• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI BERKAITAN KE TESIS PASAHAT HODA DEBATA

N/A
N/A
Naomi Purba

Academic year: 2024

Membagikan "TEORI BERKAITAN KE TESIS PASAHAT HODA DEBATA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Fungsi dan Penggunaan Gondang pada Ritual Pasahat Hoda Debata pada Komunitas Ruma Parsaktian Ompung Raja Isumbaon

di Sijambur Pusuk Buhit, Samosir.

Diajukan kepada Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Imu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk Pengusulan Tesis

PROGRAM STUDI MAGISTER PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

Oleh :

Sastra Gunawan Pane NIM 227037009

Kepada:

Magister Penciptaan Dan Pengkajian Seni Fakultas Imu Budaya

Universitas Sumatera Utara 2023

(2)

Abstrak

Tradisi pasahat hoda Debata merupakan salah satu upacara ritual tertinggi pada masyarakat Batak Toba. Dalam tradisi pasahat hoda Debata tidak bisa terlepas dengan gondang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan dan fungsi gondang pada tradisi pasahat hoda Debata yang dilaksanakan Komunitas Ruma Parsaktian Ompung Raja Isumbaon di Sijambur Pusuk Buhit, Samosir. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teori Alan P. Meriam (1964) tentang use and function dipilih untuk melihat penggunaan dan fungsi gondang. Hasil penelitian menunjukkan, gondang digunakan pada saat galang raja, patakkok ulian, gondang mandudu, manggora sahala, mananom borotan, gondang tu parsahiton, mangalahat hoda debata, pataruhon bobak tu pusuk buhit, mananom bobak. Sedangkan fungsi gondang sitolupulutolu pada upacara pasahat hoda debata adalah sebagai ritual tolak bala, sebagai sarana pengantar kurban persembahan, sebagai sarana komunikasi menyampaikan doa kepada Tuhan, sebagai perlambangan, dan sebagai pengabsahan upacara pasahat hoda Debata tersebut.

A. Latar Belakang

Salah satu unsur tradisi Batak Toba yang sudah jarang dilaksanakan dan diketahui masyarakat Batak Toba pada saat ini adalah tradisi pasahat hoda Debata (menyampaikan kurban kuda kepada Tuhan). Secara terminologi, kata pasahat berarti menyampaikan, hoda berarti kuda (sebagai kurban persembahan), Debata berarti Tuhan. Tuhan dalam tradisi pasahat hoda Debata yang dimaksud adalah Debata natolu1. Kurban kuda dalam tradisi ritual masyarakat Batak Toba dianggap sebagai persembahan yang tertinggi dalam menjalin relasi dengan Debata Natolu. Hal ini terlihat dari beberapa istilah yang dikenakan kepada

1 Dalam konsep totalitas tersebut masyarakat Batak Toba-Tua juga percaya tolu ragam ni Debata (tiga macam debata) yaitu Batara Guru, Sori Pada dan Mangala Bulan. Mereka disebut debata na tolu (debata yang tiga) atau debata sitolu sada (debata tritunggal, tiga tapi satu). Tentang kehadiran dari tiga debata ini, ada dua pendapat. Pendapat pertama seperti dikemukakan oleh A.B. Sinaga mengatakan bahwa debata na tolu yaitu Batara Guru, Sori Pada dan Mangala Bulan adalah diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Pendapat kedua seperti dikemukakan oleh PHO. Lumban Tobing mengatakan bahwa debata na tolu adalah diri dari Debata Mulajadi Na Bolon. Debata Mulajadi Na Bolon menjelma menjadi tiga diri yaitu sebagai debata banua ginjang, sebagai debata banua tonga dan sebagai debata banua toru. Sebagai debata banua ginjang ia dinamakan Debata Batara Guru atau Tuan/Ompu Bubi Na Bolon, sebagai debata banua tonga ia dinamakan Debata Soripada atau Tuan/Ompu Silaon Na Bolon, dan sebagai debata banua toru ia dinamakan Debata Mangala Bulan atau Tuan/Ompu Pane Na Bolon. Karena itu masyarakat Batak Toba tradisional percaya sada Debata di ginjang, sada Debata di tonga, sada Debata di toru (satu Dewata di atas, satu Dewata di tengah dan satu Dewata di bawah)

(3)

upacara tersebut dan sangat terasa dari ungkapan yang mengatakan: pitu anak horbo sipatogu-toguon alai sada do anak ni hoda ingkon sipaabing-abingon?

Dari pernyataan tersebut nampak bahwa kuda merupakan binatang kurban yang sangat tinggi nilainya bila dibandingkan dengan kurban lainnya yang dipersembahkan seperti kerbau, lembu, ayam dan sebagainya.

Menurut data yang saya peroleh dari internet dan video di youtube, sebelum kuda dipersembahkan terlebih dahulu dikuduskan dengan upacara tertentu. Pengudusan atau penyucian harus dilakukan di sebuah mata air yang dinamai homban. Homban adalah mata air yang dipelihara yang disekelilingnya ditanami bunga-bungaan dan pepohonan, kepunyaan satu marga atau keturunan seseorang leluhur. Setelah penyucian berlangsung, kuda dibasuh dengan air jeruk purut yang sudah didoakan. Kemudian kuda dihiasi dengan bunga-bungaan dan diarak ke kampung. Kuda tidak langsung disembelih tetapi dipelihara sehingga pada suatu saat akan dipersembahkan. Biasanya kuda dipersembahkan kepada Debata Natolu. Kuda yang berwarna hitam dipersembahkan kepada Debata Bataraguru, kuda yang berwarna putih dipersembahkan kepada Debata Bala Sori dan yang berwarna merah dipersembakan kepada Debata Mangalabulan. Ketiga warna merupakan warna dari Debata Natolu. Kuda dikurbankan untuk tolak bala yang sedang dan akan terjadi. Kuda juga dikurbankan untuk mengembalikan status bahari para arwah yang selalu mengganggu kehidupan orang yang masih berada di dunia yang sering disebut dengan papurpur sapata. Kuda sering juga dikurbankan untuk menebus segala dosa dan penyempurnaan diri. Pandangan bahwa kurban kuda lebih tinggi nilainya merujuk pada istilah yang dikenakan kepada Kuda sendiri. Kerbau tidak pernah dikatakan dengan istilah kerbau ilah (horbo ni Debata) tetapi untuk kuda ditemukan istilah kultural yaitu hoda Debata sering juga disebut hoda Miahan yaitu kuda yang diurapi. Kuda dipelihara dengan baik dan terkadang milik suatu marga yang akan dipersembahkan kepada Debata Mulajadi Nabolon.

Hal yang tidak bisa lepas dari setiap ritual tradisi pasahat hoda Debata adalah selalu menggunakan gondang. Dalam bahasa Batak Toba, kata gondang

(4)

mengandung banyak pengertian, di antaranya adalah instrumen musikal, ansambel musik, judul sebuah komposisi musik, judul kolektif dari beberapa komposisi musik (repertoar), tempo pada komposisi, suatu rangkaian upacara, menunjukkan suatu kelompok misalnya kelompok kekerabatan atau pun tingkat usia, dan bisa juga berarti sebuah doa.

Penggunaan gondang di dalam keagamaan dan tradisi, menunjukkan bahwa gondang memiliki peran penting di dalam Batak Toba. Pengertian gondang memiliki kerumitan yang cukup tinggi, karena kerancuan distingsi gondang sebagai alat musik ensambel2. Gondang Parmalim (aliran kepercayaan yang ada pada masyarakat Batak Toba) sebenarnya menjadi arahan referensi penting karena menggunakan keutuhan instrumen dan memaknai gondang sebagai bagian keagamaan. Bahkan Harahap mengidentikkan identitas gondang Parmalim dengan simbol keagamaan yang diungkapkan dengan sebutan doa (Harahap, 2012).

Dalam tulisan ini saya akan membahas bagaimana interelasi musik dan spiritualitas, yang meninjau bagaimana hubungan tradisi pasahat hoda Debata dengan gondang. Teori ini menekankan hubungan antara musik dan dimensi spiritual dalam kehidupan manusia, terutama dalam konteks keagamaan. Menurut teori ini, musik memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan memperdalam pengalaman spiritual seseorang, baik dalam praktik keagamaan formal maupun informal. Musik dapat merangsang perasaan suci, keagungan, dan kehadiran Tuhan atau kekuatan gaib lainnya dalam diri seseorang, dan dapat menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan kekuatan gaib atau tuhan. Teori Interelasi Musik dan

2 Masyarakat Batak Toba mengenal dua jenis ensambel gondang, yaitu ensambel gondang sabangunan dan ensambel gondang hasapi. Kedua ensambel musikal ini digunakan sebagai pengiring tarian seremonial, yaitu Tortor. Ensambel gondang sabangunan adalah ensambel yang instrumentasinya terdiri dari: lima buah taganing (single headed braced and tuned-drum), satu buah odap (double headed drum), satu buah gordang (single headed braced drum), satu buah sarune bolon (double- reed oboe), empat buah ogung (suspended gong), yaitu ogung ihutan, ogung oloan, ogung doal, dan ogung panggora; dan satu buah hesek atau sebuah botol kosong (struck idiophone). Keseluruhan instrumen tersebut tergabung dalam satu ensambel yang disebut dengan gondang sabangunan. Sementara itu, ensambel gondang hasapi adalah ensambel yang terdiri dari dua buah hasapi (hasapi ende dan hasapi doal) (twostringed boat lute), sebuah garantung (a wooden- xylophone), sebuah sarune etek (single-reed idioglot aerophone), sebuah sulim (transverse bamboo fl ute) dan sebuah botol kosong yang disebut hesek (struck idiophone).

(5)

Agama juga mengemukakan bahwa musik dapat digunakan dalam berbagai bentuk praktik keagamaan seperti ritual, ibadah, doa, meditasi, dan penyembuhan.

Teori interelasi musik dan spritual juga menekankan pentingnya konteks budaya dalam memahami musik dan dengan sang penciptanya. Kita tidak bisa menafsirkan fungsi atau makna musik dalam konteks keagamaan atau spiritual secara universal, karena konteks budaya dan sosial dapat mempengaruhi bagaimana musik digunakan dan diartikan. Konteks budaya dan sejarah dapat mempengaruhi bentuk dan fungsi musik dalam konteks keagamaan atau spiritual.

Dalam praktik keagamaan, musik sering digunakan untuk menciptakan atmosfer sakral atau suci yang dapat memperdalam pengalaman spiritual seseorang.

Demikian juga gondang sebagai ritual, harus mengikuti tata aturan struktural yang telah dimeteraikan. Kekhasan ritual gondang adalah cara fungsionaris (partisipan yang datang ke gondang) yang sudah mengetahui posisinya. Gondang sebagai ritual sebenarnya mengungkapkan kekuatan supernatural yang biasa dikenal dengan mistis. Kekuatan selalu dihubungkan dengan manusia, alam dan yang ilahi (Wardhani, Arditama, Noe, & Narimo, 2021) dan inilah yang juga ditunjukkan oleh gondang. Salah satu dimensi kemanusiaan mistis adalah kekerabatan terhadap pemilik supernatural dan terhadap sesama manusia (Dandirwalu, 2021). Dari studi terdahulu ini, kebaruan dalam tulisan ini adalah pembahasan gondang Batak Toba sebagai ritual yang akan menggali makna religi yang kemudian diimplementasikan di dalam keagamaan dan kehidupan adat.

Salah satu ritual yang paling menjadikan gondang sebagai interelasi secara theoantropocosmos (hubungan antara Tuhan, manusia dan alam) dalam tradisi pasahat hoda Debata adalah tahap ritual gondang mandudu. Gondang mandudu adalah ritual memainkan gondang sabangunan selama kurang lebih dua jam tanpa berhenti, dimana para peserta ritual tidak boleh bergerak tetapi harus berdoa.

Gondang mandudu dilaksanakan pada pukul 24.00 malam- 02.00 pagi. Salah satu jenis musik, yang disebut gondang mandudu (atau gondang dudu), adalah bagian dari upacaramemainkan gondang yang secara eksklusif dipentaskan untuk

(6)

Mulajadi Nabolon. Musik ini diyakini oleh suku Toba Batak sebagai 'gondangnya Tuhan' atau 'musik Tuhan mereka'. Gondang mandudu terdiri dari dua bagian, yaitu gondang dudu borngin, atau dudu malam, dan gondang dudu tiar ni ari, atau dudu pagi (Rithaony, 1995:643)

Menurut Sinaga, istilah mandudu berarti 'upacara penyembelihan selama Perayaan Tahun Baru. Kerbau pengorbanan adalah pertanda untuk tahun yang akan datang' (1981:229). Dahulu sering disebut mandundang, yang berarti 'upacara menyembelih kerbau persembahan dengan membunyikan gondang untuk mendapatkan pertanda yang menguntungkan (Sinaga 1981:229). Menurut analisis Sinaga, 'dalam upacara mandudu, manusia berpartisipasi dalam penciptaan ulang dunia. Manusia mengambil inisiatif dengan mengorganisir upacara yang sangat penting untuk penciptaan ulang dunia, manusia dengan aktif mempersembahkan kerbau dengan memukul gondang untuk pertanda keberuntungan. Manusia secara aktif menyebabkan dan menentukan masa depannya dengan kerjasama dengan Tuhan. Pertanda yang diberikan oleh kerbau dipandang sebagai sarana di mana Tuhan memberi tahu manusia dan menentukan masa depan dunia tengah.' (Sinaga 1981:146.)

Ketika gondang mandudu dimainkan, semua orang harus duduk dan mendengarkan dengan tenang, dan tidak boleh melakukan hal lain. Ritual ini dimainkan dalam kegelapan. Ritual ini khususnya dipentaskan untuk roh-roh, untuk mengundang mereka turun dan memberkati upacara. Roh-roh diundang untuk menari secara tak terlihat di tengah-tengah upacara. Biasanya satu atau dua orang menjadi kemasukan oleh roh-roh tersebut.

Tradisi pasahat hoda Debata dalam masyarakat batak toba sudah jarang dilakukan sejak masuknya ajaran agama kristen ditanah batak oleh sejak 1860an hingga 1940an. Nommensen berhasil ‘meng-Kristenkan’ sejumlah besar orang Batak Toba yang semula adalah penganut kepercayaan leluhur Batak Toba.

Tradisi pasahat hoda Debata dianggap bagian dari adat dan hasipelebeguan3.

3 Hasipelebeguan adalah suatu bentuk kepercayaan lama yang sangat bertentangan dengan iman Kristen dan oleh karena itu pula gereja sangat menolaknya, termasuk semua aspek yang melekat terhadap praktek hasipelebeguan. Dengan kata lain, hasipelebeguan adalah istilah kolektif yang

(7)

Masyarakat Batak Toba hingga dewasa ini masih banyak mempraktekkan adat di dalam kehidupan sehari-hari kendati mereka telah memeluk agama Kristen termasuk kembali dilaksanakannya tradisi pasahat hoda Debata pada tahun 2021 dan 2022 oleh Komunitas Ruma Parsaktian Ompung Raja Isumbaon4. Tradisi pasahat hoda Debata ini dilakukan kembali kendati terjadinya pandemi virus corona yang terjadi diawal tahun 2019 sampai tahun 2022. Kepercayaan masyarakat yang melaksanakan tradisi ini dianggap pesan leluhur jika ada bala yang datang kedalam sebuah desa mereka. Kegiatan Tradisi pasahat hoda Debata ini dilaksanakan di Sijambur Nabolak Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir pada tanggal 28-30 september 2021. Kemudian dilanjutkan dengan acara berikutnya setelah 7 bulan kemudian.

Lalu mengapa tradisi ini dilakukan kembali? Apakah hanya karena alasan terjadinya wabah virus corona? Atau apakah agama yang baru yang telah masuk ke tanah Batak Toba seperti agama Kristen tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.? Pertanyaan ini membutuhkan analisis kontekstual baik secara etnografi, etnomusikologi, spritual, budaya, dan juga keilmuan lainnya. Tetapi disini penulis patut menduga, bahwa jika budaya yang baru tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya maka masyarakat akan kembali menggunakan kebudayaan lama. Dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah ketujuh unsur-unsur kebudayaan yang dimaksudkan Koenjaraningrat dalam buku Antropologi termasuk diantaranya, sistem religi dan sistem kesenian. Tradisi pasahat hoda Debata dan gondang sudah lebih dulu dipercaya masyarakat Batak Toba terutama Komunitas Raja Isumbaon yang dapat menolak bala. Hal ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dapat dikaji dan dianalisa sebagai suatu budaya. Penulis sangat tertarik untuk menjadikan hal ini menjadi sebuah penelitian dengan judul Fungsi dan Penggunaan Gondang pada Ritual Pasahat Hoda Debata pada Komunitas Ruma Parsaktian Ompung Raja Isumbaon di Sijambur Pusuk Buhit, Samosir.

merangkum keseluruhan praktik dan sifat agama suku bangsa Batak Toba (Pardede 1987:238) 4 Raja Isumbaon adalah putera bungsu Raja Batak. Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu: Tuan Sorimangaraja, Raja Asiasi Sangkar dan Somaliang

(8)

B. Indentifikasi Masalah

Dari uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diindentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah fungsi gondang pada ritual pasahat hoda Debata yang dilaksakan Komunitas Ruma Parsaktian Ompung Raja Isumbaon di Sijambur Nabolak Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir?

2. Bagaimanakah penggunaan gondang pada ritual pasahat hoda Debata yang dilaksakan Komunitas Ruma Parsaktian Ompung Raja Isumbaon di Sijambur Nabolak Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir?

C. Landasan Teori

Manusia tidak boleh dipisahkan dari budaya. Salah satu bentuk budaya dapat dilihat dari upacara yang berasal dari adat yang berkaitan dengan semua aspek kehidupan manusia termasuk sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Pertunjukan upacara menggambarkan ketaatan dan penyamaran sesuatu yang ajaib dengan perasaan simbolik dan lengkap (Shamsuddin, 1984: 1).

Ritual atau upacara keagamaan biasanya dilakukan berulang-ulang, setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang saja. Bergantung pada acaranya, ritual atau upacara keagamaan biasanya terdiri dari kombinasi beberapa tindakan seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkurban, makan bersama, menari dan menyanyi, berarak, seni drama suci, berpuasa, penyucian, bermeditasi dan bertapa. Mengkaji ritual merupakan perkara yang penting terutama ritual berbentuk perlakuan simbolik keagamaan dan magis.

Menurut Turner (1969), ritual dapat diartikan sebagai tingkah-laku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu dengan cara yang berbeda.

Bukan sekadar rutin teknikal, ritual merujuk kepada perlakuan yang berdasarkan

(9)

keyakinan keagamaan terhadap kekuasaan atau kekuatan mistik. Dari hasil penelitiannya, Turner merumuskan dua hal yang sangat penting dalam kajian antropologi yaitu (1) rumusan secara umum tentang teori antropologi simbol dalam kajian ritual dan agama, dan (2) kajian secara deskriptif tentang aspek- aspek ritual. Ritual dalam sesebuah agama mempunyai maksud dan tujuan tertentu bersesuaian dengan ajaran agama tersebut. Bentuk ritual juga berbeda-beda mengikut agama dan kepercayaan masingmasing.

Haviland (1993: 207) menyatakan ritual menolak bala adalah cara yang menghubungkan manusia dengan alam gaib. Ritual bukanlah satu cara untuk memperkuat hubungan sosial masyarakat dan mengurangkan ketegangan tetapi juga cara untuk menyelenggarakan peristiwa penting dan peristiwa yang menyebabkan krisis seperti upacara tolak bala. Sebagai tambahan kepada nilai budaya, upacara ritual memainkan peranan dalam mengikat adat dan budaya dalam kehidupan manusia yang selalu digunakan sebagai kode etika, menghubungkan manusia, mengumpul pikiran, dan kebersamaan, dan menghubungkan manusia dengan alam (Daeng, 2000: 46).

Tradisi pasahat hoda Debata juga harus dikaji dari sudut semiotika, dimana sistem kepercayaan tentang konsep totalitas masyarakat Batak Toba-Tua yang percaya tolu ragam ni Debata (tiga macam Debata) yaitu Batara Guru, Sori Pada dan Mangala Bulan. Mereka disebut Debata na tolu (Debata yang tiga) atau Debata sitolu sada (Debata tritunggal, tiga tapi satu). Konsep ini dipercaya yang menguasai seluruh alam yaitu Debata di ginjang, sada Debata di tonga, sada Debata di toru (satu dewata di atas, satu dewata di tengah dan satu dewata di bawah). Demikian representase pasahat hoda Debata adalah ritual tertinggi dalam masyarakat Batak Toba. Secara kajian semiotik kuda yang berwarna hitam dipersembahkan kepada Debata batara guru, kuda yang berwarna putih dipersembahkan kepada Debata bala sori dan yang berwarna merah dipersembakan kepada Debata mangalabulan.

Begitu juga hadirnya gondang yang menjadi salah satu pemegang peran penting dalam tradisi ini. Untuk meninjau keberadaan gondang dalam tradisi

(10)

pasahat hoda Debata, salah satu teori yang relevan adalah teori musikologi etnomusikologi, yang mengkaji hubungan antara musik dan budaya serta mencari pemahaman tentang fungsi dan makna musik dalam masyarakat tertentu. Dalam konteks ini, musik gondang dapat dipandang sebagai bagian dari sistem musik tradisional Batak Toba, yang memiliki fungsi dan makna simbolis dalam upacara adat dan kehidupan keagamaan.

Di sisi lain dalam studi agama, terdapat beberapa teori yang menekankan pentingnya musik sebagai sarana untuk mencapai pengalaman spiritual dan menghubungkan manusia dengan kekuatan gaib. Misalnya, teori tentang "musik transformatif" mengakui peran musik dalam membantu manusia mencapai kesadaran spiritual dan transformasi pribadi. Dalam konteks ini, musik gondang sabangunan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk musik yang memungkinkan orang untuk mencapai kesadaran spiritual dan merasa lebih dekat dengan dunia roh atau dewa-dewi. Namun, penting untuk diingat bahwa teori- teori tersebut harus dipelajari dan dianalisis dengan konteks yang tepat dan dengan mempertimbangkan faktor-faktor budaya, sejarah, dan sosial yang terlibat.

Referensi

Dokumen terkait

selain itu ingin dicari tahu pula pandangan masyarakat Batak toba penganut agama katholik terhadap tradisi mangongkal holi yang dilaksanakan oleh gereja katholik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian pada masyarakat Batak Toba, karena adanya nilai prestise dan bagaimana masyarakat

Judul Tesis : TRADISI LISAN NYANYIAN RAKYAT ANAK- ANAK PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN.. Nama Mahasiswa : Demak

Adapun tradisi marsirumpa pada masyarakat Batak Toba pada bidang sistem pencaharian, siklus kehidupan dan pekerjaan umum harus didasari dengan kesepakan untuk melaksanakan

kedudukan anak perempuan dalam hak waris adat Batak Toba yang ada di Semarang. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan penulis membahas

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa upacara ulaon hahomion yang terdapat pada masyarakat Batak Toba masih tetap dilaksanakan khususnya masyarakat yang

Andung sebagai salah satu warisan budaya yang pernah hidup dan berperan kuat didalam masyarakat Batak Toba sudah jarang digunakan sekarang ini, hannya orang

Sedangkan menurut kamus budaya Batak Toba yang disebut dengan Dalihan Na Tolu adalah dasar kehidupan bermasyarakat bagi seluruh masyarakat Batak, yang terdiri dari tiga unsur atau