KAUM SARUNGAN PERSPEKTIF HADIS NABI
(Suatu Kajian Tahli>li Terhadap Hadis Tentang Kesederhanaan Berpakaian)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Jurusan Ilmu Hadis pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Alauddin Makassar
Oleh:
MUH. SURUR NIM: 30700117013
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR 2022
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muh. Surur
NIM : 30700117013
Tempat/Tgl. Lahir : Ponre, 14 Juni 1999 Jurusan : Ilmu Hadis
Fakultas/Program : Ushuluddin dan Filsafat
Alamat : BTN Cita Alam Lestari, Blok B.1, Romangpolong, Gowa Judul : Kaum Sarungan Perspektif Hadis Nabi (Suatu Kajian Tahlili
Terhadap Hadis Tentang Kesederhanaan Berpakaian)
Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Gowa, 30 Mei 2022 Penyusun,
Muh. Surur
NIM: 30700117013
v
KATA PENGANTAR
ِمْيِحَّرلا ِنّْٰحَّْرلا ِوّّٰللا ِمْسِب
ُدْعَػب اَّمَأ َْيِعَْجَْأ ِوِبْحَصَو ِوِلَا ىَلَعَو ٍدَّمَُمُ اَنِدِّيَس ىَلَع ُمِّلَسُنَو ْيِّلَصُنَو ِلل ُدْمَْلْا
Puji syukur tak terhingga penulis panjatkan atas kehadirat Allah swt. atas segala nikmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw. serta para sahabat dan keluarga beliau.
Penyusunan skripsi ini diajukan sebagai syarat meraih gelar sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Alauddin Makassar. Skripsi ini berjudul, “Kaum Sarungan Perspektif Hadis Nabi (Suatu Kajian Tahlili Terhadap Hadis Tentang Kesederhanaan Berpakaian)”.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Secara khusus, terima kasih tak terhingga saya haturkan kepada keduaorang tua saya: Syamsuddin Rahman dan Halijah, yang senantiasa mendoakan, mendidik, membesarkan serta mencari nafkah sehingga penulis dapat sampai pada tahap akhir perkuliahan. Teruntuk pula kepada adik-adikku, Mutia Syamharira, Muh. Syihab, dan Muh. Said Altaf.
Mereka adalah generasi penerus yang kusayang dan selalu kubanggakan.
Semoga mereka senantiasa dilimpahkan kesehatan, rahmat, dan keberkahan dari sisi Allah swt.
2. Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. H. Hamdan Juhannis, M.A., Ph.D.;
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Prof. Dr.
H. Mardan, M.Ag. Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum dan Perencanaan Keuangan, Dr. Wahyuddin, M.Hum. Wakil Rektor Bidang
vi
Kemahasiswaan, Prof Dr. H. Darussalam, M.Ag. Wakil Rektor Bidang Kerjasama, Dr. H. Kamaluddin Abunawas, M.Ag, beserta seluruh Civitas Akademika UIN Alauddin Makassar.
3. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Alauddin Makassar, Dr.
Muhsin Mahfudz, S.Ag, M.Th.I, Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr, Hj.
Rahmi Damis, M.Ag., Wakil Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan, Dr. Darmawati H, S.Ag, M.H.I, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dr.
Abdullah, S.Ag, M.A.
4. Ketua Jurusan Ilmu Hadis, Andi Muhammad Ali Amiruddin, MA, dan Sekretaris Jurusan Ilmu Hadis, Dr. Muhammad Ali, M.Ag, atas segala bimbingan, nasihat, arahan selama penulis menjadi mahasiswa di Jurusan Ilmu Hadis.
5. Prof. Dr. H. Arifuddin, M.Ag. selaku Pembimbing I dan Dr. Muhammad Ali, M.Ag., selaku Pembimbing II saya yang telah meluangkan waktunya dalam mengarahkan dan membimbing dari awal penyusunan skripsi hingga selesai.
6. Dr. H. Tasmin Tangngareng, M.Ag. selaku Munaqisy I dan Dr. Hj.
Fadlina Arief Wangsa, Lc., M.Ag. selaku Munaqisy II yang telah memberikan koreksi dan masukannya dalam perbaikan skripsi ini.
7. Dosen lingkup Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar yang telah begitu banyak memberi ilmunya selama perkuliahan serta para Staf Fakultas yang banyak membantu dalam hal administrasi maupun proses pengurusan berkas.
8. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hadis Angkatan 2017, terkhusus kepada teman-teman di ILHA R.1 2017. Terima kasih atas semuanya. Teman suka dan duka selama mengenyam bangku perkuliahan. Sukses selalu.
vii
9. Terima kasih kepada guru-guru dan teman-teman seperjuanganku selama mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren As‟adiyah Sengkang dan Nahdlatul Ulum Maros. Kalian luar biasa telah mengajarkan banyak pelajaran hidup yang berharga.
10. Terima kasih kepada saudara tak sedarahku di kontrakan MENOLAKTUAA yang selalu ada di kala suka dan duka, mensupport penulis untuk segera menyelesaikan skripsinya.
11. Terima kasih kepada Rahma Magfirah Azhar. Support System. Teman terbaik yang selalu menemani kemanapun dan kapanpun. Sehat selalu, dan mudah-mudahan dapat terus menjadi teman hidupku.
Penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tengginya kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan namanya satu-persatu, semoga bantuan yang diberikan bernilai ibadah di sisi Allah swt. dan semoga Allah swt. senantiasa meridhai semua amal usaha yang penulis lakukan dengan penuh kesungguhan hati dan keikhlasan.
Sebagai penutup, penulis menyampaikan penghargaan kepada mereka yang membaca dan berkenan memberikan saran, kritik, atau bahkan koreksi terhadap kekurangan dan kesalahan yang terdapat di dalam skripsi ini. Semoga dengan saran dan kritik tersebut, skripsi ini dapat bermanfaat dan diterima di kalangan pembaca yang lebih luas lagi di masa yang akan datang.
Gowa, 30 Mei 2022 Penyusun,
Muh. Surur
NIM: 30700117013
viii DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi
ABSTRAK ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
1. Pengertian Judul ... 7
2. Ruang Lingkup Pembahasan ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Metodologi Penelitian ... 12
1. Jenis Penelitian ... 12
2. Pendekatan Penelitian ... 12
3. Sumber Data ... 14
4. Metode Pengumpulan Data ... 14
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 15
F. Tujuan dan Kegunaan ... 16
1. Tujuan ... 16
2. Kegunaan ... 16
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG KAUM SARUNGAN ... 18
A. Kaum Sarungan ... 18
ix
1. Pengertian Kaum Sarungan ... 18
2. Sejarah Munculnya Kain Sarung ... 19
3. Sarungan Sebagai Tipologi Berpakaian ... 20
4. Kaum Sarungan dan Kesederhanaan Berpakaian ... 22
B. Kaidah Kes}ahihan Hadis ... 24
1. Pengertian Hadis S}ahi>h ... 25
2. Kaidah Kes}ahihan Sanad Hadis ... 27
3. Kaidah Kes}ahihan Matan Hadis ... 31
C. Fiqh al-H}adi>s\ ... 32
1. Pengertian Fiqh al-H}adi>s\ ... 32
2. Prinsip Dasar dalam Memahami Hadis Nabi ... 34
BAB III KUALITAS HADIS TENTANG KESEDERHANAAN BERPAKAIAN ... 38
A. Takhri>j al-H}adi>s\ ... 38
1. Pengertian Takhri>j al-H}adi>s\ ... 38
2. Tujuan Takhri>j al-H}adi>s\ ... 39
3. Metode Takhri>j al-H}adi>s\ ... 39
4. Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kitab Sumber ... 45
5. I’tiba>r al-H}adi>s\ ... 50
B. Kritik Sanad ... 54
1. Imam al-Tirmiz\i ... 54
2. Abba>s bin Muhammad al-Du>ri> ... 56
3. ‘Abdullah bin Yazi>d al-Muqri>’ ... 57
4. Sa’i>d bin Abi> Ayyu>b ... 58
5. Abu> Marhu>m ‘Abd al-Rahi>m bin Maimu>n ... 59
6. Sahal bin Mu’a>z\ ... 60
x
7. Mu’a>z\ bin Anas al-Juhani> ... 61
C. Kritik Matan ... 63
1. Kaidah Minor Terhindar dari „Illah... 68
2. Kaidah Minor Terhindar dari Syuzu>z ... 69
BAB IV KANDUNGAN HADIS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KAUM SARUNGAN ... 75
A. Analisis Kandungan Hadis Kesederhaan Berpakaian ... 75
1. Makna Kosa Kata ... 75
2. Ayat al-Qur‟an dan Hadis yang Setema ... 79
3. Syarah al-H}adi>s\ ... 82
B. Implementasi Hadis Kesederhanaan Berpakaian Terhadap Kaum Sarungan ... 84
BAB V PENUTUP ... 88
A. Kesimpulan ... 88
B. Implikasi ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI A. Transliterasi Arab-Latin
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut :
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
ا
Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkanب
Ba B Beت
Ta T Teث
s\a s\ es (dengan titik di atas)ج
Jim J Jeح
h}a h} ha (dengan titik di bawah)خ
Kha Kh ka dan haد
Dal D Deذ
z\al z\ zet (dengan titik di atas)ر
Ra R Erز
Zai Z Zetس
Sin S Esش
Syin sy es dan yeص
s}ad s} es (dengan titik di bawah)ض
d}ad d} de (dengan titik di bawah)ط
t}a t} te (dengan titik di bawah)ظ
z}a z} zet (dengan titik di bawah)ع
‘ain ‘ apostrof terbalikغ
Gain G Geؼ
Fa F Efؽ
Qaf Q Qiؾ
Kaf K Kaؿ
Lam L Elـ
Mim M Emف
Nun N Enو
Wau w Weػى
Ha h Haء
Hamzah ’ Apostrofى
Ya y Yexii
Hamzah (۶) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (‟).
2. Vokal
Vokal bahasa Arab seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
َأ
Fathah A Aِأ
Kasrah I Iُأ
Dammah U UVokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
ََ
ْﻱ
fathah dan ya Ai a dan iََْﻮ
fathah dan wau Au a dan uContoh:
َفْيَك
: kaifaَؿْﻮَى
: haula3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
xiii Harkat dan
Huruf
Nama
Huruf dan Tanda
Nama
ي َ... / ا َ...
fathah dan alif atau ya Ā a dan garis di atasَِ
ﻱ
kasrah dan ya Ī i dan garis di atasﻭ َُ
Dammah dan wau Ū u dan garis di atas Contoh:يَمَر
: ramāَليِق
: qīlaَتْﻮَُيَ
: yamūtu4. Tā’ Marbūṭah
Transliterasi untuk tā’ marbūṭah ada dua, yaitu: tā’ marbūṭah yang hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah, dammah, transliterasinya adalah [t].
sedangkan tā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta kedua kata itu terpisah, maka tā’ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).
Contoh:
ْؿاَفْطَْلْا ُةَضْوَر
: rauḍah al-aṭfālُةَلِضاَفْلا ُةَنْػيِدَمْلَا
: al-madīnah al-fāḍilahُةَمْكِْلَْا
: al-ḥikmah5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydīd ( - ), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.
xiv
اَنَّػبَر
: rabbanāاَنْػيََّنَ
: najjaināقَْلَْا
: al-ḥaqqَمِّعَػن
: nu‘‘imaوُدَع
: ‘aduwwunJika huruf
ي
ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah (يَِ
), maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah (ī).Contoh:
يِلَع : „Alī (bukan „Aliyy atau „Aly)
يِبَرَع : „Arabī (bukan „Arabiyy atau „Araby) 6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf
ؿا
(alif lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia di ikuti oleh huruf syamsiah Maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh:
ُسْمَشْلَا
: al-syamsu (bukan asy-syamsu)ةَلَزْلَزْلَا
: al-zalzalah (bukan az-zalzalah)ةَفَسْلَفْلَا
: al-falsafah 7. HamzahAturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (`) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh:
َفْوُرُمْأَت
: ta’muru>naxv
ُعْﻮَّػنلَا
: al-nau‘ٌءْيَش
: syai’unُتْرِمُأ
: umirtu8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur‟an (dari al- Qur‟an), sunnah, khusus dan umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
T{abaqa>t al-Fuqaha>’
Wafaya>h al-A‘ya>n 9. Lafz al-Jalalah (
الله
)Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frase nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
ِللا ُنْيِد
di>nulla>hِللاِب
billa>hAdapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz a-ljalalah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
ِللا ِةَْحَْر ِْفِ ْمُى
hum fi> rah}matilla>h 10. Huruf KapitalWalau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama dari (orang,
xvi
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK,DP, CDK, dan DR).
Contoh:
Inna awwala baitin wud}i‘a linna>si lallaz\i> bi Bakkata muba>rakan Syahru Ramad}a>n al-laz\i> unzila fi>h al-Qur’a>n
Nas}i>r al-Di>n al-T{u>si>
Abu>> Nas}r al-Fara>bi>
Al-Gaza>li>
Al-Munqiz\ min al-D}ala>l
Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu>
(bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi.
Contoh:
B. Daftar Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:
1. swt. : subh}a>nahu> wa ta’a>la>
2. saw. : s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam
‘Ali> ibn ‘Umar al-Da>r Qut}ni> Abu> Al-H{asan, ditulis menjadi: Abu> Al-H{asan,
‘Ali> ibn ‘Umar al-Da>r Qut}ni>. (bukan: Al-H{asan, ‘Ali> ibn ‘Umar al-Da>r Qut}ni> Abu>)
Nas}r H{a>mid Abu> Zai>d, ditulis menjadi: Abu> Zai>d, Nas}r H{a>mid (bukan: Zai>d, Nas}r H{ami>d Abu>)
xvii 3. as. : ‘alaihi al-sala>m 4. Cet. : Cetakan
5. t.p. : Tanpa penerbit 6. t.t. : Tanpa tempat 7. t.th. : Tanpa tahun
8. H : Hijriah
9. M : Masehi
10. QS. …/…: 4 : QS. al-Baqarah/2: 4 atau QS. A<li ‘Imra>n/3: 4
11. h. : Halaman
xviii ABSTRAK Nama : Muh. Surur
NIM : 30700117013 Prodi : Ilmu Hadis
Judul Skripsi : Kaum Sarungan Perspektif Hadis Nabi (Suatu Kajian Tahli>li Terhadap Hadis Tentang Kesederhanaan Berpakaian)
Kajian ini menguraikan tentang tinjauan umum tentang kaum sarungan dan kesederhanaan berpakaian, kualitas dan kehujjahan hadis, serta kandungan hadis tersebut. Hal demikian berdasarkan rumusan masalah yakni: (1) Bagaimana kualitas hadis tentang kesederhanaan berpakaian?; (2) Bagaimana kandungan hadis tentang kesederhanaan berpakaian?; (3) Bagaimana implementasi hadis kesederhanaan berpakaian terhadap kaum sarungan?. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas dan kehujjahan hadis, kandungan hadis, dan implementasi hadis dalam kehidupan terkait dengan kaum sarungan dan kesederhanaan berpakaian.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode tahli>li untuk menjelaskan dan menguraikan segala aspek yang terkandung di dalamnya melalui metode takhri>j al-h}adi>s\. Selain metode penelitian, pendekatan penelitian juga diperlukan untuk lebih memudahkan mencapai pengertian terkait masalah yang diteliti. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ilmu hadis dan pendekatan sosiohistoris.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa hadis tentang kesederhanaan berpakaian dapat dikategorikan menjadi: (1) Hadis ini memiliki 11 jalur periwayatan namun tidak memiliki sya>hid dan mutabi‘ karena yang meriwayatkan di tingkat sahabat (rawi al-a'la>) hanya Mu’a>z\ bin Anas al-Juhani> sedangkan yang meriwayatkan di tingkat tabi’in hanya Sahal bin Mu’a>z\, yang merupakan anak dari Mu’a>z\ bin Anas. Hadis yang diteliti adalah jalur periwayatan dari al-Tirmiz\i dan menghasilkan kualitas hasan sehingga dapat dijadikan hujjah dan dapat diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. (2) kandungan hadis ini bahwa seseorang yang meninggalkan pakaian mewah dikarenakan sikap tawa>d}u akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar di hari akhirat kelak oleh Allah swt. (3) Implementasi dari hadis tersebut terhadap tradisi kaum sarungan yakni apabila seseorang lebih mengutamakan memakai sarung yang dikategorikan sebagai pakaian sederhana, karena tawa>d}u dan rendah hati kepada Allah swt. dan sesama manusia, padahal ia mampu memakai pakaian yang lebih mewah, maka hal itu termasuk dalam hadis meninggalkan pakaian mewah dan kelak akan mendapatkan ganjaran pahala oleh Allah swt.
Dengan adanya skripsi ini, penulis berharap dapat menambah wawasan keilmuan terkhusus dalam kajian ilmu hadis masa sekarang atau masa yang akan datang. Memberikan pemahaman terkait “kaum sarungan” dan “kesederhanaan berpakaian” agar masyarakat dapat lebih mengetahui bagaimana pola hidup sederhana yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di dunia telah berlangsung sangat lama dan sudah melalui berbagai macam perkembangan. Aktivitas yang dilakukan manusia pun beragam dan tak pernah berhenti setiap hari. Begitupula dengan kebutuhan yang diperlukan dalam berkehidupan sehari-hari. Kebutuhan manusia seringkali tak ada habisnya. Salah satu alasannya adalah karena kebutuhan tersebut akan sangat berguna bagi kelangsungan hidup seseorang. Salah satu kebutuhan pokok manusia yakni meliputi sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (tempat tinggal).1
Pakaian telah menjadi kebutuhan yang fundamental bagi kehidupan manusia. Sejak dahulu hingga sekarang, baik di daerah perkotaan bahkan daerah pedalaman sekalipun, manusia telah mengenal pakaian untuk menutup bagian penting tubuh mereka. Tidak diketahui secara pasti kapan awal manusia memakai pakaian tapi para pakar antropologi2 percaya bahwa kulit binatang dan kulit pepohonan sebagai bahan pakaian dengan penutup sebagai perlindungan dari cuaca dingin, suhu panas dan hujan terutama saat manusia berimigrasi atau berpindah ke iklim yang baru.3
Bentuk dan model pakaian saat ini telah melalui perkembangan dari masa ke masa. Istilah fashion muncul sebagai gaya berbusana yang populer dalam suatu budaya atau sebagai mode. Perkembangan fashion sangat mempengaruhi berbagai segi kehidupan, baik itu segi budaya, politik, sosial, hingga ekonomi bahkan
1 Widyosiswoyo, Hariwijaya Soewandi. Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1991), h. 211-213.
2 Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani: anthropos, artinya “orang/manusia” dan
logos, artinya “ilmu/nalar”. Antropologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang manusia. Pakar antropologi disebut antropolog. Lihat: Nurmansyah,Gunsu dkk. Pengantar Antropologi (Bandar Lampung: Aura Publisher, 2019), h. 1.
3 “Sejarah Pakaian”, Wikipedia Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/
Sejarah-pakaian. Diakses tanggal 14 Agustus 2021.
memasuki ranah agama. Pakaian yang digunakan seseorang selain hanya menjadi penutup tubuh, dapat juga menjadi media komunikasi secara tidak langsung dan menjadi lambang identitas dari suatu kaum atau golongan. Berkembangnya dunia fashion ini membuat pakar dan desainer pakaian berlomba membuat model pakaian terbaru mereka. Akhirnya banyak bermunculan bentuk pakaian yang terkesan rumit dengan aksesoris-aksesoris yang meliputinya. Tidak sedikit pula pakaian yang menonjolkan kemewahan dan glamour dengan banyak pernak- pernik perhiasan di bahan pakaiannya. Belum lagi dari segi kualitas bahan, brand dan lain-lain yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam sikap hidup hedonisme.
Dalam ajaran agama Islam memang tidak ada model pakaian tertentu yang wajib dikenakan bagi seluruh pengikutnya. Agama menyerahkan sepenuhnya pada manusia untuk berkreasi dalam berpakaian asalkan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh agama. Hal tersebut berarti meskipun Islam tidak menjelaskan secara detail model pakaian Islami, tetapi dalam ajaran agama, Islam menjelaskan aturan umum dan etika berpakaian yang mesti dipahami dan diamalkan. Salah satu syariat yang dijelaskan dalam Islam yakni perintah untuk menutup bagian dari tubuh manusia agar tidak nampak dari pandangan orang lain atau lebih dikenal dengan istilah aurat.4 Menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan terutama yang telah dewasa dan dilarang memperlihatkannya kepada orang lain dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat. Dalil yang menjadi dasar dan landasan wajibnya menutup aurat ialah firman Allah swt,
4 Aurat adalah segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang malu atau mendapatkan aib (cacat), entah perkataan, sikap ataupun tindakan. Aurat sebagai bentuk dari suatu kekurangan maka sudah seharusnya ditutupi dan tidak untuk dibuka atau dipertontonkan di muka umum. Lihat:
Muthmainnah Baso, “Aurat dan Busana”, Jurnal Al-Qadau 2, no. 2 (2015): h.187.
ََٰذ َّۚ َّوٍِِتيِتَٰ َلَج وِن َّوٍِۡيَلَع َينِنۡدُي َينِيِنۡؤُهۡلٱ ِءٓاَسِنَو َمِحاَيَبَو َمِجََٰوۡزَ ِّلّ لُك ُّ ِبَِّلنٱ اٍَُّي َ أَٰٓ َي ن َ
د َٰٓ َىٰٓۡن َ د َمِل
اٗهيِحَّر اٗرَُفَغ ُ َّللَّٱ َن َكََو ََۗوۡيَذۡؤُي َلََف َوۡػَرۡعُي
ةرﻮس (
لْا بازح :
٥٩ )
Terjemahnya:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahza>b/33: 59)5
Dengan berlandaskan aturan umum dan etika berpakaian tadi, para desainer Muslim pun mengembangkan sendiri pakaian yang melambangkan identitas keislamannya. Ragam busana muslim dibuat agar dapat menggambarkan keislaman seseorang. Pakaian tersebut pun dapat disesuaikan untuk kebutuhan pakaian sehari-hari maupun hanya diperuntukkan untuk kegiatan beribadah saja.
Selain untuk menutup aurat, busana-busana muslim yang dibuat tersebut juga sesuai dengan syariat Islam yang lain seperti tidak transparan dan tidak ketat.
Salah satu hal yang juga menjadi ciri khas busana muslim yakni menekankan kesederhanaan dalam penampilan pemakainya.
Kesederhanaan dalam berpakaian telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw. semasa hidupnya. Nabi saw. memang merupakan pribadi yang gemar hidup sederhana atau bahkan zuhu>d.6 Beliau sesungguhnya dapat hidup bergelimang harta dan kenikmatan duniawi tetapi hal itu ditinggalkannya demi mengutamakan kemaslahatan umat. Begitupula dalam segi berpakaian, Nabi saw. sangat sederhana dalam berpenampilan. Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan pakaian yang dikenakan Nabi saw. Beliau memiliki sejumlah pakaian namun tak ada satupun yang menunjukkan nuansa kemewahan
5 Departeman Agama RI, Al-Hikmah: Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. IV (Bandung:
CV. Penerbit Diponegoro, 2006), h. 426.
6 Zuhud adalah berpaling dari sesuatu. Dalam konteks keduniaan berarti meninggalkan hal-hal yang halal dari dunia karena takut hisabnya dan meninggalkan hal-hal yang haram dari dunia karena takut siksaannya. Lihat: Imam Ahmad bin Hambal, Zuhud (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 1.
dengan pernak-pernik mewah yang umumnya dikenakan oleh penguasa-penguasa di zamannya. Pakaian Beliau tak jauh berbeda dengan pakaian yang dikenakan oleh para sahabat pada umumnya. Kesederhanaan berpakaian ala Nabi tersebut senada dengan sebuah hadis,
ِبَأ ُنْب ُديِعَس اَنَػثَّدَح ُئِرْقُمْلا َديِزَي ُنْب ِوَّللا ُدْبَع اَنَػثَّدَح يِرو دلا ٍدَّمَُمُ ُنْب ُساَّبَع اَنَػثَّدَح ِبَأ ْنَع َبﻮ يَأ
َس ْنَع ٍفﻮُمْيَم ِنْب ِميِحَّرلا ِدْبَع ٍـﻮُحْرَم ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا َؿﻮُسَر َّفأ ِويِبَأ ْنَع ِِّنَِهُْلْا ٍسَنَأ ِنْب ِذاَعُم ِنْب ِلْه
َماَيِقْلا َـْﻮَػي ُوَّللا ُهاَعَد ِوْيَلَع ُرِدْقَػي َﻮُىَو ِوَّلِل اًعُضاَﻮَػت َساَبِّللا َؾَرَػت ْنَم َؿاَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع ِسوُءُر ىَلَع ِة
َُي َّتََّح ِقِئ َلََْلْا اَهُسَبْلَػي َءاَش ِفاَيَِْإِا ِلَلُح ِّيَأ ْنِم ُهَرِّػي
)يذمترلا هاور(
7
Artinya:
Abba>s bin Muhammad Al-Du>ri telah menceritakan kepada kami>, ‘Abdullah bin Yazi>d al-Muqri>’ telah menceritakan kepada kami, Sa'i>d ibn Abi> Ayyu>b telah menceritakan kepada kami, dari Abu> Marhu>m 'Abd al-Rahi>m bin Maimu>n, dari Sahal bin Mu'a>z\ bin Anas Al Juhani>, dari ayahnya, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa meninggalkan pakaian (mewah) karena merendah kepada Allah padahal ia mampu, Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan semua makhluk hingga Ia mempersilahkan untuk memilih pakaian dari perhiasan mana saja yang ia mau." (HR. Al-Tirmiz\i)
Maka dari itu, bersikap sederhana dalam berpakaian sangatlah dianjurkan dalam ajaran agama Islam. Bahkan dalam hadis Nabi saw. yang lain, sederhana termasuk bagian dari Iman,
َمُأ ِبَأ ِنْب ِوَّللا ِدْبَع ْنَع َقَحْسِإ ِنْب ِدَّمَُمُ ْنَع َةَمَلَس ُنْب ُدَّمَُمُ اَنَػثَّدَح يِلْيَف ػنلا اَنَػثَّدَح ِوَّللا ِدْبَع ْنَع َةَما
ِلاَم ِنْب ِبْعَك ِنْب ُهَدْنِع اًمْﻮَػي َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ِؿﻮُسَر ُباَحْصَأ َرَكَذ َؿاَق َةَماَمُأ ِبَأ ْنَع ٍك
ِم َةَذاَذَبْلا َّفِإ َفﻮُعَمْسَت َلََأ َفﻮُعَمْسَت َلََأ َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص ِوَّللا ُؿﻮُسَر َؿاَقَػف اَيْػن دلا ِفاَيَِْإِا ْن
َّفِإ
َل حَقَّػتلا ِنِْعَػي ِفاَيَِْإِا ْنِم َةَذاَذَبْلا يِراَصْنَْلْا َةَبَلْعَػث ُنْب َةَماَمُأ ﻮُبَأ َﻮُى دُواَد ﻮُبَأ َؿاَق .
)دواد ﻮبأ هاور(
ٛ
Artinya:
Al-Nufaili> telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abu> Uma>mah, dari Abdullah bin Ka'b bin Ma>lik, dari Abu> Uma>mah ia berkata: "Pada suatu hari sahabat Rasulullah saw. memperbincangkan
7 Al-Tirmiz\i, Abu> ‘I>sa> Muhammad bin ‘I>sa> bin Saurah. Al-Ja>mi’ Al-Kabi>r S}unan al- Tirmiz|i, Juz. IV (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1998), h. 241.
8 Abu>> Da>wu>d, Sulaiman bin Asy’as\ bin Ishaq bin Basyi>r bin Syadda>d bin Amr al-Azadi>.
S}unan Abu>> Da>wu>d, Juz. IV (Beirut: al-Maktabah al-As}riyah, t.th), h. 75.
tentang dunia di sisinya, maka Rasulullah saw. bersabda: "Tidakkah kalian mendengar? Tidakkah kalian mendengar? Sesungguhnya sederhana dalam berpakaian adalah bagian dari iman. Sesungguhnya sederhana dalam berpakaian adalah bagian dari iman." Maksudnya adalah berpakaian apa adanya dan pantas.", Abu> Da>wu>d berkata; "Dia adalah Abu> Uma>mah bin S|a'labah Al Ans}a>ri>."
Di Indonesia sendiri, umumnya orang-orang beragama Islam dapat dikenali lewat pakaian yang dikenakannya. Untuk laki-laki, umumnya menggunakan baju koko disertai kopiah atau songkok dan sejenisnya untuk menutup kepala. Belakangan juga marak penggunaan jubah ala Timur Tengah bagi muslim laki-laki. Sedangkan untuk wanita, busana muslimnya yakni baju tertutup dan serba panjang yang menutupi bagian tubuh seperti rambut, leher, tangan dan kaki, seperti gamis dan sebagainya. Ciri yang paling umum ditandai bagi muslim wanita yakni penggunaan jilbab untuk kegiatan sehari-hari dan mukenah ketika kegiatan peribadatan.
Selain yang disebutkan diatas, ada satu pakaian yang sangat sering dijumpai digunakan oleh orang-orang muslim di Indonesia, umumnya laki-laki ketika beribadah, yakni pemakaian kain sarung. Sarung merupakan pakaian berupa kain lebar yang dijahit di kedua sisinya yang dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh. Muslim laki-laki di Indonesia marak menggunakan sarung dipadukan dengan baju koko dan kopiah jika ingin beribadah khususnya shalat lima waktu.
Kain sarung memang tak mewakili satu identitas tertentu jika kita melihat sudut pandang dunia secara luas. Sarung (sarong) di berbagai negara punya kegunaan dan fungsinya masing-masing. Namun di kalangan masyarakat Melayu, termasuk Indonesia, sarung dapat digunakan dalam berbagai kegiatan. Bisa untuk santai di rumah juga untuk kegiatan resmi seperti ibadah dan upacara perkawinan.
Sarung juga tidak mewakili satu golongan agama dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Karena banyak suku dan etnis di negeri ini yang punya kain tenun khas
daerahnya yang biasanya dibuat sarung dan digunakan untuk upacara adat setempat.
Masyarakat muslim di Indonesia kebanyakan menggunakan sarung dikarenakan pakaian ini mulai masuk ke Indonesia dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat kala menyebarkan agama Islam di Nusantara. Kebiasaan berpakaian inilah yang hingga saat ini masih sering digunakan oleh muslim tanah air dan seringkali menjadi ciri khas muslim. Karena sarung memberikan kesan sederhana bagi penampilan pemakainya lewat bentuknya yang simpel dan mudah dikenakan.
Bersarung atau “sarungan” juga sering dijumpai di berbagai sekolah agama Islam terutama pesantren tradisional maupun modern. Sarungan merupakan pakaian yang digunakan santri9 maupun pembina dan tenaga pengajar yang tinggal di pondok pesantren. Santri biasanya mengenakan sarung untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya, mulai dari ibadah, pengajian, diskusi, atau kegiatan pondok lainnya. Maka dari itu ada yang biasanya menyebut kelompok santri dengan istilah “Kaum Sarungan”.
Istilah “Kaum Sarungan” inilah yang menjadi cikal bakal penulis mengangkat judul “Kaum Sarungan Perspektif Hadis Nabi (Suatu Kajian Tahlili Terhadap Hadis Tentang Kesederhanaan Berpakaian)”. Penulis ingin menjelaskan bahwa “sarung” merupakan salah satu bentuk pakaian yang melambangkan kesederhanaan bagi pemakainya berlandaskan dengan perspektif hadis Nabi Muhammad saw. terkait hadis-hadis tentang kesederhanaan dalam berpakaian.
9 Santri menurut KBBI adalah orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Lihat: “Santri”, Tim Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi V, 2016 (KBBI V 0.2.1 Beta) [CD-ROM]. Diakses tanggal 14 Agustus 2021.
B. RumusanMasalah
Dari latar belakang masalah yang penulis jelaskan di atas untuk memperdalam penelitian ini maka penulis akan merumuskan beberapa pokok- pokok masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas hadis tentang kesederhanaan berpakaian?
2. Bagaimana kandungan hadis tentang kesederhanaan berpakaian?
3. Bagaimana implementasi hadis kesederhanaan berpakaian terhadap Kaum Sarungan?
C. Pengertian Judul dan Ruang Lingkup Pembahasan 1. Pengertian Judul
Judul skripsi ini adalah “Kaum Sarungan Perspektif Hadis Nabi (Suatu Kajian Tahlili Terhadap Hadis Tentang Kesederhanaan Berpakaian)”.
Sebagai langkah awal untuk membahas skripsi ini agar menghindari terjadinya kesalahpahaman, maka penulis akan memberikan uraian terhadap pengertian judul sebagai berikut:
a. Kaum Sarungan
Kaum sarungan terdiri dari dua kata yakni “kaum” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti suku bangsa, sanak saudara, kerabat, keluarga, golongan;10 dan kata “sarungan” yang berarti mengenakan atau memakai kain sarung. Jadi, kaum sarungan dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang menggunakan atau memakai pakaian sarung dalam berkehidupan sehari-hari, baik dalam kegiatan biasa (santai) maupun kegiatan resmi berupa upacara adat, pernikahan, dan kegiatan keagamaan.
10 “Kaum”, Kemendikbud RI, KBBI V. Diakses pada: 14 Agustus 2021.
b. Perspektif Hadis
“Perspektif” adalah cara melukiskan atau cara pandang suatu benda dan perbuatan yang memiliki tolak ukur, baik itu pajang, pendek lebar sebagaimana satuan itu berhubungan dengan yang lain.11 Adapun kata hadis berarti
ديدجلا
(sesuatu yang baru), lawan kataميدقلا
(sesuatu yang lama).selain itu, diartikan pula sebagai
ربخلا
(berita) yakni sesuatu yang dibicarakan atau dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.12 Ulama hadis pada umumnya menyatakan, bahwa hadis ialah segala ucapan Nabi, segala perbuatan, taqri>r (pengakuan) dan segala keadaan Beliau. Sedangkan ulama‘Ushu>l berpendapat bahwa hadis ialah segala perkataan, segala perbuatan, dan taqri>r Nabi, yang bersangkut paut dengan hukum. Sebagian ulama pun menyatakan, bahwa hadis ialah segala perkataan, perbuatan dan taqri>r Nabi, para sahabatnya dan para tabiin.13
Perspektif hadis dapat diartikan sebagai cara menilai dan menjelaskan sesuatu menggunakan sudut pandang dan tolok ukur hadis Nabi Muhammad saw. Adapun cara menjelaskan perspektif hadis tersebut menggunakan langkah-langkah kajian tahli>li. Kata tahli>li berasal dari bahasa Arab
– لح
لحي -
لاح
yang berarti menguraikan, memecahkan, pembebasan.14 Kajian tahli>li ialah menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalamnya, serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan kecenderungan pensyarah.15
11 El Rais, Heppy. Kamus Ilmiah Populer, Membuat Berbagai Kata dan Istilah Dalam Bidang Politik, Sosial, Budaya, Sains dan Teknologi, Psikologi, Kedokteran Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 486.
12 Arifin, Zainul. Studi Kitab Hadis, Cet. I (Surabaya: Al- Muna, 2013), h. 1.
13 Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis, Cet. III (Bandung: Angkasa, 1994), h. 2.
14 Munawwir, Ahmad Warson. Al- Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV (Surabaya: Pustaka Progressif, 1 997), h. 291 .
15 Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Studi Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, Cet. I (Depok: Rajawali Press, 201 9), h. 138.
c. Kesederhanaan Berpakaian
“Kesederhanaan” merupakan turunan dari kata “sederhana” yang memiliki arti bersahaja, tidak berlebih-lebihan, tidak banyak seluk-beluknya (kesulitan dan sebagainya).16 “Berpakaian” memiliki akar kata “pakai”. Kata
“berpakaian” menurut KBBI adalah kata kerja yang berarti “mengenakan pakaian”.17 Pakaian sendiri merupakan bahan tekstil dan serat yang digunakan sebagai penutup tubuh. Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh/tempat tinggal (rumah).18
Kesederhanaan berpakaian dapat diartikan sebagai cara memilih dan mengenakan pakaian dengan biasa dan tak berlebihan, tidak menonjolkan sesuatu serta menampilkan kebersahajaan dalam penampilannya. Adapun kesederhanaan berpakaian yang dimaksudkan penulis dalam skripsi ini yakni terbatas dalam hal bentuk dan model pakaian yang dikenakan seseorang.
Penulis tidak menilai kesederhanaan suatu pakaian dari corak, motif, harga, kualitas bahan, atau dari metode pembuatan dan penciptaan suatu pakaian tertentu.
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Berdasarkan penjelasan istilah-istilah kajian tersebut diatas, maka fokus kajian yang dipilih oleh penulis yakni mengenai cara berpakaian ala Kaum Sarungan yang marak dijumpai di kalangan umat muslim di Indonesia dengan menggunakan perspektif hadis kesederhaan dalam berpakaian ala Rasulullah Muhammad saw. Hadis yang diangkat pada penelitian ini merupakan hadis riwayat dari Mu’a>z\ bin Anas al-Juhani>, juga hadis-hadis lain yang setema dalam
16 “Sederhana”, Kemendikbud RI, KBBI V. Diakses pada: 14 Agustus 2021.
17 “Berpakaian”, Kemendikbud RI, KBBI V. Diakses pada: 14 Agustus 2021.
18 “Pakaian”, Wikipedia Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/ Pakaian. (14 Agustus 2021).
al-kutu>b al-tis’ah19 dengan menggunakan metode kajian tahlili. Penulis menggunakan kajian tahlili agar mampu menjelaskan hadis tersebut dan melakukan interpretasi terhadap kebiasaan Kaum Sarungan yang telah dijelaskan sebelumnya.
D. Kajian Pustaka
Penulis menggunakan beberapa penelitian karya ilmiah terdahulu yang berhubungan dengan judul skripsi ini yaitu:
1. Buku yang berjudul Nasionalisme Kaum Sarungan karya A. Helmy Faishal Zaini. Buku ini menjelaskan tentang apa itu “Kaum Sarungan”
serta bagaimana pola pikir orang-orang yang termasuk di dalamnya terkhusus terkait hal-hal yang berbau nasionalis. Penulis menerangkan dalam bukunya bahwa “Kaum Sarungan” yakni mereka yang mendalami ilmu agama di pesantren-pesantren dan menjadi pilar tetap tegaknya Pancasila di Bumi Pertiwi. “Kaum Sarungan” ini tekun dan setia mendalami keislaman dan memegang teguh jiwa nasionalisme Pancasila guna mewujudkan Indonesia yang damai dan sebagai perwujudan Islam yang rahmatan lil alamin.20
2. Skripsi yang ditulis oleh Ita Fatmawati yang berjudul Implementasi hadis Etika Berpakaian (Studi Living Hadis Pada Jama’ah Majelis Taklim Al-
Kahfi Salatiga). Penulis skripsi tersebut menjelaskan terkait bagaimana etika berpakaian dalam Islam disertai dengan hadis-hadis yang dihimpun dalam berbagai kitab al-kutu>b al-tis’ah. Selanjutnya penulis menggunakan
19Al-Kutub al-Tis‘ah yaitu:1) S}ahi>h al-Bukha>ri>, 2) S}ahi>h Musli>m, 3) Sunan al-Tirmiz\i, 4) Sunan Abu>> Da>wu>d, 5) Sunan al-Nasa>’i>, 6) Sunan Ibnu Ma>jah, 7) Sunan al-Da>rimi>, 8) Muwattha>’ Imam Ma>lik, dan 9) Musnad Ahmad ibn H}anbal.
20 Helmy Faishal Zaini, A. Nasionalisme Kaum Sarungan (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2018).
metode living hadi>s\21 untuk menjelaskan keterkaitan antara hadis-hadis tersebut dengan kebiasaan berpakaian yang dilakukan oleh jama‟ah Majelis Taklim Al-Kahfi Salatiga.
3. Jurnal yang ditulis oleh Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi yang berjudul Etika Berpakaian dalam Islam (Studi Tematik Akhlak Berpakaian Pada Kitab S{ahih Bukha>ri>). Hasil penelitian tersebut menjelaskan mengenai konsep akhlak berpakaian yang diajarkan dalam agama Islam untuk muslim laki-laki dan perempuan. Penulis juga memaparkan beberapa bentuk pakaian muslim dan muslimah yang sering dijumpai di kehidupan sehari-hari. Penulis pun menguatkan argumentasi dalam jurnalnya dengan memaparkan berbagai hadis-hadis yang terkait dengan akhlak dan adab berpakaian yang terdapat dalam kitab S{ahih Bukha>ri>.22
4. Jurnal yang ditulis oleh V. Naniek Risnawati yang berjudul Busana Mencerminkan Kepribadian. Penelitian berupa jurnal tersebut memberikan penjelasan kepada pembacanya terkait kepribadian (personality) seseorang dapat dilihat dari busana atau pakaian yang dikenakannya. Penulis memaparkan dalam jurnalnya tentang cara berpakaian yang baik agar terpancar pula citra pribadi (personal image) yang baik bagi orang yang melihatnya.23
5. Skripsi yang ditulis oleh Annisa Nabila Zulfa yang berjudul Pandangan Al-Qur’an Terhadap Gaya Hidup Hedonisme (Studi Analisis Kitab Tafsir
21 Living hadis\ adalah hadis-hadis yang hidup dan dipraktikan dalam kehidupan di masyarakat, juga praktik keagamaan sebagai bentuk pengalaman hidup sehari-hari. Lihat: Ita Fatmawati, “Implementasi Hadis Etika Berpakaian (Studi Living Hadis Pada Jama‟ah Majelis Taklim Al-Kahfi Salatiga)”, Skripsi (Salatiga: Fak. Ushuluddin Adab dan Humainora IAIN Salatiga, 2019).
22 Titik Rahmawati dan Agus Khunaifi, “Etika Berpakaian dalam Islam (Studi Tematik Akhlak Berpakaian Pada Kitab Shahih Bukhari)”, Jurnal Inspirasi 3, no. 1 (Januari-Juni 2019): h.
55-80.
23 V. Naniek Risnawati, “Busana Mencerminkan Kepribadian”, Jurnal STIE Semarang 6,
no. 1 (Februari 2014): h. 18-27.
Risalah an-Nur Karya Badi’ az-Zaman Said an-Nursi). Skripsi ini menjelaskan tentang gaya hidup hedonisme saat ini yang menjadikan kesenangan dan kenikmatan sebagai tujuan hidup. Hal-hal yang berbau kemewahan juga termasuk dalam kategori hedon yang sangat bertolak belakang dengan pola hidup sederhana ala Rasulullah saw. Penjelasan yang diuraikan dalam skripsi ini juga didukung dengan berbagai term dalam al-Qur‟an yang berhubungan dengan hedonisme serta diberikan penjelasan tafsir yang merujuk kepada kitab karya Said an-Nursi.24
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian sebagai salah satu faktor penting dan penentu keberhasilan suatu penelitian. Langkah yang dimiliki dan dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan informasi atau data yang telah didapatkan. Penelitian ini akan menyajikan pemahaman tentang kesederhanaan berpakaian ala Kaum Sarungan melalui penjelasan hadis Nabi saw. Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menganalisis data yang bersifat kualitatif yang menekankan pada kualitas dan validitas data yang relevan untuk memecah masalah dan disajikan dalam bentuk deskriptif.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan adalah proses, cara atau usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan objek yang diteliti. Penelitian ini menggunakan beberapa jenis pendekatan, yaitu:
24Annisa Nabila Zulfa, “Pandangan Al-Qur‟an Terhadap Gaya Hidup Hedonisme (Studi Analisis Kitab Tafsir Risalah an-Nur Karya Badi‟ az-Zaman Said an-Nursi)”, Skripsi (Jakarta: Fak.
Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-Qur‟an, 2020).
a. Pendekatan Ilmu Hadis
Peneliti menggunakan pendekatan ilmu hadis sebab yang menjadi faktor utama yaitu penelitian hadis. Langkah awal pada penelitian ini akan merujuk pada kitab sumber hadis terlebih dahulu. Selanjutnya melakukan pengecekan terkait otentitas data hadis yang didapatkan menggunakan beberapa ilmu seperti ‘ilm Jarh wa Ta’di>l,25 ‘ilm Rija>l al-H{adi>s\26 dan sebagainya. Dalam melakukan interpretasi terhadap hadis-hadis yang ditemukan, penulis menggunakan ‘ilm Ma’a>ni> al-H{adi>s\27 guna mendapatkan pemaknaan yang lebih dalam terkait hadis yang ditemukan. Ilmu-ilmu ini sebagai sarana untuk mengkaji sanad dan matan dari hadis-hadis yang diteliti.
b. Pendekatan Sosiohistoris (Sejarah)
Pendekatan ini digunakan untuk memahami hadis dengan mempertimbangkan sosial kultural masyarakat pada saat Rasulullah saw.
mengeluarkan sabdanya. Ilmu yang digunakan yaitu ilmu asba>b al-wurud h}adi>s\.28 Pendekatan ini juga digunakan untuk mengetahui asal muasal kain
25 ‘Ilm Jarh wa ta’di>l adalah ilmu yang membahas hal ihwal para periwayat dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka. Lihat: Syahraeni, A. Kritik Sanad dalam Perspektif Sejarah, Cet. I (Makassar: Alauddin Press, 201 1 M), h. 99.
26 ‘Ilm Rija>l al-H{adi>s\ adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, dari tabi‟in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadis dari Rasulullah saw., dari sahabat dan seterusnya, di dalam ilmu ini diterangkan juga tarik atau sejarah ringkas atau riwayat hidup para perawi, mazhab yang di pegangi oleh perawi dan keadaan keadaan para perawi. Lihat: Al- Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist. Edisi III (Semarang:
Pustaka Rizki Putra 2009), h. 113.
27 ‘Ilm Ma’a>ni> al-H{adi>s\ adalah ilmu yang mempelajari tentang hal-ihwal kata Arab, sesuai
dengan keadaannya, sehingga terjadi perbedaan pandangan tentang suatu kalimat karena perbedaan keadaan. Lihat: Ahmad, Arifuddin. Metodologi Pemahaman Hadis Kajian Ilmu Ma’a>ni>
al-H{adis, Cet. II (Makassar: Alauddin University Press. 201 3), h. 5.
28 Asbab al-wurud h}adi>s\ adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab atau peristiwa yang terjadi sehingga hadis tersebut disampaikan oleh Rasulullah saw. Lihat: Al-Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 1993), h. 132.
sarung serta sejarah awal munculnya dan mulai tersebar dan digunakan di berbagai daerah di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
3. Sumber Data
Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka data yang diperoleh adalah data yang bersumber dari literatur, yang dimana sumber data yang penulis gunakan ada dua yaitu:
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian. Jadi peneliti dapat menyimpulkan bahwa sumber data primer pada penelitian kepustakaan ini yaitu berupa kitab standar hadis (al-kutu>b al-tis’ah), kitab syarah, buku hadis, dan buku ilmu hadis yang membahas mengenai hadis-hadis kesederhanaan berpakaian.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sekumpulan data yang menunjang atau melengkapi data primer yang berkaitan dengan penelitian yang penulis teliti.
Adapun kaitannya dengan penelitian ini maka penulis mencari bahan lain yang berhubungan dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini berupa ayat al-Qur‟an, kitab tafsir, buku, jurnal, artikel, website yang berhubungan dengan Kaum Sarungan dan kesederhanaan berpakaian dalam Islam.
4. Metode Pengumpulan Data
Salah satu usaha pengumpulan data adalah dilakukan dengan menggunakan takhri>j al-h}adi>s\29 dengan menelusuri kitab al-kutu>b al-tis’ah.
Langkah-langkahnya yaitu sebagai berikut:
29 Takhrij al-h}adi>s adalah penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab hadis sebagai sumber asli dan hadis yang bersangkutan), baik menyangkut materi atau isi (matan) maupun jalur periwayatan (sanad) hadis yang dikemukakan. M. Agus Solahusin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Cet. III (t.t: Pustaka Setia, 2017), h. 191.
a. Mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan judul yang diangkat dari berbagai sanad, matan, dan mukharrij.
b. Data yang diperoleh diidentifikasi kemudian diklasifikasi.
c. Selanjutnya melakukan i’tiba>r30 dengan cara membuat skema hadis untuk menentukan sya>hid31 dan mutabi„32 dari hadis yang diteliti.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini bersifat deksriptif dan eksplanasi karena menjelaskan kualitas, keakuratan serta analisis terhadap salah satu aspek dari hadis Nabi saw.
Adapun interpretasi kandungan dan hakikat hadis didapatkan dari kodifikasi kitab atau buku-buku dengan mengedepankan sikap selektif demi tercapainya literatur yang valid.
Teknik pengolahan data yang penulis gunakan adalah metode deduktif, yaitu metode pengolahan data yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum lalu menyimpulkannya secara khusus. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap data yang telah didapatkan. Data yang dianalisis terkait kualitas sanad dan matan hadis dengan melakukan kritik sanad dan kritik matan. Kemudian melakukan interpretasi hadis yang diteliti dengan memperhatikan segi tekstual, kontekstual serta intertekstualitas hadis dengan berpedoman pada buku Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma‘ani al-H}adi>s\.33
30 I’tiba>r adalah proses observasi atau penyelidikan terhadap beberapa jalur isnad yang diduga sendirian (fard), untuk mengetahui apakah ada orang lain yang meriwayatkan hadis atau tidak, sehingga nantinya diketahui apakah hadis tersebut mempunyai mutabi’ atau sya>hid (penguat atau pendukung) atau tidak. Lihat: Mochtar, M. Mashuri. Kamus Istilah Hadis, Cet. I (Pasuruan:
Pustaka Sidogiri,1435 H), h. 80.
31 Dalam ilmu hadis, kata sya>hid dimaksudkan sebagai hadis pendukung terhadap hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang berbeda terhadap hadis yang sama. Mochtar, M. Mashuri.
Kamus Istilah Hadis, h. 188.
32 Mutabi’ adalah hadis yang menyamai hadis lain dalam periwayatan untuk hadis yang sama, mulai dari gurunya, atau guru-gurunya, dan dalam redaksi hadisnya, tapi tidak dalam maknanya. Mochtar, M. Mashuri. Kamus Istilah Hadis, h. 261.
33 Ahmad, Arifuddin Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma‘ani al-H}adi>s.
Penelitian ini juga menggunakan metode tahli>li sehingga dalam penelitiannya juga menggunakan langkah-langkah metode tahli>li dalam pengolahan dan analisis datanya. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Menjelaskan kualitas hadis yang diteliti baik dari segi sanad maupun matan.
b. Menganalisis kosa kata, frase atau syarah al-mufrada>t.
c. Menerangkan hubungan hadis yang diteliti dengan ayat al-Qur‟an atau hadis lain yang memiliki kemiripan tema.
d. Menjelaskan secara historis sebab munculnya hadis (asba>b al-wurud).
e. Menjelaskan kandungan hadis.
f. Menguraikan hikmah yang dapat dipetik dari hadis yang diteliti.
F. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan
Berdasarkan permasalahan diatas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui kualitas hadis tentang kesederhanaan berpakaian.
b. Untuk mengetahui kandungan hadis tentang kesederhanaan berpakaian.
c. Untuk mengetahui implementasi hadis kesederhanaan berpakaian terhadap Kaum Sarungan.
2. Kegunaan
Adapun kegunaan dari penelitian skripsi ini diantaranya:
a. Kegunaan teoretis
Mengkaji dan membahas hal-hal yang berkaitan dengan skripsi ini, sedikit banyaknya akan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam kajian hadis dan menjadi sumbangsih bagi akademik, baik di masa sekarang
maupun di masa yang akan datang. Menambah wawasan bagi penulis, dan umumnya bagi para pembaca bahwa pentingnya mengetahui bagaimana kesederhanaan berpakaian ala Rasulullah saw. dalam hadisnya.
b. Kegunaan praktis
Dari rumusan masalah yang penulis paparkan diatas maka, kegunaan penulisan skripsi ini yang hendak dicapai adalah untuk memberi pemahaman pada pembaca tentang konsep berpakaian ala Rasulullah saw. yang mengedepankan kesederhanaan dan tidak menampakkan kesombongan dalam berpenampilan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG KAUM SARUNGAN A. Kaum Sarungan
1. Pengertian Kaum Sarungan
Kaum sarungan terdiri dari dua kata yakni “kaum” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti suku bangsa, sanak saudara, kerabat, keluarga, golongan;34 dan kata “sarungan” yang berarti mengenakan atau memakai kain sarung. Sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung. Dalam pengertian busana internasional, sarung atau sarong berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannnya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh.35
Berdasarkan makna leksikal tersebut, kaum sarungan dapat diartikan sebagai kelompok masyarakat yang menggunakan atau memakai pakaian sarung dalam berkehidupan sehari-hari, baik dalam kegiatan biasa (santai) maupun kegiatan resmi berupa upacara adat, pernikahan, dan kegiatan keagamaan.
Namun istilah kaum sarungan kerap diidentikkan dengan kalangan santri yang tinggal di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Penyebutan ini merujuk pada kebiasaan para santri dalam kesehariannya suka memakai kain sarung.36 Kalangan santri dalam segala kegiatannya di pondok pesantren kerap terlihat mengenakan kain sarung, seperti dalam kegiatan belajar mengajar, ibadah atau hanya sebagai pakaian sehari-hari.
34 “Kaum”, Kemendikbud RI, KBBI V. Diakses pada: 14 Agustus 2021.
35 “Sarung”, Wikipedia Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Sarung. Diakses
tanggal 14 Agustus 2021.
36 Olih Solihin, “Makna Komunikasi Non Verbal Dalam Tradisi Sarungan Di Pondok Pesantren Tradisional Di Kota Bandung”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung.
2. Sejarah Munculnya Kain Sarung
Kain sarung merupakan sebuah pakaian tradisional yang menurut beberapa referensi awal mulanya berasal dari Semenanjung Arab, tepatnya dari Yaman. Di negeri itu sarung biasa disebut fūṭah. Sarung juga dikenal dengan nama iza>r, wizār, dan maʿwaz atau maʿāwiz. Sarung telah menjadi pakaian tradisonal masyarakat Yaman. Hingga kini, tradisi itu masih tetap melekat kuat. Sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman. Orang-orang yang berkunjung ke Yaman biasanya menjadikan sarung sebagai buah tangan.
Sarung Yaman terdiri dari beberapa variasi, di antaranya model assafi, al-kada, dan annaqshah.
Kain sarung pun mulai dikenal di beberapa daerah di Semenanjung Arab.
Di Hadhramawt sarung disebut ṣārūn di pedalaman dan ṣārūm di wilayah pesisir.
Di Arab Saudi, sarung dikenal sebagai iza>r. Desain dapat kotak-kotak atau bergaris juga bunga atau arabesque (seni ornamen Islam), tetapi kotak-kotak ganda (yaitu, bagian vertikal dari izār dengan pola kotak-kotak yang berbeda) desain dari Indonesia juga sangat populer. Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.
Di negara-negara diluar Semenanjung Arab, contohnya di India, sarung dikenal dengan nama lungi. Di Sri Lanka mereka menyebutknya dengan nama sa>ram atau cha>ram. Di benua Afrika, sarung dapat ditemukan di Somalia dan daerah yang dihuni Muslim lainnya. Orang-orang Somalia menyebut sarung dengan nama macawi>s atau ma'a>wi>s. Sedangkan di Asia Tenggara, kain sarung sangat sering dijumpai dikenakan di berbagai negara seperti Malaysia yang dikenal dengan nama kain pelikat, Filipina dengan nama malong, serta di
Indonesia. Sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 14, dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat kala menyebarkan agama Islam.37
3. Sarungan Sebagai Tipologi Berpakaian
Kain sarung tidak mewakili satu identitas tertentu jika melihat sudut pandang dunia secara luas. Sarung di berbagai negara punya kegunaan dan fungsinya masing-masing. Sarungan atau bersarung bisa untuk kegiatan santai di rumah juga untuk kegiatan formal. Terdapat beberapa tipe penggunaan kain sarung yang penulis jumpai di Indonesia yakni sebagai berikut:
a. Sarung sebagai salah satu mode atau fashion
Kain sarung secara umum menjadi salah satu dari sekian model pakaian yang ditemukan di dunia yang tujuan utamanya untuk menutup bagian dari tubuh manusia. Kain sarung merupakan sepotong kain yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga mnyerupai tabung dan biasanya terbuat dari berbagai macam bahan kain, seperti katun, polyester, sutra, tenun, songket, dan tapis.38 Jadi, intinya penggunaan sarung hanyalah sebatas model pakaian yang tercipta dari perkembangan fashion di dunia terlepas dari penggunaannya di kegiatan atau acara tertentu.
b. Sarung sebagai bagian dari budaya dan tradisi
Kain sarung yang awal mulanya muncul sebagai pakaian tradisional di Yaman, begitupula ketika mulai masuk dan berkembang di Indonesia. Di negeri dengan banyak suku dan adat istiadat ini memiliki kain tradisional tersendiri dan sering dibuat menjadi sebuah sarung. Ragam sarung tradisional dan khas dari berbagai suku di Indonesia seperti: sarung ulos di Sumatera
37 “Sarong”, Wikipedia The Free Encyclopedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Sarong.
Diakses tanggal 2 Maret 2022.
38 Fitline, “Kain Sarung: Sejarah Singkat, Pemanfaatn Serta Tips Memilihnya Yang Bisa Anda Coba”, https://fitinline.com/article/read/kain-sarung--sejarah-singkat-pemanfaatan-serta-tips- memilihnya-yang-bisa-anda-coba/. Diakses tanggal 3 Maret 2022.
Utara yang sangat identik dengan suku Batak; sarung tenun ikat di Samarinda, Kalimantan Timur; sarung tenun goyor di Jawa Tengah; lipa’ sabbe (sarung sutera) khas Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan; sarung tenun poleng khas Bali,39 dan masih banyak lagi. Ragam sarung tersebut dibuat dengan kain khas daerah masing-masing dan cara pembuatan yang khas pula. Penggunaan kain sarung tersebut juga hanya diperuntukkan untuk kegiatan adat setempat, seperti sarung sutera Bugis-Makassar yang sering dijumpai tatkala upacara pernikahan dipadukan dengan baju bodo (pakaian tradisional Bugis- Makassar).
c. Sarung yang telah menjadi identitas kelompok atau pribadi
Sarung dapat menjadi sebuah identitas apabila telah dikenakan oleh sebuah kelompok atau pribadi secara lama dan konsisten. Sebagai contoh, penggunaan kain sarung kerap ditemukan di lingkungan pesantren tradisional di Indonesia. Kebiasaan santri mengenakan busana sarung dalam kesehariannya, melahirnya suatu stigma sebagai “kaum sarungan”. Sarung telah menjadi identitas kaum santri. Terdapat beberapa hal yang mendasari tetap lestarinya tradisi sarungan di pondok pesantren, yakni: (1) sarung dinilai sebagai bentuk adab atau sopan santun khas santri.; (2) santri menganggap bahwa pakaian sarungan itu sebagai warisan budaya para ulama di pondok pesantren.; (3) sarungan dimaknai sebagai bentuk bersahaja.; (4) tradisi sarungan juga sebagai bentuk perlawanan terhadap gencarnya penetrasi budaya barat, khususnya dalam hal budaya berpakaian.40
39 Ini Baru, “Yuk Kenalan dengan Sarung-Sarung Khas Indonesia”, https://inibaru.id/
hits/yuk-kenalan-dengan-sarung-sarung-khas-indonesia. Diakses tanggal 3 Maret 2022.
40 Olih Solihin, “Makna Komunikasi Non Verbal Dalam Tradisi Sarungan Di Pondok Pesantren Tradisional Di Kota Bandung”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung.
Selain diidentikkan dengan kelompok santri, sarung juga dapat menjadi identitas tersendiri bagi seseorang apabila dalam kesehariannya sering memakai sarung. Sebagai contoh, beberapa Kiai di Pondok Pesantren tak lagi memakai sarung sekedar pakaian biasa, namun telah menjadi identitas pribadinya. Seperti kisah KH. Abdul Wahab Chasbullah ketika menghadiri undangan Presiden Soekarno di Istana Negara, alih-alih mengenakan celana panjang sebagai protokoler busana resmi, beliau mengenakan kain sarung dipadukan dengan jas. Karena hal tersebut telah menjadi identitas beliau j