• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Karya dan Pemikiran

2. Identifikasi Metodologis

2.1.Motivasi Penulisan Tafsir Al-Ibrîz

Terkait nama kitab, beliau tidak menjelaskan alasan memilih nama Al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz. Namun jika ditelisik dalam segi artinya, Al-Ibrîz menurut kamus artinya emas murni.81

Terkait latar belakang penulisan, Bisri Musthofa menjelaskan secara eksplisit alasannya pada bagian muqaddimah-nya. Beliau menyebutkan pada dasarnya kegiatan penerjemah dan penafsiran sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh kalangan umat Islam, baik menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, maupun Belanda. Bahkan terjemahan dalam bahasa lokal juga sudah banyak ditemukan.82

79 Bisyri Mus}t}ofa, Al-Ibri>z li Ma’rifah Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z bi al- Lugat al-Ja>wiyyah (Kudus: Perpustakaan Menara Kudus, t.th), vi.

80 Musyarrofah, “Elektisisme Tafsir Indonesia (Studi Tafsir al-Ibrīz Karya Bisri Musthofa)” (Thesis.,Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, 2019), 159.

81 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:

Pustaka Progressif, t.t.), hlm. 2.

82 Terletak pada bagian pendahuluan. Kitab asli memakai pegon jawa, Penulis mengalihkan bahasa menggunakan tulisan latin. Mus}t}ofa, Al-Ibri>z li Ma’rifah

Motivasi utama Bisri Musthofa adalah sebuah bentuk khidmah beliau terhadap Al-Qur’an. Beliau sangat mengagungkan kitab suci yang menjadi petunjuk dan sebagai mukjizat kenabian Rasulullah SAW. Beliau mempercayai bahwa orang yang membaca Al-Qur’an akan mendapatkan ganjaran, meskipun orang tersebut belum memahami isi kandungannya.

Bukan mengesampingkan pemahaman. Karna memahami Al-Qur’an juga suatu keharusan. Tanpa adanya pemahaman, umat Islam tidak akan bisa memahami arti dari ayat-ayat yang menjadi petunjuk.

Adapun jika dikaitkan dengan kondisi sosial keagamaan umat Islam era sekarang, terkhusus masyarakat Jawa, masih minim dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Oleh karena itu, Bisri Musthofa mengambil langkah dengan cara menulis terjemah sekaligus tafsir Al-Qur’an menggunakan bahasa kesehariannya, bahasa Jawa.

2.2.Sumber dan Rujukan Penafsiran Tafsir Al-Ibrîz Dalam muqaddimah kitab, tertulis:

Dene bahan-bahanipun terjemah tafsir ingkang kawula segahaken punika, mboten sanes ingkang naming methik saking tafsir-tafsir mu’tabaroh kados Tafsir Jalalaen, Tafsir Baidhowi, Tafsir Khozin, lan sak pinunggilanipun.”

Sumber rujukannya berasal dari tafsir-tafsir mu’tabaroh, seperti Tafsir al-Jalalain,83 Tafsir al-Baidhowi,84 Tafsir al-Khazin, dan lain

Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azi>z bi al-Lugat al-Ja>wiyyah.

83 Tafsi>r al-Jala>layn merupakan karya dari dua ulama besar, Jala>l al- Di>n al-Mah}alli> (1389-1459 M) dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i. (1445-1505 M).

Dalam penelitiannya (tahun 1986-1993 M), Bruinessen mencatat ada 39 pesantren dari 49 pesantren di Indonesia yang ia teliti memasukkan Tafsi>r al-Jala>layn dalam kurikulum pelajaran, yaitu wilayah Sumatera 4 pesantren dari 4 pesantren yang diteliti, Kalsel 1 pesantren dari 3 pesantren, Jabar 9 pesantren dari 9 pesantren, Jateng 9 pesantren dari 12 pesantren, dan Jatim 16 pesantren dari 18 pesantren yang diteliti. Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Yogyakarta: Gading, 2015), 178.

84Tafsi>r al-Baid}a>wi> yang berjudul asli Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wil karya Na>s}ir al-Dīn Abī al-Khayr ‘Abd Allāh b. ‘Umar b. Muh}ammad al- S}airāzī al-Baid}āwī (w. 1286 M). Di tahun 1886, L. W. C. Van den Berg melakukan kunjungan ke pesantren daerah Jawa dan Madura untuk mengidentifikasi kitab-kitab yang

sebagainya. Bisri menjatuhkan pilihan ke dalam tiga sumber rujukan diatas Ketika menulis tafsir al-Ibri>z, Pertama ketiga tafsir tersebut dikenal luas oleh cendekia Muslim Indonesia yang masuk dalam kategori mu’abar dalam memahami al-Qur’an. Kedua, sudah dipastikan memiliki paham Ahl al-Sunnah wa al-Ja>ma’ah, para pengarang ketiga kitab tersebut sudah melakukan seleksi ketat dalam bahan rujukan mereka.

Namun pemikiran KH. Bisri tidak tenggelam dengan pemikiran ulama sebelumnya, tetap mempertimbangkan kondisi sosiologis masyarakat terkhusus Jawa.

2.3.Metodologi Penafsiran Tafsir Al-Ibrîz

Metode penafsiran yang digunakan Kiai Bisri dalam menafsirkan menggunakan metode tahlili (analitis)85 yaitu menjelaskan kandungan ayat Al-Qur’an dari seluruh aspek-aspeknya berdasarkan urutan tata mushaf usmani. Dimulai dari mengemukakan makna kosa kata terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan makna secara global dalam ayat serta membahas makna korelasi ayat (munasabah) dan hubungan ayat-ayat tersebut satu sama lain beserta menampilkan sabab nuzul (peristiwa latar belakangnya) dalam penafsiran ayat tersebut, kemudian diikuti dengan dalil-dalil Rasulullah SAW. Namun beberapa ayat ada juga merujuk pada riwayat-riwayat israiliyyat. Kadang juga dalam penafsiran tersebut tercampur-baur oleh faktor kondisi latarbelakang sosio-historis penafsir.

Hal ini dapat dilihat pada kitab nya langsung, menggunakan kalimat sederhana yang praktis dan mudah dipahami sehingga mudah di serap oleh pembacanya.

diajarkan di pesantren. Ada dua kitab tafsir yang masih diajarkan, yaitu Tafsi>r al- Jala>layn dan Tafsi>r al-Baid}a>wi>. Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat, 179.

85 M. Alfatih Suryadilaga dan dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: TERAS, 2010), hlm. 41.

2.4.Tariqah (Metode)

Metode penafsiran yang digunakan Kiai Bisri dalam menafsirkan yakni menggunakan metode tahlili (analitis)86 yaitu menjelaskan kandungan ayat Al-Qur’an dari seluruh aspek-aspeknya berdasarkan urutan tata mushaf usmani.

Penulisan ini dimulai dari mengemukakan makna kosa kata terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan makna secara global dalam ayat serta membahas makna korelasi ayat (munasabah) dan hubungan ayat-ayat tersebut satu sama lain beserta menampilkan sabab nuzul (peristiwa latar belakangnya) dalam penafsiran ayat tersebut, kemudian diikuti dengan dail-dalil Rasulullah SAW. Namun beberapa ayat ada juga merujuk pada riwayat-riwayat israiliyyat.

Kadang juga dalam penafsiran tersebut tercampur-baur oleh faktor kondisi latarbelakang sosio-historis penafsir. Penafsiran ini memakai model kalimat yang praktis dan mudah dipahami. Tidak berbelit-belit sehingga dapat diserap oleh pembaca. Model seperti demikian disebut juga metode tafsir tahlili ijmali al wajiz.

2.5.Laun (Corak)

Jika dilihat dari ciri khas atau kecenderungan corak dalam Tafsir Al- Ibrîz, ia tidak memiliki dominan dalam satu corak tertentu. Tafsir Al-Ibrîz cenderung memiliki corak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan, dan sufisme.

86 M. Alfatih Suryadilaga and dkk, Metodologi Ilmu Tafsir. 41.

Maksudnya, penafsir akan memberikan pemahaman atau penekanan penuh pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan. Corak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan, dan sufisme harus diletakkan dalam artian yang sangat sederhana.