PENDAHULUAN
Latar Belakang
- Rumusan masalah
- Faedah penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
- Sifat penelitian
- Sumber data
- Alat pengumpul data
- Analisis data
Definisi Operasional
TINJAUAN PUSTAKA
Syarat-Syarat Sah Perkawinan
- Syarat sah perkawinan menurut Undang-Undang Nomor
- Syarat sah perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
Berikut syarat sahnya suatu perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Syarat-syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Jadi, menurut hukum Islam, suatu pernikahan sah jika rukun dan syarat pernikahan yang telah ditentukan terpenuhi.
Akibat Hukum Perkawinan
- Akibat hukum perkawinan terhadap anak
Kewenangan orang tua terhadap anak diatur dalam Pasal 47 sampai 49 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Kewenangan orang tua adalah wewenang yang dilakukan ayah dan ibu terhadap anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. Kekuasaan orang tua berlaku sejak anak dilahirkan atau sejak hari pengesahan dan berakhir pada saat anak tersebut dewasa, anak tersebut kawin, dan pada saat dicabutnya kekuasaan orang tua sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. bahwa wewenang salah satu atau kedua orang tuanya dapat dihilangkan.
Artinya, asas kewenangan orang tua tetap berlaku selama orang tua tersebut menikah, selama kewenangan tersebut tidak diambil, yang meliputi asas bahwa: 22. Kewenangan orang tua ada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah. Kewenangan orang tua hanya ada pada saat perkawinan, jika perkawinan putus maka kewenangan orang tua tidak ada lagi.
Akibat Hukum Perkawinan Tidak Tercatat
Perkawinan tidak dicatatkan merupakan salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Hal ini terjadi karena perkawinan yang bersangkutan belum dicatatkan secara resmi pada penyelenggara negara, sehingga segala akibat hukum yang timbul selama perkawinan di hadapan negara dianggap tidak pernah ada apabila tidak dicatatkan. Perkawinan tidak dicatatkan bukan hanya berarti status perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, namun juga berdampak pada status hukum seorang anak.
Akibat lebih lanjut dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah isteri tidak berhak menuntut nafkah dan hanya berhak atas harta yang dibawanya serta tidak berhak atas harta bersama, sedangkan bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu tidak berhak menuntut nafkah. atau warisan dari ayahnya. . Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Apabila perkawinan itu tidak dapat dibuktikan dengan akta perkawinan, maka pencatatannya dilakukan berdasarkan putusan pengadilan, lih. § 36 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Negara.
Pencatatan Kelahiran
Akta kelahiran bersifat universal, karena berkaitan dengan pengakuan negara terhadap status keperdataan seseorang. Akta kelahiran adalah akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, berkaitan dengan suatu kelahiran.26 Di Indonesia, orang yang berwenang menerbitkan akta kelahiran seseorang. Setiap penduduk, baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang tinggal di Indonesia, berhak memperoleh akta kelahiran.
Akta kelahiran ini dapat dikatakan sebagai kebutuhan dasar administratif yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Akta kelahiran merupakan surat keterangan status keperdataan yang dapat dijadikan sebagai bukti terkuat dalam menentukan status hukum seseorang. Masih kurangnya pemahaman orang tua dan keluarga mengenai kegunaan akta kelahiran dan kewajiban melaporkan kelahiran tepat waktu (kurang dari 60 hari kerja), sehingga pencatatan kelahiran hanya dilakukan pada saat anak berada pada wajib belajar.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Status Hukum Anak yang Lahir dari Perkawinan Tidak
Dalam hal ini syarat sahnya suatu perkawinan dilihat dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat agama dan keyakinan". Namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur lebih mendalam tentang syarat-syarat khusus perkawinan. Selain suami, istri juga mempunyai kewajiban dan kedudukan yang diatur dalam Pasal 30 sampai dengan 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan sebagai berikut: 21.
Harta perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa anak sah adalah anak yang lahir di dalam atau di luar perkawinan yang sah. Sedangkan untuk anak luar kawin diatur dalam Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dan kedudukan anak tersebut akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai hambatan dalam perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974; Namun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedudukan anak luar kawin menurut hukum adalah hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. . Kedudukan hukum anak luar nikah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memerlukan pengakuan untuk terciptanya hubungan perdata antara anak luar nikah dengan orang tuanya.
Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Pasal 43 ayat (1) Tahun 1974 pada penjelasan di atas, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah mempunyai hubungan perdata hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Perlindungan Hukum terhadap Hak Anak dari Perkawinan
Akta kelahiran merupakan hak asasi setiap anak Indonesia yang berfungsi sebagai identitas warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. Akta kelahiran adalah identitas anak yang diterbitkan secara cuma-cuma segera setelah anak dilahirkan (apabila dilaporkan kurang dari 60 hari setelah kelahiran). Setiap orang tua wajib memenuhi hak anaknya atas kepemilikan akta kelahiran, karena akta kelahiran merupakan salah satu bentuk pengakuan negara dan bukti sah keberadaan seseorang.
Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya kepemilikan akta kelahiran adalah belum terpenuhinya persyaratan pembuatan akta kelahiran. Landasan acuan pencatatan kelahiran anak hasil perkawinan tidak dicatatkan adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran, karena hal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap warga negaranya, yaitu dalam hal memberikan kepastian hukum kepada anak. Perlindungan hukum terhadap hak anak atas status, perwalian, dan warisan diberikan dalam bentuk pencantuman nama ayah pada akta kelahiran anak, sehingga memberikan kepastian atau jaminan hukum terhadap hak keperdataan anak.
Akibat Hukum Penyebutan Nama Bapak pada Akta Kelahiran
Berdasarkan analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan mempunyai status hukum sebagai anak sah dari ayah dan ibunya, perkawinan orang tuanya pada hakekatnya adalah perkawinan yang sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan keharmonisan. . dan keadaannya ditentukan oleh masing-masing, agama dan kepercayaan masing-masing, hanya saja tidak dilakukan pencatatan atau pencatatan. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri, akta kelahiran diperuntukkan bagi anak yang orang tuanya belum melangsungkan perkawinan yang sah secara negara. Dengan disebutkannya nama ayah anak dalam akta kelahiran, yang merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang lahir dari perkawinan tidak dicatatkan, maka timbullah hubungan keperdataan antara anak dengan ayah kandungnya, karena hal ini tentu saja menimbulkan akibat-akibat sehubungan dengan hal tersebut. dengan hak-hak anak berdasarkan undang-undang.
Keabsahan seorang anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dapat dilihat dari pengakuan sah terhadap ayah dari anak tersebut berupa penyebutan nama ayah yang dapat dilihat pada akta kelahiran anak tersebut. Perlindungan hukum terhadap hak anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri yang tidak mempunyai akta perkawinan (surat nikah) akibat perkawinan siri diberikan oleh negara dengan menerbitkan akta kelahiran anak yang di dalamnya dicantumkan nama ayah dan nama ibu. /disebutkan dalam akta kelahiran. dari anak tersebut, namun didalamnya terdapat tambahan kalimat yang berbunyi “anak dari”. Penyebutan nama ayah pada akta kelahiran anak hasil perkawinan siri akan menimbulkan akibat hukum berupa timbulnya perdata hak-hak antara ayah dan anak yang belum diakui oleh negara, dan setelah berlakunya ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2016, hal ini dapat memberikan kepastian hukum bagi pemenuhan hak-hak anak. lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan mempunyai status hukum sebagai anak sah dari ayah dan ibunya, mengingat perkawinan orang tuanya pada hakikatnya adalah perkawinan yang sah karena telah dilakukan menurut kerukunan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, namun pengakuannya tidak sah. dibuat, dan pengakuan ini tidak menentukan keabsahan suatu perkawinan, tetapi merupakan aspek administratif untuk memperoleh jaminan keamanan hukum setelah berakhirnya perkawinan. Untuk mendapatkan akta kelahiran, orang tua anak harus melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) sebagai pasangan suami istri bermaterai Rp6.000 dan dua orang saksi.
Saran
Harus ada aturan yang tegas mengenai sanksi bagi pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa mencatatkan perkawinannya, mengingat anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan kini mendapat perlindungan hukum dengan dicantumkannya nama ayah pada akta kelahiran anak tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah perkawinan tidak dicatatkan. Menurut pendapat anda, apakah suatu perkawinan yang tidak dicatatkan karena satu dan lain hal, tetapi pada hakekatnya dilakukan menurut hukum agama, mempunyai status perkawinan yang sah? Adapun persoalan pencatatan perkawinan tidak sah tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan menurut hukum agama, karena pencatatan hanya menyangkut aspek administrasi saja.
Hanya saja jika suatu perkawinan tidak dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak mempunyai bukti yang nyata bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan yang sah. Menurut Anda mengapa pencatatan kelahiran dapat dilakukan bagi anak yang perkawinan orang tuanya tidak dicatatkan, sedangkan kedua orang tuanya tidak mempunyai akta nikah/surat nikah yang membuktikan bahwa mereka adalah suami istri? Menurut Anda, apa dasar pencatatan kelahiran anak dari perkawinan siri?