STATUS DAN PERAN PEREMPUAN DALAM AL- QUR’AN: Studi Kasus Tafsir Al-Ibri>z atas Qs. An-Nisa>/
4: 34 dan Qs. Al-Ah}zab/ 33: 33
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh : Elvia Fauziyah NIM: 11170340000048
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022 M/ 1443 H
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN...
ABSTRAK...
KATA PENGANTAR...
PEDOMAN TRANSLITERASI...
DAFTAR ISI...
BAB I PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang ...
B. Permasalahan...
1. Identifikasi Masalah...
2. Rumusan Masalah...
3. Batasan Masalah...
C. Tujuan Penelitian...
D. Manfaat Penelitian...
E. Tinjauan Pustaka...
F. Metode Penelitian...
1. Jenis Penelitian...
2. Sumber Data...
3. Teknik Pengumpulan Data...
4. Analisis Data...
G. Teknik Penulisan...
H. Sistematika Penulisan...24 BAB II KH. BISRI MUS}T}OFA: Biografi dan Pemikiran...25 A. Gambaran Sosio - Budaya Perempuan Jawa...
1. Gambaran Perempuan Jawa...
2. Tata Krama Bahasa atau Unggah-Ungguh...
3. Ungkapan Tradisional Jawa ...
4. Relasi Tafsir al-Qur’an dengan Budaya Jawa ...
B. Biografi...
C. Karya dan Pemikiran...
D. Tinjauan Umum Tafsir al-Ibri>z...
1. Identifikasi Fisiologis...
2. Identifikasi Metodologis...
2.1. Motivasi Penulisan Tafsir al-Ibri>z ...
2.2. Sumber dan Rujukan Penafsiran Tafsir al-Ibri>z ...
2.3. Tujuan Penyusunan Tafsir al-Ibri>z ...
2.4. Metodologi Penafsiran Tafsir al-Ibri>z ...
2.5. Tariqah (Metode)...
2.6. Manhaj (Pendekatan)...
2.7. Ittijah (Orientasi)...
2.8. Laun (Corak)...
3. Sistematika Penyusunan Tafsir al-Ibri>z ...
4. Contoh Penafsiran Tafsir al-Ibri>z ...
BAB III STATUS DAN PERAN PEREMPUAN DAN TAFSIR AL- QUR’AN
A. Pengertian...
1. Status dan Peran Perempuan ...
2. Al-Qur’an...
3. Tafsir al-Qur’an...
B. Status dan Peran Perempuan dalam al-Qur’an...
C. Tafsir Ayat:...
1. Teks, Terjemah, Kata Kunci, dan Munasabah Ayat...
2. Sebab Turun Ayat...
3. Tafsir: ...
3.1... Menurut At}-T}abari dan Ibnu Kaṡir (Periode Tafsir Klasik)...
3.1.1. Peran Perempuan Qs. al-Nisa>/ 4: 34...
3.1.2. Peran Perempuan Qs. al-Ah}zab/ 33: 33...
3.2. Menurut Wahbah al-Zuh}ailiy dan Asy-Sya'rawi (Periode Tafsir Modern) ...
3.2.1. Peran Perempuan Qs. al-Nisa>/ 4: 34...
3.2.2. Peran Perempuan Qs. al-Ah}zab/ 33: 33...
BAB IV STATUS DAN PERAN PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-IBRI>Z...86
A. Mendefinisikan Status dan Peran Perempuan ...
1. Pengertian...
2. Analisis Kontruksi Status dan Peran Perempuan dalam Tafsir al-Ibri>z ...
A. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penafsiran...
1. Faktor Internal ...
2. Faktor Eksternal ...
BAB V PENUTUP...117 A. Kesimpulan...117 B. Saran...
DAFTAR PUSTAKA...
LAMPIRAN-LAMPIRAN...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbincangan tentang perempuan memang selalu menarik, aktual, dan kaya akan kajian. Tema yang selalu mendapatkan respon luar biasa dalam kaca kaum muslim maupun non-muslim. Berbagai permasalahan dengan subjek perempuan dari masa ke masa semakin konteks. Berbagai produk penafsiran dengan beragam sudut pandang juga banyak ditawarkan guna menghadapi fenomena yang sedang terjadi pada setiap zaman dan tempat. Banyak karya tafsir al-Qur’an dan pendekatannya yang lahir di bumi Nusantara dengan identitas ke-Bhineka-annya –beraneka suku, ras, dan budaya-.
Di Indonesia sendiri, model corak diversitas menafsirkan al-Qur’an sangat menarik. Howard M. Federspiel melalui buku “Kajian al-Qur’an di Indonesia” menangkap berbagai upaya-upaya memahami al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia.1 Islah Gusmian melanjutkan penelitian secara lebih rinci dan sistematis. Salah satu tema menarik dalam buku “Khazanah Tafsir Indonesia” milik Islah adalah ketika mendiskusikan geliat penulisan tafsir Al-Qur’an di Indonesia.2 Hal ini mengakibatkan perkembangan tafsir di Indonesia melaju pesat dibanding tradisi tafsir pada Timur Tengah sebagai sentra keilmuan Islam.3
1 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia : Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab; penerjemah, Tajul Arifin, Cet. 1 (Bandung: Al-Bayan, 1996).
2 Islah Gusmian, Khazanah tafsir Indonesia: dari hermeneutika hingga ideologi, Cetakan I (Yogyakarta: Penerbit & distribusi, LKiS Yogyakarta, 2013).
3 Howard M. Federspiel, “An Introduction To Qurianic Commentaries In Contemporary Southeast Asia,” The Muslim World 81, no. 2 (April 1991): 149–61, https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1991.tb03519.x.
Disini Howard dan Islah sama-sama memetakan perkembangan literature. Dalam bukunya, Islah berbicara tentang beberapa tafsir gender.
Menurut Islah, dari 24 literatur-literatur yang dipetakan, dalam dekade 1990-an, terdapat tiga tafsir yang secara khusus dan serius mengkaji tema tentang perempuan; Argumen Kesetaraan Gender, Tafsir bi al-Ra’yi, dan Tafsir Kebencian. Selain itu, ada juga yang menggunakan sistematika penyajian plural yang memasukkan tema perempuan: Wawasan al-Qur’an dan Dalam Cahaya al-Qur’an, ada juga dari karya tafsir dengan penyajian klasik adalah Tafsir surah an-Nisa dalam Tafsir al-Hijri.4 Pemikiran- pemikiran kaum feminis ikut membanjiri tanah air dengan mengkondisikan kesadaran mengenai kedudukan dan peran perempuan dalam kancah kehidupan bermasyarakat seperti dalam tokoh: Amina Wadud Muhsin (1994), Fatima Mernissi (1995), Ali Ashgar Engineer (1994), dll. Berbagai gerakan sudah dicanangkan dalam ranah umum maupun keterlibatan dalam kalangan pondok pesantren, kampus, dan lembaga-lembaga. Beberapa gerakan organisasi untuk para aktifis perempuan –dalam NU dan Muhammadiyah- mulai digerkakkan seperti Yasanti, Rifka Annisa Woman Crisis Center, Yayasan Kesejahteraan Fatayat, Rahima, dan masih banyak lagi gerakan aktifis perempuan yang terfokus pada isu-isu perempuan.5
Berbagai pendekatan multidisplin ilmu –kalangan akademisi, para intelektual, maupun agamawan- ditawarkan untuk melawan pemikiran yang menyimpang terhadap perempuan. Berbagai kajian dalam prespektif sudah banyak dikaji, secara budaya maupun politik, dilihat dari perspektif demokrasi, HAM, feminisme dan jender. Diantara semua perspektif
4 Gusmian, Khazanah tafsir Indonesia, 280–81.
5 Tafsir Nusantara: Analisis Isu-Isu Gender Dalam Tafsir Al-Mishbah M.
Quraish Shihab Dan Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Abd Al-Rauf Sinkel (Yogyakarta:
LKIS, 2017), 16.
tersebut, perspektif kodrat adalah prespektif yang belum mendapatkan perhatian secara khusus.6 Demikian pula dalam definisi mengenai kodrat perempuan masih berbeda –baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan sendiri- sehingga masih mengundang banyak perdebatan yang cukup serius.7
Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di lingkungan masyarakat seperti pemaknaan kodrat dan perempuan. Mansour Fakih mendefiniskan kodrat adalah ketentuan biologis yang permanen atau sering disebut sebagai ketentuan Tuhan.8 Kiranya benar apa yang dikemukakan Mansour Fakih, menurut Retnowati, kodrat adalah pembagian dua jenis kelamin manusia dengan ketentuan biologis, dan melekat pada jenis kelamin tertentu.9 Dapat disimpulkan bahwa kodrat adalah suatu ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, sehingga manusia tidak bisa menolak maupun mengubahnya.
Kodrat perempuan: melahirkan, menyusui, mengandung, mens. Kodrat perempuan memiliki tugas tertentu, begitu pula kodrat laki-laki.
Seringkali muncul pertanyaan mengapa selama ini masyarakat umum sering mencampuradukkan kodrat dengan gender? Dikarenakan kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan tersebut, sehingga masyarakat mulai memilah-milah peran sosial apa yang dianggap pantas untuk laki-laki dan peran sosial apa yang dianggap sesuai dengan
6 Kusmana, “Kodrat Perempuan dalam Al-Qur’an: Sebuah Pembacaan Konstruktrivistik”, Ilmu Ushuluddin. vol.6, no.1 (Desember 2019): 56.
7 Penerbit Kanisius and Lembaga Studi Realino (Yogyakarta, Indonesia), eds., Citra wanita dan kekuasaan (Jawa), Cet. 1., Monografi Lembaga Studi Realino 1 (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), 21.
8 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Islam, cet. ke-7 (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), 8.
9 Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 69.
perempuan.10 Lantas pertanyaan selanjutnya apakah kodrat mempengaruhi gender? Jawabannya kodrat bisa saja mempengaruhi gender, namun itu bukan suatu keharusan yang dimiliki perempuan. Dua rangkaian istilah
‘perempuan’ dan ‘kodrat’ jika digandengkan maka akan dirumuskan sebagai kualitas yang melekat pada perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kualitas dasar tersebut membentuk istilah kodrat perempuan. Namun dalam faktanya, pemaknaan kedua istilah tesebut mempunyai implikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mendorong perempuan mengerjakan hal-hal yang dianggap dekat dengan kodratinya seperti mengerjakan tugas rumah, mengurus dan membesarkan serta menjaga kesehatan anak.11
Dilihat dari fakta kehidupan dalam masyarakat, misalnya: tugas mengasuh anak memang lebih cocoknya dilakukan oleh seorang perempuan atau ibu yang mengandung, menyusui, melahirkan. Tetapi bukan berarti tugas mengasuh anak tidak bisa dilakukan oleh laki-laki atau seorang ayah. Tugas mengasuh anak merupakan tanggungjawab bersama bagi ibu atau ayah. Begitu juga tugas mendidik anak. Menurut pemahaman penulis, pendidikan collective mothering (ibu dan ayah) terhadap satu anak lebih baik dan efektif daripada pendidikan satu anak oleh satu orangtua secara eksklusif.
Ditinjau dari segi historis diatas, kepercayaan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi seorang ibu sinkron dengan keadaan perempuan dalam pelbagai penjuru dunia termasuk realitas masyarakat Indonesia saat ini. Menggambarkan real bahwa perempuan dalam segala hal hampir tidak mengenal adanya hak dan kedudukannya. Mereka hanya
10 Dede William-De Vries, Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan Di Jambi (Bogor, Indonesia: Center for International Forestry Research, 2006), 4.
11 Kusmana, “Kodrat Perempuan dalam Al-Qur’an,” 57.
dibebani segala bentuk kewajiban-kewajiban yang menjadi kepentingan kaum Adam.12
Pandangan yang mengakar kuat bahwa kodrat dari sosok perempuan –untuk menikah dan mempunyai anak- merupakan sebuah konsepsi keliru mengenai peran perempuan dalam masyarakat. Hanya karena kodrat seorang perempuan mempunyai rahim dan melahirkan, maka kemudian berkembang anggapan umum bahwa perempuan-lah yang bertanggungjawab mengurus anak. Dari pemahaman mendasar, kemudian lanjut makin berkembang jauh dimana perempuan dipandang tidak pantas sibuk diluar rumah karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai.
Dalam budaya Jawa,13 kedudukan perempuan seringkali hanya dianggap sebagai ‘konco wingking’14, artinya teman di belakang.15 Pemahaman konco wingking merupakan bentuk dari peran dan tugas perempuan yang berada di belakang (dapur, kasur, sumur). Diartikan, bahwa seorang perempuan tugasnya hanya sebagai teman laki-laki (suaminya) yang posisinya berada di rumah mengurusi peran rumah tangga dan peran macak, manak, masak.16
12 Marini Abdul Djalal, “Prospek Kedudukan Perempuan dalam Perundang- Undangan Perkawinan di Indonesia,” Jurnal al-Wardah. vol.2, no. Edisi November (2006): 97.
13 Salah satu etnis yang masih kental dengan budaya patriarkhal adalah masyarakat Jawa. Jawa digadang-gadang menjadi budaya patriarkhi yang masih eksis.
Dalam pandangan kaum feminis pada umumnya, kultur Jawa merupakan sebuah kultur yang tidak memberi tempat bagi kesejajaran antara laki-laki dan perempuan.Christina S.
Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Cet .1 (Yogyakarta: LKiS : Distribusi, LKiS Pelangi Aksara, 2004), 3.
14 Moh. Faiz Maulana, Konco Wingking Dari Waktu Ke Waktu, Cet. Pertama (Yogyakarta: Diva Press, 2021).
15 Hayam Development, Kamus Bahasa Jawa Krama Inggil, versi 1.1, 2020.
16 Maulana, Konco Wingking Dari Waktu Ke Waktu.
Konco wingking menjelaskan tempat asal (place of origin) bagi perempuan, ia diposisikan dalam suatu masyarakat dulu hingga sekarang.
Anggapan tersebut diyakini dalam sistem budaya Jawa bahwa perempuan hanya terbatas dalam macak (berhias), manak (melahirkan), dan masak (memasak). Peran dan kedudukan perempuan Jawa menjadi pandangan stereotip umum dimana tidak hanya perempuan Jawa melainkan semua perempuan.‘Wanito’ dipandang sebelah mata (subordinatif) sebagai makhluk yang lemah, citra dan peran hanya berada di wilayah domestik saja. Lintasan sejarah tersebut, struktur sosial kaum wanita diposisikan sebagai kaum minoritas yang identik dengan lingkungan domestik dan juga urusan rumah tangga. Sedangkan laki-laki berhubungan dengan lingkungan eksternal (publik).17
Saat ini tradisi ‘rasan-rasan’ masyarakat Jawa sudah melekat kuat pada eksistensi jati diri perempuan. Warisan istilah khusus yang berkaitan erat tentang bagaimana persepsi laki-laki dalam mendefinisikan, menerjemahkan, dan memposisikan diri perempuan dalam realitas kehidupan masyarakat.
Berkenaan dengan realitas yang terjadi, penulis tertarik mengambil penelitian ini, dengan mencoba memahami dua ayat yang menyinggung bagaimana peran perempuan jika ditelisik dalam Qs. al-Nisa>/ 4: 34 dan QS. Al-Ahzab ayat 33. Penelitian ini dikerangka untuk membedah pemaknaan peran perempuan dalam tafsir berbahasa lokal. Penulis mencoba menganalisis ayat-ayat mengenai peran perempuan yang terpetakan ke dalam persoalan-persoal krusial dan mengambil relevansinya dalam konteks sekarang.
17 Umar, Argumen Kesetaraan Jender, 76.
Adapun dalam penelitian ini, penulis mengambil Tafsir al-Ibrîz dengan berbagai kriteria-kriteria yang cocok untuk dijadikan penelitian penulis, diantaranya sebagai berikut: Pertama, mufassir berasal asli dari daerah Jawa. Salah satu nama kabupaten yang terletak di ujung timur laut Provinsi Jawa Tengah yaitu Rembang, Jawa Tengah. Kedua, tafsir masih kental dengan unsur lokalitas Jawa, dapat dilihat penafsiran Tafsir al-Ibrîz yang menggunakan bahasa Jawa, baik aksara pegon Jawa atau latin dalam pemaknaan kitabnya. Menunjukkan masih kuatnya bahasa lokal-daerah dalam budaya Jawa. Ketiga, nilai-nilai budaya Jawa dan unsur lokalitas masih terekam dalam penafsirannya, karena mufassir berlatarbelakang budaya Jawa. Keempat, kitab lokal tersebut masih digunakan dalam lingkup kajian dalam pondok-pondok pesantren area Jawa.
B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah
a. Bagaimana al-Qur’an dan Tafsir al-Ibrîz berbicara mengenai status dan peran perempuan dalam Qs. al-Nisa>/ 4: 34 dan Qs. al- Ah}zab/ 33: 33 ?
b. Bagaimana keberadaan dan peran perempuan pada masa KH. Bisri Mus}t}ofa menuliskan Tafsir al-Ibrîz ?
c. Apakah ruang sosio-budaya penafsir memiliki pengaruh dalam bentuk penafsirannya ?
d. Bagaimana implikasi penafsiran ayat mengenai status dan peran perempuan terhadap kehidupan sosio-budaya sekitar ?
e. Apakah terdapat bias gender dalam penafsiran KH. Bisri Mus}t}ofa mengenai mengenai peran perempuan dalam Qs. al- Nisa>/ 4: 34 dan Qs. al-Ah}zab/ 33: 33 ?
f. Apa konteks perkembangan studi gender dan tafsir al-Qur’an di Indonesia ?
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat diperoleh beberapa rumusan masalah yang akan menjadi fokus dari penelitian penulis, yaitu:
a. Bagaimana Tafsir al-Ibrîz mendiskusikan status dan peran perempuan dalam penafsiran Qs. al-Nisa>/ 4: 34 ayat 34 dan Qs.
al-Ah}zab/ 33: 33 ?
b. Apa relevansi temuan kajian ini dalam perkembangan studi gender dan tafsir al-Qur’an di Indonesia ?
3. Batasan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, pembahasan peran perempuan dan derivasinya sangat banyak, sehingga perlu pembatasan dan pemfokusan agar pembahasan tidak terlalu melebar dan makin mengkerucut ke bawah. Oleh karena itu, penelitian ini hanya mengkaji dua ayat yang masih menjadi perdebatan hingga masa kini, yaitu;
peran publik perempuan dalam Qs. al-Ah}zab/ 33: 33, dan peran domestik perempuan dalam Qs. al-Nisa>/ 4: 34.
Untuk memberikan suatu kejelasan tentang judul yang diangkat dalam penelitian ini, penulis menguatkan kembali kata-kata yang digunakan agar tidak terjadi kesalahpahaman multitafsir ketika memahami judul “Pemaknaan Peran Perempuan Prespektif Tafsir Al- Ibrîz (Analisis Qs. al-Nisa>/ 4: 34 dan Qs. al-Ah}zab/ 33: 33)”
Adapun penegasan istilah dalam pembagian ini meliputi
1.
Status dan Peran merupakan dua makna yang saling ketersambungan. Menurut terminologi makna peran adalah seperangkat kelakuan yang diharapkan orang lain dalamberkedudukan di masyarakat. Dalam bahasa inggris disebut juga
“role” dengan definisi “person’s task or duty in undertaking”
maksudnya adalah “suatu tugas atau suatu kewajiban yang diharapkan dimiliki oleh seseorang dalam bermasyarakat.18 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, Peran adalah aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya (status) maka ia telah menjalankan suatu peranan tersebut. Sedangkan status merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh seseorang. Apabila seseorang telah melakukan hak-hak dan kewajibannya tersebut, berarti ia telah menjalankan suatu fungsi.19
2.
Perempuan, disebut juga wanita, puteri, istri, ataupun ibu. Dalam bahasa Sansekerta, wanita berasal dari kata dasar “wan” artinya“nafsu”, yang diartikan wanita adalah “dinafsui atau objek seks”.
Pemaknaan dalam Jawa diartikan sebagai “wanito” yaitu “wani di toto lan wani ing noto” artinya berani di tata dan berani menata atau meng-handle. Bisa juga disebut “wadon” berarti “kawula atau abdi”, maksudnya perempuan sering dititahkan untuk taat kepada apa yang diperintahkan suami. Disebut juga “estri” atau
“pangestren” artinya pendorong, membantu suami sebagai support system dalam mengatasi problema tertentu. Selanjutnya pemaknaan kata wanita menjadi perempuan menjadikan perkembangan pada tingkat kajian gender. Perempuan adalah “empu” yang bermakna dipertuan atau dihormati.20
18 Syamsir Torang, Organisasi & Manajemen (Perilaku, Struktur, Budaya &
Perubahan Organisasi) (Bandung: Alfabeta, 2014), 86.
19 Soerjono Soekanto, Teori Peranan (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 243.
20Indah Ahdiah, “Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat”, Jurnal Academica Fisip Untad, vol.5, no.2 (Oktober 2013): 1090.
3. Tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru - tafsiran yaitu keterangan, penjelasan, atau uraian. Yang berarti menjelaskan atau menerangkan makna yang tekandung dalam ayat Al-Qur’an
4. Adapun istilah al-Ibrîz yaitu suatu nama kitab yang dikarang oleh salahsatu mufassir Jawa yang bernama KH. Bisri Musthofa. Nama kitab tersebut adalah Tafsir al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz.
Jadi, judul skripsi diatas menelisik bagaimana penafsiran KH.
Bisri Musthofa –seorang mufassir lokal- mengungkap penafsiran peran perempuan dalam kitab Tafsirnya, memfokuskan dengan menganalisis pemaknaan kedua ayat yang berkenaan dengan status dan peran perempuan yaitu QS. An-Nisaa [4] ayat 34 dan QS. Al-Ahzab [33]
ayat 33 dan relevansi dalam konteks kajian gender.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diperlukan supaya mempunyai arah terpola dengan apa yang diharapkan.
1. Mengetahui apa yang melatar belakangi peneliti dalam penafsiran ayat mengenai peran perempuan.
2. Mengetahui bagaimana KH. Bisri Musthofa mengurai ayat-ayat yang berkaitan dengan peran perempuan Q.S. An-Nisaa [4] ayat 34 dan Q.S.
Al-Ahzab [33] ayat 33.
3. Mengetahui serta memahami sosio-budaya penafsir KH. Bisri Musthofa dalam mengurai ayat-ayat yang berkaitan dengan peran dan status perempuan Q.S. An-Nisaa [4] ayat 34 dan Q.S. Al-Ahzab [33]
ayat 33.
4. Mengetahui relevansi peran perempuan perkembangan studi gender dan tafsir Al-Qur’an dalam Q.S. An-Nisaa [4] ayat 34 dan Q.S. Al- Ahzab [33] ayat 33 di Indonesia.
5. Memberikan penjelasan yang signifikan melalui ayat-ayat yang berkaitan dengan peran dan status perempuan yang terpetakan ke dalam persoalan-persoalan krusial.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan oleh peneliti ketika melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Memberikan kontribusi terhadap khazanah keilmuan Islam, terkhusus mengenai penafsiran KH. Bisri Musthofa.
b. Menghasilkan pemahaman yang luas terhadap penafsiran KH.
Bisri Musthofa sehingga dapat meminimalisir klaim negative atau isu-isu perempuan antara tradisi sosio-budaya yang ada di Jawa dengan ajaran yang ada dalam Al-Qur’an.
c. Penelitian ini sebagai salahsatu syarat untuk meraih gelar sarjana dalam bidang Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
2. Manfaat Teoritis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi peneliti lain untuk memperkaya penelitian berikutnya dan menambah gagasan-gagasan baru dalam penafsiran ulama nusantara, khususnya dalam bidang sosial, budaya, dan agama
b. Membantu memahami makna dibalik penafsiran dalam mufassir dengan background Jawa, serta menambah khazanah keilmuan dalam bidang Al-Qur’an dan Tafsir.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran, harus penulis katakana bahwa penulis bukan orang yang pertama meneliti tentang status dan peran perempuan dalam Al-Qur’an, terkhusus dalam Q.S. An-Nisaa [4] ayat 34 dan Q.S.
Al-Ahzab [33] ayat 33. Sudah ada beberapa penelitian sebelumnya yang telah mengangkat tema yang sama. Namun penelitian yang mengangkat problema tersebut belum secara khusus fokus dibahas dalam kitab klasik, seperti Tafsir Al-Ibrîz .
Adapun penelitian kepustakaan dari berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini, di antaranya:
1. Berkaitan dengan tema yang diteliti
Penelitian dalam Thesis milik Helfina Ariyanti dengan judul
“Peran Perempuan Dalam Al-Qur’an (Studi Epistemologi Penafsiran Amina Wadud Dan Zaitunah Subhan Terhadap Isu Gender)” diajukan kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Melalui hasil studi komparasi dengan prespektif gender, peneliti ingin menjelaskan mengenai kajian mengenai tema peran perempuan melalui sudut pandang antara Amina dan Zaitunnah. Penafsiran mereka menekankan betapa pentingnya penafsiran secara pragmatism untuk menjawab problem kesetaraan gender dengan menghasilkan penafsiran tidak bias dan adil.21
21 Helfina Ariyanti, “PERAN PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN (Studi Epistemologi Penafsiran Amina Wadud Dan Zaitunah Subhan Terhadap Isu Gender)”
(Yogyakarta, Thesis, UIN Sunan Kalijaga, 2016).
Buku yang berjudul “Membincang Feminism Diskursus Gender Perspektif Islam” karya Mansour Fakih. Buku ini menjelaskan tentang bagaimana pe-wahyu-an membangun wacana keperempuanan baik dalam kepentingan teori maupun aksinya. Dalam buku ini dikatakan bahwa untuk memahami wahyu yang berafiliasi dengan perempuan perlu penguasaan metodologis, sejarah, psikologi, bahasa dan sastra Arab, logika, Al-Qur’an dan Sunnah, tidak secara parsial.22
Dalam buku karya Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA berjudul “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an”.
Cendekiawan sekaligus Ulama yang concern dalam persoalan relasi gender ingin mengupas tuntas terhadap ayat-ayat yang membahas tentang relasi laki-laki dan perempuan. Dijelaskan bahwa penafsiran terdahulu masih ada unsur bias gender yang akhirnya berdampak kepada pemaknaan gender. Oleh karena itu perlunya penafsiran ulang (reinterpretasi) yang lebih objektif. 23
Skripsi Marantika dengan judul “Peran Wanita Dalam Ruang Publik: Prespektif Islam dan Kristen”, dalam penelitian tersebut dijelaskan dengan menganalisa antara pendapat satu dengan pendapat yang lain, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Agama Islam dan Agama Kristen sama-sama memilki sudut pandang positif mengenai peranan wanita dalam ruang publik di ranah politik.24
Karya tulis yang berjudul “Peran Sosial Politik Perempuan Dalam Pandangan Islam” dengan penulis Hj. Rahmi Damis yang diterbitkan dalam Jurnal Sipakalebbi’ menyimpulkan bahwa adanya HAM dalam peran sosial politik perempuan sehingga perempuan
22 Mansour Fakih, Membincang Feminism Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000).
23 Umar, Argumen Kesetaraan Jender.
24 Marantika, “Peran Wanita Dalam Ruang Publik: Prespektif Islam dan Kristen”
(Lampung, Skripsi, UIN Raden Intan Lampung, 2017).
mempunyai hak untuk dipilih atau memilih dalam PEMILU (Pemilihan Umum) hal tersebut juga ditegaskan dalam Al-Qur’an.25
Selanjutnya Skripsi mengenai “Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al- Mishbah)” oleh Mela Anggraini menjelaskan bahwa ayat yang menjelaskan mengenai perintah perempuan tetap tinggal di rumah bukan berarti tidak selamanya untuk terkukung dalam rumah, namun itu sebuah isyarat yang menekankan bahwa rumah merupakan sebuah pondasi utama bagi kehidupan dalam artian menjaga adab dan etika ketika jauh di luar rumah.26
2. Berkaitan dengan tokoh dan tafsir yang dikaji
Penelitian yang menggunakan kitab al-Ibrîz sebagai objek materialnya yakni Aunillah Reza Pratama dalam skripsinya yang berjudul “HAK-HAK WANITA PERSPEKTIF TAFSIR JAWA (Studi Komparatif Penafsiran Bisri Mustofa dan Misbah Mustofa)”
membahas mengenai hak-hak wanita dalam keluarga pada surat an- Nisaa’ dalam prespektif penafsiran Bisri Mustofa dan Misbah Mustofa.27
Ditemukan penelitian dari Faiqoh yang berjudul “Penafsiran Bisri Mustofa Terhadap Ayat-Ayat Tentang Perempuan dalam Kitab Al-Ibrîz”. Skripsi ini meneliti mengenai penafsiran Bisri Mustofa tentang ayat-ayat perempuan yang terkait dalam kitab al-Ibrîz, setidaknya ada enam tema yang peniliti gunakan yakni; penciptaan perempuan, poligami, waris perempuan, kepemimpinan perempuan
25 Hj Rahmi Damis, “PERAN SOSIAL POLITIK PEREMPUAN DALAM PANDANGAN ISLAM” 1 (2013): 12.
26 Mela Anggraini, “Peran Perempuan Dalam Surah Al-Ahzab: 33 (Studi Muqarran Tafsir fi Zhilalil Qur’an dan Tafsir Al-Mishbah)” (Jambi, Skripsi, UIN Sulthan Thaha Saifudin, 2021).
27 Aunillah Reza Pratama, “Hak-Hak Perempuan dalam Tafsir al-Ibri>z dan Tafsir Ta>j al-Muslimin,” SUHUF Vol. 11, no. 2 (2018): 283–308.
dalam rumah tangga, persaksian perempuan, dan larangan perempuan keluar rumah. Disini Faiqoh dengan menggunakan metode analisis deskriptif-interpretative. Kesimpulan yang terdapat dalam penelitian, menurut Faiqoh sebagai peneliti yaitu Pertama, penafsiran tehadap enam tema ayat-ayat perempuan, sedikit penafsiran yang berbeda dengan ulama-ulama klasik lainnya. Kedua, relevansi penafsiran KH.
Bisri Musthofa dengan kondisi perempuan Jawa bisa dikatakan relevan untuk tingkat masanya di masa itu.28 Secara umum penelitian Faiqoh ini menggunakan sudut pandang pada kondisi perempuan di masa itu.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah dari segi tokoh dan salahsatu tema yang dikaji dalam tafsir Al-Ibrîz. Dan adapun perbedaan dengan penelitian ini adalah, pada penelitian yang diambil, disini penulis lebih menitikberatkan dimana fokus penelitian tersebut adalah memahami status dan peran perempuan pada dua ayat yaitu QS. An-Nisaa ayat 34 [4] dan QS. Al-Ahzab [33] ayat 33 untuk mengetahui status dan kodrat perempuan. Selanjutnya dikaitkan dengan bagaimana relevansi temuan tersebut dengan konteks perkembangan studi gender dan tafsir Al-Qur’an yang ada di Indonesia.
Penelitian yang dikaji oleh Faiqoh sangat bermanfaat bagi penulis karena di dalam penelitiannya tidak hanya memaparkan mengenai kitab Tafsir al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz tetapi juga mengulas peran perempuan, meski tidak begitu rinci, namun hal demikian dapat menambah wawasan penulis mengenai fakta ayat perempuan jawa dalam penafsiran Tafsir al-Ibrîz.
28 Faiqoh, “Penafsiran Bisri Mustofa Terhadap Ayat-Ayat Tentang Perempuan dalam Kitab Al-Ibrîz” (Yogyakarta, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013).
Thesis yang disusun oleh Alfin Nur Azriani dengan judul
“Inter Relasi Al-Qur’an Dan Budaya Jawa Dalam Tafsir Al-Ibrîz Karya Bisri Musthofa” membahas tentang analisa terhadap aspek- aspek lokalitas yang terdapat dalam tafsir al-Ibrîz dan kemudian menganalisis bentuk-bentuk inter relasi antara al-Quran dan budaya dalam kitab al-Ibrîz dengan menggunakan pola Adaptasi, Integrasi, dan Negosiasi. Tanpa menyinggung aspek-aspek di dalam tafsir al- Ibrîz karya KH. Bisri Musthofa, melalui kajian terhadap serangkaian isu gender yang terkait.29
Selain itu, Lilik Faiqoh melakukan penelitian terhadap Tafsir al-Ibrîz yang menghasilkan sebuah jurnal berjudul “Tafsir Kultural Jawa: Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut KH. Bisri Musthofa”.
Dalam kajiannya peneliti membahas kaitan kontekstualisasi penafsiran maw’izah dalam surah Q.S. Luqman dengan budaya lokal dalam pandangan KH. Bisri Mustofa. Kesimpulan paper ini adalah pentingnya mengelaborasikan tradisi lokal yang berkembang dengan maw’izah dalam Q.S. Luqman. Dengan ini menunjukkan bahwa tafsir lokal menghargai dan merawat budaya lokal tersebut dalam konteks khazanah keilmuan Islam.30
Artikel lain yang membahas tentang al-Ibrîz ditemukan dalam tulisan Abu Rokhmad yang dimuat dalam jurnal Analisa dengan judul
“Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon al-Ibrîz”. Pembahasan yang terdapat dalam artikel ini mencakup 12 metode penafsiran, sistematika penafsiran, dan corak penafsiran dalam Tafsir al-Ibrîz tanpa
29 Alfin Nur Azriani, “Inter Relasi Al-Qur’an Dan Budaya Jawa Dalam Tafsir Al- Ibrîz Karya Bisri Musthofa” (Surabaya, Thesis, UIN Sunan Ampel, 2020).
30 Lilik Faiqoh, “Tafsir Kultural Jawa: Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut KH. Bisri Musthofa,” Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam 10, no. 1 (Juni 2016): 65–108.
membahas pemahaman mengenai peran dan status perempuan di dalam Tafsir al-Ibrîz karya KH. Bisri Musthofa.31
Hasil dari penelitian diatas, sejauh ini penulis belum menemukan pembahasan khusus berbicara tentang penafsiran KH.
Bisri Musthofa terhadap isu-isu gender yang dikaitkan dengan sosio- budaya mufassir pada masa itu. Disini penulis lebih menitikberatkan mengenai bagaimana seorang mufassir jawa menyikapi dan menganalisis terhadap aspek ayat gender di dalam Tafsir al-Ibrîz karya KH. Bisri Mustofa, melalui kajian terhadap serangkaian isu gender di ruang lingkupnya.
F. Metode Penelitian
Metode adalah suatu disiplin ilmu tentang bagaimana cara atau langkah-langkah yang di tempuh untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dengan cara kerja dan menggunakan langkah-langkah khusus secara sistematik.32 Penulis akan melakukan beberapa langkah-langkah sehingga penelitian ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode ini akan mencakup jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data yang akan dijelaskan dibawah ini
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini murni menggunakan metode penelitian pustaka (library research). Sumber data yang digunakan secara keseluruhan diperoleh dari berbagai jenis Pustaka seperti buku-buku,
31 Abu Rokhmad, “Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon al-Ibriz,” Jurnal Analisa 13, no. 01 (Juni 2011): 27–38.
32 Muh. Fitrah dan Luthfiyah Luthfiyah, Metodologi Penelitian; Penelitian Kualitatif, Tindakan Kelas & Studi Kasus, Cet. Pertama (Sukabumi: CV Jejak, 2017), hlm. 27-28.
artikel journal, dan sumber informasi tulis lainnya yang berkaitan baik secara langsung atau tidak langsung dengan tema pembahasan.
Berhubung penelitian ini adalah untuk menggambarkan peran dan status perempuan prespektif tafsir al-Ibri>z serta untuk mengetahui sumber, metode dan validitas penafsiran, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan analisis gender.
2. Sumber Data
Ada dua sumber data yang akan digunakan dalam penelitian.33 Pertama, memposisikan kitab tafsir al-Ibrîz karya KH Bisri Musthofa sebagai sumber data primer. Kedua, sumber data sekunder adalah buku, dokumen, literature-literature yang terkait dengan isu-isu yang dibicarakan dalam penelitian ini, atau jurnal-jurnal ilmiah, baik dari dalam maupun luar negeri mengenai perempuan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini akan dilakukan teknik library research atau studi kepustakaan. Penulis melakukan pencarian data-data yang mengandung keywords; min nafs wa>hidah, gender, perempuan dalam al-Qur’an Tafsir Feminis, perempuan dalam pandangan Islam dan sejenisnya.
Kedua, menandai dan memberi kode pada bagian yang akan dianalisis sesuai dengan masalah yang akan penulis teliti.
33 Ada dua sumber data yang dipakai yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Pertama, sumber data primer adalah sumber data yang secara langsung dapat memberikan data kepada pengumpul data. Kedua, sumber data sekunder adalah sumber data yang secara tidak langsung dapat memberikan data kepada pengumpul data atau menggunakan perantara, misal melalui orang lain atau melalui dokumen. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D, Cet. ke-1. (Bandung: Alfabeta, 2019), 296.
Ketiga, mencatat data-data berupa kata, frasa, kalimat, ungkapan-ungkapan serta pernyataan yang menginformasikan dan mengelompokkan data temuan penulis.
4. Analisis Data
4.1. Metode Penafsiran : (deskriptif analitik)
Setelah melakukan inventarisasi dan seleksi data dilakukan, Langkah selanjutnya adalah analisa data untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Metode yang digunakan deskriptif analitik, adalah metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan gambaran mengenai objek yang diteliti melalui sampel yang terkumpul tanpa melakukakn analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku. (sugiyono 29; 2009).
Yaitu dengan memberikan analisa seputar penafsiran Bisri Musthofa terkait kontruksi perempuan yang ada di dalam kitab al-Ibriz. Kemudian tak lupa pula secara eksploratif membandingkannya dengan beberapa penafsiran lainnya termasuk pandangn mufassir klasik dan mufassir kontemporer serta keterangan yang berkaitan. Penulis pula mencoba memberikan analisa-analisa dengan mengaplikasikan teori yang digunakan.
Peneliti membuat mind mapping untuk menggambarkan dengan jelas sebagai berikut
19 Nash (teks) dalam Tafsir al-
Ibri>z
1. Lingkup keluarga (intelek muslim) 2. Lingkup intelek (pesantren) 3. Sosial dan budaya
Peran dan status perempuan terbagi point:
1. Perempuan 2. Perempuan 3. Perempuan KH. Bisri Musthofa
1. Biografi (mufassir)
Author Qs. al-Nisa>/ 4: 34 dan Qs. al-Ah}zab/
Tabel 1.1 mapping pemahaman analisa penulis
4.2. Pendekatan (memakai spt apa)
Metode yang digunakan memakai pendekatan Analisis Gender dan Transformasi Sosial Mansour Fakih. Sebuah analisis gender yang
Melihat cerminan
Pemahaman mufassir terhadap “perempuan” pada
zamannya
“Teori Analisis Gender”
milik Mansour Faqih 1. Marginalisasi 2. Subordinasi 3. Stereotype 4. Violence 5. Double burden
digunakan untuk menjawab realitas sosial yang ada. Analisis ini menyajikan untuk memberi makna, konsep, asumsi melalui kehidupan sosial yang lebih luas (ekonomi, sosial, politik, kurtural) yang tidak dilihat oleh analisis sosial lainnya.34
Pendekatan Mansour Fakih menunjukkan kerangka berpikir bahwa gender dipengaruhi dan dibingkai oleh banyak hal, dan komponen yang variatif seperti; nilai budaya atau adat, tradisi, faktor kelas, maupun agama. Dari faktor ini jika dikritisi dapat menghasilkan pelanggengan proses marginalisasi perempuan, dapat juga melihat bagaimana dimensi- dimensi diatas digunakan sebagai instrumen untuk menganalisis kepentingan perempuan dari kelompok yang berbeda-beda, atau bisa dijadikan oleh perempuan (secara kolektif atau individu) untuk memperjuangkan haknya dalam publik atau dalam ranah domestik.
Karena perbedaan gender telah melahirkan berbagai Tindakan ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan. Untuk mengidentifikasi gagasan tersebut, setidaknya ada lima indikator untuk melihat tafsir memiliki bias gender atau tidak, antara lain:35
a) Gender dan Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi adalah mekanisme pembatasan atas satu jenis kelamin tertentu yang mengakibatkan kemiskinan, dalam hal ini perempuan. Perbedaan yang disebabkan gender biasanya bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, tradisi, kebiasaan, atau asumsi ilmu pengetahuan.
b) Gender dan Subordinasi
34 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Edisi Klasik Perdikan (Pakem, Sleman, D.I. Yogyakarta: Insist Press, 2020), xxxiv.
35 Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, 8–18.
Anggapan bahwa perempuan tidak rasional dan emosional, sehingga mereka tidak dapat memimpin dan menempati posisi- posisi penting.
c) Gender dan Stereotip
Bahwa perempuan lebih layak untuk melakukan pekerjaan domestik daripada pekerjaan luar.
d) Gender dan Kekerasan
Asumsi bahwa perempuan berdandan untuk menarik lawan jenis.
Sehingga dalam setiap kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan selalu dikaitkan dengan hal ini.
e) Gender dan Beban Kerja
G. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan dan transliterasi, penulis merujuk pada terbitan UIN Jakarta, tahun 2017, serta Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: 507 Tahun 2017 tentang pemberlakuan buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan yang sistematis, maka perlu adanya pemaparan sistematika penulisan skripsi. Sistematika pembahasan dalam penelitian terbagi menjadi lima bab, sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang memuat argumentasi seputar signifikansi dari penelitian ini. Dalam uraian bab inilah yang akan dijadikan sebagai landasan awal atau kunci dalam penyusunann skripsi ke jenjang bab-bab berikutnya. Pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, kemudian dibatasi dengan adanya batasan dan identifikasi
masalah yang menghasilkan suatu rumusan masalah. Berikutnya dipaparkan tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. Untuk penelitian yang lebih signifikansi, maka dalam pendahuluan juga terdapat perbandingan dari penelitian-penelitian terdahulu, tinjauan pustaka.
Selanjutnya dipaparkan juga mengenai kerangka teori dan metode yang digunakan dalam penelitian. Terakhir sebagai penutup dari bab 1, yaitu memaparkan sistematika penulisan.
Bab II menyampaikan gambaran umum mengenai sketsa biografi, karya-karya serta pemikiran KH. Bisri Musthofa dan kitab yang akan peneliti kaji yaitu kitab Tafsir al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz.
Bab III menjelaskan status dan peran perempuan dalam penafsiran, baik dalam penafsiran klasik maupun tafsiran modern. Peneliti mengkaji sosio-budaya penafsir dalam Tafsir al-Ibrîz dengan cara melihat keadaan lingkungan budaya Jawa serta relasi tafsir dengan budaya Jawa. Dengan demikian dapat terbentuk pola penafsiran mufassir ketika menafsirkan ayat-ayat berkenaan dengan judul.
Bab IV secara khusus memaparkan berbagai hasil temuan yang peneliti lakukan. Menganalisis kontruksi gender dengan analisis prespektif gender Mansour Fakih. Dari pisau analisis inilah, peneliti bisa melihat apakah penafsiran mengandung bias gender atau tidak. Dan menyelidiki relevansi perkembangan gender dalam konteks ke-Indonesia-an sekarang.
Bab V merupakan penutup yaitu kesimpulan dan saran. Kesimpulan disini terangkum sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan atas identifikasi, batasan dan rumusan-rumusan masalah. Sedangkan saran dan kritik disini bertujuan membangun dan memperbaiki agar dapat memperkaya khazanah keilmuan yang lebih lengkap.
BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN KH. BISRI MUSTHOFA
Untuk memulai pembahasan dalam bab ini, peneliti mengawali tulisannya dengan membahas kehidupan latar kebudayaan KH. Bisri Musthofa, sketsa biografis mufassir serta kitab serta menjelaskan seluk beluk tafsir Al-Ibrîz.
A. Gambaran Sosio-Budaya Perempuan Jawa 1. Gambaran Perempuan Jawa
Penyebutan “perempuan Jawa” merupakan sebuah identitas sosial yang melekat pada ruang mental individual mau pun secara sosial, karena makna asli menjadi perempuan Jawa merupakan sebuah representasi sosial atas citra diri demi mencapai naluri keperempuanan dengan utuh dan benar menurut kriteria manusia Jawa.36 Jawa disini diartikan sebagai orang yang lahir dalam etnis Jawa atau keturunan generasi Jawa terdahulu dan hidup dalam lingkungan sebagian besar masih menjunjung nilai tradisi Jawa.37
Sistem dalam budaya Jawa merupakan sebuah konsep yang hidup di alam pikiran masyarakat Jawa mengenai apa yang dianggap bernilai, bermanfaat, berharga dalam kehidupan, sehingga otomatis menjadi pedoman hidup dalam masyarakat. Sistem budaya Jawa terdapat nilai-nilai budaya Jawa yang dijadikan pedoman dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Budaya Jawa masa lalu menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka akan ke pawon.
Persepsi turun-temurun tersebut membentuk suatu tatanan yang sukar bahkan tidak dapat diubah. Kebudayaan yang identik dengan patriarki, 36 Rizky Pudjianto, “Perempuan Jawa: Representasi Dan Modernitas”.
Indonesian Journal of Sociology and Education Policy, vol.2, no.2 (Juli 2017): 126.
37 Devi Puspitasari, “Pengambilan Keputusan Perceraian Pada Perempuan Jawa”.
INNER: Journal of Psychological Research, vol.1, no.4 (Februari 2022): 202.
ditampilkan perempuan Jawa menjadi seorang pribadi yang tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki melalui budaya pingitan, ritual adat Ranupada, perjodohan, dan bahkan poligami -apapun yang membuat kedudukan laki-laki terlihat lebih tinggi dibandingkan perempuan. Kebudayaan Jawa membedakan kekuasan perempuan yang mengharuskan mereka tidak berpendidikan tinggi, tidak boleh memerintah dan harus menjalankan tata krama kesopanan yang tidak berlaku terhadap laki-laki seperti menyembah kepada yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukanya, berjalan dengan cara jongkok, dan berbicara sembari menundukan kepala. Hal ini yang menyebabkan mitos “konco wingking”38 untuk perempuan Jawa semakin dipercayai keberadaanya.39
Dalam ajaran Nyi Hartati kepada anaknya Rancangkapti yang tertulis dalam Serat Centhini tentang “kias lima jari tangan”, tampak bahwa ajaran tersebut lebih mengarah pada kedudukan perempuan dalam rumah tangga di hadapan suami. Ajaran tersebut menuturkan bahwa:40
1. Jempol (ibu jari), berarti “Pol ing tyas”. Sebagai istri harus berserah diri atau mengabdi sepenuhnya kepada suami. Apa saja yang menjadi perintah suami harus dituruti.
38 Terdapat keunikan kultur dusun dalam penempatan laki-laki dan perempuan.
Konsep paternalistik yang masih berkembang secara tegas:
“Mula bukane wong wedok kui konco wingking seko kitab suci. Naliko Pangeran nitahake manungso sing pisanan kuwi dititahake wong lanang dhisik, bar kuwi nembe wong wadhon sing dijupuk seko igane bapa Adam sisih kiwa. Wis mung iga, sisih kiwa pisan. Pokoke, wong wedhok kui drajate luwih cendhek tinimbang wong lanang. Upama tangan tiba tangan kiwa, upama awak tiba bokong.”
Terjemah bebasnya, Asal-usul penciptaan perempuan sebagai “konco wingking”
sudah tertera dalam al-Quran. Allah Swt pertama kali menciptakan laki-laki, kemudian perempuan, yang diambil dari iga sebelah kiri Nabi Adam. Hanya iga yang sebelah kiri saja. Intinya, perempuan itu derajatnya lebih rendah daripada laki-laki. Jika diibaratkan tangan, dia adalah tangan kiri, jika diibaratkan anggota badan, dia bagian pantat.
Christina S. Handayani and Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, Cet .1 (Yogyakarta:
LKiS : Distribusi, LKiS Pelangi Aksara, 2004), 117–118.
39 Rabiatul Adawiyah and Laksmi Rachmaria, “Mitos ‘Kanca Wingking’
Perempuan Jawa Dalam Film Kartini (Analisis Semiotika Roland Barthes)”. Pantarei, vol.5, no.2 (2021): 5.
40 Muniarti A. P., “Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan,” dalam Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa) (Kanisius, 1992).
2. Penuduh (telunjuk), berarti jangan sekali-kali istri berani mematahkan “tudhung kakung” (petunjuk suami). Petunjuk suami tidak boleh diperdebatkan atau dibantah.
3. Penunggul (jari tengah), berarti selalu “meluhurkan”
(menggunggulkan) suami dan menjaga harkat martabatnya.
4. Jari manis. Tetap manis air mukanya dalam melayani suami dan ketika suami menghendaki sesuatu.
5. Jejenthik (kelingking), berarti istri harus selalu “athak ithikan”
(trampil dan banyak akal) dalam lingkup semuanya, termasuk melayani suami. Dalam melayani suami hendaknya cepat tetapi lembut.
Konsep mengenai perempuan juga tertuang dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno berupa serat, pewayangan, atau dalam karya sastra Jawa Modern. Terdapat dalam Sastra Jawa oleh Pakubuwana V dalam Serat Panitisastra X.10 dan X.11 melarang keras untuk menjadikan kaum perempuan sebagai pemimpin dalam barisan depan karena akan membawa bahaya yang besar jika itu terjadi. Dalam serat tersebut tertulis “Ayya manut budining dyah atemah denerang-erang ing sami kang sujana Pararya. Oleh wirang ing wong sanagari yen anurut budining wanudya tanwun papa tinȇmune yen sisip tȇkeng lampus.” (Jangan menuruti pikiran perempuan, akhirnya akan diejek oleh sesama, oleh para arif dan para utama, akan mendapatkan malu di seluruh masyarakat: tak urung papa akan didapat, salah-salah sampai pada maut).41 Pandangan yang lebih rendah lagi seperti yang terdapat dalam Serat Panitisastra X.13, sang pujangga menjelaskan “Wuwuse kang wus (putus) ngelmi kaprawolu wanudya lan priya ing kabisan myang kuwate tuwin wiwekanipun pan
41 Alexander Sudewa, Sȇrat Panitisastra, Tradisi, Resepsi, Dan Transformasi.
(Yogyakarta: ILDEP/ Duta Wacana Universirty Press, 1991), 71.
kapara astha ta malih” (Kata mereka yang telah belajar dalam ilmu, wanita hanyalah seperdelapan dari pria dalam hal kepandaian atau kekuatan, hal kebijaksanaan masih seperdelapannya lagi).42 Status dan peran perempuan dalam sastra lama hanya diakui dari sudut reproduksinya saja. Umumnya mereka mengenyam pendidikan rendah atau menitih pendidikan non-formal.43
2. Tata Krama Bahasa atau Unggah-Ungguh
Dalam bermasyarakat, bersuku dan berbudaya, lokalitas dalam mengenal karya menjadi pedoman antara relasi antara manusia satu dengan manusia lainnya. Orang Jawa mengenal bahwa seseorang akan diperhitungkan dan dinilai kuantitasnya berdasar pada apa yang dimilikinya -berdasarkan hierarki seorang dalam bermasyarakat- terutama terkait dengan pekerjaan. 44
Konsep dalam pandangan priyayi, kebahagiaan yang haqiqi itu adalah kedudukan, kekuasaan, serta yang membuat makmur dan sejahtera.
Mengenai ukuran kesejahteraan tentu berbeda dengan budaya barat yang selalu menekankan nilai material (benda) dan hal-hal lain yang bersifat terlihat. Hal ini sinkron dengan pemikiran orang Jawa dalam istilah dadi wong, pengertian yang masih dipegang teguh oleh nilai-nilai dasar budaya Jawa yaitu menjadi orang sukses dalam kehidupan. Menurut perempuan Jawa, konsep dadi wong bukan seputar materi saja melainkan atribut budaya Jawa; aspek agama, moral, etika, psikologis, dan sosial-budaya.
Sehingga Jawa memandang perempuan sukses adalah saat menjadi istri dan ibu sebagai posisi utama dalam keluarga dan masyarakat dalam
42 Sudewa, Sȇrat Panitisastra, Tradisi, Resepsi, Dan Transformasi, 72.
43 Esti Ismawati, “Pemetaan Status Dan Peran Perempuan Jawa Dalam Teks Sastra Indonesia”. Jurnal Masyarakat & Budaya, vol.20, no.2 (2018): 231.
44 Atik Triratnawati, “Konsep Dadi Wong Menurut Pandangan Wanita Jawa”.
Humaniora, vol.17, no.3 (Oktober 2005): 301.
membina sebuah rumah tangga yang harmonis. Sebagai bukti dalam hasil kajiannya45 menunjukkan bahwa menggugat cerai bagi perempuan Jawa bukanlah sesuatu yang gampang, sehingga mereka seringkali bertahan dalam perkawinan penuh konflik demi bertahannya rumah tannga walaupun di ujung tanduk, asal tidak diceraikan. Karena budaya Jawa sangat menjunjung tinggi nilai perkawinan. Menurut Risa, perempuan Jawa dalam proses penjangkaran setidaknya dalam linearitas mental merupakan sebuah perjalanan dadi wong atau dadi modern. Dua prinsip yang saling berkaitan dengan perjalanan historisitas dan nilai di masa kini.46
3. Ungkapan Tradisional Jawa
Dalam budaya Jawa, banyak sekali istilah-istilah yang mendudukkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dan istilah tersebut sudah tervalidasi dan diterima penuh dalam hati masyarakat, sehingga “dimaklumi” begitu saja.47 Ambil saja contohnya, ada istilah konco wingking….
Berkaitan dengan peran dan status laki-laki dan perempuan dalam budaya Jawa berlaku prinsip rasa hormat dalam interaksi sosial, masyarakat, termasuk hubungan suami-istri. Otoritas dalam keluarga Jawa yang sebenarnya adalah Ibu, namun penerima validasi rasa hormat adalah bapak.48
Realitas hubungan suami-istri tersebut tidak sepaham seperti yang di lukiskan oleh masyarakat Jawa. Faktualnya peranan ibu jauh lebih kuat
45 Puspitasari, “Pengambilan Keputusan Perceraian Pada Perempuan Jawa”, 201.
46 Pudjianto, “Perempuan Jawa: Representasi Dan Modernitas”, 128.
47 Tanti Hermawati, “Budaya Jawa Dan Kesetaraan Gender”. Jurnal Komunikasi Massa, vol.1, no.1 (Juli 2007): 20.
48 Handayani dan Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 122.
daripada bapak. Manajer keluarga adalah ibu, ibu sebagai pusat keluarga -managemen keuangan, pertimbangan keputusan, pemilihan sekolah untuk anak, pilihan suami-istri bagi anak, dll- sebagai satuan sosial dan ekonomi, perempuan tanpa suami dapat mengendalikan rumah tangga, namun tidak dengan laki-laki. Sebagaimana ungkapan yang terkenal dalam jawa “Aku ki nik ditinggal ibune iso mati enom, ning yen ibune tak tinggal ora bakalan mati nom.” Ungkapan ini bermakna, jika aku ditinggal mati istri, maka suami bisa mengalami kemerosotan karena terbiasa dilayani (istri).
Jika istri ditinggal mati suami nya terlebih dahulu, dia tidak akan mengalam krisis rumah tangga, karena terbiasa mandiri dan melayani (suami).
Prinsip hormat bisa diartikan sebagai perempuan Jawa sebisa mungkin tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif istri tidak boleh melebihi suami. Jika pada akhirnya tetap menempati peran publik dan jika mengganggu keharmonisan keluarga maka perempuan tidak akan melakukan hal tersebut, dengan memegang teguh prinsip
“empan papan”.49
Digambarkan ketika dalam ranah keluarga, perempuan (istri) memegang peranan besar dalam kehidupan domestik seperti yang terlihat dalam jaringan matrifokal ataupun perannya yang sentral dalam me- manage ekonomi dan merencanakan pendidikan dengan anggapan apiking suami gumantung istri, apiking anak gumantung ibu yang dilandasi konsep swarga nunut neraka katut.50
Berdasarkan ungkapan tersebut, menggambarkan perempuan Jawa hanya sebagai pendamping dan patuh pada perintah suami. Cara pandang
49 Maksudnya adalah menjadikan suami sebagai prioritasnya, dengan selalu menghargai dan menghormatinya. Handayani and Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 144.
50 Handayani and Novianto, Kuasa Wanita Jawa, 145–46.
masyarakat Jawa terhadap sosok perempuan yang selalu di bawah dan menjadi subordinat. Sehingga kaitannya dengan peran perempuan adalah suksesnya membina pernikahan yang harmonis menjadi penting bagi istri, ibu, perempuan Jawa.
4. Relasi Tafsir al-Qur’an dengan Budaya Jawa
Budaya Jawa selama berabad-abad telah bersentuhan dengan kepercayaan dan kebudayaan Hindu-Budha. Oleh karena itu, Agama Islam yang datang kemudian di pulau Jawa pada dasarnya dihadapkan pada situasi dan kondisi yang tidak mudah. Hal ini disebabkan terutama oleh pengaruh agama Hindu-Budha yang begitu mendalam, hingga mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Meski demikian, kedatangan Islam juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat Jawa dan kebudayaannya.
Karena Islam yang ada di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh sufisme (mistik), kedatangannya mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Selain itu, ajaran Islam ketika masuk di masyarakat Jawa juga bersikap moderat51 dan egaliter,52 sehingga berimplikasi pada penduduk Jawa yang tertarik mempelajari Islam.53
51 Quraish Shihab berpendapat bahwa prinsip moderasi (wasathiyah) mengundang umat Islam berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak agama, budaya, peradaban. Lebih lengkapnya baca M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2010), 94.
52 Egaliter menurut kamus ilmiah merupakan kederajatan atau kesejajaran manusia memiliki persamaan, tidak membeda-bedakan dengan yang lain.
Risa Agustin, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: Serba Jaya, t.th), 94.
53 Perlu diketahui, Islam masuk wilayah Jawa telah bercampur dengan unsur-unsur mistik. Sedangkan pra-Islam masuk ke Jawa tradisi kebudayaan Hindu- Budha juga didominasi unsur mistik. Dengan begitu, terdapat unsur kesamaan yang mengakibatkan Islam begitu diterima baik oleh masyarakat Jawa khususnya. Lihat, Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid, ( Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), 100.
Hasil penafsiran atau tafsir tidak dilahirkan dalam realitas yang hampa dan vakum. Artinya, tafsir bisa dikatakan sebagai sebuah fenomena kebudayaan. Seorang mufassir ketika melakukan aktifitas penafsiran tidak akan bisa lepas dari pengaruh lingkungan budaya-primordial yang telah melekat dalam dirinya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Quraisy Shihab, bahwa hasil penafsiran seseorang pasti dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural dan ideologi mereka.54 Bahkan, faktor paling dominan yang mempengaruhi proses dan hasil penafsiran adalah latar belakang sosio- budaya ini.
Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan, menempati kedudukan yang sangat penting dalam proses penyampaian makna-makna kultural. Ketika sebuah bahasa melebur dalam tafsir al-Qur’an, maka secara otomatis ia tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bahasa tersebut. Bahasa bisa membentuk realitas dan sebaliknya, ia merupakan refleksi dari sebuah atau beberapa realitas, yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat pengguna bahasa tersebut.55
Tafsir al- Ibri>z adalah salah satu tafsir yang ber-dialektika dengan budaya dimana ia disusun, yakni budaya Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan sebagai media penafsiran dan bahasa Arab (al-Qur’an) yang digunakan menunjukkan adanya dua sistem nilai bahasa yang dipertemukan. Selain itu, dialektika tafsir dengan budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibri>z juga tampak dalam penggunaan konsep-konsep Jawa dalam sebuah penafsirannya.
54 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya tafsir Indonesia: dari kontestasi metodologi hingga kontekstualisasi, Cetakan pertama (Sewon, Bantul, Yogyakarta: Kaukaba, 2014), 3.
55 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’ān Kritik terhadap Ulumul Qur’an, trans. oleh Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKIS, 2002), 19.
B. Biografi KH. Bisri Musthofa 1. Nashab
Bisri Musthofa merupakan salah satu ulama yang namanya sudah tidak asing lagi hingga saat ini. Seorang kiai kharismatik yang hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno, dan masa Orde Baru. Merupakan sosok kiai yang telah jarang ditemui pada saat ini, merupakan sosok yang lengkap; Kiai, Budayawan, Muballigh, Politikus, Orator, dan Muallif (penulis).
KH. Bisri Musthofa56 selanjutnya akan dipanggil Kiai Bisri, lahir pada tahun 1915 di desa Pesawahan Gg Palen, Rembang57 Jawa Tengah dengan nama asli yaitu Mashadi. Merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya.
Bersama Hj. Khadijah, H. Zainal Mustofa dikaruniai empat orang anak, yaitu Mashadi (Kiai Bisri Musthofa), Salamah (Aminah), Misbach, dan Ma’shum.58 Ayah Kiai Bisri merupakan anak dari H. Yahya, merupakan seorang sudagar besar dari Jawa yang sangat dermawan dan seorang yang mencintai para alim ulama dan kiai. Meskipun Kiai Bisri bukan berasal dari keturunan kiai, namun barokah kecintaan kedua orang tuanya terhadap ulama memberikan pengaruh terhadap Bisri hingga ia menjadi seorang ulama besar.
56 Bisri mendapatkan nama tersebut ketika ia sedang menunaikan ibadah haji pada tahun 1923.
57 Rembang adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah.
Disini juga menjadi tempat pertama kali didirikannya sekolah khusus perempuan pribumi ketika pendudukan Belanda oleh RA Kartini. Di wilayah ini pula menjadi tempat persinggahan terakhir Raden Ajeng Kartini (pahlawan emansipatoris wanita Indonesia).
Antonius Purwanto, “Kabupaten Rembang: ‘Tiongkok Kecil’ Dan Persinggahan Terakhir RA Kartini,” KOMPASPEDIA, Selasa, 18 Mei 2021.
58 Ari Hidayaturrohmah, “Unsur-Unsur Budaya Jawa dalam Kitab Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa” (Yogyakarta, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, 2020), 21-22.
Asal-muasal nama Bisri Musthofa merupakan nama yang diberikan ketika ia pulang dari Makkah, dengan nama asli Mashadi. Pada tahun 1923, ketika Mashadi berumur 8 tahun ia sudah diajak oleh bapaknya dan seluruh anggota keluarganya untuk ikut bersama-sama menunaikan ibadah haji. Namun saat menunaikan ibadah haji, bapaknya sering sakit-sakitan hingga akhirnya wafat dengan usia 63 tahun di pelabuhan Jeddah ketika hendak melaksanakan perjalanan menuju Indonesia.59 Sepulang dari tanah suci itulah kemudian nama Mashadi berubah menjadi Bisri Musthofa dan kemudian dikenal masyarakat luas sebagai seorang ulama yang dihormati di Jawa Tengah. Sepeninggal ayahnya, Bisri menghabiskan waktu untuk menimba ilmu dalam pesantren. Selama di pesantren, ia banyak mempelajari beberapa kitab. Kiai Bisri tergolong seorang santri yang rajin dan cerdas. Ia menjadi rujukan teman-temannya untuk belajar dan menjadi santri kesayangan Kiai Cholil. Maka tak heran jika Kiai Cholil berniat menjadikan Bisri sebagai menantunya.60
Bertepatan pada bulan Juli 1935 M di usianya ke-20 Bisri melaksanakan pernikahan dengan Ma’rufah (putri dari KH. Cholil Harun Kasingan) dengan dianugerahi beberapa putra dan putri yaitu; Cholil Bisri (lahir tahun 1941 M), M. Mustofa Bisri (lahir tahun 1943 M), Adieb (lahir tahun 1950 M), Faridah (lahir tahun 1952 M), Najihah (lahir tahun 1955), M. Labib (lahir tahun 1956 M), Nihayah (lahir tahun 1958 M), Atikah (lahir tahun 1964 M).61 Diantara kedelapan orang anak tersebut ada dua orang yang dikenal oleh masyarakat luas terutama dalam
59 Achmad Zainal Huda, MUTIARA PESANTREN Perjalanan Khidmah KH.
Bisri Mustofa (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003), 9.
60 Huda, MUTIARA PESANTREN Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, 14.
61 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hlm. 125.
kalangan organisasi besar Indonesia Nahdlatul Ulama yakni KH. Cholil Bisri dan KH. Musthofa Bisri.
2. Rihlah Pendidikan dan Aktivitas Intelektualnya
Terlihat sejak kecil Kiai Bisri sudah memperlihatkan kecerdasannya.
Faktor parenting dan background dari orang tua nya lah yang menjadi poros utama kenapa Kiai Bisri masih menjadi tokoh besar hingga era sekarang.
Selama tinggal dalam lingkup pesantren, Kiai Bisri dibimbing mengenai dasar-dasar pendidikan Islam sejak dini. Inilah awal mula memulai rihlah pendidikannya. Selanjutnya Kiai Bisri memulai menginjakkan kaki dalam bangku sekolah ketika berusia tujuh tahun. Ia belajar di sekolah Jawa “Angka Loro” Rembang.62 Namun, belum sempat menyelesaikan hingga tamat, ketika kelas dua, ia diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Makkah. Tak disangka, rupanya inilah masa dimana beliau terakhir bersama ayahanda tercinta setelah sebelumnya telah menderita sakit sepanjang pelaksanaan ibadah haji.63 Setelah selesai menunaikan ibadah haji, ia langsung dinaikkan kelas dua, dan lulus dua tahun kemudian dari sekolah tersebut pada tahun 1926.
Namun sebelumnya, pada tahun 1925, ia diminta belajar ke Pesantren Kajen, Pati pimpinan KH. Chasbullah untuk mengaji waktu
62 Terdapat tiga macam sekolah di Rembang; Pertama, Eropese School adalah sekolah yang didalamnya terdapat anak-anak dari kalangan priyayi, anak bupati, asisten, residen, dll. Kedua, Hollands Inlands School (HIS) merupakan sekolah yang didalamnya terdapat anak-anak pegawai negeri yang penghasilannya tetap. Ketiga, Sekolah Ongko 2 merupakan sekolah yang didalamnya terdapat anak-anak dari keluarga kampung, pedangang, dan tukang. Huda, MUTIARA PESANTREN Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, hlm. 11-12.
63 Abu Jihan, PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam, Cet. 1 (Jakarta:
Integrita, 1984), hlm. 24.