• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Anastia Estianing

N/A
N/A
renz

Academic year: 2025

Membagikan "Skripsi Anastia Estianing"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Kokoh dalam IMTAQ

LAPORAN HASIL PENELITIAN

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIRETROVIRAL (ARV) PENDERITA HIV/AIDS DI

POLIKLINIK PUSPA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA TAHUN 2014

DISUSUN OLEH :

ANASTIA ESTIANING RETNO WULANDARI 2012727097

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2014

(2)
(3)
(4)

i Riset Keperawatan, Jakarta Maret 2014

ANASTIA ESTIANING RETNO WULANDARI

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN KEPATUAHAN MINUM OBAT

ANTIRETROVIRAL (ARV) PENDERITA HIV/AIDS DI POLIKLINIK PUSPA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA TAHUN 2014

7 BAB + 84 HALAMAN + 8 TABEL + 3 LAMPIRAN

ABSTRAK

HIV dan AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang sudah sangat mengkhawatirkan, hal ini dilihat dari prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan minum obat antiretroviral (ARV) penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Tahun 2014. Desain penelitian ini adalah menggunakan metode desain deskriptif analitik dengan pendekatan Cross Sectional.

Responden berjumlah 40 responden. Tehnik ariabel penelitian ini adalah univariat dan bivariat dengan menggunakan uji statistik Chi-Square. Hasil penelitian didapat 25 (62,5%) responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, 26 (65,0%) responden patuh menjalankan terapi Antiretroviral (ARV), ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ODHA dengan keberhasilan terapi Antiretroviral (ARV) dengan p value 0,017. Kesimpulannya adalah ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat Antiretroviral pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan. Berdasarkan hasil penelitian diatas disarankan kepada para perawat agar lebih meningkatkan pelayanannya terutama dalam memberikan informasi yang benar dan lengkap mengenai dampak dari tidak patuh atau terputusnya minum obat ARV.

Kata kunci : HIV/AIDS, Tingkat Pengetahuan, Kepatuhan Daftar Pustaka : 2000 - 2013

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian Keperawatan yang berjudul ”Hubungan Pengetahuan Dengan Kepatuhan Minum Obat Antiretroviral (ARV) Penderita HIV/AIDS Di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Tahun 2014”. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman terang benderang seperti saat ini.

Selama penyusunan laporan penelitian, saya tidak lepas dari berbagai hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan dan bantuan semua pihak, akhirnya saya dapat menyelesaikannya. Untuk itu perkenankanlah saya mengucapkan banyak terimakasih terutama kepada:

1. Ibu Irna Nursanti, S.Kp., M.Kep. Sp.Mat. selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta dan selaku wali kelas Program Tarakan angkatan 2012 yang telah banyak memberikan bimbingannya.

(6)

v

2. Ns.Nurhayati, SP.Kep.Kom. selaku pembimbing I Riset Keperawatan Komunitas yang penuh dengan kesabaran dan telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada saya.

3. Bapak Muhammad Hadi, SKM., M.Kep. selaku pembimbing II Riset Keperawatan Komunitas yang telah banyak memberikan bimbingannya kepada saya.

4. Ibu Dra. Nadjah Halimun dan Mas Agus selaku kepala PERPUSTAKAAN dan staf yang telah membantu mencari buku sumber untuk pembuatan proposal penelitian.

5. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Kepala Diklat, Kepala Poliklinik yang memberi ijin untuk studi kasus “Hubungan Pengetahuan Dengan Kepatuhan Minum Obat Antiretroviral (ARV) Penderita HIV/AIDS Di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.

6. Seluruh teman-teman PSIK Program Tarakan angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan dan rasa kebersamaan seperti keluarga sendiri.

7. Kepada keluarga dan suami beserta anak-anakku yang telah memberikan Doa, meteril, moril dan dukungan dikala saya sedang menyusun Riset Keperawatan ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan nikmatnya kepada kita sekeluarga.

8. Semua pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

(7)

vi

dengan segenap kerendahan dan keterbatasan diri yang dimiliki, saya menyadari bahwa ini jauh dari kesempurnaan karena saya adalah tempatnya bersalah dan hanya Allah S.W.T-Lah tempat kebenaran.

Besar harapan saya semoga hasil penelitian ini bermanfaat untuk diri saya sendiri maupun bagi orang banyak.

Wassalamu’ alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Maret 2014

Penulis

(8)

vii

DAFTAR ISI

Halaman JUDUL PENELITIAN

ABSTRAK ………. i

LEMBAR PERSETUJUAN ... . ii

LEMBAR PENGESAHAN ……… . . iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ……….. . . vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umun ... 9

2. Tujuan Khusus ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HIV/AIDS ... 11

1. Pengertian HIV/AIDS ... 11

2. Penyebab HIV/AIDS ... 11

3. Tanda dan Gejala HIV/AIDS ... 12

(9)

viii

4. Penularan HIV/AIDS ... 13

5. Pencegahan HIV/AIDS ... 13

6. Perawatan Pasien HIV/AIDS ... 14

7. Penerapan Tehnik Pencegahan Umum... 16

B. Tingkat Pengetahuan ... 22

1. Pengertian Pengetahuan ... 22

2. Tingkat Pengetahuan ... 22

3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Seseorang ... 25

C. Obat Antiretroviral ... 29

D. Kepatuhan ... 36

1. Pengertian Kepatuhan ... 36

BAB III KERANGKA KONSEP HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep ... 50

B. Hipotesis ... 51

C. Definisi Operasional ... 52

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 55

B. Populasi dan Sampel... 55

C. Waktu dan Tempat Penelitian ... 56

D. Etika Penelitian ... 57

E. Alat Pengumpulan Data ... 59

F. Uji Validitas dan Reabilitas ... 60

(10)

ix

G. Prosedur Pengumpulan Data ... 65 H. Pengelolaan Analisa Data ... 66 BAB V HASIL PENELITIAN

A. Analisa Univariat ... 70 B. Analisa Bivariat ... 74 BAB VI PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat ... 76 B. Analisa Bivariat ... 79

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN Lampiran I : Lembar Persetujuan Peneliti

Lampiran II : Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran III : Lembar Kuesioner

(11)

x

TABEL 2.1 Kombinasi ARV untuk terapi inisial 32 TABEL 2.2 Dosis ARV untuk penderita HIV/AIDS dewasa 33 TABEL 2.3 Toksisitas utama pada regimen ARV lini pertama

Dan anjuran obat penggantinya 34

TABEL 3.1 Definisi operasional 52

TABEL 4.1 Reliabilitas berdasarkan nilai alpha 64 TABEL 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik demografi

Pasien dengan HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit

Daerah Tarakan Februari 2014 71 TABEL 5.2 Karakteristik responden berdasarkan variable penelitian

(tingkat pengetahuan dan kepatuhan minum obat ARV)

Februari 2014 73

TABEL 5.3 Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan berhubungan dengan kepatuhan minum obat Antiretroviral pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Februari 2014 74

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Permohonan kesediaan menjadi responden LAMPIRAN 2 Pernyataan kesediaan menjadi responden LAMPIRAN 3 Lembar kuesoner

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

HIV dan AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang sudah sangat mengkhawatirkan, hal ini dilihat dari prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat cepat.Pada tahun 1987 kasus HIV dan AIDS ditemukan untuk pertama kalinya hanya di Pulau Bali.Sementara sekarang ini semua provinsi di Indonesia sudah ditemukan kasus HIV dan AIDS.

Permasalahan HIV dan AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus meminta perhatian berbagai kalangan, terutama sektor kesehatan. Namun sesungguhnya masih banyak informasi dan pemahaman tentang permasalahan kesehatan ini yang masih belum diketahui lebih jauh oleh masyarakat dalam rangka menanggulangi HIV dan AIDS di Indonesia (Depkes RI, 2010).

Penanggulangan kasus HIV/AIDS di Indonesia, Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional (KPAN) telah menerbitkan Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 – 2014. Dokumen ini kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dengan Nomor 08/Per/Menko/Kesra/I/2010. Strategi dan rencana aksi itu ditujukan untuk mencegah dan mengurangi risiko penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada

(14)

individu, keluarga dan masyarakat, agar individu dan masyarakat menjadi produktif dan bermanfaat untuk pembangunan. Secara khusus disebutkan bahwa skenario strategi dan rencana aksi epidemik HIV/AIDS pada tahun 2014 adalah bahwa 80% populasi kunci terjangkau oleh program yang efektif dan 60%

populasi kunci perilaku aman (Depkes RI, 2010).

Program epidemic yang terjangkau dan perilaku aman merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di Dunia baik di negara-negara yang sudah maju maupun di negara-negara berkembang. Pada tahun 2012 jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di seluruh Dunia diperkirakan sudah mencapai 33,4 juta (31,1–35,8 juta) dan diperkirakan 2 juta orang meninggal karena AIDS (WHO, 2013). Sedangkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa pada tahun 2012 jumlah penderita HIV/AIDS sudah mencapai 2.111.511 penderita.Sedangkan di Jakarta sendiri penderita HIV/AIDS pada tahun 2012 mencapai 346.267 penderita. Dimana tingginya jumlah penderita HIV AIDS terbagi menjadi enam kategori, yaitu 4.098 pengguna jarum suntik, 7.662 wanita pekerja seks lepas, 13.567 wanita pekerja seks tidak lepas, 1.488 waria, 19.003 lelaki seks lelaki dan 300.449 lelaki berpotensi terjangkit (detiknews.com, 2012).

Penderita HIV telah tersebar di Kota/Kabupaten di Jakarta termasuk di Jakarta Pusat. Menurut data Dinkes Propinsi DKI Jakarta tahun 2012, dilaporkan ada 1 kasus HIV positif dan 2 kasus AIDS di Jakarta Pusat. Dengan berkembangnya

(15)

wilayah di Jakarta sebagai salah satu tujuan pendatang dari luar daerah, tidak menutup kemungkinan munculnya dampak negative berupa bertambahnya kelompok resiko tertular HIV, yang pada gilirannya bisa menyebar pada penduduk lokal yang notabene mereka adalah para pengguna sarana pelayanan kesehatan utama termasuk rumah sakit yang ada di daerahnya. Penyakit virus HIV ini jika tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan masalah yang lebih memperberat yaitu AIDS (Meta, 2012). AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan penyakit menular dengan angka kematian yang tinggi dan dapat menjangkiti seluruh lapisan masyarakat dari mulai bayi sampai dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Secara epidemiologi dikenal fenomena gunung es, artinya bila ada satu kasus yang tercatat maka diasumsikan terdapat 200 kasus yang sama yang tidak tercatat. Hal ini merupakan ancaman yang serius bagi upaya pembangunan kesehatan dalam mencapai visi Indonesia sehat (Depkes RI, 2010).

Penyebab timbulnya penyakit HIV/AIDS belum dapat dijelaskan sepenuhnya.

Tidak semua orang yang terinfeksi virus HIV ini terjangkit penyakit AIDS. Ada beberapa faktor-faktor lain yang berperan timbulnya AIDS pada penderita HIV diantaranya penggunaan alkohol dan obat bius yang tidak steril, kurang gizi, tingkat stress yang tinggi dan adanya penyakit lain terutama penyakit yang ditularkan lewat alat kelamin. HIV secara terus menerus memperlemah sistem kekebalan tubuh dengan cara menyerang dan menghancurkan kelompok- kelompok sel-sel darah putih tertentu yaitu sel T-helper. Normalnya sel T-

(16)

helperini ( disebut sel T4 ) memainkan suatu peranan penting pada pencegahan infeksi. Ketika terjadi infeksi, sel-sel ini akan berkembang dengan cepat, memberi tanda pada bagian system kekebalan tubuh yang lain bahwa telah terjadi infeksi.

Hasilnya, tubuh memproduksi antibody yang menyerang dan menghancurkan bakteri-bakteri dan virus-virus yang berbahaya. Selain mengerahkan sistem kekebalan tubuh untuk memerangi infeksi, sel T-helperjuga memberi tanda bagi sekelompok sel-sel darah putih lainnya yang disebut sel T-suppressor atau T8, ketika tiba saatnya bagi sistem kekebalan tubuh untuk menghentikan serangannya. Biasanya kita memiliki lebih banyak sel-sel T-helper dalam darah daripada sel-sel T-suppressor. Ketika sistem kekebalan sedang bekerja dengan baik, perbandingannya kira-kira 2:1, jika orang menderita penyakit AIDS, perbandingan ini kebalikannya, yaitu sel-sel T-suppressor melebihi jumlah sel-sel T-helper,akibatnya penderita AIDS tidak hanya mempunyai lebih sedikit sel-sel penolong yaitu sel T-helper untuk mencegah infeksi, tetapi juga terdapat sel-sel penyerang yang menyerbu sel-sel penolong yang sedang bekerja sehingga tubuh kehilangan system kekebalan tubuh dan rentan terhadap suatu penyakit (Meta, 2012).

Sistem kekebalan tubuh yang rentan oleh HIV/AIDS merupakan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang mudah menular dan mematikan. Virus tersebut merusak system kekebalan tubuh manusia, dengan akibat turunnya/hilangnya daya tahan tubuhnya sehingga mudah terjangkit dan meninggal karena penyakit infeksi, kanker dan penyakit lainnya. Dampak dari

(17)

HIV/AIDS sampai saat ini menurut perhitungan WHO tidak kurang dari 3 orang di seluruh Dunia terkena infeksi virus AIDS setiap menitnya. Dimana jumlah penderita 70% adalah kalangan pemuda, usia produktif. Kelompok resiko tinggi terjangkitnya penyakit berbahaya ini adalah homoseksual, heteroseksual, promiskuitas, penggunaan jarum suntik pecandu narkotik dan free sex serta orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai moral, etik, dan agama (khususnya para remaja/generasi muda usia 13-25 tahun).Pola dan gaya hidup barat sebagai konsekuensi modernisasi, industrialisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menyebabkan perubahan-perubahan nilai kehidupan yang cenderung mengabaikan nilai-nilai moral, etik, dan agama, termasuk nilai-nilai hubungan seksual antar individu.Permasalahan lain yang berdampak sangat tinggi bagi penularan virus AIDS adalah remaja yang meninggalkan rumah/minggat menjadi anak jalanan, dan tuna susila yang melakukan seksual aktif dan pecandu narkoba secara bebas dan tidak terjaga kebersihan/kesehatannya. Sehingga pemerintah melakukan segala uapaya untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Meta, 2012).

Upaya pemerintah untuk mencegah dari penyebaran virus HIV/AIDS adalah dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar menjalankan budaya hidup sehat dengan cara tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah.

Penyuluhan yang diberikan dalam rangka meningkatkan pengetahuan. Sedangkan menurut Siswanto, dkk. (2010) bahwa pengetahuan yang benar dan tepat tentang HIV dan AIDS menjadi salah satu poin penting dalam upaya menghindari

(18)

penularan HIV, walaupun pengetahuan yang baik yang dimiliki oleh responden ternyata tidak menjamin bahwa responden tidak melakukan kegiatan yang berisiko terinfeksi HIV.Hasil Riskesdas 2010 bahwa diketahui 57,5 persen penduduk 15 tahun ke atas pernah mendengar HIV/AIDS. Tingginya persentase tersebut tidaklah menjamin seseorang mengetahui secara menyeluruh tentang cara penularan HIV/AIDS. Lebih dari separuh penduduk mengetahui cara penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik bersama yaitu masing-masing 51,4 persen dan 46,6 persen mengetahui cara penularan melalui transfusi darah yang tidak aman. Persentase penduduk yang mengetahui bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan dari ibu ke anak selama hamil, saat persalinan, dan saat menyusui adalah masing-masing 38,1 persen, 39,0 persen, dan 37,4 persen (Depkes, 2010). Selain kepada masyarakat, pemerintah juga menganjurkan kepada penderita HIV agar menjalankan kepatuhan untuk berobat dan rajin minum obat.

Kepatuhan penderita HIV/AIDS adalah (ketaatan) sebagai tingkat penderita HIV/AIDS dalam melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain. Dari hasil penelitian Yuyun Yuniar, dkk (2011) didapatkan hasil bahwa Faktor internal utama yang meningkatkan kepatuhan minum ARV adalah motivasi dalam diri ODHA untuk hidup lebih berkualitas, pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan fungsi dan manfaat ARV, strategi menganggap obat sebagai vitamin atau obat biasa sepeti obat darah tinggi atau diabetes.

(19)

Obat antiretroviral merupakan terapi yang diberikan untuk mengobati infeksi HIV/AIDS, namun obat antiretroviral ini tidak mampu untuk membunuh virus HIV/AIDS melainkan hanya memperlambat proses pertumbuhan virus. Karena HIV/AIDS itu disebut dengan retrovirus maka obat ini disebut juga dengan antiretroviral (Depkes RI, 2010). Menurut Patterson (2010), terapi antiretroviral telah terbukti secara bermakna menurunkan angka kematian dan kesakitan orang dengan HIV/AIDS (ODHA).Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu dibutuhkan adherens yang merupakan bentuk sikap dan perilaku yang mempengaruhi seseorang untuk patuh terhadap minum obat. Untuk mencapai keberhasilan virologi menurunkan jumlah virus sesuai target yang diinginkan dibutuhkan tingkat adherens minimal 95%. Adherens yang buruk meningkatkan risiko terjadinya mutasi virus dan resistensi obat antiretroviral (Patterson, 2010).

Perawat memiliki peranan penting meningkatkan pengetahuan dan mencegah peningkatan HIV/AIDS. Salah satu peran perawat adalah memberikan penyuluhan kepada penderita HIV/AIDS. Melalui penyuluhan diharapkan tingkat pengetahuan penderita HIV/AIDS semakin meningkat dan patuh mengkonsumsi obat antiretroviral. Setelah berhasil patuh mengkonsumsi obat antiretroviral peran perawat juga diharapkan menganjurkan agar penderita HIV/AIDS untuk mengecek CD4 secara rutin, dimana dengan cek CD4 ini dapat menentukan kuat atau lemahnya system kekebalan tubuh terhadap infeksi HIV/AIDS (Michel Carter, 2011).

(20)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat tanggal 5 Oktober 2013 didapatkan data bahwa RSUD Tarakan merupakan salah satu Rumah Sakit Umum Daerah di Jakarta Pusat yang memiliki pasien HIV/AIDS yang cukup tinggi dimana pada tahun 2013 ini sudah terdapat 357 pasien HIV/AIDS yang berobat dan mendapatkan obat antiretroviral. Namun setelah beberapa kali dilakukan pendataan terkait konsistensi pasien untuk minum obat antiretroviral ini terdapat 213 pasien yang rutin kontrol ke RSUD Tarakan.Setelah dilakukan wawancara yang dilakukan oleh penelitipada 8 orang pengunjung poliklinik 3 responden mengatakan kurang mengerti tentang HIV/AIDS dan manfaat obat antiretroviral. Dengan melihat latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan pengetahuan dengan kepatuhan minum obat antiretroviral (ARV) penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat.

B. RUMUSAN MASALAH

HIV dan AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang sudah sangat mengkhawatirkan, hal ini dilihat dari prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat cepat. Masih banyaknya pengunjung mempunyai pengetahuan kurang tentang HIV/AIDS dan manfaat obat antiretroviral sertadan konsistensi pasien untuk minum obat antiretroviral di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan. Maka peneliti membuat rumusan masalah penelitian “Adakah hubungan tingkat pengetahuan terhadap

(21)

kepatuhan minum obat antiretroviral pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat”.

C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum

Memperoleh gambaran tentang hubungan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan minum obat Antiretroviral pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.

2. Tujuan Khusus

a. Teridentifikasinya umur, pekerjaan, jenis kelamin dan pendidikan penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.

b. Teridentifikasitingkat pengetahuan penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.

c. Teridentifikasi kepatuhan penderita HIV/AIDS minum obat antiretroviral di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.

d. Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan terhadap kepatuhan minum obat Antiretroviral pada penderita HIV/AIDS di Poliklinik Puspa Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.

(22)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak manajemen dokter dan tenaga kesehatan guna memberikan informasi yang terkait dengan pengobatan dan pencegahan penularan HIV/AIDS.

2. Bagi peneliti

Penelitian ini dapat dipakai sebagai pengalaman belajar dalam menerapkan ilmu terutama ilmu metodologi riset dengan cara melakukan penelitian secara langsung.

3. Bagi penderita HIV/AIDS

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan semangat kepada penderita dandapat meningkatkan pengetahuan pada penderita guna kepatuhan akan minum obat antiretroviral secara teratur.

(23)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas tentang penyakit HIV/AIDS, obat antiretroviral, tingkat pengetahuan pasien HIV/AIDS dan kepatuhan pasien HIV/AIDS.

A. HIV/AIDS

1. Pengertian HIV AIDS

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh.AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan tanda/gejala atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir.Penderita AIDS mudah diserang infeksi oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan system kekebalan tubuh normal tidak terjadi) dan kanker dan biasanya berakhir dengan kematian.(Rahmad, 2012).

2. Penyebab HIV AIDS

Penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yakni sejenis virus RNA yang tergolong retrovirus.Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih (Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi

(24)

kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat diperoleh dari lifosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag dan cairan otak penderita AIDS (Usman Hadi, 2012).

3. Tanda dan Gejala HIV AIDS

Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari penampilan luar.

Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu yang relative lama (±7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa laten. Orang tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya walaupun darahnya mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat, karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan kepada yang lainnya.Dari masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS dengan gejala sebagai berikut :

a. Tanda-tanda utama (mayor) meliputi penurunan berat badan lebih dari 10%

dalam waktu singkat, demam berkepanjangan selama lebih dari satu bulan, dan diare kronis selama lebih dari satu bulan.

b. Tanda-tanda tambahan (minor) meliputi batuk berkepanjangan selama lebih dari satu bulan, kelainan kulit (gatal), herpes simpleks (kulit melepuh dan terasa nyeri) yang melebar dan bertambah parah, infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan, dan pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh, yang teraba di bawah telinga, leher, ketiak, dan lipat paha (Usman Hadi, 2012).

(25)

4. Penularan HIV/AIDS

HIV dapat ditemukan pada semua cairan tubuh penderita, tetapi yang terbukti penularannya adalah melalui darah, air mani dan cairan serviks/vagina saja. Cara penularan HIV/AIDS ini dapat melalui :

a. Hubungan seksual

b. Penerimaan darah atau produk darah melalui transfusi darah c. Penggunaan alat suntik, alat medis dan alat tusuk lain (tato, tindik,

akupuntur) yang tidak steril

d. Penerimaan organ, jaringan atau air mani

e. Penularan dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya.

Sampai saat ini belum terbukti penularan melalui gigitan serangga, minuman, makanan atau kontak biasa dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum atau tempat kerja dengan penderita AIDS (Usman Hadi, 2012).

5. Pencegahan HIV AIDS

Dengan mengetahui cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan langkah-langkah pencegahannya. Secara mudah, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan rumusan ABCDE yaitu:

A = Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual atau tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah

B = Being faithful, setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti- ganti pasangan seksual

(26)

C = Condom, bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara benar selama berhubungan seksual

D = Drugs injection, jangan menggunakan obat (Narkoba) suntik dengan jarum tidak steril atau digunakan secara bergantian

E = Education, pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS

Dengan semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS diperlukan kesiapan para tenaga kesehatan untuk memberikan bantuan dan pelayanan pada pasien- pasien HIV/AIDS. Disisi lain, dengan kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang kesehatan, HIV/AIDS yang tadinya merupakan penyakit progresif yang mematikan bergeser menjadi penyakit kronis yang bisa dikelola.

Meskipun belum ditemukan obat yang bisa membunuh virus HIV secara tuntas, dengan ditemukannya obat antiretroviral, para penderita HIV/AIDS bisa lebih meningkat usia harapan hidupnya. Hal ini tentunya harus didukung oleh upaya perawatan yang adekuat agar tercapai kualitas hidup yang optimal (Usman Hadi, 2012).

6. Perawatan Pasien HIV AIDS

Asuhan perawatan pada pasien HIV/AIDS bersifat unik untuk setiap individu, dipengaruhi oleh karakteristik individu, tahap perkembangan gejala yang sedang dialami oleh penderita HIV/AIDS, dan sikap masyarakat terhadap HIV/AIDS. Masalah-masalah keperawatan yang umum ditemukan pada penderita HIV/AIDS diantaranya :

(27)

a. Resiko mendapatkan infeksi (opportunistic infection) sehubungan dengan penurunan kekebalan tubuh

b. Kelelahan (fatigue) sehubungan dengan proses infeksi HIV

c. Nyeri akut/kronis sehubungan dengan adanya neuropathy, kanker, infeksi

d. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit menelan, nyeri pada mulut, diare

e. Gangguan integritas kulit sehubungan dengan infeksi, kanker f. Isolasi sosial sehubungan dengan takut penyebaran virus, stigma g. Risiko harga diri rendah sehubungan dengan perubahan penampilan h. Perubahan pola seksual sehubungan dengan resiko penyebaran penyakit

i. Cemas sehubungan dengan kurang pengetahuan dan dukungan keluarga j. Respon pertahanan (coping mechanism) yang tidak efektif sehubungan

dengan penyakit kronis yang progresif

k. Kesedihan yang mendalam sehubungan dengan penurunan fungsi pertahanan tubuh atau persepsi terhadap kematian yang mengancam Untuk mengurangi resiko mendapatkan infeksi, ODHA dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan diri (personal hygienes), memelihara keamanan dan kebersihan makanan dan minuman, menjaga kebersihan lingkungan, menghindari perilaku yang beresiko tertular atau menularkan penyakit, dan menjalankan pengobatan secara teratur. Fatigue bisa timbul akibat infeksi, pengobatan, anemia, dehidrasi, depresi, atau karena nutrisi yang jelek.

(28)

Fatigue dapat dikelola dengan cara menyelingi aktivitas dengan istirahat, menyusun jadwal kegiatan/pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga dilakukan pada saat kondisi lebih energik. Diet makanan tinggi kalori, tinggi protein serta mengkonsumsi suplemen vitamin dan mineral.

Selama infeksi HIV berlangsung, pasien pada umumnya tinggal di rumah.

Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan untuk waktu-waktu tertentu selama episode akut. Ketika penyakit terus berkembang, pasien perlu perawatan serius dari keluarga atau perawat masyarakat (community nurse).

Perawat akan membantu cara melakukan perawatan fisik, membangun hubungan terapetik, dan mengkoordinasikan perawatan dengan anggota tim kesehatan lainnya. Berbagai fasilitas pendukung di masyarakat harus dikenali. Ketika pasien berada dalam fase terminal, perawatan yang memberi dukungan kenyamanan dan dukungan emosi untuk pasien dan keluarga sangat dibutuhkan (Dep Kes RI, 2010).

7. Penerapan Tehnik Pencegahan Umum di Pelayanan Kesehatan dalam Menecegah Resiko Penularan HIV/AIDS menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2010

Pencegahan umum atau dengan kata lain ”kewaspadaan universal

(universal precautions)” merupakan salah satu upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan yang telah dikembangkan oleh Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1980-an. Penerapan pencegahan umum didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas

(29)

kesehatan. Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal adalah menjaga hygiene individu, sanitasi ruangan, dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi lima kegiatan pokok yaitu :

a. Cuci tangan untuk mencegah infeksi silang

Cuci tangan yang dilakukan secara benar dapat menghilangkan mikroorganisme yang menempel ditangan.Cuci tangan harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan ke pasien, memakai sarung tangan, menyentuh darah, cairan tubuh, atau eksresi pasien. Tiga cara cuci tangan dilaksanakan sesuai kebutuhan yaitu cuci tangan hygienis atau rutin untuk menghilangkan kotoran dengan menggunakan sabun atau deterjen, cuci tangan aseptik yang dilakukan sebelum melakukan tindakan aseptik ke pasien, cuci tangan ini dilakukan dengan menggunakan zat antiseptik, dan cuci tangan bedah yang dilakukan sebelum melakukan tindakan bedah cara aseptik.

Sarana yang perlu dipersiapkan untuk melakukan cuci tangan adalah air mengalir, sabun dan deterjen, larutan antiseptik, dan pengering dari mulai handuk/lap bersih, lap kain atau handuk steril sampai alat pengering tangan listrik (hand drier) (Dep Kes RI, 2010).

Adapun prosedur cuci tangan rutin adalah sebagai berikut:

1) Hidupkan kran air.

2) Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir.

(30)

3) Taruh sabun antiseptik di bagian telapak tangan yang telah basah, buat busa secukupnya tanpa percikan.

4) Buat gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan, gosokan telapak tangan kanan diatas punggung tangan kiri dan sebaliknya, gososk kedua telapak tangan dengan jari saling mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara menggenggam dan memutar, gosok pergelangan tangan.

5) Proses berlangsung selama 10-15 detik.

6) Bilas kembali dengan air bersih.

7) Keringkan tangan dengan handuk atau kertas sekali pakai.

8) Matikan kran dengan kertas atau tisue.

b. Pemakaian alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, kaca mata, dan barak short.

Alat pelindung digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, dan eksreta pasien. Jenis-jenis alat pelindung diri yaitu; sarung tangan, pelindung wajah/masker/kaca mata, penutup kepala, gaun pelindung (barak short), dan sepatu pelindung. Tidak semua alat pelindung diri harus dipakai pada waktu yang bersamaan, tergantung pada jenis tindakan yang akan dikerjakan. Misalnya ketika akan menolong persalinan sebaiknya semua pelindung diri dipakai untuk mengurangi kemungkinan terpajan darah/cairan tubuh pada petugas, namun untuk tindakan menyuntik atau

(31)

memasang infus, cukup dengan memakai sarung tangan (Dep Kes RI, 2010).

c. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai

Pengelolaan alat-alat kesehatan bekas pakai bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan, atau untuk menjamin bahwa alat-alat tersebut dalam kondisi steril dan siap digunakan.Semua alat yang akan dimasukan kedalam jaringan bawah kulit pasien harus dalam keadaan steril. Proses pengelolaan alat-alat kesehatan ini dilakukan melalui empat tahap kegiatan yaitu :

1) Dekontaminasi, yaitu menghilangkan mikroorganisme pathogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya. Cara dekontaminasi yang lazim dilakukan adalah dengan merendam alat kesehatan dalam larutan desinfectan, misalnya klorin 0,5%, selama 10 menit.

2) Pencucian, dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang kasat mata dengan cara mencuci denga air, sabun/deterjen, dan sikat.

3) Sterilisasi yaitu proses menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk endosporanya dari alat kesehatan. Cara sterilisasi yang sering dilakukan adalah dengan uap panas bertekanan, pemanasan kering, gas etilin oksida, dan zat kimia cair. Dengan kata lain, penggolongan cara sterilisasi juga dapat dikategorikan cara fisik seperti pemansan, radiasi, filtrasi, dan cara kimiawi dengan menggunakan zat kimia.

(32)

4) Penyimpanan, penyimpanan yang baik sama pentingnya dengan proses sterilisasi atau desinfeksi itu sendiri. Ada dua metode penyimpanan yaitu cara terbungkus dan tidak terbungkus (Dep Kes RI, 2010).

d. Pengelolaan jarum dan benda tajam untuk mencegah perlukaan

Jarum suntik sebaiknya digunakan sekali pakai dan jarum bekas atau benda tajam lainnya di buang ke tempat khusus (safety box) yang memiliki dinding keras atau tidak tembus oleh jarum atau benda tajam yang dibuang kedalamnya. Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah ketika petugas berusaha memasukan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam tutupnya (recappping). Oleh karenanya meurut rekomendasi tehnik kewaspadaan universal dari WHO (2004) penutupan kembali jarum suntik setelah digunakan sebaiknya tidak perlu diperlukan, jadi jarum suntik bersama syringnya langsung saja dibuang ke kotak khusus. Jika sangat diperlukan untuk menutup kembali, misalnya karena masih ada sisa obat yang bisa digunakan, maka penutupan jarum suntik kembali dianjurkan dengan menggunakan tehnik satu tangan (single handed recapping method) (Dep Kes RI, 2010).

e. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan

Secara umum limbah dapat dibedakan menjadi limbah cair dan limbah padat, namun lebih khusus lagi limbah yang berasal dari rumah sakit dibedakan menjadi :

(33)

1) Limbah rumah tangga atau limbah non medis.

2) Limbah medis terdiri dari limbah klinis, laboratorium.

3) Limbah berbahaya yaitu limbah kimia yang mempunyai sifat beracun misalnya senyawa radioaktif dan bahan sitotoksik. Cara penanganan limbah disarana pelayanan kesehatan harus dimulai dari tempat dimana sampah diproduksi dengan cara :

a) Pemilahan, dilakukan dengan menyediakan wadah yang sesuai dengan jenis sampah, misalnya hitam untuk limbah non medis, kuning untuk limbah medis infeksius, dan merah untuk bahan beracun.

b) Semua jenis limbah ditampung dalam wadah berupa kantong plastik yang kedap air.

c) Bila sudah terisi 2/3 volume kantong sampah, kantong sampah harus diikat secara rapat, dan segera diangkut ke tempat penampungan sementara.

d) Pengumpulan sampah dari ruang perawatan atau pengobatan harus tetap pada wadahnya jangan dituangkan pada gerobak yang terbuka.

e) Petugas yang menangani sampah harus selalu menggunakan sarung tangan dan sepatu serta selalu mencuci tangan setiap selesai mengambil sampah.

f) Sampah dari tempat penampungan sementara diangkut ke tempat pemusnahan (Dep Kes RI, 2010).

(34)

B. TINGKAT PENGETAHUAN 1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan perabaan yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo : 2003).

2. Tingkat pengetahuan

Notoatmodjo (2003) membagi 6 tingkat pengetahuan yang dicapai dalam domain kognitif, yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan pada tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau ragsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, hal ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

b. Memahami ( Comprehension )

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang paham terhadap objek atau materi harus

(35)

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi ( Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya. Aplikasi ini diartikan sebagai aplikasi penggunaan hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

d. Analisis ( Analysis )

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja menggambarkan, membedakan, mengelompokan dan sebagainya. Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi.

e. Sintesa ( synthesis )

Adalah suatu kemampuan untuk meletakan atau menggabungkan bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru dengan kata yang lain. Sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formasi baru dari informasi yang ada, misalnya dapat menyusun, dapat menggunakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi ( Evaluation )

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian tersebut berdasarkan kriteria yang telah

(36)

ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai dengan tingkatan – tingkatan diatas.

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Menurut Lawrence Green dan Marshall Kreuter dalam Sciavo (2007) bahwa pengetahuan seseorang merupakan salah satu faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku seseorang.

Sedangkan menurut Siswanto, dkk (2010) bahwa pengetahuan yang benar dan tepat tentang HIV dan AIDS menjadi salah satu poin penting dalam upaya menghindari penularan HIV, walaupun pengetahuan yang baik yang dimiliki oleh reponden ternyata tidak menjamin bahwa responden tidak melakukan kegiatan yang berisiko terinfeksi HIV. Hasil Riskesdas (2010) bahwa diketahui 57,5 persen penduduk 15 tahun ke atas pernah mendengar HIV/AIDS. Tingginya persentase tersebut tidaklah menjamin seseorang mengetahui secara menyeluruh tentang cara penularan HIV/AIDS. Lebih dari separuh penduduk mengetahui cara penularan HIV melalui hubungan seksual yang tidak aman dan penggunaan jarum suntik bersama yaitu masing-masing 51,4 persen dan 46,6 persen mengetahui cara penularan melalui transfusi darah yang tidak aman. Persentase penduduk yang mengetahui bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan dari ibu ke anak selama hamil, saat persalinan,

(37)

dan saat menyusui adalah masing-masing 38,1%, 39,0%, dan 37,4% (Depkes, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Sri Marwiyah (2005) bahwa sebagian besar penderita HIV AIDS di rumah Tahanan Wates memiliki tingkat pengetahuan rendah sebanyak 27,4% dan 72,6 % memiliki tingkat pengetahuan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual Tinggi. Sedangkan hasil penelitian Heri Widodo (2011) didapatkan data bahwa tingkat pengetahuan penderita HIV AIDS terhadap angka CD4 mendapatkan nilai (p=0,000) P<0,05, artinya tingkat pengetahuan pasien akan penyakit HIV akan mempengaruhi perubahan nilai CD4.Hasil dari hipotesis penelitian ini semakin tinggi tingkat pengetahuan maka angka CD4 juga meningkat.

3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Seseorang

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Suparyanto : 2010), diantaranya adalah :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.

Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun media massa.

(38)

Semakin banyak informasi yang masuk, semakin banyak pula pengetahuan yang didapat.

Dari hasil penelitian Tri Paryati (2007) didapatkan data bahwa tingkat pendidikan memiliki nilai (p=0,000) p<0,05, artinya Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.

Pengetahuan sangat erat kaitanya dengan pendidikan, dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi maka akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak dapat diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi juga dapat diperoleh dari pendidikan non-formal.

Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung 2 aspek yaitu aspek posistif dan aspek negative. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang pada objek tertentu. Semakin banyak aspek positif yang diketahui, maka akan semakin positif pula sikap terhadap objek tersebut.

b. Media massa atau Informasi

Informasi yang dipeoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasikan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai

(39)

sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan lain-lain berpengaruh terhadap pembentukan opini dan keperayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media masa membawa pula pesan–pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang.

Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal baru.

c. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang–orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.

Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

d. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu ketika berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

e. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

(40)

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi pada masa yang lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional, serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

f. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua. Selain itu pada usia madya, individu lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca.

Kemampuan intelektual, pemecahan masalah dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Penderita HIV AIDS dapat menyerang disemua umur, bahkan masih saat bayi. Penderita HIV AIDS pada bayi ini dapat ditularkan melalui ASI pada ibu penderita HIV.

Jadi dapat disimpulkan penyakit HIV AIDS ini dapat menular pada segala usia karena terkontaminasi oleh cairan tubuh penderita HIV/AIDS Suparyanto, (2010).

(41)

Pada penelitian Dina Muktriana, (2009), dimana didapatkan hasil bahwa nilai (p=0,007), artinya P<0,05, berarti bahwa usia berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan pasien HIV, dimana semakin dewasa maka tingkat pengetahuan tentang HIV juga akan semakin tinggi.

C. OBAT ANTIRETROVIRAL

Menurut Djoerban dan Djauzi, (2007) secara umum, penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.

3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.

Antiretroviral therapy ditemukan pada tahun 1996 dan mendorong suatu evolusi dalam perawatan penderita HIV/AIDS. Replikasi HIV sangat cepat dan terus- menerus sejak awal infeksi, sedikitnya terbentuk 10 miliar virus setiap hari.

Namun karena waktu paruh virus bebas (virion) sangat singkat maka sebagian besar virus akan mati. Penurunan CD4 menunjukkan tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Pemeriksaan CD4 ini berguna untuk memulai, mengontrol dan mengubah regimen ARV yang diberikan (Murtiastutik, 2008).

(42)

Menurut Murtiastutik, (2008) faktor yang harus diperhatikan dalam memilih regimen ARV baik di tingkat program ataupun tingkat individual :

1. Dosis obat

2. Profil efek samping obat

3. Persyaratan pemantauan laboratorium

4. Kemungkinan kesinambungan sebagai pilihan obat di masa depan 5. Antisipasi kepatuhan oleh pasien

Kondisi penyakit penyerta, kehamilan dan risikonya, penggunaan obat lain secara bersamaan, infeksi strain virus lain yang berpotensi meningkatkan resistensi terhadap satu atau lebih ARV. Ketersediaan dan harga ARV.Menurut WHO waktu diberikannya ARV dibagi dalam dua kategori, apakah ada perhitungan CD4.Penghitungan TLC dapat digunakan sebagai pengganti hitung CD4, meskipun hal ini dianggap kurang bermakna pada pasien asimptomatis.

1. Ada Perhitungan CD4

Stadium IV menurut kriteria WHO (AIDS) tanpa memandang hitung CD4 Stadium III menurut kriteria WHO dengan CD4 < 350 sel/ mm3

Stadium I-II menurut kriteria WHO dengan CD4 ≤ 200 sel/mm3 2. Tidak ada Perhitungan CD4

Stadium IV menurut WHO tanpa memandang TLC Stadium III menurut WHO tanpa memandang TLC Stadium II dengan TLC ≤ 1200 sel/mm3

Pemberian ARV tergantung tingkat progresivitas masing-masing penderita.

Terapi kombinasi ART mampu menekan replikasi virus sampai tidak terdeteksi

(43)

oleh PCR.Pada kondisi ini penekanan virus berlangsung efektif mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat progersifitas penyakit. Karena itu terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat (Murtiastutik, 2008).

Menurut Djoerban dan Djauzi, (2007) obat antiretroviral terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Saat ini regimen pengobatan antiretroviral yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian masing-masing.

Kombinasi ARV lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin(ZDV), lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).

(44)

Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007) sebagai berikut :

Kolom A Kolom B

Lamivudin + zidovudin Evafirenz*

Lamivudin + didadosin Lamivudin + stavudin

Lamivudin + zidovudin Nevirapin Lamivudin + didadosin

Lamivudin + stavudin

Lamivudin + zidovudin Nelvinafir Lamivudin + didadosin

Lamivudin + stavudin

Tabel 2.1. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007)

*Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi untuk hamil.

(45)

Dosis ARV untuk penderita HIV/AIDS dewasa (Murtiastutik, 2007)

Golongan Nama Obat Dosis

Nucleoside RTI (NRTIs) Abacavir 300 mg setiap 12 jam Didadosine (ddI) 40 mg sekali sehari (250

mg sekali sehari jika BB<

60kg) (250 mg sekali sehari bila diberikan bersama TDF)

Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari

Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam (30 mg setiap 12 jam bila BB<

60kg) Zidovudine

(ZDV/AZT)

300 mg setiap 12 jam Nucleotide RTI (NtRTIs) Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari

(catatan: interaksi obat dengan ddI, perlu mengurangi dosis ddI) Non-Nucleotise RTIs

(NNRTIs)

Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari

Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg setiap 12 jam.

Protease Inhibitors (PIs)

Indinavir/ritonavir (IDV/r)

800 mg/100mg setiap 12 jam

Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

400 mg/100 mg setiap 12 jam (533mg/133mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EFV atau NVP) Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam Saquinavir/ritonavir

(SQV/r)

1000 mg/100mg setiap 12 jam atau 1600 mg/200mg sekali sehari

Ritonavir(RTV,r)f Kapsul 100 mg, larutan oral 400mg/5 ml

Tabel 2.2. Dosis ARV untuk penderita HIV/AIDS dewasa (Murtiastutik, 2007)

(46)

Toksisitas Utama pada Regimen ARV lini pertama dan anjuran obat penggantinya (Murtiastutik, 2007)

Regiman Taxixitas Obat Pengganti

AZT/3TC/NVP Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat

Ganti AZT dengan d4T

Hepatoksisitas berat oleh NVP Ganti NVP dengan EFV (kalau hamil ganti dengan NFV, LPV/r atau ABC) Ruam kulit berat karena NVP (tetapi

tidak mengancam jiwa yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa)

Ganti NVP dengan EFV

Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Steven-Johnson Syndrome) oleh karena NVP

Ganti NVP dengan protease inhibitor

AZT/3TC/EFV Intoleransi GI yang persisten oleh karena AZT atau toksisitas hematologis yang berat

Ganti AZT dengan d4T Toksisitas susunan saraf pusat

menetap oleh karena EFV

Ganti EFV dengan NVP D4T/3TC/NVP Neuropati oleh karena d4T atau

pankreatitis

Ganti d4T dengan AZT Lipoatrofi oleh karena d4T Ganti d4T dengan TDF

atau ABC Ruam kulit berat karena NVP (tetapi

tidak mengancam jiwa yaitu tanpa pustula dan tidak mengenai mukosa)

Ganti NVP dengan EFV

Ruam kulit berat yang mengancam jiwa (Steven-Johnson Syndrome) oleh karena NVP

Ganti NVP dengan protease inhibitor

D4T/3TC/EFV Neuropati oleh karena d4T atau pankreatitis

Ganti d4T dengan AZT Lipoatrofi oleh karena d4T Ganti d4T dengan TDF

atau ABC Toksisitas susunan saraf pusat

menetap oleh karena EFV

Ganti EFV dengan NVP

(47)

Tabel 2.3 Toksisitas Utama pada Regimen ARV lini pertama dan anjuran obat penggantinya (Murtiastutik, 2007)

Tanda Klinis Kriteria CD4

Timbulnya infeksi oportunistik baru atau keganasan yang memperjelas perkembangan penyakit yang memburuk. Hal tersebut harus dibedakan dengan IRIS yang dapat saja timbul pada 3 bulan pertama setelah ARV dimulai.

IRIS bukan merupakan tanda kegagalan terapi dan infeksi oportunistik harus diterapi seperti biasa, tanpa mengganti regimen ARV.

CD4 kembali ke jumlah sebelum terapi atau bahkan dibawahnya tanpa adanya infeksi penyerta yang lain yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan CD4 sementara.

IRIS bukan merupakan tanda kegagalan terapi dan infeksi oportunistik harus diterapi seperti biasa, tanpa mengganti regimen ARV.

Penurunan jumlah CD4 > 50% dari jumlah tertinggi yang pernah dicapai selama terapi tanpa infeksi penyerta lainnya yang dapat menjelaskan terjadinya penurunan CD4 sementara.

Kambuhnya IO yang pernah diderita Munculnya atau kambuhnya penyakit- penyakit pada stadium III (termasuk HIV wasting syndrome, diare kronis yang tidak jelas penyebabnya, terulangnya infeksi bakterial invasif, atau kandidiasis mukosa

Prognosis HIV/AIDS

Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal.Sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis (Widoyono, 2008).

(48)

D. KEPATUHAN

1. Pengertian Kepatuhan

Sarfino (1990) di kutip oleh Smet B. (2004) mendefinisikan kepatuhan (ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.

Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan terapi (Degrest et al, 1998). Menurut Decision theory (2005) penderita adalah pengambil keputusan dan kepatuhan sebagai hasil pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sesorang untuk tujuan tertentu.

Perilaku ketat sering diartikan sebagai usaha penderita untuk mengendalikan perilakunya bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan resiko mengenal kesehatanya (Taylor, 2011).

Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan.

Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.

Seseorang atau pasien dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali et al, 1999).

Dari hasil berbagai defisinsi yang ada maka dapat peneliti simpulkan kepatuhan adalah ketaatan seseorang atau pasien untuk mengendalikan perilakunya untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan kepatuhan berobat adalah ketaatan atau kedisiplinan pasien untuk berobat dan sanggup untuk

(49)

datang kepada petugas kesehatan dan mau melaksanakan anjuran yang diberikan oleh petugas kesehatan.

a. Kepatuhan penderita HIV/AIDS

Kepatuhan penderita HIV/AIDS adalah (ketaatan) sebagai tingkat penderita HIV/AIDS dalam melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.

Dari hasil penelitian Yuyun Yuniar, dkk (2011) didapatkan hasil bahwa Faktor internal utama yang meningkatkan kepatuhan minum ARV adalah motivasi dalam diri ODHA untuk hidup lebih berkualitas, pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan fungsi dan manfaat ARV, strategi menganggap obat sebagai vitamin atau obat biasa sepeti obat darah tinggi atau diabetes. Faktor eksternal utama yang meningkatkan kepatuhan minum ARV adalah ;

1) Ketersediaan dan keterjangkauan obat ARV, dukungan keluarga, KDS, LSM dan tenaga kesehatan serta destigmatisasi dan tidak boleh ada diskriminasi oleh teman, masyarakat dan tenaga kesehatan.

2) Meningkatkan keterlibatan keluarga, KDS, LSM dan tenaga kesehatan untuk memotivasi ODHA agar hidup lebih berkualitas dan minum ARV secara teratur. Meningkatkan akses dan keterjangkauan biaya pemeriksaan laboratorium dan obat-obat IO (Infeksi Oportunistik).

3) Meningkatkan edukasi ke masyarakat untuk mengurangi, menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, meningkatkan kepedulian terhadap ODHA khususnya ODHA anak-anak.

(50)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kanada menyatakan bahwa kepatuhan adalah kunci keberhasilan terhadap terapi ARV. Studi retrofiktif yang melibatkan 1.442 pasien selama 40 bulan dengan rata- rata pasien berumur 37 tahun, hasil rata-rata CD4 270 set/mm3, dan viral load rata-rata 120.000 copy. Angka kematian pasien dengan kepatuhan minimal 75% dan kematian pasien dengan kepatuhan mininal 75% dan memulai terapi sebelum CD4 menadi 200 sel/mm3 adalah 7.

Sebaliknya angka kematian lebih tinggi secara bermakna (25,2%).

Untuk pasien yang memulai terapi ARV dengan jumlah CD4 atau viral serupa. Tetapi kepatuhannya dibawah 74,5%.

Angka kematian pasien yang tidak patuh dengan jumlah CD4 350sel/mm3 atau lebih adalah serupa dengan pasien yang tidak patuh dengan jumlah CD4 adalah 200 sel/mm3 (Wood, E 2003).

b. Proses perubahan sikap dan perilaku (teori Kelman)

1) Menurut Kelman : perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa

(51)

tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan.

2) Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi perilakunya sendiri.

3) Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent).

4) Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi.

5) Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini belum

(52)

dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.

6) Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya.

7) Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau tokoh merupakan seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti akan pentingnya perilaku tersebut bagi kehidupan mereka sendiri.

8) Memang proses internalisasi ini tidaklah mudah dicapai sebab diperlukan kesediaan individu untuk mengubah nilai dan kepercayaan mereka agar menyesuaikan diri dengan nilai atau perilaku yang baru.

Teori The Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan).

9) Model kepercayaan kesehatan adalah suatu bentuk penjabaran dari teori Sosial-Psikologi, model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usulan-usulan pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider.

(53)

10) Model kepercayaan kesehatan ini menyatakan, apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 5 (lima) variabel kunci yang terlibat dalam tindakan tersebut, yaitu:

a) Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility)

Seseorang akan melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit bila individu merasa rentan terhadap penyakit tersebut.

b) Keseriusan yang dirasakan (Perceived Seriousness)

Seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit oleh karena keseriusan penyakit yang dirasakannya.

c) Manfaat yang dirasakan (Perceived Benefits)

Seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit oleh karena adanya manfaat yang dirasakannya dalam mengambil tindakan tersebut bagi penyakitnya.

d) Ancaman yang dirasakan (Perceived Threat)

Seseorang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pencegahan terhadap suatu penyakit oleh karena adanya ancaman yang dirasakan dari penyakitnya.

e) Isyarat atau petunjuk untuk bertindak (Cues to Action)

Untuk dapat meningkatkan penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan, perlu adanya isyarat atau

(54)

petunjuk dari orang lain, misalnya; Media massa, nasehat petugas kesehatan atau anggota keluarga.

c. Faktor - faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Dalam hal kepatuhan Carpenito L.j.(2000) berpendapat bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya : 1) Pemahaman tentang instruksi

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman tahun 1967 menemukan bahwa lebih dari 60% responden yang di wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh penderita.

Dari hasil penelitian Yuyun Yunia,dkk (2010) didapatkan hasil bahwa diantara faktor pelayanan kesehatan yang ada terdapat konseling perawat dalam memberikan informasi kepada penderita HIV, dimana konseling perawat memiliki nilai (p=0,000) P<0,05, artinya pelayanan kesehatan dalam memberikan informasi kepada penderita HIV/AIDS

(55)

berpengaruh terhadap pendukung kepatuhan minum obat ARV pada penderita HIV/AIDS. Disini dapat dikaitkan dengan pemahaman instruksi dokter dalam memberikan anjuran untuk minum obat ARV.

2) Tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu (Feuer Stein et.al., 1986).

Singgih D. Gunarso ( 1990 ) mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, hal ini karena semakin tinggi pendidikan maka wawasan juga akan semakin luas.

Dari hasil penelitian Tri Paryati, (2007)didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan memiliki nilai (p=0,000) p<0,05, artinya pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Semakain tinggi pendidikan maka seseorang akan semakin patuh untuk minum obat ARV.

3) Kesakitan dan pengobatan.

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas (Dikson dkk,1989,1990, ley,1992).

Gambar

TABEL  2.1  Kombinasi ARV untuk terapi inisial  32  TABEL  2.2  Dosis ARV untuk penderita HIV/AIDS dewasa    33  TABEL  2.3  Toksisitas utama pada regimen ARV lini pertama
Tabel 2.1. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2007)
Tabel 2.2. Dosis ARV untuk penderita HIV/AIDS dewasa (Murtiastutik, 2007)
Tabel 3.1  Definisi Operasional

Referensi

Dokumen terkait

4 PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth Ibu Calon Responden di tempat Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Prodi S-1 Gizi STIKes Perintis Padang : Nama : Tika

Lampiran 3 LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth : Bapak/Ibu Orang Tua Anak Autis Calon Responden Di : UPTD Pusat Layanan Disabilitas Kota Denpasar Dengan hormat, Saya

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth, Responden Penelitian Di Kelurahan Batang Ayumi Dengan hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah Mahasiswa STIKes Aufa

Lampiran 6 PERMOHONAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN Dengan hormat, Saya yang bertandatangan dibawah ini, Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Malang Jurusan Kebidanan, Program Studi Sarjana

57 Lampiran 3 KUESIONER PENELITIAN Yth Bapak/ Ibu/ Saudara/i Responden di – Tempat Dengan hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Hendra Wahyu Ardenata Krisna NIM

LAMPIRAN 1 KUESIONER PENELITIAN Kepada Yth: Bapak/Ibu/Sdr/i Responden Di Tempat Dengan Hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Desak Putu Seri Noviani NIM :

77 LAMPIRAN 2 PERMOHONAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN Dengan Hormat, Saya yang bertanda tangan di bawah ini mahasiswa Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Program Studi D-III

Lampiran 7 LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Yth : Calon Responden Di Tempat Dengan Hormat, Saya adalah mahasiswa Program studi Sarjana Terapan Kebidanan Poltekkes Kemenkes