• Tidak ada hasil yang ditemukan

larangan, halal-haram, janji-ancaman, larang dan sebagainya yang berkitan dengan produktifitas.118

Lalu bagaimana status perempuan pada masa Arab Jahiliyah? Islam sebagai agama yang revolusioner banyak melakukan perubahan terhadap tradisi-tradisi yang sifatnya menyudutkan perempuan di masa itu, diantaranya tradisi mengubur anak perempuan yang baru lahir, hidup- hidup,120 kebolehan bagi laki-laki untuk menikahi perempuan tanpa adanya batasan jumlah, kebebasan bagi laki-laki untuk menceraikan istrinya tanpa batas maksimal, sedangkan istri tidak mempunyai hak cerai sama sekali, dan praktik mewariskan perempuan.121 Melegalkan perempuan menjadi objek. Perempuan tidak berhak mendapatkan hak waris, bahkan dirinya sendiri yang menjadi “harta warisan”. Tidak pula mempunyai hak politik seperti hal nya laki-laki. Sudah menjadi budaya kabilah Arab untuk menyingkirkan kaum perempuan dalam kehidupan mereka. Tanpa pikir panjang mereka membunuhnya, bahkan mengubur hidup-hidup anak perempuannya.122

Pembicaraan tentang perempuan di masa lalu memang sebatas penggambaran kecantikan fisik dan moral, yang kemudian melebar menjadikan pandangan dikotomis menyatakan tugas perempuan adalah melahirkan anak, memasak, dan berdandan.

Ditemukan beberapa bukti historis mengenai Arab pra-Islam yang menindas hak perempuan inilah sehingga Al-Qur’an secara langsung memberi peringatan123 dalam Qs. An-Nah}l/ 16: 58-61:

120 Anak perempuan dianggap sebagai aib dan beban keluarga. Hal ini seolah mengesankan bahwa perempuan mempunyai cacat dan bisa dikorbankan.

121 M Faisol, Hermeneutika Gender; Perempuan dalam Tafsīr Baḥr al-Muḥīṭ (Malang: UIN Maliki Press, 2012), 38–41.

122 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, Cet. Pertama (Jakarta:

The Asia Foundation, 1999), hal. 13-14.

123 Peringatan lain disebutkan juga dalam Qs. al-An’a>m /6: 151; Qs. al-Isra>’

/17: 31; Qs. al-Takwir/ : 8; Qs. al-Taubah/ :16 mengisyaratkan bahwa mereka menjadikan perempuan sebagai objek, penambah beban sosial dan ekonomi, bahkan tidak diharapkan kelahirannya.

ْيِظلك لوُهّو اّدلوْسُم ٗهُهْجلو ّللظ ىٰثْنُ ْلاِب ْمُهُدلحلا لر ّشُب الذِالوٌۚم

ِ مْوََلقْلا لنِم ىٰرٰوََلتلي ٥٨

اََلم لء لََس لللا الرّتلا ىِف ٗه ََّسُدلي ْملا إنْوََُه ىٰللع ٗهُك ََِسْمُيلا ِب لر ََّشُب اََلم ِء ََُس ْنِمۤا ِۗب ٖۗه ْۤو لنْوُمُكْحلي لوََُهلو ٰلْعل ْلا ُلََلثلمْلا ِهََّٰلِللو ْو ََّسلا ُلََلثلم ِةلرِخٰ ْلاََِب لنْوُنِمْؤُي لل لنْيِذّلِل ۗى ِۚء ٥٩

ࣖ ُمْيِكلحْلا ُزْيِزلعْلا إةّب لد ْنِم اَلهْيلللع لكلرَلت اّم ْمِهِمْلُظِب لساّنلا ُهَّٰللا ُذَِخالؤُي ْولللو ۤا ٦٠

للّو ًةلعا لََس لنْوُرِخْألت ََْسلي لل ْمُهُللجلا لء لج الذِاََلف ّم لََسّم إلََلجلا ىٰٓلِا ْمُهُرّخلؤّي ْنِكٰلّوۤا ۚى لنْوُمِدْقلتْسلي ٦١

/لحنلا) 16

: 58 - 61 (

“(Padahal,) apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu). Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu! Orang-orang yang tidak beriman pada (kehidupan) akhirat mempunyai sifat yang buruk, sedangkan Allah mempunyai sifat Yang Mahatinggi. Dia Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Seandainya Allah menghukum manusia karena kezaliman mereka, niscaya Dia tidak meninggalkan satu makhluk melata pun di atasnya (bumi), tetapi Dia menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah ditentukan. Maka, apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan dan percepatan sesaat pun.” (An-Nah}l/ 16: 58-61) Historis perempuan Arab sebagai nenek moyang telah berevolusi.

Kehadiran Islam menciptakan perubahan tentang kedudukan perempuan dan perlakuan terhadap dirinya secara totalitas. Perempuan yang dulunya dianggap sebagai “objek” yang hampir tidak memiliki hak, dan peran sosial ber-tranformasi dengan menempatkan kembali posisi selayaknya.124 Selama turunnya pada tahun 611-634 M, Islam menggerakkan kesadaran masyarakat jahiliyah bahwa perempuan menjadi subjek penuh sistem kehidupan. Islam tidak mendiskriminasikan perempuan. Sama halnya laki- laki, perempuan bebas berkiprah di masyarakat umum. Atas tumpuan hukum yang telah dijadikan pijakan dalam syariat Islam tentang pernikahan misalnya, perempuan tidak dilarang untuk melakukan kesibukan-kesibukan dengan tujuan memperluas ilmu pengetahuan dan

124 Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam, 15.

pekerjaan dengan garis bawah sesuai kesiapan dan naluri dasarnya. Satu sisi kita diajarkan bahwa misi Islam adalah menjadi anugerah bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Sebagaimana firman Allah Swt Qs. At-Taubah/ 9:

71

ِنلع لنْوََلهْنليلو ِفْوُرْعلمْلاََِب لنْوُرُمْأََلي ْعلب ُء ليِلْولا ْمُه ََُضْعلب ُتٰنِمْؤُمْلالو لنْوُنِمْؤُمْلالوۘ ٍض ۤا لكِٕى وُا ٗهللْو ََُسلرلو لهََّٰللا لنْوََُعْيِطُيلو لةوََٰكّزلا لنْوََُتْؤُيلو لةوٰل ََّصلا لنْوََُمْيِقُيلو ِرََلكْنُمْلاٰۤل ۗ

ٌمْيِكلح ٌزْيِزلع لهّٰللا ّنِا ُهّٰللا ُمُهُملحْرليلسۗ ٧١

/ةبوتلا ) 9

: 71 (

“Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.328) Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (At-Taubah/ 9: 71)

Sesuai pada prinsip popular dalam al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

ّنِا اْوُفلراََلعلتِل للِٕى لبلقّو اًبْوُع ََُش ْمُكٰنْللعلجلو ىٰثْنُاّو إرلكلذ ْنّم ْمُكٰنْقلللخ اّنِا ُساّنلا الهّيلآٰيۚ ۤا ٌرْيِبلخ ٌمْيِللع لهّٰللا ّنِا ْمُكىٰقْتلا ِهّٰللا لدْنِع ْمُكلملرْكلاۗ /تٰرجحلا ) ١٣

49 : 13 (

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (Qs. al-Hujurat/ 49: 13)

Mungkin banyak tradisi tidak manusiawi atas penistaan kemanusiaan perempuan telah punah. Namun, apakah cara pandang yang meletakkan perempuan sebagai objek maupun subjek sekunder yang menjadi akar ikut punah? Jika tidak maka tradisi lama yang membahayakan perempuan sangat mungkin masih dijumpai saat ini.

Bahkan tradisi baru sangat mungkin akan bermunculan.

Perempuan terbagi menjadi dua peran utama; peran sosial perempuan dan peran perempuan dalam rumah tangga (bidang

reproduktif).125 Di era yang serba canggih, perempuan sudah mulai mengambil banyak peran sosial dalam segala bidang, dengan dalih keadilan atau kesetaraan gender. Jejak kaki langkah perempuan sudah mulai berperan sesuai dengan kapasitas masing-masing dirinya dalam ekonomi, pemerintah, dan sebagainya.

1. Perempuan berperan sebagai seorang saksi

Seorang saksi adalah peran yang bisa diemban oleh perempuan dalam mengungkapkan kebenaran suatu peristiwa (terkhusus proses peradilan).126 Seperti dijelaskan dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 282 yang membahas tentang dasar persaksian dalam prespektif gender. Ayat ini menunjukkan betapa pentingnya menghadirkan seorang saksi dalam melakukan transaksi muamalah dan pinjam-meminjam. Menghadirkan dua orang saksi laki-laki, jika tidak bisa dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan. Yang artinya kualitas dua orang laki-laki sama dengan kualitas dua orang perempuan dalam hal persaksian. Persaksian dalam masalah lain dapat ditemukan dalam Qs. al-Nisa>/ 4: 15 (saksi dalam perzinaan), Qs. al-Ma>idah/ 5: 106 (saksi dalam wasiat), Qs. al- T}ala>q/ 65: 2 (saksi dalam rujuk)

2. Perempuan berperan sebagai seorang hakim

Qs. al-Nisa/ 4: 58 memberikan amanah untuk setiap laki-laki atau perempuan dalam menetapkan hukum secara adil. Peluang menjadi hakim bisa saja dimiliki seorang perempuan. Seperti dalam pandangan Ibnu Hazm, ayat tersebut secara implisit memberikan keniscayaan perempuan

125 Andi Bahri S, “Perempuan dalam Islam (Mensinerjikan antara Peran Sosial dan Peran Rumah Tangga)”, Jurnal Al-Maiyyah. vol.8, no. 2 (Juli 2015): 181–187.

126 Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/

daring (dalam jaringan), versi versi 2.8, 2021, https://kbbi.web.id/perspektif. Diakses pada 28 Juni 2022.

menjadi hakim. Kata ganti “kalian” (dlamir kum) yang terdapat pada lafaz h}akamtum mencakup laki-laki dan perempuan.127

Bukan syarat mutlak hakim harus seorang laki-laki. Jika perempuan saja berhak menjadi mufti, maka dia juga berhak menjadi hakim. Sebab baik mufti maupun hakim, keduanya mempunyai tugas dalam menjelaskan hukum agama melalui analisis. Hanya berbeda secara tanggung jawab, mufti lebih bersifat personal, sedangkan hakim bertanggung jawab kepada negara.128

3. Perempuan berperan sebagai kepala negara

Ayat yang menggambarkan seorang perempuan dapat menjadi penguasa yang super power dalam Qs. al-Naml/ 27: 23. Digambarkan sosok Ratu Bilqis dengan kecerdasan dan kepekaan sosial tinggi mampu memerintah dalam singgasana yang besar.

Diabadikannya kisah Ratu Balqis mengisyaratkan bahwa al-Qur’an sumber pokok hukum Islam sejak dini telah mengakui keberadaan perempuan yang menduduki puncak kepemimpinan di sektor publik.

Menurut K.H. Husein Muhammad, berhasilnya Ratu Balqis memimpin kaumnya karena dia mampu mengatur naluri nya untuk kepentingan yang bersifat demokratis. 2012. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai terhadap Wacana Agama dan Gender. Bantul: LKiS Yogyakarta. Membuktikan bahwa perempuan dapat berpotensi untuk memimpin dan menjadi memimpin yang andil.

4. Perempuan berperan sebagai pekerja

127 Ibn H}azm al-Andalusi, al-Muh}alla> bi al-Asa>r ibn H}azm, Jilid IX (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 429–30.

128 Muhammad Husein, Fikih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LkIS, 2004), 190.

Perempuan menjadi pekerja terungkap dalam Qs. al-Nisa>/ 4: 32.

Ayat tersebut turun ketika Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah Saw, mengenai apakah perempuan bisa memperoleh pahala yang setara sama halnya laki-laki yang berjihad di jalan Allah Swt.

Dengan ini mengungkap bahwa laki-laki dan perempuan dapat memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk ikut terlibat dalam berbagai sektor sosial. Agama pun mendorong perempuan untuk aktif dan kreatif di berbagai sektor dengan mempertimbangkan aspek keamanan bagi dirinya. 129

5. Perempuan berperan sebagai pendidik formal dan non formal Perempuan juga bisa mengemban peran sebagai pendidik. Hal tersebut digambarkan dalam Qs. Yusuf/ 12: 21.

Dan perintah membaca dalam Qs. al-‘Alaq/ :1 tentu tidak hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Dalam hadis ditegaskan juga: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi muslim dan Muslimah.” Menyadari akan hal tersebut, perempuan memohon kepada Rasulullah Saw agar menyisihkan waktu dalam rangka menuntut ilmu. Menurut Quraish Shihab, anjuran atau kewajiban belajar tidak dibatasi oleh Rasulullah Saw terbatas perempuan merdeka saja, juga budak dan status sosial rendah.130

6. Perempuan berperan sebagai akademisi dan politisi

Pendidikan tidak hanya untuk laki-laki, perempuan juga mendapatkan hak asasi dan kewajiban untuk menuntut ilmu. Prinsip Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal taklif syar’i (beban hukum), huquq (hak-hak), wajibat (kewajiban) dan adab.

129 Ubaidillah, “Peran Sosial Perempuan Dalam Al-Qur’an (Studi Tafsir Tematik Dengan Pendekatan Psikologi Agama)”, Jurnal Kafa’ah. vol.10, no.1 (2020): 88–89.

130 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1992.), 278.

Bahkan belajar mengajar sudah diterapkan di masa Rasulullah ketika masih hidup diteruskans masa khulafaurrasyidin. Terbukti ‘Aisyah Ra, Hafsah binti Umar bin Khattab dan Fatimah Az-Zahra berpengaruh pada masanya dan menjadi rujukan sahabat sepeninggal Rasulullah Saw wafat.

Islam menganjurkan perempuan untuk menuntut ilmu tanpa membatasi keikutsertaannya, karena hakikatnya perempuan memiliki hak sama seperti dalam Qs. al-Taubah/ 9: 71

Dalam konteks masyarakat industri modern, menjadi realitas bahwa tugas kompleks perempuan (ibu) demi pendidikan moral dari generasi mendatang, hanya karena perempuan memiliki biologis (melahirkan anak). Berbanding terbalik dengan pernyataan al-Qur’an:

اْوُب لََسلتْكا اّمّم ٌبْي ََِصلن ِلالجّرلِل إضْعلب ىٰللع ْمُكلضْعلب ِب ُهّٰللا للّضلف الم اْوّنلملتلت لللو

ۗ ۗ ٖه

إءْي لَش ّلََُكِب لناَلك لهّٰللا ّنِا ِلْضلف ْنِم لهّٰللا اوُلَْٔسلو لنْبلسلتْكا اّمّم ٌبْيِصلن ِء لسّنلِللوۗ ٖه ۗ ۤا اًمْيِللع ٣٢ /ء سنلا ) ۤا 4

: 32 (

“Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An-Nisa'/ 4: 32)

Sebagian orang tua saat ini merasa pendidikan kaum laki-laki jauh lebih penting karena kelak memiliki peran dan tanggungjawab besar di masa mendatang dalam rumah tangga dan bermasyarakat, dalam artian tidak ada hambatan untuk laki-laki jika sekolah jauh tanpa kekhawatiran menimpanya seperti trafficking, pelecehan, dll. Lain dengan pendidikan perempuan yang hanya sekadarnya, karena adanya pandangan bahwa anak perempuan kelak akan mengurus rumah untuk melayani suami dan anak- anak.

Kemudian muncul kekhawatiran terhadap mereka bila di sekolahkan ke tempat jauh akan timbul kurangnya rasa perlindungan, aman. Muncul juga pandangan bahwa perempuan tidak boleh berpergian jauh melebihi tiga hari kecuali bersama mahramnya. Kemudian muncul ayat al-Qur’an yang dipahami secara tekstualis dan dijadikan dasar untuk menghalangi perempuan keluar rumah, seperti Qs. al-Ahzab/ 33: 33. Pandangan seperti demikian bertolak belakang dengan ajaran agama bahwa Allah Swt telah menjanjikan bagi siapapun laki-laki atau perempuan yang tekun demi menuntut ilmu akan mendapatkan derajat dan kedudukan yang mulia sebagaimana termaktub dalam Qs. al-Mujadalah/ 58: 11.

Mengingat realitas ekonomi global membuat pendapatan upah mempengaruhi hubungan gender atau keluarga. Posisi dan pekerjaan profesional dievaluasi berdasarkan gaji yang mereka tawarkan. Sementara tanggungjawab seorang ibu/ istri dengan di rumah,131 karena bekerja dalam sektor bergaji tidak membebaskannya dari salah satu tugas yang dikaitkan dengannya ketika di rumah. Ini mengakibatkan romantisme Islam bangkit kembali. Kesejahteraan rumah yang tergantung pada pola pengasuhan dan perawatan dipertimbangkan sebagai “peran” diidentifikasi dengan ibu/

istri. Dia masih diharapkan untuk tetap memenuhi peran ini, namun dia juga harus pergi ke sektor publik dan bersaing dalam hal yang cukup untuk memberikan nafkahnya kepada keluarga. Hal ini akan membentuk sebuah paradigma Hajar yang baru, ketika seorang perempuan menghadapi banyak peran pengasuhan dalam keluarga inti (extended family) namun dibebani dengan tanggungjawabnya berkontribusi dalam pendapatan keluarga.132

131 Ruang domestik menjadi tanggung jawab perempuan yang tak terbantahkan, mencakup semua bentuk pengasuhan anak seperti pengembangan keterampilan, pendidikan moral, pendidikan, pengasuhan, serta semua layanan domestik seperti memasak, membersihkan sumur fisik dan psikologis -semua anggota keluarga

132 Wadud, Inside the Gender Jihad, 143.

Oleh karenanya banyak perempuan saat ini meninggalkan rumah untuk mendapatkan upah sektor publik, dia harus membayar orang lain untuk memenuhi tugas domestik nya, atau hanya bekerja dua shift; satu untuk dibayar, satu tidak dibayar. Sebuah refleksi pada wacana reformis, ketika peran dan status perempuan dalam ranah domestik tidak semata- mata hanya berkemampuan sebagai pengasuh eksklusif atau pengasuh utama.

Amina Wadud menjelaskan lebih dalam lagi, ketika konsep keluarga didominasi oleh laki-laki adalah bahwa pekerjaan perempuan dalam ranah domestik tidak diperhatikan dan perempuan sebagai pengasuh utama dan penjaga wilayah domestik diremehkan.