• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Penyakit Ginjal Kronis

N/A
N/A
Ubay Susanto

Academic year: 2024

Membagikan "Studi Kasus Penyakit Ginjal Kronis"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Dokter Pembimbing :

dr. Kuspuji Dwitanto Rahardjo, Sp.PD-KGH

Disusun Oleh : Ubay Nurajeng Susanto

2019730108

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK

KOPI PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2023

i

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW atas berkah, rahmat serta hidayah yang telah diberikan kepada penulis. Dengan segala keterbatasan dan upaya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul Chronic Kidney Disease.” Referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Kepaniteraan Klinis Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pembimbing dr. Kuspuji Dwitanto Rahardjo, Sp.PD- KGH yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Semoga tugas referat ini dapat bermanfaat kepada penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk menambah kesempurnaan referat ini. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengetahuan serta pengalaman yang penulis miliki. Semoga segala keterbatasan dan kekurangan yang penulis miliki dapat disempurnakan dimasa yang akan datang.

Jakarta, September 2023

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I...1

TINJAUAN PUSTAKA...1

2.1 Penyakit Ginjal Kronis ... 1

2.2.1. Definisi ...1

2.2.2. Epidemiologi ...2

2.2.3. Etiologi ...2

2.2.4. Patofisiologi ...3

2.2.5. Klasifikasi ...4

2.2.6. Diagnosis...6

2.2.7. Penatalaksanaan...8

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(4)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronis 2.2.1. Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) mencakup spektrum proses patofisiologi yang terkait dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan progresif laju filtrasi glomerulus (LFG). Risiko dalam perkembangan penyakit PGK terkait erat dengan LFG dan jumlah albuminuria.1 PGK merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. 1

Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit gagal ginjal kronik. 1

Tabel 1. Kriteria penyakit ginjal kronik1

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan berupa kelainan structural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi :

 Kelainan patologis

 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelianan dalam tes pencitraan.

2. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <60mL/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal..

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama dengan atau lebih dari 60 ml/menit/1.73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

1

(5)

2.2.2. Epidemiologi

Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) angka prevalensi penyakit ginjal kronis di Indonesia pada tahun 2018 cukup tinggi yaitu mencapai 3.8% permil populasi Indonesia yang terdiagnosis oleh dokter. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan prevalensi penyakit ginjal kronis pada tahun 2013 yaitu 2 per mil di seluruh indonesia. Prevalensi tertinggi terdapat di Kalimantan Utara yaitu 6.4 per mil sedangkan prevalensi terendah berada di Sulawesi Barat pada angka 1.8 per mil. Prevalensi gagal ginjal lebih tinggi pada laki-laki (4.17% per mil) dibandingkan perempuan (3.52% permil) dan prevalensi usia tertinggi pada usia di atas 65-74 tahun. Persentase rata-rata penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Indonesia juga cukup rendah yaitu sebanyak 19.3% namun perawatan penyakit ginjal di Indonesia merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar BPJS kesehatan setelah penyakit jantung5.

Gambar prevalensi PGK berdasarkan Riskesdas tahun 20185

(6)

Gambar proporsi cuci darah di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 20185.2,3

2.2.3. Etiologi

Etiologi penyakit gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara negara satu dan negara lain. Pada diagram 1 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat. Dan pada diagram 2 menunjukan penyebab utama dan insidensi di Indonesia.

Diagram 1

Penyebab utama dan insiden gagal ginjal kronik di AS5

(7)

Diagram 2

Penyebab utama dan insiden gagal ginjal di Indonesia3

2.2.4. Patofisiologi

Patofisiologi dari penyakit gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vasoaktif, sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang tersisa.

Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi sklerosis dan progresifitas penyakit tersebut.1,4

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh Growth factor, seperti Transforming Growth Factor β (TGF-β).

Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan dislipidemia. Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus

(8)

maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyait ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan.

Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1,4

2.2.5. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus), yang awalnya mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, yaitu:6

LFG (ml/mnt/1,73/ (140 − 𝑢𝑚𝑢�)� 𝑏𝑒�𝑎� 𝑏𝑎𝑑𝑎� ) = 72 � 𝑘�𝑒𝑎�𝑖�𝑖� 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔/𝑑𝑙)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

(9)

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajap penyakit1

Derajat Penjelasan LFG

(ml/mnt/1,732) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG notmal atau meningkat ≥90 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60-89 3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat 15-29

5 Gagal ginjal <15

Tabel 3. Berdasarkan albumin di dalam urine2 Kategori AER (mg/24

jam)

ACR (ekuivalen) Keterangan

(mg/mmol) (mg/g)

A1 < 30 <3 <30 Normal-

peningkatan ringan

A2 30-300 3-30 30-300 Peningkatan

sedang*

A3 >300 >30 >300 Peningkatan

berat**

(10)

Tabel 4. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologic1 Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2 Penyakit ginjal

non diabetes

Penyakit glomerular

(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasma) Penyakit vascular

(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointestinal

(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracuman obat) Penyakit kistik

(ginjal polikistik) Penyakit pada

transplantasi

Rejeksi kronik

Keacunan obat (siklosporin/takrolimus) Penyakit recurrent (glomerular) Transplant glomerulopathy

2.2.6. Diagnosis1

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.

b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

(11)

c) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi : a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockeroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

c) Kelainan biokimiawi darah melipati pénurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

d) Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:

a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.

b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c) Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi, d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

(12)

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

2.2.7. Penatalaksanaan1,2

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi : a) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi b) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit gagal ginjal. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memerburuk keadaan pasien. Faktor - faktor komorbid tersebut antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

c) Memperlambat perburukan fungsi ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Ada dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus, yaitu pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.

(13)

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik

LFG ml/menit

Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25 – 60 0,6 – 0,8 g/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 ≤ 10 g g/kg/hari nilai biologi tinggi

5 – 25 0,6 – 0,8 g/kg/hari, termasuk ≥ 0,35 ≤ 10 g g/kg/hari nilai biologi tinggi atau tambahan

0,3 gr asam amino esensial atau asam keton

< 60 0,8 g/kg/hari (+1 gr protein/ g proteinuria ≤ 9 g (sindrom atau 0,3 g/kg tambahan asam amino

nefrotik) esensial atau asam keton

Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari dan dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status gizi. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan oleh ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang menganding ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberikan diet tinggi protein pada pasien PGK akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia sehingga dengan diet rendah protein akan mengurangi sindrom uremik.

(14)

Diet tinggi protein juga akan mengubah hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus atau hiperfiltrasi glomerulus yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan asupan fosfat sehingga ketika asupan protein dibatasi maka jumlah fosfat ikut berkurang sehingga mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Selain pembatasan asupan protein, dibutuhkan terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus atau hiperfiltrasi glomerulus.

Pemakaian obat anti-hipertensi selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi glomerulus dan hipertrofi glomerulus.

Beberapa studi membuktikan pengendalian tekanan darah sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat anti-hipertensi, terutama Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEi) melalui beberapa studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal.

d) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

e) Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

f) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt. Terapi pengganti ginjal dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

(15)

Perencanaan tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik sesuai derajatnya Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi

komorbid, evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular

2 60-90 Menghambat perburukan fungsi

ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti

ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

Farmakoterapi menurut guidelines NICE 2014

Kontrol Tekanan Darah

- Pada orang dengak GGK, harus mengontrol tekanan sistolik < 140 mmHg (dengan kisaran target 120-139 mmHg) dan tekanan diastolik < 90 mmHg.

- Pada orang dengan GGK dan diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira - kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau proteinuria 1gr/24 jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik <130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80 mmHg.

Pemilihan agen antihipertensi

1st line: ACE inhibitor/ARBs (apabila ACE inhibitor tidak dapat mentolerir) ACE inhibitor/ARBs diberikan pada:

 Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium GGK.

(16)

 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria 0,5 gr/24 jam atau lebih)

 GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24 jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardiovaskular.

 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria <0,5 gr/24 jam atau lebih)

 Saat menggunakan ACE inhibitor/ARBs, upayakan mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan 2nd line (spironolakton)

 Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE inhibitor/ARBs:

- Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan obat dan setelah peningkatan dosis.

- Terapi ACE inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi serum potassium secara signifikan >0,5 mmol/L

- Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut.

- Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat >0,6 mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan.

- Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas awal kurang dari 30%.

- Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin plasma 30% ata lebih :

 Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs.

 Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis harus diturunkan dan alternatif antihipertensi lain bisa digunakan.

(17)

Non Farmakoterapi 1) Terapi Gizi

a) Asupan Protein

 Menurunkan asupan protein menjadi 0.8 g/kg/hari pada dewasa dengan diabetes maupun non diabetes dengan GFR < 30ml/min/1.73 m2 dengan edukasi yang sesuai

 Hindari asupan tinggi protein ( > 1.3 g/kg/hari) pada dewasa dengan resiko progresi PGK

b) Kontrol Glikemik11

 Target HbA1c 7% untuk mencegah dan memperlambat progresi dari komplikasi mikrovaskular pada diabetes termasuk penyakit ginjal diabetik.

 Pada pasien dengan hipoglikemia tidak perlu menargetkan HbA1c < 7%.

 Target HbA1c >7% pada individu dengan komorbiditas atau memiliki resiko hipoglikemia.

 Pada seseorang dengan PGK, kontrol glikemik harus menjadi bagian dalam strategi intervensi multifaktorial dalam mengontrol tekanan darah dan resiko kardiovaskular, meningkatkan penggunaan ACEI atau ARB, statin, dan terapi anti-platelet apabila secara klinis terindikasi.

2.) Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.

Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)

> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

(18)

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien - pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien - pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co- mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

(19)

2.2.1. Komplikasi1

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.

Komplikasi penyakit ginjal kronik

Derajat Penjelasan LFG

(ml/mnt)

Komplikasi 1 Kerusakan ginjal dengan

LFG normal

≥ 90 -

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan

60-89 - Tekanan darah mulai naik

3 Penurunan LFG sedang 30-59 - Hiperfosfatemia

- Hipokalemia - Anemia

- Hiperparatiroid - Hipertensi - Hipersistinemia

4 Penurunan LFG berat 15-29 - Malnutrisi

- Asidosis metabolic - Cendrung

hipokalemia - Dislipidemia

5 Gagal ginjal <15 - Gagal jantung

- Uremia

(20)

2.2.2. Prognosis

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Prognosisnya dinilai berdasarkan tingkat LFG dan Albuminuria. Semakin parah mengakibatkan prognosis semakin buruk.1,2

Sumber. KDIGO 20182

(21)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu.

Penyakit Dalam edisi VI. Interna Publishing : Jakarta.

2. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group.

KDIGO 2018 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2018;3:1–150.

3. Indonesian Renal Registry. 7th report of Indonesian renal registry. IRR: 2019.

4. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine 19th edition. United States: McGraw-Hill Education; 2015.

5. Kementrian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2018.; 2018.

https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil- riskesdas-2018_1274.pdf

6. CDC (Chronic Kidney Disease Initiative). Chronic Kidney Disease in the United States 2019.

7. Idrus alwi. 2015. Penatalaksanaan di bidang ilmu penyakit dalam panduan praktik klinis. Interna Publishing : Jakarta.

8. StatPearls NCBI. Published August 2022. Accessed October 28, 2022.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK535404/

9. Perkumpulan Nefrologi Indonesia. Report Of Indonesian Renal Registry 11 Th.;

2018.

10. Wong E. Chronic kidney disease (CKD) | McMaster Pathophysiology Review.

Accessed November 1, 2022. http://www.pathophys.org/ckd/#Pathophysiology 11. Battinelli DL. Mayo Clinic Internal Medicine Board Review. 12th ed. (Wittich

CM, ed.). Oxford University Press; 2020.

doi:10.1093/med/9780190938369.001.0001

12. Coates PT, Devuyst O, Wong G, et al. Supplement to Kidney International - Kidney Diseases Improving Global Outcome 2021 “KDIGO 2021 Clinical Practice Guideline for the Management of Blood Pressure in Chronic Kidney Disease.” Off J Int Soc Nephrol. 2021;99(3):51-587.

Gambar

Tabel 1. Kriteria penyakit ginjal kronik 1
Gambar prevalensi PGK berdasarkan Riskesdas tahun 2018 5
Gambar proporsi cuci darah di Indonesia berdasarkan Riskesdas tahun 2018 5 . 2,3
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajap penyakit 1
+3

Referensi

Dokumen terkait

Seiring dengan terselesaikannya tugas akhir yang berjudul “Studi Potensi Interaksi Obat pada Terapi Pasien Penyakit Ginjal Kronis PGK di Instalasi Rawat Inap RSUD Jombang Tahun

Hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan produksi saliva sehingga muncul keluhan xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dukungan sosial keluarga pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSUD Kraton

Pertama , fenomena gagal ginjal kronis pada diri partisipan dapat dipelajari dengan menggunakan kajian antropologi kesehatan, yang menemukan bahwa penyakit ini kebanyakan

Judul Tesis : Pengaruh Progressive Muscle Relaxation terhadap Kecemasan Pasien Penyakit Ginjal Kronis yang..

KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI KLINIK SPESIALIS GINJAL DAN HIPERTENSI RASYIDA MEDAN.. NO

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa ada hubungan antara penyakit ginjal kronis dengan kondisi higiene oral pada penderita penyakit ginjal (p&lt;0,05), namun tidak

Hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan produksi saliva sehingga muncul keluhan xerostomia pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.