Nama : Dwi Andini Sukma Wijaya NIM : 20042200
Seksi : 202210420117
Dosen Pengampu : Hidayatul Fajri, S.AP, M.PA Tugas 12 Kebijakan Publik Seksi 0117
Formulasi Kebijakan II
Tahap-Tahap dalam Perumusan Kebijakan
Tahap Pertama: Perumusan Masalah (Defining Problem)
Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamen- tal dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik. maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Ke- bijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam ma- syarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atau tidak bergantung pada ketepatan masalah-masalah publik tersebut dirumuskan. Rushetky secara eksplisit menyatakan bahwa kita sering gagal menemukan pemecahan masalah yang tepat dibandingkan menemukan masalah yang tepat.
Tahap Kedua: Agenda Kebijakan
Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah- masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah- masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Secara panjang lebar kita telah mendiskusikan
agenda kebijakan pada bab sebelumnya. Na- mun untuk kepentingan pembahasan bab ini, kita akan kembali sedikit menyinggung bagaimana masalah tersebut mendapat perhatian para pengambil kebijakan di tingkat pemerintahan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus meme- muhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dam- pak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera di- lakukan? Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif (DPR), kalangan eksekutif (presiden dan para pembantunya), agen-agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah- masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk segera diselesaikan.
Tahap Ketiga: Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Menyelesaikan masalah
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus ke- bijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, malca langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus ke- bijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat di- ambil untuk memecahkan masalah tersebut.
Dalam kasus pendirian PT Indorayon, maka pilihan kebijakan yang dapat diambil meliputi:
Pertama, pabrik tersebut terap didirikan di Porsea karena dilihat dari segi ekonomi akan menguntungkan. Kedua, pendirian pabrik tersebut di luar Porsea mengingat kerusakan lingkungan yang mung kin ditimbulkan oleh pendirian pabrik tersebut. Alternatif kebijakan ini didasarkan pada beberapa usulan yang diberikan oleh presiden maupun para menteri yang terlibat. Pertama, usulan Presiden Soeharto mengatakan agar pendirian lokasi pabrik pulp dan rayon dapat dipertanggungjawabkan, maka harus dilakukan studi kelayakan dengan negara lain yang telah mendirikan pabrik sejenis. Kedua, alternatif kebijakan yang di- tawarkan oleh Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang menolak pendirian pabrik pulp dan rayon tersebut di daerah Porsca karena terletak di hulu su- ngai sehingga akan mencemari lingkungan.
Ketiga, usulan yang diberikan oleh Menristek BJ. Habibie yang menghendaki agar pabrik tersebut tetap didirikan di Porsea dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar pabrik dan dalam rangka me- ningkatkan pendapatan pemerintah dan daerah.
Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan ke- pentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Dalam kasus PT Indorayon di atas
pertarungan kepentingan terjadi antara Menristek yang meng- hendaki pabrik karena dilihat dari perspektif ekonomi menguntungkan dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang menolak pendirian pabrik di masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Secara panjang lebar kita telah mendiskusikan agenda kebijakan pada bab sebelumnya. Na- mun untuk kepentingan pembahasan bab ini, kita akan kembali sedikit menyinggung bagaimana masalah tersebut mendapat perhatian para pengambil kebijakan di tingkat pemerintahan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus meme- muhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dam- pak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera di- lakukan? Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan, seperti kalangan legislatif (DPR), kalangan eksekutif (presiden dan para pembantunya), agen- agen pemerintah dan mungkin juga kalangan yudikatif. Masalah-masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat urgensinya untuk se gera diselesaikan.
Tahap Ketiga: Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Menyelesaikan masalah
Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus ke- bijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, malca langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus ke- bijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat di- ambil untuk memecahkan masalah tersebut.
Dalam kasus pendirian PT Indorayon, maka pilihan kebijakan yang dapat diambil meliputi:
Pertama, pabrik tersebut terap didirikan di Porsea karena dilihat dari segi ekonomi akan menguntungkan. Kedua, pendirian pabrik tersebut di luar Porsea mengingat kerusakan lingkungan yang mung kin ditimbulkan oleh pendirian pabrik tersebut. Alternatif kebijakan ini didasarkan pada beberapa usulan yang diberikan oleh presiden maupun para menteri yang terlibat. Pertama, usulan Presiden Soeharto mengatakan agar pendirian lokasi pabrik pulp dan rayon dapat dipertanggungjawabkan, maka harus dilakukan studi kelayakan dengan negara lain yang telah mendirikan pabrik sejenis. Kedua, alternatif kebijakan yang di- tawarkan oleh Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang menolak pendirian pabrik pulp dan rayon tersebut di daerah Porsca karena terletak di hulu su- ngai sehingga akan mencemari lingkungan.
Ketiga, usulan yang diberikan oleh Menristek BJ. Habibie yang menghendaki agar pabrik
tersebut tetap didirikan di Porsea dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar pabrik dan dalam rangka me- ningkatkan pendapatan pemerintah dan daerah.
Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan ke- pentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Dalam kasus PT Indorayon di atas pertarungan kepentingan terjadi antara Menristek yang meng- hendaki pabrik karena dilihat dari perspektif ekonomi menguntungkan dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang menolak pendirian pabrik di daerah Porsca karena akan mengancam kelestarian lingkungan hidup. Dalam kondisi seperti ini, maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan but.
Tahap Keempat: Tahap Penetapan Kebijakan
Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya me rupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembe- tukan kebijakan tersebut. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurisprudensi, keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya
Aktor-aktor dalam Perumusan Kebijakan
Dalam membahas pemeran serta atau aktor-aktor dalam proses perumusan kebi- jakan, ada perbedaan yang cukup penting yang perlu diperhatikan antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Di negara negara berkembang, struktur pem- buatan kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara-negara maju. Kecenderungan struktur pembuatan keputusan di negara-negara maju adalah lebih kompleks. Perbedaan ini diseluhkan salah satunya adalah oleh akror-aktor yang terli- bat dalam perumusan kebijakan. Di negara berkembang di mana perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elite politik dengan pengaruh masyarakat luas yang sedikit. seperti di Kuba dan Korea Utara, maka proses perumusan kebijakan cenderung
lebih sederhana. Sementara itu, di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat di mana setiap warga negara mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik negaranya, maka kondisi ini akan mendorong struktur yang semakin kompleks.
Pembahasan mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat misalnya dalam tulisan James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), mau- pun James Lester dan Joseph Stewart, Jr (2000). Aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pe meran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk ke dalam pem eran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legis latif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi: kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warga negara individu, Kita akan menjelaskan masing-masing aktor ini dalam uraian selanjutnya be serta peran yang dapat dijalankan oleh aktor-aktor tersebut.
Badan-Badan Administrasi (Agen-Agen Pemerintah)
Sistem administrasi di seluruh dunia mempunyai perbedaan dalam hal karakteristik- karakteristik, seperti ukuran dan kerumitan, organisasi, struktur hierarkhis dan tingkat otonomi.
Walaupun doktrin mengatakan bahwa badan-badan administrasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara umum dalam ilmu politik, namun bahwa politik dan administrasi telah bercampur aduk menjadi satu juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya. Selain itu, saat ini badan-badan administrasi sering terlibat dalam pengembangan kebijakan publik. Hal ini berkait erat dengan pemahaman ke- bijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah tertentu. De- ngan pemahaman yang demikian, maka keterlibatan badan- badan administrasi sebagai agen pemerintah dalam ikut menentukan kebijakan menjadi semakin terbuka. Badan- badan administrasi dalam hal ini dapat membuat atau melanggar undang-undang atau kebijakan yang ditetapkan sebelumnya. Misalnya, pada abad 18 Catherine II, penguas Rusia pada waktu itu memutuskan pembubaran sebagian besar lembaga perbudakan. Sementara itu, kaum bangsawan yang mengendalikan administrasi pemerintahan da- pat mencegah diberlakukannya keputusan tersebut. Sedangkan di Amerika Serikat (AS) efektivitas undang- undang pengendalian polusi di negara bagian sering dihambar pe- laksanaannya oleh badan- badan administrasi. Sementara itu, kerumitan administrasi di Indonesia juga barangkali menjadi
faktor yang cukup penting bagi kurang efektifnya implementasi kebijakan publik. Dengan demikian, badan-badan administrasi telah menjadi aktor yang penting dalam proses pembentukan kebijakan dan keberadaannya perlu mendapat perhatian oleh para ilmuwan polirik yang tertarik untuk mengkaji kebijakan-kebijakan publik. Dalam masyarakat-masyarakat industri yang mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi, badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas.