اهبر-ةمحر- ةحورب نوكت ام برقأو ،ناطيشلا اهتيب رعق يف يهو
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penafsiran
terindikasi pada poin Tanbihun. Beliau menyelipkan redaksi
“zaman akhir iki ora rumangsa wis pepais (aturan)” yang peneliti fahami ini sebuah warning untuk para
muslimah jangan
seenaknya sendiri, diwajibkan
menggunakan pakaian yang menutup aurat.
Alangkah lebih baiknya zaman akhir bukan fokus dengan ‘trend masa kini’
tapi perbanyak ber- akhlakul karimah.
problematikal ketika tidak menjaga akhlak sesuai syariat Islam.
Terlihat Bisri mencantumkan image seorang perempuan terhormat di masa Nabi dari bagaimana cara dia berbicara dengan bukan mahromnya sebagaimana berikut “wong wadon iku yen…..”. Nilai yang
terkandung dalam
tanbihun inilah semakin menunjukkan khasnya budaya Jawa dan syariat Islam mengenai akhlaqul karimah.
karya mereka (ulama klasik Timur Tengah) mengandung nuansa bias gender jika dibaca prespektif gender.162 Maka wajar bila pemikiran ulama-ulama tersebut mengkonstruk pemikiran Kiai Bisri yang mengenyam pendidikan di pesantren tradisional.
Kitab-kitab yang dipelajari di pesantren, khususnya kitab fikih klasik banyak mengisyaratkan keberpihakan kepada laki- laki dan mengasumsikan maskulinisasi epistemologi pengetahuan agama. Hal tersebut dipengaruhi adanya budaya para mus}annif-nya yang paternalistik yang ada di Timur Tengah.163 Pernyataan ini bukan dimaksudkan pada sebuah kritik pembelajaran atau kehidupan dalam pesantren. Namun tidak bisa dipungkiri, paradigma pemikiran dalam pesantren dipengaruhi oleh teks-teks yang akan dipelajari. Umunya berasal dari karangan para ulama klasik Timur Tengah yang terkenal konsep patriarkinya.
b. Dari segi pembelajaran Bisri selama di pesantren dapat memunculkan buah pemikiran yang berbeda, dilihat melalui metodologi dan model penafsiran yang dirumuskan.164 Tafsir era klasik dalam menanggapi isu-isu gender kebanyakan hanya menafsirkan ayat-ayat apa adanya sesuai pemahaman literal tanpa mengaitkan dengan unsur-unsur lainnya. Kelemahannya lain adalah kurang luasnya wawasan penafsiran, sehingga apa yang disampaikan tidak komprehensif.165
162 A. P., “Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan,” 87.
163 Munirul Abidin, Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia (Malang: UIN Malang Press, 2011), 7.
164 Aunillah Reza Pratama, “Hak-Hak Perempuan dalam Tafsir al-Ibri>z dan Tafsir Ta>j al-Muslimin”. SUHUF, vol.11, no.2 (2018): 303.
165 Siti Robikah, “Shifting Paradigm dalam Tafsir al-Qur’an: Analisis Terhadap Perkembangan Tafsir Feminis di Indonesia”. Tafsere, vol.7, no. 2 (2019): 54.
Seperti menafsirkan ayat Qs. al-Nisa>/ 4: 34, Bisri menafsirkan “qawwamun” dengan pemimpin, berkuasa.
Sehingga pengertian Bisri dalam ayat ini adalah bahwa laki-laki berkuasa bagi perempuan. Nafkah merupakan salah satu sebab keunggulan laki-laki atas perempuan. Keunggulan yang berupa;
ilmu, akal, wilayah. Disini ia tidak menjelaskan secara rinci dalam ranah apa laki-laki menguasai perempuan. Ia juga tidak menjelaskan keunggulan wilayah seperti apa yang dimaksud.
Penafsiran semacam ini membuat pemahaman bahwa kaum laki- laki mempunyai potensi yang lebih dibandingkan dengan kaum perempuan, sehingga kaum laki-laki menjadi pemimpin kaum perempuan di segala bidang.166 Demikian juga. Ketika menafsirkan ayat Qs. al-Ah}zab/ 33: 33, Bahasa penafsiran yang digunakannya sederhana dan ringkas. Ia hanya menjelaskan sedikit asba>b an-nuzu>l tanpa menyertakan periwayatnya, lalu menjelaskan fakta mengenai fakta pelarangan perempuan keluar rumah dalam situasi nya saat itu. Karena penafsiran yang terlalu singkat inilah Martin Van Bruinessen menyatakan bahwa penafsirannya sebatas terjemahan ke dalam Bahasa Jawa saja.167 Dikatakan metode tah}li>li> karena mengemukakan aspek asba>b an-nuzu>l atau muna>sabah antar ayat.
Maka bila pendekatan tersebut dipertemukan dengan kajian gender, akan menghasilkan penafsiran yang bernuansa patriarkis. Sebab, dengan penafsiran yang ringkas akan melahirkan tidak adanya ruang untuk mengemukakan analisa
166 Abidin, Paradigma Tafsir Perempuan di Indonesia, 92.
167 Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, 275.
yang memadai dan menghasilkan penafsiran secara parsial.168 Hal tersebut didasarkan pada referensi tafsir mu’tabar seperti al- Jala>lain, Ibnu Kas}i>r, al-Mara>gi>, al-Kha>zi>n, dll.
2. Faktor Eksternal
a. Terdapat gambaran menarik dari kodrat perempuan masa priayi Jawa pada pasca kemerdekaan; istri hanya sebagai pemanis dalam rumah tangga suaminya, tugas seorang istri hanya penurut dan memastikan kondisi tempat yang ditinggalinya aman, nyaman dan damai, serta selalu memberikan layanan biologis ketika suami menghendaki.169
Sehingga dapat dikatakan bahwa kebiasaan dalam masyarakat Jawa telah berlangsung relatif lama, dengan berindikasi pada kehidupan masyarakat Jawa yang tidak dapat dipisahkan dari sistem adat dan nilai budaya keislaman. Nilai- nilai keislaman begitu kental dan menyatu dengan adat. Bahkan terkait hal-hal tertentu “adat” dipandang identik dengan
“agama”. Dalam pandangan tradisi Jawa, laki-laki dan perempuan sejak lahir sudah ditetapkan peran dan atribut gendernya. Jika lahir seorang anak laki-laki, maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai laki-laki. Jika yang lahir adalah seorang perempuan maka sejatinya harus berperan selayaknya perempuan.170
Terbukti penjelasan Bisri hakikatnya dipengaruhi adanya konstruk budaya Jawa pada zamannya, yang mana citra ideal
168 Aunillah Reza Pratama, “Hak-Hak Perempuan dalam Tafsir al-Ibri>z dan Tafsir Ta>j al-Muslimin”, 304.
169 Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, 69–71.
170 Umar, Argumen kesetaraan jender, 65.
oleh budaya bagi seorang perempuan tidak melebihi laki-laki, harus, lemah lembut, penurut, dan tidak membantah. Selain itu perempuan diidealkan menjadi seperti manajer lingkup domestik dalam rumah tangga antara lain; istri yang penurut, istri yang men-handle perekonomian, istri yang bisa mawas diri- sendiri. Penafsiran dalam ayat ini menunjukkan adanya bias patriarki ketika peran perempuan sebatas konco wingking yang harus siap siaga menemani dan mendukung suaminya. Mawas diri, mawas kehormatannya, mawas rumah tangganya, mawas harta suaminya itulah peran yang dijatuhkan untuk perempuan dalam ranah domestik dalam surah al-Nisa>/ 4: 34.
Menurut Saraswati171, laki-laki Jawa biasanya disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Dalam kehidupan berkeluarga, istilah konco wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa.
b. Berdasarkan historisitas era terbentuknya tafsir al-Ibri>z, Indonesia saat itu sedang mengalami perubahan politik yang mempengaruhi mindset perjuangan organisasi perempuan.
Zaman dimana dalam masa pergantian pemerintahan dari Orde Lama menuju Orde Baru dengan klimaks kemelut politik seputar 1960-an.
Pada dasawarsa 1950-1965 organisasi perempuan memang merambah untuk menjangkau isu kaum perempuan di pedesaan namun Orde Baru menggiring ‒termasuk perempuan-
171 Saraswati, “Kuasa Perempuan Dalam Indonesia Kuna”. vol.10, no. 1 (2016):
107-108.
untuk andil memasuki kehidupan politis bersifat memaksa.172 Konstitusi mulai dibangun dengan model kekuasaan gender yang sangat patriarki. Kekerasan terhadap perempuan menjadi bagian dari kontrol negara kepada masyarakat. Kekerasan berupa ancaman, penculikan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan merupakan bagian dari strategi politik transisi Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaan atas masyarakat Indonesia. Dibawah pengawasan yang ketat, organisasi perempuan diopresi secara diskursif dengan mengarah “citra feminitas” bahwa perempuan Indonesia sebagai bawahan laki- laki dalam keluarga dan negara mereka hanya berperan dan status ‘istri dan ibu’. Pemujaan pada sifat ‘keibuan’ sengaja dilakukan melalui peran tradisional perempuan. Agar pengarahan organisasi perempuan rezim Orde Baru berjalan baik maka representasi dan peran perempuan dibatasi pada kehidupan publik hanya sebatas ‘istri dan ibu yang harus memainkan peran melalui kodratnya sebagai pengasuh dan pendidik generasi muda.
Perempuan diberikan kegiatan-kegiatan seolah memberikan makna penting bagi mereka mengenai ‘status’, padahal implikasinya perempuan dipaksa untuk mendukung tujuan pembangunan melalui organisasi-organisasi perempuan seperti; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan PKK.173
Sekitar tahun 1954 Pembahasan mengenai pembagian kerja seksual antara laki-laki dan perempuan sudah ditentukan.
172 Irwan Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan (Yogyakarta:
Tarawang Press, 2001), 36–38.
173 Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, 39.
Terkait kebutuhan pangan dan keperluan sehari-hari, istri memiliki peran tersebut sebagai pelayan dan pelengkap.
Sedangkan suami pencari nafkah yang tidak dapat melayani diri sendiri.174
Pada tahun 1958, muncul gerakan bernama Trimurti, pemimpin gerakan perempuan feminis yang menulis kritik tajam terhadap dominasi laki-laki. Namun gerakan tersebut tak berlangsung lama. Kemudian di tahun 1964 mengadakan forum penting terkait gerakan perempuan untuk membela ketimpangan pembagian kerja seksual.
Faktor yang mempengaruhi ketimpangan tersebut antara lain; pengetahuan perempuan yang terbatas, problema perekonomian, dan kurang terbebasnya karena suami, mertua, dan adat tradisional.175
Sehingga mengkontruksi kebijakan negara ketika Orde Baru mengidentifikasi laki-laki laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga, tercantum dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Pasal 31: 3), yang menjadikan terjadinya rigitas dalam hubungan dikotomi antara laki-laki dengan arena publik dan perempuan dengan arena domestiknya.176
174 Hal lumrah ketika masyarakat tradisional menyebut peran perempuan bertanggungjawab untuk mengatasi urusan domestik (rumah tangga), kaum laki-laki melanjutkan pekerjaan politik tanpa harus mempunyai pendapatan untuk keluarga.
Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, 374.
175 Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, 386.
176 Warisan sosialisasi yang diturunkan, bapak mengajarkan kepada anak laki- lakinya untuk menjadi kepala keluarga, dan ibu berperan sebagai agen dalam reproduksi dari ketidaksetaraan struktural yang digenderkan.
Di era pertengahan 1980, dunia tidak memberikan sorotan kritis terhadap gagasan perempuan bahwa perempuan yang melahirkan anak sehingga harus bertanggung jawab urusan rumah tangga, merawat, serta mengawasi anak.177
c. Melalui karya sastra, seseorang dapat memiliki peran untuk mengabadikan peristiwa sejarah Orde Baru. Bentuk dari sebuah rekaman sejarah dengan menceritakan peristiwa sosial tertentu.
Setelah kejadian lengsernya Suharto dari kursi kepresidenan, wacana mengenai pemerkosaan, penculikan, dan bentuk kekerasan lain terhadap perempuan memang terus bermunculan. Ternyata ketimpangan yang dirasakan kaum perempuan tidak hanya terjadi dalam dunia nyata, menurut Endaswara, dominasi kaum laki-laki juga mempengaruhi kondisi sastra, antara lain; 1) Nilai dan konversi sastra didominasi oleh kekuasaan pria, sedangkan perempuan di posisi selalu berjuang demi kesetaraan gender. 2) Perempuan dijadikan objek kesenangan sepintas oleh laki-laki. 3) Perempuan adalah figur bunga-bunga bangsa, sehingga sering mengalami tindak asusila yang memojokkan perempuan di posisi lemah.178 Novel Entrok179 misalnya,
177 Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, 69–71.
178 Endaswara Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Edisi Revisi (Jakarta:
MedPres, 2013), 148.
179 Okky Madasari menggambarkan sebuah epos kehidupan di bawah kekuasaan totalitarianisme dan militerisme zaman Orde Baru dan masa awal reformasi tahun 1950 sampai 1999. Novel yang membahas tentang perjuangan seorang perempuan desa yang hidup dengan kemiskinan dan buta huruf bernama Sumarni, keinginannya untuk bisa membeli entrok sangat kuat. Untuk mewujudkannya, Sumarni rela ikut Simbok bekerja ke pasar. Dia ikut bekerja sebagai pengupas singkong. Dia berharap dengan dia bekerja akan mendapatkan upah uang untuk bisa membeli entrok yang diinginkannya. Namun ternyata salah, kaum perempuan yang bekerja di pasar hanya akan diupahi sama dengan apa yang ia kerjakan. Sumarni dan Simbok bekerja mengupas singkong, upah yang di dapat juga berupa singkong. Sehingga membuat Sumarni berpikir keras agar bisa mendapat uang. Lalu dia bertekad untuk mejadi kuli, padahal kuli diperuntukkan laki-
“Aku hanya berkata ingin membantu Simbok mengupas singkong, supaya bisa dapat uang. Simbok berkata, aku tidak akan mendapatkan uang. Kebiasaan di pasar, buruh-buruh perempuan menerima upah dalam bentuk bahan makanan.
Beda dengan kuli laki-laki yang diupahi dengan uang.”180 Cuplikan yang mengisyaratkan dalam hal apapun buruh perempuan selalu dibedakan dengan buruh laki-laki. Demi mencukupi kebutuhannya, Simbok beranak satu yang mendapat perlakuan psikis dari suaminya memilih menjadi ibu rumah tangga sekaligus menjadi kepala keluarganya. Namun keterlibatan perempuan dalam bekerja tidak diperhitungkan, besarnya upah yang diterima kaum perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
Ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki mengenai kesenjangan pendapatan semakin lebih banyak daripada dengan pengeluaran untuk buruh perempuan di perkecil. Pegawai perempuan seakan tidak dihargai sebagai buruh dan hanya diperas tenaganya.
Di masa orde baru, otonomi daerah menggiring munculnya perda-perda misoginis yang seringkali mengobjektifikasi perempuan layaknya dialog di atas. Masih adanya kesenjangan pendapatan.
Kesewenang-wenangan lain, menjadikan perempuan adalah korban dari sebuah kebijakan, di mana tentara-tentara dijadikan ujung tombak kekerasan tersebut.
“Dor! Satu tembakan ke udara dilepaskan. Mereka mengusir kami. Kami bertahan. Amri terus berjalan maju, kami semua mengikutinya. Kami hanya mau bertemu komandan mereka dan memintanya memberi hukuman kepada anak buahnya.
Tidak lebih dari itu.
laki. Namun, demi mewujudkan keinginan, dia rela melawan batas yang ditetapkan sosial dan budaya di lingkungannya. Okky Madasari, Entrok (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).
180 Madasari, Entrok, 22.
Dor! Bunyi tembakan lagi. Tentara-tentara itu mulai kehabisan kesabaran. Aku melihat ada popor senapan mampir di kening Amri. Amri membalas dengan memukul corong pengeras suara ke muka tentara. Mereka berkelahi.
Lalu imam juga. Dan semuanya. Kami menjadi kalap.
Seperti ada kekuatan besar yang mendorong kami untuk maju. Darah yang keluar dari kening Amri membuat kami begitu marah. Kulihat tongkat itu mendekat wajahku. Begitu cepat dan.. Buk!.”181
Narasi di atas terlihat bahwa tentara-tentara zaman Orde Baru tidak lain hanyalah ‘perpanjangan tangan’ dari pemilik tertinggi kekuasaan, pejabat, aparatur, dan pemilik modal.
Kekerasan yang diwakili oleh militer dengan segala simbol yang diberikan, seperti “militer sebagai pengayom rakyat, pelindung rakyat, dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat” bertolak belakang dengan realitas yang terjadi di masyarakat.182 Juga terdapat dalam penggalan
“Orang-orang bersepatu tinggi itu dating lagi. Memakai seragam loreng dengan pistol ada di pinggangnya. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima orang. Aku menghitung dalam hati. Ibu menyambut depan pintu, memasang senyuman yang.. ah, aku tahu itu senyum palsu. Sebenarnya ibu tidak tersenyum, dia ketakutan.”183
Digambarkan Marni seorang perempuan yang tidak mengenyam pendidikan formal ketakutan dengan perlakuan militer seperti itu. Dengan memanfaatkan jabatan, mereka sewenangnya menakut-nakuti dengan dalih, jika uang jaminan keamanan tidak diberikan kepada mereka (tentara militer), Marni dianggap sebagai
181 Madasari, Entrok, 161.
182 Wening Udasmoro, Widya Nayati, dan Gadjah Mada University Press, ed., Interseksi gender: perspektif multidimensional terhadap diri, tubuh, dan seksualitas dalam kajian sastra, Cetakan pertama (Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2020), 202.
183 Madasari, Entrok, 50.
PKI yang melawan negara dan penjara tempat yang layak bagi orang yang tidak mengabulkan kemauan mereka. Tindakan tidak masuk akal yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Hal tersebut dipertegas oleh Gunder Frank, ketertindasan kaum perempuan disebabkan adanya faktor nilai dan kepentingan yang sama antara negara dan laki-laki. Dengan center of hegemoni negara, rumah tangga dan masyarakat dengan dominasi laki-laki, perempuan semakin tertindas.184 Kekuasaan yang seharusnya sebagai pengayom justru digunakan sebagai legalitas dalam melakukan tindakan kekerasan. Rahayu dan Marni sebagai perempuan yang menjadi korban kekerasan menjadi tanda bahwa siapapun bisa menjadi korban kekuasaan otoriter jika tidak memiliki kekuasaan yang tinggi, terlebih perempuan.
Pada novel ini juga terdapat penyamaan hak yang ingin ditegakkan oleh Marni, yaitu seorang perempuan bisa saja mendapat upah yang sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan:
“Sayangnya di sini tidak ada buruh perempuan. Betapapun aku ingin mengupahi mereka dengan uang yang setara dengan buruh laki-laki. Upah yang jumlahnya sama, tidak kecil hanya alasan dia perempuan, lebih-lebih diupahi dengan telo. Tapi tidak ada perempuan yang menebang tebu.
Tebu hanya ditugaskan oleh buruh laki-laki. Bagian buruh perempuan hanyalah ndarep atau mbletot kacang. Tapi coba tanya kepada perempuan-perempuan itu berapa upah nya.
Paling tidak lebih dari tiga ratus sehari. Sayangnya aku tidak menanam padi atau kacang. Kalau Mbak Ibu Bapak Kami Bumi Kuasa mengizinkan, semoga rezekiku dilancarkan, aku punya duit untuk membeli tanah untuk menanam padi dan
184 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Edisi Klasik Perdikan (Pakem, Sleman, D.I. Yogyakarta: Insist Press, 2020), 36–37.
kacang. Akan kupekerjakan para perempuan dan kuberi upah tak kurang daripada suami-suami mereka.”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa pemikiran tokoh perempuan, Marni untuk dapat memberikan upah kepada perempuan setara dengan gaji para pekerja laki-laki. Hal tersebut menunjukkan bahwa penulis ingin menyampaikan perempuan Indonesia tertinggal dari laki-laki dalam hal; latar sosial pendidikannya, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, punya hak, kewajiban, kesempatan yang sama. Dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan masyarakat bersama laki-laki. Oleh sebab itu Marni ingin menyamakan hak yang seharusnya dapat diterima oleh para pekerja perempuan dalam masalah pendapatan upah.
d. Majalah juga menjadi salahsatu media yang banyak dipilih oleh perempuan untuk terus menyuarakan pendapatnya melalui tulisan, baik majalah organisasi maupun komersial.185 Seperti Majalah Dunia Wanita.186
Meskipun membahas mengenai perempuan dengan prespektif berbagai bidang, masalah perempuan dalam rumah tangga yang
185 Siti Utami Dewi Ningrum, “Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita:
Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga di Indonesia, 1950-an,” Gadjah Mada University, vol.14, no. 2 (Oktober 2018): 198.
186 Merupakan salah satu majalah popular di era 1950-an.Di bawah redaktur Ani Idrus, majalah ini mendorong perempuan untuk menyadarkan keberadaan diri dan hak- hak mereka untuk mengisi kemerdekaan baik dalam politik, ekonomi, sosial, dan keluarga. Dan juga menyuarakan tentang pentingnya keterlibatan laki-laki dalam urusan rumah tangga, tema yang sayup-sayup terdengar di tengah hingar binger kondisi politik Indonesia di awal kemerdekaannya. Dipaparkan dalam kata pengantar, sebagai berikut:
“[…] Oleh sebab itulah kami menerbitkan madjallah ini karena kami merasa insaf dengan djalan memberikan penerangan-penerangan dalam madjallah ini kami dapat menjumbangkan bakti untuk madjuan wanita. […].” Ani Idrus, “Dunia Wanita,” Juni 1949, 6.
menampilkan ide kesetaraan gender menjadi perbincangan menarik dalam konteks tahun 1950-an.187
Ida yang juga seorang staff Dunia Wanita menuangkan tulisannya atas keresahannya mengenai ketimpangan hak suami-istri dalam rumah tangga. Dia menegaskan bahwa jika hak dan kewajiban istri sebatas memuaskan suaminya, maka hal tersebut bisa disebut sebuah kemunduran. Permasalahan yang terjadi bukanlah semata-mata tanggung jawab perempuan, namun tanggung jawab masyarakat (laki-laki dan perempuan). Dia juga menambahkan jalan keluar dengan cara istri juga perlu aktif dalam organisasi untuk upgrade wawasan dan dapat berbaur, juga istri tidak selayaknya dilarang aktif kegiatan tersebut.188
Ida juga menjelaskan bahwa pekerjaan domestik seperti mengasuh anak, mengatur, menyelesaikan tugas dan kebutuhan rumah tangga semestinya tidak boleh dianggap remeh, apa lagi saat perempuan berpartisipasi dalam dunia publik dan bekerja sehingga harus dituntut professional di rumah juga di luar rumah, sementara hal itu tidak diberlakukan kepada laki-laki.189
e. Cerpen berjudul “Inem” karya Pramoedya Ananta Toer menjelaskan latar kejadian yang berada di Blora pada tahun 1952. Latar budaya yang sangat lekat dengan kehidupan priyayi yang patriarkat. Masa itu perempuan juga belum memiliki hak penuh atas diri mereka, dan belum banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah.
187 Ningrum, “Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita: Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga di Indonesia, 1950-an”, 6.
188 Ida, “Berilah Hak-hak Kaum Wanita”, dalam Dunia Wanita, 1 September 1950, 9–10.
189 Ida, “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?”, dalam Majalah Dunia Wanita, 15 Maret 1950, 14–15 dan S Diah, “Wanita Bukan Alat Dapur”, dalam Majalah Dunia Wanita, 1 September 1950, 14.
Walaupun secara sejarah menjelaskan emansipasi di negara Indonesia dirintis oleh R.A Kartini dan Dewi Sartika jauh sebelum masa itu, namun masih banyak perempuan yang terbelenggu oleh konstruksi sosial yang mewajibkan berada di dalam rumah tanpa butuh Pendidikan yang tinggi dan bekerja di luar. Posisi yang mengharuskan mereka hanya menjadi istri dan ibu dari anak-anak semakin memperkuat posisi subordinat pada diri perempuan.
Banyak juga perempuan yang masih terpaut usia cukup dini dinikahkan kepada seseorang demi mencukupi kebutuhan perekonomian, seperti pada kutipan
“Aku sudah merasa beruntung kalau ada orang meminta.
Kalua sekali ini lamaran itu kami tangguhkan, mungkin takkan ada lagi yang minta si “Inem”. Dan alangkah malunya punya anak yang perawan tua. Dan barangkali saja nanti dia bisa membantu meringankan keperluan sehari-hari.”
Jalan keluarnya, Inem ditempatkan sebagai anak perempuan yang dipinggirkan kemauan pribadinya dan dianggap sebagai barang karena ketika dia sudah menikah orangtuanya tidak mempunyai beban serta tanggung jawab kepada Inem. Cerpen ini telah melanggengkan perkawinan anak dari masa ke masa yang menjadi latar cerita. Namun selain tradisi, kemiskinan juga merupakan faktor legitimasi pernikahan di bawah umur tetap berjalan.
Perempuan menjadi korban kekerasan (violence) oleh suaminya dalam rumah tangga. Namun, perempuan hanya diam tidak bisa melawan.
“Inem takut, Ndoro. Inem takut padanya. Dia begitu besar.
Dan ketika menggelut kerasnya bukan main hingga Inem tidak bisa bernafas, Ndoro. Bukankah Ndoro masih mau menerima ku lagi?” pintanya dengan terhiba-hiba.”