TAFSIR BI MATSUR DAN BI AL-RAY
Rizal Julmi
Prodi Ilmu Hadits Fakultas Ushuludin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten
Absatrak
Al-Qur’an merupakan kalamullah yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan malaikat Jibril, dan Nabi Muhammad SAW menyampaikannya kepada umatnnya. Oleh karena itu para sahabat yang hidup bersama Nabi tidak kesulitan dalam memahami Al-Qur’an.
Disamping karena Al-Qur’an menggunakan bahasa mereka, juga karena mereka sering mendapatkan pengajaran dan penjelasan dari Nabi.1Sehingga usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H), Abdullah ibn Abbas (w. 68 H), Abdullah Ibn Mas’ud (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain2.
Kata Kunci : Al-qur’an, tafsir bi matsur, dan tafsir bi al-ray
Pendahuluan
Pada masa pasca Rasulullah persoalan-persoalan umat menjadi lebih banyak dan komplek,Setelah nabi wafat, dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan; Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an; Ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SAW, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa
1Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2005), hal.109
2 Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-
Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al- Ashriyah, 2003), juz 1 hlm. 187.
Arab, pengenalan terhadap tradisi arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut
diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri3. Baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah,
khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti
‘Abdullah ibn Salam (w. 43 H), Ka’ab Al-Ahbar (w. 32 H).
Dengan memperhatikan semakin maju pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik bersifat keagamaan atau umum. Dan disini yang paling pokok mengenai tafsir Al-qur’an, yang mana bila dikembalikan kepesatnya
perkembangan ilmu pendidikan yang saat ini kita rasakan adalah rasio (akal) lah yang menjadi tolak ukur terhadap suatu hal. Yang itu dinilai dari
kemaslahatanya, maka kalau dikenakan pada Al-qur’an dengan tujuan Li-tafsir, maka itu tidak pas. Karena kita masih memiliki hadits nabi dan juga qoul sahabat dan tabi’in yang menjelaskan atau menerangkan tentang isi kandungan Al-qur’an dan juga guna mempertegas perbedaan antara Tafsir dengan riwayat dan juga dengan akal. Maka dari keterangan diatas pemakalah membahas “tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi”.
A. Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi 1. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan Taf'il, keduanya berasal dari akar bahasa, yaitu : Pertama : Berasal dari akar kata " al-Fasr " yang artinya Al- Bayan : penjelasan atau keterangan. Kata kerjanya mengikuti wazan ( dharaba, yadhribu, dharban ) atau mengikuti wazan ( nashara, yansuru, nasran ), yang memiliki arti Al-Ibanah : penjelasan. Kedua : Berasal dari akar kata " At-Tafsir "
mengikuti wazan fa'ala ditambah tasydid pada Ain Fi'ilnya, yang mengikuti wazan ( Fassara, Yufassiru, Tafsiran ) yang mempunyai arti Al-Ibana dan Al- Kasyfu, yang artinya ; menerangkan atau mengungkap. Dengan demikian, dari dua kata tafsir tersebut, dapat diartikan juga, bahwa tafsir dari akar Al-Fasr berarti memiliki kata Kasyful Mughatta', yaitu : mengingkap sesuatu yang abstrak. Sedangkan yang berasal dari akar kata At-Tafsir, berarti memiliki kata ( Kasyful Murad Anil Lafadz Al-Musykil ), yang artinya : menyingkap suatu lafazd yang musykil ( pelik ) Istilah Tafsir merujuk kepada Al-Qur’an
sebagaimana tercantum di dalam QS. Al-Furqan : 33 ِّق َح ٱِب َك ِج Qلَّاِإ ٍلَثَمِب َكَنوُت َي َلَّاَوۡل َٰن ۡن ۡأ
3Ibid, Hal 271
ا ًري ِسَت َن َس َأَوۡف ۡح
٣٣ yang artinya “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. Maksudnya : paling baik penjelasan dan perinciannya4. Pengertian inilah yang dimaksud dalam Lisan al-‘Arab dengan “Kasyf Al-Mughaththa” (membukakan sesuatu yang tertutup).
Sedangkan tafsir menurur Ibn Manzhur ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafadz5. Sebagian ulama pun banyak yang mengartikan tafsir sependapat dengan Ibn Manzhur yaitu menjelaskan dan menerangkan.
2. Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Farmawi, tafsir bil ma’tsur disebut pula tafsir bi-riwayah dan an-nagl adalah penafsiran yang mendasarkan pada penjelasan al-qur’an itu sendiri, penjelasan rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihatnya dan aqwan tabi’in6. Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip atau mengambil rujukan pada Al-Qur’an, hadist nabi, kutipan sahabat serta tabi’in. Jadi, bila merujuk pada definisi diatas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran. Pertama: Al-Quran yang dipandang sebagai penafsir terbaik terhadap Al-Quran itu sendiri. Kedua:
otoritas hadist nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas Al-Quran. Ketiga:
otoritas pejelasan shahabat yang dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui Al-Quran. Keempat: otoritas penjelasan tabii’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat, Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya. Tafsir Bil Ma’tsur telah ada sejak zaman sahabat. Pada zamannya Tafsir Bil Ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab-kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku-buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur
4 Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ma'rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1 h. 80-81.
5Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al- jumhuriyah, Mesir. Hal 25
6Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 227
lengkap dengan jalur sanad kepada nabi muhammad SAW, para sahabat, tabi’in al tabi’in.
Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan tafsir bil ma’tsur diantaranya, menurut Manna’ Al-Qaththan, tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Hadits Nabi yang berfungsi untuk menjelaskan Kitab Allah, dan juga dengan perkataan sahabat karena merekalah yang lebih mengetahui kitab Allah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat
Menurut Muhammad Al-Zarqani, tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran ayat Al- Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi, dan para sahabat7. Sedangkan menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran yang bersumber ayat Al-Qur’an dengan ayat Al- Quram, dengan Hadits nabi, perkataan sahabat dan juga tabiin, termasuk dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak secara langsung menerima tafsir dari Rasullullah SAW
3. Pengertian Tafsir bil ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir8. Secara etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqod), analogi (Qiyas dan Ijtihat.9 Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad.
Dengan demikian, tafsir bil ra’yi (disebut juga tafsir bi al-dirayah) sebagaimana didefinisikan Husen Adz Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan sebagainya. Sedangkan menurut Al- Farmawi adalah mentafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah terlebih dahulu mengetahui kosa kata bahasa arab ketika digunakan berbicara beserta muatan- muatan artinya.10 Untuk menafsirkan Al-Qura’an denfan Ijtihat, mufassir pun
7Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an, hal.12
8Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488
9Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, Hlm 62, adz- dzahabi, At-Tafsir, hlm 254
10Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al- jumhuriyah, Mesir. Hal 26-27
dibantu oleh syi’ir Jahiliyah, asbabun nuzul, nasikh mansukhsebagaimana dijelaskan tentang syarat-syarat menjadi mufasir.
B. Perbedaan Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi
Ilmu tafsir Al-Qur’an terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al- Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam di segala waktu dan segala tempat.
Pada perkembangan terbaru mulai diadopsilah metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur’an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur’an. Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran Al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi al- ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya tidak sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap Al-Qur’an
1. Tafsir bil ma’tsur
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat Al- Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an tersebut. sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap kata Shirat Al-Mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai Al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari oleh Al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
2. Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir
pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada
masa ini, islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.
Meskipun telah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan umat Islam. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak. akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat Al-Qur’an melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bil Ma’tsur Dan Tafsir Bil Ra’yi Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari
ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an. Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad
shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad.Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani yang telah masuk Islam. Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur (1) Banyak ditemukan
riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya. (2) Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah. (3) Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat- riwayat hadits yang sanadnya lemah. (4) Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Semua kitab tafsir ini biasanya memuat hanya tentang tafsir bil ma’tsur kecuali kitab yang dikarang Ibn Jarir yang menyertakan pendapat dan
menganalisannya serta mengambil istinbath yang mungkin ditarik dari ayat Al- Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang
mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya dan hanya mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatan yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi-studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati-hati.
Hal ini kita temukan ketika menafsirkan Al-Qur’an pada ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat lain yang mufasshal, ayat Al-Qur’an yang mutlaq dengan ayat Al-Qur’an yang muqayyad.
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H. Dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat Islam. masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat al-Qur'an dan hadis hadis Nabi SAW, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bir ra'yi ( tafsir melalui pemikiran atau ijtihad).
Pendek kata, berbagai corak tafsir bir ra'yi muncul di kalangan ulama-ulama mutaakhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains seprti tafsir Al-Manar dan Al-Jawahir. melihat
perkembangan tafsir bir ra'yi yang demikian pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan Manna' Al-Qathtan bahwa tafsir bir ra'yi mengalahkan perkembangan al-ma'tsur.
Meskipun tafsir bir ra'yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi dua: ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya.
Tapi seletah diteliti, ternyata pendapat yang bertentangn itu hanya bersifat lafzi
(redaksional). maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra'yi ( pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan cerita yang berlaku. penafsiran inilah yang diharamkan oleh Ibn Taimiyah. sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran al-Qur'an denagn ijtihad yang berdasarkan al-Qur'an dan sunnah rasul serta kaedah-kaedah yang mu'tabarat (diakui sah secara bersama)
Sedangkan tafsir bi ra’yi terdapat banyak perdebatan (pro dan kontra) mengenai boleh atau tidaknya menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi (akal).
Diantara sekian banyak ulama yang ada, mayoritas ulama enggan menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Al-Ra’yi. Karena hal ini berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jundab yang artinya : barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.
Kesimpulan
Tafsir bil ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadits, pendapat sahabat, atau tabi'in. Tafsir bir ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan al-Qur'an dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.
Dalam tafsir bil ma’tsur, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau haidts dan sahabat tidak ada beda pendapat tentang kevalidannya di kalangan ulama’, namun tafsir para tabi'in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama'. sebagain ulama' berpendapat, tafsir itu termasuk ma'tsur karena para tabi'in berjumpa dengan para sahabat.
Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bir ra'yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi'in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan mufassir yang hanya menfsirkan berdasarkan kaidah bahasa Arab. Tafsir bi al-Ra'yi adalah upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam al-Qur'an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Zaini, Ulumul Quran Suatu Pengantar ( Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2005), hal.109
Yunahar Ilyas “Kuliah Ulumul Qur’an”( Yogyakarta: ITQAN Publishing)Al-Hafizh Jalâl ad-Din ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqân fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 2003), juz 1 hlm.
187.
Abdul Qadir Muhamad Shaleh, At-Tafsir Wa Al-Mufassirun Fi Ash Al-Hadits, ( Beirut : Dar Al-Ma'rifah, 1424H/ 2003 M, Cet. Ke-1 h. 80-81.
Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir. Hal 25
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /Tafsir.(Jakarta:Bulan Bintang, 1980) hlm. 227
Muhammd Al-Zarqani, Manahil Irfan Fi Ulum Al-Qur’an, hal.12 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488
Basuni faudah, tafsir-tafsir al-qur’an,terj,. Pustaka Bandung,1987, Hlm 62, adz-dzahabi, At-Tafsir, hlm 254
Al- Farmawi, abd Havy, Al Bidayah fi at-tafsir al-Maudhu’I, Maktabah Al-jumhuriyah, Mesir. Hal 26-27