardiyoto Haryadi. 2017. Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: dari Daendels (1808-1811) Sampai Reformasi. Depok: Komunitas Bambu
• Carey, Peter. (1976). The Origins of the Java War (1825-1830). The English Historical Review, 91, 52-78
PEMBERANTASAN KORUPSI | CORRUPTION ERADICATION
ALIEF HANANTYO WIBOWO
Sebagai pegawai, saya merasa di layani dengan baik dalam pengurusan BPJS. Sebagai bentuk apresiasi saya ingin memberikan suatu hadiah kepada salah seorang pegawai yang menangani pelayanan tersebut.
Kinerjanya luar biasa! Apa itu termasuk gratifikasi?